Bab 180: Automaton
Ini adalah sebuah bengkel—sebuah bengkel automaton. Ruangan itu dipenuhi suara mesin-mesin aneh yang bergerak, dan roda-roda gigi raksasa saling bertautan serta berputar perlahan di langit-langit. Udara dipenuhi aroma oli pelumas, sementara di lantai berserakan tumpukan pecahan logam yang tak terpahami.
Dorothy menjelajahi bengkel itu dengan penasaran, mengamati setiap sudutnya. Di atas meja-meja, ia melihat berbagai perangkat mekanis aneh—patung-patung logam kecil yang menari otomatis dan burung-burung mekanis yang mengepakkan sayapnya.
"Sebuah bengkel automaton... Ini pasti Stone Beyonder yang lain. Dibandingkan dengan Aldrich, yang mengukir patung batu, dan Deer Skull, yang membuat makhluk kerangka, apakah yang ini lebih mahir dalam mekanisme logam?"
Sambil mengamati sekeliling, Dorothy merenung. Tepat saat itu, sebuah suara perempuan dengan nada aneh dan tidak wajar tiba-tiba terdengar dari sudut ruangan.
"Permisi, bisakah kau membantu?"
Terkejut, Dorothy tersentak kecil dan segera menoleh ke arah sumber suara, tapi tak melihat siapa pun.
"Siapa di sana? Di mana kau?"
Ia bertanya dengan hati-hati. Suara itu segera menjawab.
"Aku di sini. Turunkan pandanganmu sedikit. Aku ada di lantai."
Mengikuti instruksi, Dorothy menunduk—dan memang, ia melihat sesuatu yang aneh di tanah.
Sebuah kepala.
Kepala seorang gadis muda dengan rambut abu-abu pendek dan wajah lembut. Salah satu matanya tertutup lensa bundar, dan kulitnya tampak rusak di beberapa bagian, memperlihatkan logam kuning di bawahnya. Pada pangkal leher yang terputus, struktur mekanis yang rumit terlihat jelas.
"Kepala… kepala robot!?"
Dorothy berteriak kaget. Namun, kepala itu menanggapi dengan nada agak kesal.
"Itu cukup kasar, tamu dari Igwynt. Namaku Beverly, dan aku bukan sekadar kepala robot."
Dorothy membeku sejenak. Setelah menenangkan diri, ia hati-hati menyesuaikan nada bicaranya.
"Ah… Kalau begitu, Nona Beverly, apa yang bisa kubantu?"
"Tolong angkat kepalaku dan bawa ke rak buku di sisi kanan bengkel. Ada tuas di sampingnya—tarik saja."
Itulah permintaan Beverly. Setelah ragu sebentar, Dorothy akhirnya menuruti. Ia mendekat, mengangkat kepala itu dengan kedua tangan, dan langsung merasakan kegelisahan aneh.
Menggendong kepala itu, Dorothy mencari mekanisme yang dimaksud Beverly, sementara suara tanpa tubuh itu terus membimbing.
"Ya, benar… Di sana, di sebelah rak buku. Tuasnya—tarik saja."
Mengikuti arahan, Dorothy menemukan tuas di samping rak buku di sisi kanan bengkel. Ia menariknya, dan dengan suara roda gigi yang berderak, dinding di samping rak buku perlahan terbuka, memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Berbaris rapi di balik dinding, sederet tubuh perempuan berpakaian sederhana. Tak satu pun dari mereka berkepala.
Dorothy kembali membeku.
"Pilih satu untukku dan pasangkan kepalaku."
"Eh... Bagaimana caranya?" tanya Dorothy bingung. Ia tidak tahu apa-apa tentang perakitan mekanis.
"Kau hanya perlu meletakkan kepalaku di titik sambungan."
Instruksi Beverly sederhana. Meski masih ragu, Dorothy menuruti. Ia memilih salah satu tubuh secara acak dan menempatkan kepala Beverly di sambungan leher kosong, lalu melepaskannya.
Saat itu juga, komponen mekanis di leher mulai terhubung otomatis. Kepala Beverly berputar sedikit ke kiri dan kanan, menyesuaikan posisinya. Dari celah di belakang tubuh barunya, sebuah kunci putar besar menyembul keluar dan terpasang. Dengan bantuan mesin bengkel, kunci itu mulai berputar—klik, klik, klik—mengencang setiap kali berputar.
Akhirnya, seiring suara mesin yang mereda, tubuh baru Beverly mulai bergerak. Awalnya, anggota tubuhnya berkedut kaku layaknya gerakan mesin, tetapi tak lama kemudian gerakannya menjadi semakin lancar. Ia melangkah maju dari antara tubuh-tubuh tanpa kepala itu dan berdiri di hadapan Dorothy.
Selain bekas jahitan di wajahnya yang rusak dan cincin tembaga di lehernya, kini ia tampak seperti gadis muda berusia sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun.
"Fiuh… Terima kasih banyak, Nona Myschoss. Kalau bukan karena kau, aku pasti terjebak di sana selama dua jam lagi, menunggu seseorang kembali untuk membantuku."
Beverly menghela napas panjang lalu duduk di meja terdekat. Dorothy, masih penasaran, memiringkan kepalanya.
"Kau tahu namaku?"
"Tentu saja. Orang tua itu menulis surat tentang kedatanganmu, jadi aku sudah menunggu."
Beverly menjawab santai sambil mengambil gelas berisi cairan kuning pucat dari meja dan meneguknya. Aromanya tak salah lagi—Dorothy langsung mengenali bau oli mesin.
"Kau robot?" tanya Dorothy lagi. Kali ini, setelah meneguk habis isinya, Beverly menyeka mulut sebelum menjawab.
"Lebih tepatnya, aku automaton sepenuhnya otonom. Kau baru saja menyaksikan sesuatu yang langka—makhluk sepertiku bisa dihitung dengan satu tangan di dunia ini."
"Sebuah automaton?"
"Ya. Sebuah konstruksi yang diciptakan oleh seorang Dalang. Jalur Batu, dengan Batu sebagai utama dan Wahyu sebagai tambahan, bisa mengarah ke Subjalur Dalang. Ciri khasnya adalah kemampuan menciptakan berbagai automaton, entah semi-otonom atau sepenuhnya otonom—sepertiku. Aku diciptakan oleh pria tua itu di puncak kejayaannya."
Beverly menjelaskan sambil duduk di depan cermin, mengoleskan gel khusus ke bagian wajahnya yang rusak, seolah sedang touch up. Kata-katanya membuat Dorothy tercengang.
"Apa? Maksudmu Aldrich yang menciptakanmu? Tapi... bukankah dia pemahat batu?"
"Ya, dan saat pertama kali aku diciptakan, aku hanyalah batu—tak bernyawa dan buruk rupa."
"Kau tidak menyukainya?"
"Tentu saja tidak. Pria tua itu punya selera estetika yang sangat kaku. Dia selalu memahat ksatria, binatang buas, dan pahlawan... tapi aku lebih suka gadis-gadis muda yang cantik. Awalnya aku sangat tidak puas dengan penampilan yang dia berikan padaku."
Dorothy langsung teringat—selera seni Aldrich memang tradisional. Kebanyakan karyanya adalah sosok bermartabat dan mengesankan—raja, jenderal, ksatria—atau binatang buas yang menakutkan. Hampir tak pernah ia membuat sesuatu yang feminin.
"Selera estetika Aldrich memang begitu. Jadi dia menciptakanmu, tapi kau tidak puas dengan bentukmu? Kau ingin tampil berbeda?"
"Tepat. Jadi aku mencoba mengukir diriku sendiri sesuai yang kuinginkan. Aku ingin jadi gadis cantik... tapi kemampuanku memahat tak sebaik pria tua itu. Pada akhirnya aku justru mengorbankan diriku sendiri."
Beverly berbicara santai sambil terus memperbaiki dirinya, kali ini menggunakan kosmetik manusia biasa. Dorothy hanya terdiam, mulutnya terbuka lebar.
Saat itu, Dorothy membayangkan seorang ksatria batu atau pangeran gagah berdiri di depan cermin, dengan tekun mengukir dirinya sendiri, berusaha berubah menjadi gadis cantik—namun gagal total, berakhir sebagai sosok aneh tak berbentuk.