Novel Bos Terakhir Chapter 83

Bab 83: Gempa Bumi Aries

Aries termenung.

Kapan sebaiknya dia turun tangan?
Atau… justru lebih baik membiarkan semuanya berlangsung tanpa campur tangan?

Sebenarnya, Aries bisa dengan mudah menghabisi Mercurius di sini. Terlepas dari kelemahan elemen miliknya terhadap milik Mercurius—dalam skema Lima Elemen, Air mengalahkan Api—selisih level mereka begitu besar hingga perbedaan itu tak lagi berarti. Bahkan jika lawan punya keunggulan atribut, Aries tetap bisa mengalahkannya dengan kekuatan murni.

Dulu, ia memang sempat kerepotan saat menghadapi golem air bernama Levia. Tapi itu karena Levia diciptakan dari danau yang kaya akan mana, dan levelnya meningkat secara drastis karena itu. Golem biasa tidak bisa menyimpan mana—bahkan yang terbentuk lewat sihir pun pada akhirnya akan larut kembali menjadi mana. Tapi Megrez berhasil menciptakan pengecualian: ia menyuntikkan sejumlah besar air bermana tinggi ke dalam Levia, menciptakan makhluk yang seharusnya tidak mungkin ada—golem yang memiliki mana dalam jumlah besar.

Aries tidak suka mengakuinya, tapi Megrez memang pantas menyandang gelar “Raja Kebijaksanaan”.

Tapi kembali ke pertanyaan awal: Haruskah ia ikut campur?

Jika hanya bicara soal kekuatan, Aries bisa menumbangkan Mercurius kapan saja. Mungkin sedikit lebih sulit dari anggota Tujuh Cahaya lainnya, tapi tetap saja—kemenangan berada dalam jangkauannya.

Namun...

Apakah dengan ikut campur, ia benar-benar membantu Virgo?

Kalau yang berdiri di tempatnya adalah anggota lain dari Dua Belas Bintang Surgawi, mereka pasti sudah melompat ke medan tempur tanpa pikir panjang, menyapu Tujuh Cahaya tanpa ragu dan mengabaikan identitas mereka. Itu memang tindakan yang benar secara strategis.

Tapi Aries... berbeda.

Ia satu-satunya yang memahami perasaan Virgo. Berbeda dengan rekan-rekannya, ia tidak lahir kuat. Libra adalah golem terkuat, Aigokeros adalah Raja Iblis dari dunia bawah, Karkinos menguasai lautan, dan Scorpius adalah ratu kalajengking. Parthenos memimpin klan suci yang melayani Dewi. Sisanya pun tak kalah hebat—ada ratu peri, anak Dewi, dan binatang sihir terkuat di dunia.

Mereka semua adalah makhluk luar biasa—legenda hidup dari wilayah masing-masing. Jika bukan karena mengabdi pada Ruphas, mereka mungkin saling berebut kekuasaan. Tapi Aries... hanyalah seekor monster kecil yang lemah, yang kebetulan ditangkap lebih dulu oleh Ruphas. Karena itu, ia dianggap sebagai yang pertama dan dilatih dengan penuh perhatian.

Ia tidak memiliki kekuatan hebat sejak awal. Bahkan dibandingkan dengan binatang sihir biasa pun, dirinya dulu tidak ada apa-apanya. Itulah Aries.

Dan karena itu, hanya dia yang bisa benar-benar memahami perasaan Virgo—hati yang rapuh.
Virgo saat ini sama seperti dirinya dahulu. Dikelilingi oleh orang-orang luar biasa, merasa kecil, tak percaya diri, dan tenggelam dalam rasa rendah diri.

"Kenapa aku ada di sini? Apa aku memang dibutuhkan? Bukankah seharusnya orang lain saja yang berada di posisiku?"

Saat perasaan seperti itu melanda, seseorang bisa kehilangan nilai dirinya sendiri. Aries tak tahu apakah Virgo berpikir sejauh itu, tapi kemungkinan besar, dia merasakan hal serupa.

Dan itulah kenapa Aries memilih untuk tidak ikut campur.

Karena dia tahu—rasanya sangat menyakitkan ketika orang lain mengambil alih pertempuran yang seharusnya bisa kau menangkan. Meski masih bisa dimenangkan, anggota lain dari Dua Belas Bintang kerap turun tangan begitu mereka merasa situasi sedikit berbahaya. Aries sering disuruh mundur dengan alasan dia terlalu lemah. Dan saat itulah dia akan berpikir,

“Kenapa aku selemah ini…?”

Penyesalan, rasa kasihan, dan kesedihan membuat malam-malamnya panjang dan sulit tidur. Dua Belas Bintang lain tak pernah mengerti—karena mereka selalu kuat sejak awal. Karena itu, Aries menahan dirinya.

Belum saatnya.
Jika ia bertindak sekarang, itu sama saja seperti berkata, “Kau tak bisa menang, biar aku saja.” Dan jika itu terjadi, Virgo tak akan pernah berkembang, tak akan pernah percaya pada dirinya sendiri.

Jadi, untuk sekarang... Aries hanya bisa menyaksikan.


“Siapa kau?”

“Eh, aku?”

“Selain kau, tak ada orang lain di sini.”

Mercurius menatap Virgo dengan penuh permusuhan. Pertanyaannya singkat, tapi menohok.
Virgo tergagap. Bagaimana mungkin dia bisa menjawab? Meskipun secara teknis dia adalah bagian dari Dua Belas Bintang Surgawi, ia hanya pengganti dari neneknya. Ia tak merasa memiliki kekuatan sehebat itu.

Namun, pria dari Tujuh Cahaya itu tampak waspada. Ia dengan cepat membentuk segel sihir dan berkata dingin,

“Tak peduli siapa kau sebenarnya... Siapa pun yang bisa menggunakan teknik itu harus disingkirkan. Di sini dan sekarang!”

Mercurius menembakkan peluru air bertekanan tinggi dari telapak tangannya. Hanya air—tapi pada kecepatan tinggi, bahkan air bisa menghancurkan batu. Semua orang segera menyebar menghindar, dan air itu menembus batu di belakang mereka dengan mudah. Jika mengenai manusia, hasilnya pasti fatal.

“Ooooooh!”

Gants langsung maju ke depan. Ia mengayunkan kapak perangnya—salah satu harta karun Sayap Hitam yang diberikan oleh Raja sebelum keberangkatan mereka. Kapak itu tidak punya efek sihir khusus, tapi kekuatannya murni luar biasa—pas di tangan Gants.

Serangannya menyapu tubuh Mercurius, membelahnya, dan menghantam tanah, menciptakan awan debu. Namun Mercurius tak tampak gentar sedikit pun.

“Percuma. Serangan seperti itu tak akan bekerja padaku.”

“Oh ya? Tapi pasti tetap butuh waktu untuk memulihkan tubuhmu, kan?!”

Gants tertawa. Ia memang tahu serangannya tak akan melukai Mercurius—Kaineko sudah memberitahunya. Serangan fisik tidak efektif. Tapi bukan itu tujuannya. Tugasnya hanya satu: mengalihkan perhatian musuh.

Dan dia berhasil.

Potongan tubuh Mercurius mulai membentuk tentakel air yang melesat ke arah Gants. Ujungnya tajam dan mematikan. Tapi Gants menyeringai seperti binatang buas. Alih-alih menghindar, ia justru melawan.

Tentakel itu menusuk... namun tertahan.

Otot-otot Gants yang terlatih menghentikan semuanya.

“Seranganmu… lembek!”

Dengan satu ayunan lagi, ia kembali membelah Mercurius. Meski tak fatal, serangan Gants cukup untuk membuat waktu berlalu.

Tentu, Mercurius masih anggota Tujuh Cahaya. Ia mengubah lengannya menjadi cambuk air dan menghantam Gants hingga terpental. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, Jean dan Nick sudah menyerbu dari dua arah.

“Ayo, Nick! Jangan kasih dia waktu buat nyiapin sihir!”

“Aku tahu!”

Dulu mereka satu party. Koordinasi mereka sempurna. Jean dengan pedangnya, Nick dengan belatinya, keduanya menyerang terus menerus, menekan Mercurius agar tak sempat menggambar segel sihir.

Dari belakang, panah Shu menghujani jari-jari Mercurius, mencegahnya membentuk formasi sihir. Tujuan mereka bukan untuk menang—tapi memberi waktu bagi rekan mereka yang bisa menang.

“Cukup! Kalian benar-benar mengganggu!”

Dengan marah, Mercurius mengarahkan tentakel ke Virgo. Tapi Ricardo, pria bertubuh besar, melompat dan menerima serangan itu. Armornya robek, darah mengucur, tapi ia masih hidup—dan Virgo langsung menyembuhkannya.

Cruz juga sudah menyembuhkan Gants. Dalam sekejap, Ricardo hampir pulih total.

“Menjengkelkan!”

Mercurius menghantam Jean dengan satu pukulan telak. Tulang rusuknya patah, darah muncrat dari mulutnya. Ia menendang Nick, membuat keduanya jatuh. Dan saat itulah, ia menggunakan sihir yang tak perlu ritual segel. Sebuah pedang air terbentuk dan meledak ke seluruh ruangan.

Tapi... Virgo menghadangnya dengan penghalang. Serangan itu tak cukup kuat.

“Hah!”

Sei melompat ke depan dan menebaskan pedangnya. Meski hanya serangan fisik, efek dari pedang itu unik—Magic Break. Serangan ini bukan untuk mengurangi HP, melainkan SP, dan mampu membuyarkan sedikit mana. Efektif bahkan terhadap iblis.

Namun Mercurius tak bodoh. Ia mengeraskan tubuhnya menjadi es, menahan tebasan Sei dan membalas dengan tendangan ke rahangnya.

“Ugh!”

Sei terpelanting. Tapi sebelum Mercurius sempat bergerak lebih jauh, sebuah tebasan cahaya datang dari Virgo.

Pedangnya menyayat tubuh Mercurius—dan untuk pertama kalinya, ekspresinya berubah.

“Ugh... aagh!”

Virgo berhasil! Tapi karena kurang pengalaman, ia lengah. Mercurius memanfaatkan celah itu dan menyerang balik, membidik kepalanya.

Namun…

Saat itulah... gempa mengguncang tanah.

Gempa yang begitu tepat waktu hingga tampak seperti disengaja. Mercurius kehilangan keseimbangan, serangannya meleset. Dan Virgo—tak menyia-nyiakan kesempatan itu—menebasnya sekali lagi.

Tadi barusan...

Pria berjubah hitam itu!

Dialah penyebab gempa. Mercurius tahu, meski pria itu tampak tak peduli padanya, keberadaannya lebih menakutkan dari siapapun di sana.

Ia sadar—semua ini di luar dugaannya.

Datang ke gunung ini adalah sebuah kesalahan. Ia takut eliksir akan membangkitkan naga penjaga, jadi ia mencoba mencegahnya. Tapi ia tak mengira musuh memiliki penyembuh sehebat Virgo, atau seseorang dengan kemampuan anti-sihir. Ia terlalu meremehkan mereka.

Dan sekarang...

Gadis itu—Virgo—adalah ancaman nyata.

Setiap kali dia terluka, dia sembuh. Dan ketika diberi celah, dia menebas balik. Kekalahan... kata itu terlintas di benaknya.

“…Tidak! Aku tidak akan kalah!”

Dengan segenap tekad, Mercurius mengubah tubuhnya menjadi bilah-bilah tajam dan menyerang lagi.

Dia tak bisa kalah.
Meski tubuh ini hanyalah boneka ciptaan Dewi, apakah takdirnya hanya untuk dikalahkan?

Kalaupun iya... dia rela menerima itu.

Tapi...

Meski kami iblis adalah boneka… tetap ada sesuatu yang ingin kami lindungi!

Di benaknya, senyum seorang gadis terlukis jelas—gadis yang memakai nama bulan.

Gadis yang tak pernah menoleh ke arahnya, tapi menjadi harta yang paling ia jaga.


Catatan Penulis: Cinta dari Pihak Musuh

· Protagonis: Terra

· Heroine: Luna

· Saingan cinta dingin yang berkata “Aku akan melindunginya”: Mercurius


Kubu Musuh:

· Tuan Sayap Hitam, Ruphas

· Pengkhianat Level 1000, Dina

· Monster Api, Aries

· Raja Iblis Dunia Bawah, Aigokeros

· Mesin Pemburu, Libra

· Wabah Berjalan, Scorpius

· Si Aneh, Karkinos

· Satu-satunya Penyembuh, Virgo

Kekuatan Tambahan:

· Putri Vampir, Benetnash

· Raja Kebijaksanaan, Megrez

· Dewa Penjaga, Levia

· Raja Langit, Merak

· Benteng Bergerak, Blutgang

· Libra Tipe Produksi Massal

Dan terakhir…

· Dewi Pencipta, Alovenus

· Uroboros


…Apa ini?
Bad End tampaknya tak terhindarkan.


Catatan Penerjemah:

Next time di A Wild Last Boss Appeared!
Kalau ini anime, kamu tahu ini waktunya backstory emosional dari NPC musuh yang sebenarnya bukan hanya musuh random... meski ya, kadang kita juga gak peduli.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 81

Bab 81: Mercurius Berselancar

Sagitarius berlari melesat melewati hutan, sesekali melirik ke samping. Libra tampak melayang di antara pepohonan, menjaga jarak. Mata anorganiknya terus menatap Sagitarius tanpa berkedip. Meski mereka bergerak dalam kecepatan luar biasa—jauh melampaui batas kemampuan manusia maupun binatang sihir—mereka tetap mampu bermanuver lincah, menghindari batang pohon dengan presisi mengagumkan. Lebih tepatnya, Libra kadang justru menerobos pepohonan, tapi tubuhnya seolah tak terganggu sedikit pun.

“Target terkunci. Siap tembak!”

Libra mengangkat senapan mesin dan membidik. Puluhan peluru kendali melesat keluar, menari-nari di udara, memutar di antara pepohonan dengan cara yang sulit dipercaya. Namun Sagitarius tak tinggal diam—ia menciptakan badai di sekelilingnya untuk membelokkan peluru, lalu membalas dengan tembakan panah sihir. Tapi panah itu, meski diarahkan lurus ke Libra, tak pernah sampai.

Dengan tenang, Libra mengangkat tamengnya—Karkinos—untuk menahan serangan sihir tersebut, lalu membalas dengan menembakkan sinar laser dari matanya. Ketika Sagitarius berhasil menghindar, Libra membuka telapak tangannya. Dari situ muncul meriam kecil yang langsung memuntahkan api.

“Kau mau membakar seluruh hutan, hah?”

Sagitarius segera mengubah atribut sihirnya menjadi elemen udara dan menembakkan panah angin. Tapi Libra sudah mempersiapkan gerakan berikutnya—lengannya terlepas dan meluncur lurus ke arah Sagitarius seperti tinju baja terbang.

—Sebuah Pukulan Roket.

Pukulan Roket (Rocket Punch/ロケットパンチ) adalah jurus ikonik yang populer dari anime seperti Mazinger, di mana robot melepaskan lengannya sebagai proyektil yang kembali setelah menyerang musuh.

Namun Sagitarius bukanlah pemanah jarak jauh biasa. Sebagai salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi, ia memiliki kekuatan fisik luar biasa yang membuatnya andal dalam pertempuran jarak dekat. Ia menyambut tinju terbang itu dengan pukulannya sendiri—dan berhasil memantulkannya kembali ke Libra.

Setelah menyambungkan kembali lengannya, Libra berkata datar:

“Sepertinya beberapa tulangmu retak. Menyesuaikan akurasi target.”

“Sial, kau benar-benar menyebalkan.”

Pertempuran membawa mereka keluar dari hutan, memasuki wilayah pegunungan berbatu. Medan berubah drastis, kali ini berpihak pada Libra. Dengan kemampuan terbangnya, ia bisa bergerak bebas di udara—berbeda dengan Sagitarius yang harus memanjat lereng curam.

Namun, Sagitarius tak menyerah. Tubuh setengah kudanya berlari menanjak tanpa henti, melintasi batu-batu terjal. Libra mengikuti dari udara, namun Sagitarius melepaskan hujan panah sihir untuk menghambatnya. Libra mengelak dan membalas dengan tembakan menyebar.

Keduanya terus bertukar serangan, peluru dan panah saling beradu di udara—tak satu pun dari mereka yang mengenai sasaran. Ini adalah duel antara dua ahli yang nyaris seimbang.

Lalu, Sagitarius menunjukkan kartu trufnya.

Ia menarik busur dengan penuh tenaga, kekuatan sihir mengumpul di ujung anak panahnya.

“Begitu aku menembakkan ini, kau tak bisa menghindar. Ini... Alnasl, bukan?”

Alnasl (Gamma-2 Sagittarii) adalah bintang yang berada di ujung panah konstelasi Sagittarius. Namanya berasal dari bahasa Arab, berarti "panah."

“Ya. Bahkan kau tak bisa menghindarinya.”

Di dunia Midgard, ada jurus-jurus mengerikan yang disebut benar-benar akurat. Ada yang tak bisa dihindari saat dilepaskan—seperti Brachium milik Libra—dan ada yang terus mengejar musuh sampai kena. Shine Blow milik Ruphas adalah salah satu contoh dari serangan yang tak terelakkan karena kecepatannya.

Namun, Alnasl berbeda. Begitu dilepaskan, ia langsung mengenai sasaran tanpa jeda. Tak ada waktu antara tembak dan kena. Tak ada ruang bagi penghindaran atau pertahanan. Panah ini tak bergerak dalam ruang atau waktu biasa—menembakkan panah berarti langsung mengenai target.

Libra tahu bahwa satu-satunya cara menghadapi ini hanyalah menghentikannya sebelum dilepaskan.

Karkinos pun tak akan mampu memblokirnya. Bahkan jika diposisikan tepat di depan, panah Alnasl akan tetap menembus. Karenanya, Libra memutuskan: dia akan menyerang tepat saat Sagitarius menembakkan panahnya.

“Aku paham. Saat serangan itu dilepaskan... itulah saat terbaikku untuk menyerang balik.”

Libra melepas Karkinos dan mengubah lengan kanannya menjadi meriam. Ia bersiap melepaskan tembakan sekaligus. Sagitarius pun tahu—saat ia menembakkan Alnasl, ia akan terbuka terhadap serangan. Maka keduanya saling menatap, menunggu momentum.

“...Alnasl!”

“The Right Scale—Zubenelgenubi!”

Panah menyala dilepaskan dari busur Sagitarius. Sepersekian detik kemudian, lengan Libra melepaskan cahaya menyilaukan. Begitu sinar itu menghantam Sagitarius, Libra langsung melesat dengan mesin jet-nya. Ia tahu, panah Alnasl akan segera mengenainya. Tapi dia siap.

Tak peduli ke mana panah itu mengenainya—dada, kepala, leher—dia bisa bertahan satu serangan. Sebagai golem, ia masih bisa bertarung meski tubuhnya rusak sebagian. Dia hanya perlu terus menyerang sampai lawan tumbang!

Tapi kemudian—sesuatu yang tak terduga terjadi.

Panah itu tak mengenai Libra.

Sebaliknya... Sagitarius menghilang.

“?!”

Dia tak melarikan diri. Tak terbang. Ia benar-benar menghilang dari keberadaan—bahkan sensor Libra tak mampu mendeteksinya. Tak ada bayangan, suara, panas—seolah dia tak pernah ada di sana.

Libra terdiam, lalu memutar ulang rekaman visualnya dalam gerakan lambat. Ia meneliti gerak-gerik Sagitarius saat menembakkan panah...

Dan saat itulah dia mengerti.

Sagitarius menembakkan panah itu bukan ke Libra—tapi ke sesuatu yang sangat jauh... mungkin sebuah pohon. Dan tepat setelahnya, dia memegang kembali panah Alnasl—panah yang mengabaikan hukum sebab-akibat—untuk melarikan diri ke lokasi target panah tersebut.

“…Aku ditipu.”

Selama dua ratus tahun, Libra telah mengamati semua gaya bertarung Sagitarius. Tapi ia tak pernah membayangkan panah itu akan digunakan bukan untuk menyerang—melainkan untuk melarikan diri.

Data masa lalu tak bisa membantunya kali ini. Dan karena ia hanya bisa memprediksi hal-hal berdasarkan data sebelumnya... itulah celah fatalnya.

Dengan menggunakan kartu truf yang disembunyikannya selama dua abad, Sagitarius berhasil lolos dari pengejaran Libra—yang dikenal tak bisa dihindari jika target telah terkunci.

Kegagalan menangkapnya—apalagi setelah tahu ia kini bersekutu dengan Leon—adalah pukulan berat.

Sei dan kawan-kawannya berjalan dalam satu barisan menyusuri celah sempit di Pegunungan Rohani Hnitbjorg. Suasana yang menyelimuti tempat itu begitu misterius, benar-benar layak disebut Puncak Spiritual. Sei sempat membayangkan mereka harus bersusah payah memanjat gunung terjal, namun kenyataannya cukup berbeda. Banyak gua terbuka di sepanjang jalur, memungkinkan mereka menanjak secara bertahap dari dalam.

"Ini... seperti dungeon dalam game RPG," pikir Sei, meski dia tahu ini bukan waktunya melamun.

Kristal-kristal berkilauan menempel di langit-langit, lantai, dan dinding gua, memancarkan cahaya ungu yang lembut. Cruz, yang berada di barisan belakang sebagai pendukung, memandang sekeliling dengan mata membelalak.

"Luar biasa... Ini semua kristal mana! Jumlah mana yang terwujud di sini... Luar biasa! Berapa nilai kalau kita bisa membawanya pulang dan menjualnya?"

“Emang bisa laku mahal ya?” tanya Sei, tertarik juga.

“Bisa banget. Kristal mana termasuk bahan terbaik dalam alkimia. Mereka juga berfungsi sebagai katalis sihir arkana. Kalau dipasang di ujung tongkat sihir, bisa memperkuat efek sihirnya. Sejujurnya, kalau ini bukan wilayah suci, aku sudah ngantongin banyak dari tadi.”

Bagi Cruz, tempat ini seperti harta karun. Matanya berbinar-binar, terus melirik ke sekeliling, seolah tak puas hanya melihat. Tapi sepertinya dia bukan tipe yang akan mengambil barang sembarangan.

Aries mengangguk pelan. Dulu, dia dan Ruphas sering mengumpulkan kristal seperti ini di gunung atau gua tempat mana mengendap. Jadi dia bisa memahami antusiasme Cruz. Namun menurutnya, kristal ini tidak terlalu langka. Mereka terbentuk secara alami di tempat-tempat sepi yang penuh dengan mana.

Tempat seperti itu biasanya adalah lokasi sunyi, tidak ada makhluk hidup, dan mana-nya tak bocor ke luar. Karena itulah, jika seseorang mencari kristal sihir, mereka cukup menyasar gua atau lubang serupa. Apalagi, gunung ini dikelilingi oleh penghalang anti-mana. Mana yang tertahan di dalam akhirnya membeku jadi kristal. Singkatnya, kristal ini adalah “produk sampingan” yang tak disengaja.

“…Kalau aku bawa beberapa buat tuanku, dia mungkin senang ya.”

Pikiran itu melintas di benaknya. Dengan gerakan secepat kilat, ia mengambil beberapa kristal dan menyembunyikannya di balik jubah hitamnya, tak seorang pun menyadarinya—kecuali Virgo yang sempat melirik sekilas. Meski begitu, bahkan Virgo tak bisa memastikan apa yang dilakukan Aries.

"Virgo-san, kamu baik-baik saja? Lelah?" tanya Sei dengan nafas tersengal.

“Ya, aku baik-baik saja.”

Meski Sei sendiri sudah kehabisan napas, ia masih mengkhawatirkan Virgo. Tapi faktanya, Virgo adalah petarung level 300, dengan daya tahan tertinggi kedua di kelompok ini. Ia memanjat dengan tenang dan anggun, kontras dengan Sei dan teman-temannya yang terengah-engah di belakang. Bahkan anjing kecil yang berjalan di sekitar kaki mereka lebih cepat daripada mereka.

Berada dalam kelompok dengan jurang kemampuan seperti ini benar-benar menyulitkan.

“Ngomong-ngomong… aku cuma penasaran… tapi, beastkin gorila itu nggak apa-apa...?”

Nada bicara Sei agak canggung, tapi jelas ia khawatir pada sang ksatria wanita yang berjalan paling depan. Tempat ini punya penghalang yang mengusir makhluk sihir. Makhluk sekuat Aries mungkin tak terpengaruh, tapi beastkin level rendah bisa celaka. Jadi, demi keselamatan, menurutnya lebih baik si ksatria gorila menunggu di luar.

Sayangnya, niat baik tak selalu diterima baik.

“Hei! Itu kata-kata terlarang!” seru Jean panik. “Dia manusia, bukan beastkin! Walau... yah... wajahnya emang agak mirip gorila sih…”

Itu malah jadi serangan pamungkas. Sang ksatria wanita—yang disebut ‘gorila’—langsung mengayunkan tinjunya, menghantam wajah Jean hingga terkapar. Lalu ia melangkah maju dengan wajah merah padam.

Meski dia sadar wajahnya memang agak seperti gorila... mendengarnya dari orang lain tetap menyakitkan.

“…Ngomong-ngomong, iblis itu… Mercurius dari Tujuh Cahaya. Kalian pikir dia akan muncul?”

Salah satu teman Sei, mantan petualang bernama Nick, bertanya dengan nada hati-hati sambil mengawasi sekeliling.

“Oh, dia pasti akan datang,” jawab Gants. “Nggak mungkin dia melewatkan ramuan itu.”

Karena mereka berada di jantung penghalang, jika iblis muncul sekalipun, situasi masih berpihak pada mereka. Tapi tetap saja, tanpa Friedrich, rasanya tidak nyaman.

Pertanyaannya sekarang adalah: kapan dan di mana Mercurius akan muncul?

Kaineko pernah bilang iblis itu mungkin akan mengendalikan humanoid yang dicuci otaknya. Tapi sejauh ini, mereka belum melihat satu pun.

Yang mereka dengar… hanyalah suara air.

“…Hah? Hei, kalian dengar suara aneh gak?” tanya Virgo, menjadi yang pertama menyadarinya.

Awalnya ia mengira itu cuma perasaannya, tapi tak lama ia tahu pasti—itu bukan ilusi. Suara air itu nyata. Dan semakin keras.

Sei dan yang lain juga mulai sadar. Tapi sebelum mereka sempat menyimpulkan apa yang sedang terjadi, Cruz mendadak pucat.

“Ini—ini gak bagus! Cepat, semua berkumpul di sekitarku!”

“Eh?”

“Gak ada waktu buat jelasin! Cepat!!”

Tanpa menunggu, Cruz mengaktifkan penghalang cahaya, menutupi semua anggota kelompok. Gerakannya begitu cepat, seolah mereka akan segera terjun ke pertempuran. Ketegangan langsung meningkat.

Dan mereka pun segera tahu alasannya.

Sumber suara itu akhirnya muncul.

Air bah.

Air meluap dari dalam gua, membanjiri segalanya dalam sekejap.

Novel Bos Terakhir Chapter 82

Bab 82: Mercurius dari Tujuh Cahaya Menantang Pertempuran!

“Ugh!”

Penghalang cahaya yang dibentuk oleh Cruz mulai berderit ketika dihantam oleh arus air deras. Luasnya hanya sekitar lima meter, namun saat ini itu adalah satu-satunya tempat aman di seluruh gua.

Sei mendadak teringat terowongan bawah laut yang pernah ia kunjungi semasa liburan ketika masih tinggal di Jepang. Meski pikirannya kacau karena krisis yang mendadak, ia tak bisa menahan pikiran absurd itu—seolah mereka kini berada di dalam versi hidup dari terowongan bawah laut yang roboh dihantam air.

Air membanjiri segala sisi, kecuali area sempit tempat mereka berdiri. Bila penghalang itu sampai hancur, mereka tak akan sempat kabur. Yang ada hanyalah dinding batu—dan akhirnya, kematian tenggelam bagi seluruh kelompok.

Dan suara retakan yang makin keras dari penghalang menandakan waktu mereka hampir habis.

“Hei! Apa yang terjadi?! Bukankah dibilang iblis gak bisa masuk ke sini?!”

“Sepertinya... Kaineko-san keliru. Dia—Mercurius—memaksa menembus penghalang!”

Cruz menjawab dengan suara tegang. Air ini jelas bukan fenomena alami. Ada kekuatan sihir luar biasa yang mendorongnya—jelas, Mercurius telah menyusup.

Untungnya, aliran air keruh ini tak akan bertahan selamanya. Jika mereka bisa bertahan cukup lama, mungkin air itu akan berhenti. Tapi masalahnya: Cruz tak punya cukup kekuatan untuk menahan serangan sebesar ini terlalu lama. Meski dia salah satu penyihir ilahi terkuat di kalangan umat manusia, levelnya hanya 105—jauh di bawah iblis sekelas Mercurius, yang mendekati Level 300.

Akhirnya, penghalangnya pecah.

Namun tepat saat itu, Virgo melangkah maju dan mengangkat tangannya.

“Vindemiatrix!”

Segera setelah ia menyebut nama itu, seluruh air keruh yang menyelimuti gua… menghilang. Begitu saja.

Vindemiatrix—yang berarti "pemetik anggur" dalam bahasa Latin, juga dikenal sebagai Epsilon Virginis—adalah salah satu bintang di konstelasi Virgo. Keterampilan yang digunakan Virgo memiliki kekuatan untuk menyebarkan dan menghancurkan mana di wilayah sekitarnya. Efektif terhadap semua bentuk sihir, ia bahkan bisa menghapus eksistensi makhluk yang terdiri dari mana murni.

Cruz terpaku, menatap Virgo dengan wajah terkejut.

“Ta—tadi… itu... Itu tidak mungkin! Mana-nya... benar-benar terhapus?! Tapi teknik itu... itu kekuatan ilahi yang katanya cuma bisa digunakan oleh Dewi sendiri dan mereka yang diakui olehnya!”

“Eh?” Virgo tampak bingung.

“Virgo-san… siapa sebenarnya kamu?!”

Virgo membelalakkan mata, benar-benar tak paham maksud Cruz. Baginya, Vindemiatrix hanyalah sihir yang diajarkan neneknya sejak kecil—sihir untuk melindungi diri. Ia bahkan tak tahu kalau ini adalah teknik luar biasa yang jarang dikuasai siapa pun di dunia ini.

Namun faktanya, keterampilan ini adalah warisan dari para manusia pertama—manusia sejati ciptaan langsung Dewi. Mereka dikenal sebagai keturunan Aeneas. Dan hanya empat orang di dunia ini yang bisa menggunakannya: sang Dewi, Parthenos (pengikutnya), Ruphas Mafahl (pemimpin Parthenos), dan Virgo—penerus Parthenos yang sebenarnya.

Dengan kemampuan menghapus mana, Vindemiatrix menjadi musuh alami bagi semua bentuk sihir. Bahkan jika targetnya iblis Level 1000, ia tetap akan berdampak.

“Eh? Kalau kau tanya siapa aku... aku cuma flügel biasa, tinggal di hutan sampai sekarang…”

“Biasa?! Mana mungkin flügel biasa bisa ngelakuin itu! Bahkan Raja Langit pun gak bisa!”

“Kyaa!?”

Cruz tampak begitu frustasi, ia bahkan mengguncang bahu Virgo. Biasanya tenang, kali ini ia kehilangan kendali karena tak bisa memahami apa yang barusan terjadi. Melihat ini, Sei segera menarik Cruz menjauh dan berdiri di depan Virgo, melindunginya.

“Cruz-san, apa yang kamu lakukan?! Ini bukan saatnya bertanya-tanya soal asal-usul! Kita gak tahu kapan serangan berikutnya akan datang!”

“T—tapi—”

“Gak ada ‘tapi’! Yang perlu kita lakukan sekarang cuma dua pilihan: hadapi si penyihir ini, atau tinggalkan gunung sekarang juga!”

Memang, kondisi sudah berubah total. Awalnya mereka berpikir Tujuh Cahaya tak akan muncul secara langsung. Namun, Mercurius telah menampakkan diri. Artinya, serangan berikutnya bisa terjadi kapan saja. Mereka harus segera memilih: lanjut atau mundur.

“Bocah itu benar,” kata Gants. “Maju atau mundur. Harus cepat diputuskan.”

“Aku setuju. Kita lanjut.” Jean mendukung.

“Aku rasa kita harus mundur. Musuh bisa menyerang tanpa menunjukkan diri. Kalau terus begini, kita akan hancur,” sahut Gants.

Pendapat pun terpecah. Nick dan Shu, dua petualang lain, juga tak sepakat—Nick ingin maju, Shu ingin mundur. Jika mereka mundur, elixir kemungkinan besar akan diambil musuh. Namun kalau terus maju, nyawa mereka taruhannya.

“Aku sih... bebas aja,” ujar Aries datar. Entah maju atau mundur, dia merasa tak akan ada masalah. Negara ini, menurutnya, tak penting—hanya warisan para Pahlawan yang ia benci. Jika jatuh pun, dia tak peduli.

“Aku pikir… kita bisa lanjut,” ucap Virgo pelan.

“Kurasa kita harus mundur... Yah, kita terpecah lagi,” kata sang ksatria wanita. Ricardo memilih netral, sementara Cruz masih syok. Sekarang, semuanya bergantung pada satu suara terakhir—Sei.

Semua mata tertuju padanya.

Sei berkeringat dingin, tapi ia menatap lurus ke depan dan menyuarakan pendapatnya:

“…Kita lanjut. Menurutku, Mercurius sengaja menyerang dari jauh supaya kita ketakutan dan mundur. Meski dia berhasil menembus penghalang, pasti dia tetap terpengaruh. Bisa jadi, bertarung di sini sebenarnya merugikan dia. Tadi Cruz-san pun berhasil menahan serangan karena kita berada di tempat ini. Kalau serangan itu terjadi di luar, penghalangnya sudah hancur sejak tadi.”

“Be—benar juga... Kalau dipikir begitu…” Cruz akhirnya menyadari.

“Karena itu, mari kita lanjut. Sekarang, dialah yang terdesak.”

Ketenangan Sei mengejutkan banyak orang. Ia mungkin belum kuat secara fisik, tapi penilaiannya terhadap situasi sangat tajam. Aries diam-diam mengangguk, sedikit menaikkan penilaiannya terhadap sang pahlawan muda.


(Bagian lucu tambahan — semacam cutscene komedi)

“Semuanya, siapkan item penyembuhan kalian! Ayo jalan!”

“Tunggu, Ruphas. Itu jebakan…”

“Gak masalah! Aku udah aktifin jebakannya!”

Megrez hanya bisa menghela napas pasrah melihat Ruphas melenggang santai melewati jebakan panah, dinding bergerak, dan bahkan api yang menyembur dari langit-langit. Dengan gaya otot-ototan khasnya, ia menilai lebih cepat menerima luka lalu sembuh, daripada melucuti jebakan satu per satu. Tindakan barbar yang mengerikan.


“Yah, aku gak sepintar itu… mungkin aja aku salah.”

“Tidak, kau benar. Kalau kita mundur, itu justru yang diinginkan musuh. Aku berubah pikiran. Aku juga setuju untuk lanjut.”

Gants pun mengubah pendapatnya. Dengan begitu, lima suara menyetujui maju, dan dua suara menolak. Keputusan akhir: mereka akan melanjutkan.

Nick dan si ksatria wanita hanya bisa mengangkat bahu—siap menghadapi bahaya yang ada di depan.

Waktu tidak berpihak pada mereka. Semakin lama mereka diam, semakin besar tekanan dari musuh. Karena itu, mereka harus melaju cepat dan memaksa musuh memperlihatkan diri sebelum kelelahan menumpuk.

“Ayo jalan! Cruz, minggir!”

Gants menarik Cruz, dan kelompok itu pun melaju menaiki gua spiral menuju puncak. Struktur gunung ini memang unik—berlubang di dalamnya, menyerupai menara spiral. Mereka tidak bisa terbang langsung ke atas, jadi satu-satunya jalan adalah melalui jalur dalam ini—benteng alami yang sempurna.

Musuh kemungkinan besar menunggu di puncak—tempat dari mana air berasal.

Sei benar. Mercurius telah memojokkan dirinya sendiri. Jika dia mengambil eliksir itu, dia juga tidak bisa kabur begitu saja—jalan keluarnya cuma satu.

“Gelombang kedua datang!”

Air kembali datang menggulung. Tapi kali ini, Virgo melangkah maju tanpa ragu, mengangkat tangannya.

“Vindemiatrix!”

Sekali lagi, air yang dikendalikan sihir itu lenyap begitu saja. Jean hanya bisa bersiul.

“Keren banget, gadis kecil! Kamu luar biasa!”

“Eh? Nggak juga, aku…”

“Jangan merendah. Percaya diri, dong. Kamu hebat!”

Akhirnya, mereka sampai di puncak.

Sisa-sisa golem penjaga tergeletak di sana, hancur. Di tengah ruangan, berdiri seorang pria tampan berambut air, memegang botol kecil berisi eliksir.

Itu dia—Mercurius, salah satu dari Tujuh Cahaya.

Mereka berhasil mengejarnya.

Sekarang giliran mereka untuk bertarung.


Catatan Penulis – Dua Ratus Tahun Lalu, Bersihkan Dungeon

Ruphas memicu jebakan! Sebuah lubang muncul!
Ruphas: “Apa?!” (terbang menghindar)
Alioth jatuh ke dalam lubang!
Megrez: “Alioth—!”

Ruphas memicu jebakan! Anak panah keluar dari dinding!
Ruphas: “Apa?!” (menghindar lagi)
Alioth kena panah!
Megrez: “Alioth—!”

Ruphas memicu jebakan! Golem petinju menyerang diam-diam!
Ruphas: “Apa?!” (lagi-lagi menghindar)
Golem menghantam Alioth dengan Dempsey Roll!
Makunouchi! Makunouchi!
Megrez: “Alioth—!”


Next: Pahlawan dan Virgo melawan Mercurius!
Saatnya Tujuh Cahaya menunjukkan kekuatan mereka melawan tim non-Ruphas dan non-Dua Belas Bintang!
Mereka tidak lemah… sungguh!

Aries: “Kita lihat saja. Selama Virgo-chan bisa handle, kita cukup nonton.”

...Tapi sepertinya kekalahan tetap tak bisa dihindari.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 80

 Bab 80: Reflektor Libra (Karkinos)

Petunjuk yang ditinggalkan Archer tersebar di berbagai sudut medan. Jejak-jejak samar itu semakin menguatkan kecurigaan Libra saat ia melacaknya satu per satu. Dan semakin dekat mereka ke tempat keberadaan Archer, kecurigaan itu berubah menjadi kepastian.

Jejak itu tidaklah alami. Ia dibiarkan di sana dengan sengaja.

Seseorang ingin ditemukan—oleh Libra.

Petunjuk-petunjuk itu begitu halus, nyaris mustahil terdeteksi oleh mata biasa. Tapi bagi Libra, potongan-potongan itu menyatu dengan mudah. Tak diragukan lagi, lawannya mengarahkannya ke sebuah pertemuan yang disengaja.

Tak ada tanda-tanda perangkap. Setelah ia menganalisis suhu, topografi, dan suara dalam radius beberapa kilometer, Libra memastikan bahwa lokasi ini aman. Setidaknya... secara teknis.

Archer bukan hanya sekadar pemanah ahli. Kekuatan sesungguhnya terletak pada penguasaannya atas medan tempur, pada kemampuannya menciptakan perangkap yang tak terduga. Ia menjadi penyeimbang bagi Ruphas dalam satu hal yang tak bisa dikuasai sang Master: serangan sihir berbasis Arcane. Senjatanya memang panah, tapi gaya bertarungnya lebih dekat ke sihir misterius.

Panah yang ia tembakkan hanya isyarat—undangan bagi Libra untuk datang.

Dan Libra memilih untuk menerimanya.

Ia tahu, kembali dan memanggil Ruphas hanya akan membuang waktu. Jika Archer benar-benar ingin menghindar, bahkan dia—Libra—akan kesulitan menemukannya lagi. Dengan kecepatan dan kelincahannya, dia bisa melarikan diri ke luar ibukota sebelum Libra sempat kembali.

Jadi Libra tetap melangkah, menelusuri setiap petunjuk yang tertinggal, dengan Karkinos mengikuti dari belakang.

Jejak kaki samar. Rumput yang rebah. Rambut yang tertinggal di semak.

Semua itu cukup. Semua itu mengarah pada satu tempat.

Sebuah hutan lebat. Medan yang sempurna untuk pertempuran dalam bayang-bayang. Medan yang menjadi favorit Archer.

Dan di sanalah dia.

"Kau datang, Libra."

"...Sagitarius?"

Ia menoleh ke arah suara itu. Seorang pemuda berdiri di sana—Chiron, komentator festival berburu.

Tapi Libra tak tertipu. Itu hanya ilusi, bayangan yang dibentuk oleh sihir misterius.

Ilusi itu memudar, dan sosok asli Sagitarius muncul. Separuh tubuh bawahnya adalah kuda, sementara bagian atas adalah pria bertubuh kekar. Centaur sejati. Rambut hitamnya dipotong pendek gaya militer, alis tebal menaungi mata yang tersembunyi di balik kacamata hitam. Sebatang cerutu terselip di bibirnya yang berjenggot kasar. Ia terlihat seperti pria paruh baya berusia empat puluhan, maskulin dan tenang.

Ia mengenakan jubah kamuflase penuh—buatan Ruphas dua abad silam. Tak memberikan perlindungan khusus, tak kebal terhadap sihir atau serangan status, tapi warnanya bisa menyatu dengan lingkungan. Cocok untuk menyelinap. Tapi bagi Libra, yang bisa mendeteksi panas tubuh dan napas, itu tak berguna.

"Jarang sekali. Kau muncul seperti ini... Kau, yang bahkan tak mau menunjukkan diri pada rekanmu sendiri."

'……'

"Katamu dulu, 'Pemburu sejati adalah yang membunuh sebelum mangsanya sadar ia sedang diburu.' Tapi sekarang kau malah berdiri di sini... membiarkan dirimu terlihat. Apa maksudmu?"

Libra dan Sagitarius memang sama-sama penyerang jarak jauh—tapi pendekatan mereka bertolak belakang. Libra adalah mesin pembantai. Ia memburu mangsanya secara terang-terangan, menekan dengan kekuatan brutal dari jarak jauh. Ia memberi peringatan, membangkitkan ketakutan sebelum menghancurkan lawan.

Sagitarius? Dia adalah bayangan. Ia membunuh dari kejauhan tanpa pernah terlihat. Sekali bidik, sekali mati. Seorang pembunuh, bukan pejuang. Bahkan saat bersama sekutu, ia hampir selalu menyamar.

Namun kali ini, ia menampakkan diri. Dan itu membuat Libra curiga.

“Aku... tak pantas bertemu Ruphas-sama sekarang. Itulah sebabnya aku memanggilmu.”

“Dari kata-katamu, kau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tuan kita.”

“Kau boleh menganggapnya begitu. Tapi tolong, dengarkan dulu penjelasanku.”

Tatapan mereka bersilangan. Udara di antara mereka terasa seperti akan terbakar. Di pinggir, Karkinos duduk tak berguna, bersandar pada pohon sambil menghela napas berat. Ia tahu, perannya hanya menjadi perisai dalam konflik sebesar ini.

“Aku bekerja sama dengan Leon.”

“…Dengan pengkhianat itu?”

Tanpa ragu, Libra sudah menggenggam senapan mesinnya.

Satu jawaban yang salah, dan peluru akan berdesing.

Tapi Sagitarius tetap tenang, ekspresinya tak berubah sedikit pun.

“Apa kau tahu... Mengapa kami centaur digolongkan sebagai binatang buas? Padahal, kami tak menyerang manusia. Tak menculik perempuan seperti para orc. Kami hidup tenang, damai.”

“Karena kalian tidak bipedal. Di dunia ini, humanoid didefinisikan berdasarkan bentuk manusia. Mereka yang bisa hidup berdampingan dengan manusia, yang menyerupai Dewi. Kalian... terlalu menyimpang dari bentuk dasar. Seperti merfolk, kalian dianggap monster.”

“Padahal... kami bahkan lebih bijak dari sebagian humanoid. Elf pun menyebut kami orang bijak dari hutan. Tapi tetap saja, kami diburu. Kami dihindari.”

Wajah Sagitarius sedikit mengeras. Suaranya berubah dalam.

“Aku ingin mengubah dunia ini. Dan kini, aku punya alasan untuk melakukannya.”

“Kau memilih berdiri di sisi Leon?”

“Ya. Jika dia menjadi penguasa, hak kami—makhluk beast magic—akan diperjuangkan. Kaum centaur akan hidup lebih baik dari sekarang.”

“Kau sudah berubah, Sagitarius. Dahulu kau tak peduli pada hal seperti ini.”

“Sudah dua ratus tahun, Libra. Aku bukan diriku yang dulu. Sekarang... aku punya sesuatu yang ingin kulindungi.”

Leon memang punya ambisi untuk menggantikan Ruphas dan Raja Iblis. Jika ia berhasil menguasai dunia, mungkin nasib beast magic akan berubah. Tapi dunia itu... akan menjadi dunia tanpa peradaban. Hanya kekuatan yang akan bertahan. Tanpa kebijaksanaan. Hanya kelangsungan hidup yang berlaku.

Itu bukan dunia yang Ruphas inginkan.

“Leon tak punya sifat seorang raja. Dia cuma pemimpin gerombolan. Tak lebih.”

“Aku tahu. Tapi aku ada di sisinya... untuk menjadi kebijaksanaan yang tak ia miliki.”

“Kau salah. Dia tak akan mendengarkan. Dia makhluk naluriah. Benar-benar... beast magic sejati.”

Senapan mesin diarahkan. Ujung laras berkilat dingin.

“Peringatan: jika kau tidak kembali, kau akan dianggap musuh. Dan dieliminasi.”

“Maaf... Tapi jika itu demi anak-anak itu—aku akan menentang bahkan... Ruphas-sama!”

Sagitarius menarik busurnya. Panah api menyala, dilepaskan.

Itu bukan sihir kayu—melainkan sihir atribut yang disesuaikan.

Busur yang ia gunakan adalah Kaus Media, hadiah dari Ruphas sendiri. Satu-satunya busur di dunia yang selalu mengenai titik lemah lawan. Libra, yang biasanya kebal terhadap sihir kayu, kini justru menjadi sasaran empuk serangan api.

Logam dikalahkan oleh Api.

“...Karkinos, Barrier!”

“Haah!?”

Tanpa ragu, Libra menarik Karkinos dan menjadikannya tameng. Tubuh keras Karkinos menangkis panah api.

Karkinos mungkin tidak hebat dalam hal lain, tapi dalam pertahanan... dia yang terbaik di antara Dua Belas Bintang Surgawi.

“Niat bermusuhan terkonfirmasi. Sagitarius diklasifikasikan sebagai musuh. Memulai eliminasi.”

Senapan mesin mengeluarkan rentetan peluru. Sagitarius melompat ke balik pepohonan, menghindar lincah. Ia sudah memperkirakan semua ini.

Libra mengganti senjata, kali ini ke mode senapan jarak jauh. Ia menarik Karkinos dan melompat masuk ke dalam hutan, peluru mengejar bayangan.

Panah air, tombak tanah, serangan logam—semua dibelokkan oleh tubuh Karkinos.

“Ya Tuhan! Jangan jadikan aku tameng terus-menerus begini!”

“Diam dan tahan.”

Sementara itu, Libra meluncur menerobos dinding api, dan keluar dari sisi lainnya, mengacungkan senapan ke arah Sagitarius.

Peluru khusus ciptaan Ruphas meluncur deras, sebagian menarget langsung, sebagian dipantulkan untuk menciptakan jebakan. Sebagian lagi ditembakkan untuk menumbangkan pohon dan memotong rute pelarian Sagitarius.

Tapi centaur itu melesat melewati semua rintangan, lebih cepat dari yang bisa dibayangkan.

Ia ingin menggunakan Astraea, senjata pamungkas, tapi itu tak boleh tanpa izin Ruphas.

Jadi ia akan menyelesaikan ini dengan kekuatan sendiri.

Libra menyerahkan senapan ke Karkinos, lalu membuka segel di lengannya.

“Memilih keterampilan... membuka pembatas di lengan kanan. Skala Kanan—Zubenelgenubi, lepaskan!”

Lengan kanannya berubah bentuk, menjadi meriam besar.

Di matanya, Sagitarius sudah terkunci. Lock-on aktif.

“Akurasi: enam puluh dua persen. Tembak.”

Semburan listrik ungu menyala dari laras. Meriam itu meledak, menyapu segala pohon di jalurnya.

Sagitarius berhasil menghindar, tapi jalannya kini terbuka.

Libra menyalakan pendorong di punggung, berubah menjadi peluru manusia yang melesat lurus ke arah centaur itu—

—dan menghantam wajah Sagitarius dengan kepala baja miliknya.

Novel Bos Terakhir Chapter 79

 Bab 79: Para Petualang Mulai Melarikan Diri

Sihir air, Asparas.

Sihir ini mengubah mana menjadi air, membentuknya menjadi seekor angsa raksasa yang menyerang targetnya. Keistimewaannya terletak pada kemampuannya mengejar musuh—angsa itu akan terus memburu hingga mengenai sasarannya. Kekuatan, jangkauan, dan akurasinya luar biasa, namun sihir ini sangat sulit dikuasai karena konsumsi mana yang tinggi.

Bagi manusia, hanya untuk memanggilnya saja butuh waktu persiapan beberapa menit. Tapi iblis jantan itu... Ia meluncurkannya tanpa kesulitan seolah hanya meniup napas. Itu saja sudah cukup untuk menggambarkan jurang kekuatan di antara mereka.

"Force Barrier!"

Sebuah dinding cahaya muncul sebelum angsa air sempat menyentuh mereka—pelindung suci yang dibentuk Virgo melalui sihir ilahi. Namun, penghalang yang dibuat tergesa-gesa itu mustahil bertahan lama. Biasanya, hanya perlu beberapa saat hingga ia runtuh.

Namun di antara dinding dan angsa, nyala api berkilau beraneka warna tiba-tiba membara, menguapkan air sebelum menyentuh penghalang. Api itu lalu berbalik, seperti makhluk hidup, dan menyambar lengan kanan si iblis. Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya Virgo dan sang iblis yang sempat menyaksikannya.

"Tsk! Entah siapa yang menyelinap, tapi kelihatannya aku sudah bikin marah orang yang seharusnya tidak kuganggu... Aku tahu batas kekuatanku. Sudah saatnya mundur."

Tanpa lengan dan tanpa perlawanan, iblis itu melompat menjauh, lenyap dalam sekejap. Aries bisa saja mengejarnya, tapi ia hanya memandangi arah kepergiannya tanpa bergerak. Ia tahu, meski mudah baginya untuk mengejar dan mengalahkan lawan itu, tugas yang diberikan tuannya adalah melindungi Virgo. Jika dia meninggalkan posisinya dan sesuatu terjadi, maka dialah yang patut disalahkan. Lawan seperti itu bisa diurus kapan pun. Tak perlu terburu-buru.

"Eh? Dia... mundur?"

"Kelihatannya begitu."

Saat Sei menatap kosong ke arah iblis menghilang, wanita berbaju zirah bikini—yang bahkan dalam kondisi genting seperti ini tetap tampil mencolok—mengkonfirmasi hal itu. Pertarungan itu memang berlangsung singkat, tapi satu hal menjadi jelas: kekuatan mereka tak sebanding. Lawan itu jelas bukan iblis biasa.

Kaineko terjatuh dan mengerang. Napasnya tersengal.

"Rafinan... dan sihir air yang sempurna itu... Jangan-jangan, dia... Mercurius? Salah satu dari Tujuh Tokoh Terkemuka...?"

Rasa sakit di tubuhnya mulai mereda, dan wajahnya pun terlihat sedikit lebih tenang.

"Mercurius?"

Virgo mengulang nama itu, dan Kaineko mengangguk pelan.

"Aku hanya mendengar desas-desus... Tapi katanya, ada iblis bertubuh cair yang tak bisa dilukai serangan fisik. Ciri-cirinya cocok persis. Dan sihir air tadi, terlalu halus untuk pengguna biasa..."

"Tu—Tujuh Tokoh!? Serius!? Tidak, aku tidak mau ikut lagi! Melawan mereka? Sekuat apapun kau, tidak akan cukup!"

"A—Aku juga! Ini bukan misi petualang biasa! Lebih baik kirim pasukan kerajaan atau prajurit resmi!"

Begitu nama Mercurius disebut, tenda itu langsung dipenuhi suara kekacauan. Beberapa petualang berdiri, berteriak, lalu pergi begitu saja. Tak ada yang bisa menyalahkan mereka. Tujuh Tokoh Terkemuka—Seven Luminaries—adalah kekuatan elit dari ras iblis. Hanya dengan tujuh orang saja, mereka sanggup menekan umat manusia ke ambang kehancuran.

Hanya mendengar nama mereka saja sudah cukup untuk membuat siapa pun gemetar. Dan meskipun mereka tampak mudah dikalahkan oleh Ruphas atau Aries, itu karena Ruphas dan para pengikutnya sendiri adalah makhluk luar biasa yang berada di luar nalar. Para petualang itu... mereka hanya manusia biasa.

Satu per satu mereka mundur, hingga akhirnya yang tersisa hanyalah tiga orang: Virgo, Sei, dan Aries—yang masih menyamar dalam balutan kostum hitam.

“I-Ini tidak baik... Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Jujur saja, aku juga merasa kita lebih butuh tentara terlatih daripada sekadar petualang.”

Kaineko terduduk lesu melihat para petualang pergi. Tapi ia juga tahu, ia tak bisa menyalahkan mereka. Para petualang itu bukan prajurit. Mereka tak punya pelatihan militer, tak ada senjata standar. Hanya manusia tangguh yang mencari nafkah dengan memburu binatang buas.

Senjata mereka murahan, perlengkapan seadanya. Kadang ada yang menemukan senjata dari reruntuhan kuno, tapi mereka langka. Tidak seperti di game, tak ada petualang sungguhan yang membawa senjata legendaris.

“Kalau bisa, kami juga ingin mengirim tentara. Tapi... kami tak bisa. Itu sebabnya kami mengumpulkan petualang.”

“Tak bisa? Kenapa?”

“Gunung itu tempat suci. Ada penghalang suci yang menolak semua beastkin. Termasuk kami.”

Mendengar itu, Sei teringat penjelasan dari Cruz. Di dunia ini, beastkin seperti orc, pada dasarnya tak jauh berbeda dari binatang sihir—makhluk yang bermutasi akibat pengaruh mana. Bedanya, beastkin bisa hidup berdampingan dengan umat manusia. Orc tidak. Karena itu, satu dianggap sebagai makhluk ras humanoid, satunya sebagai monster.

Sederhananya, apa pun yang efektif melawan binatang sihir... juga efektif melawan beastkin.

“Tapi kita beruntung kali ini,” lanjut Kaineko. “Penghalangnya bukan murni menolak makhluk hidup, tapi mana. Jadi iblis pun akan kesulitan masuk. Eliksir itu tidak akan dicuri dengan mudah.”

“Penghalang anti-mana, ya...”

Sei menunduk, memikirkan langkah selanjutnya. Mereka tak bisa membawa Friedrich, satu-satunya anggota terkuat tim mereka, karena dia pun termasuk beastkin. Sementara itu, Virgo melirik Aries dengan cemas. Tapi Aries hanya mengangguk ringan. Ia tahu, penghalang sejenis itu tak akan bisa menghentikan makhluk sekelas Dua Belas Bintang Surgawi. Apalagi Tujuh Tokoh Terkemuka, mereka pasti bisa menerobos dengan kekuatan brute force jika perlu.

Tapi Aries memilih untuk diam.

“Tapi kita juga tak punya banyak waktu. Sekarang mereka tahu tentang eliksir itu... cepat atau lambat mereka akan mencarinya. Mungkin dengan mencuci otak manusia dan menyusup lewat cara lain.”

“Jadi kita harus bergerak sekarang, ya?”

Tanpa eliksir itu, naga penjaga akan lenyap, dan negara ini akan jatuh. Tapi jika eliksir jatuh ke tangan iblis, dunia mungkin akan runtuh lebih cepat. Dengan tekad di hati, Sei bangkit dan melangkah keluar.

“Ke—Kau mau ke mana?”

“Tunggu sebentar. Aku harus memanggil teman-temanku.”

Tapi bahkan sebelum ia sempat keluar, suara langkah kaki terdengar. Di luar, para anggota partynya sudah berkumpul, seolah tahu ia membutuhkan mereka. Pasukan ranger rahasia memberi acungan jempol—mereka telah memberi kabar lebih dulu.

"Sepertinya sudah waktunya kita turun tangan, Sei."

Jean menyeringai, melangkah masuk bersama Gants, Cruz, Ricardo, sang Ksatria Wanita (yang dijuluki Gorilla), dan Friedrich. Party sang Pahlawan telah berkumpul. Bahkan untuk kedua kalinya, pemandangan ini tetap terasa menggetarkan.

“S-Siapa kalian?”

“Aku tentara bayaran, Gants. Tapi untuk sekarang, anggap saja aku teman sang Pahlawan. Ini soal kelangsungan bangsa. Kami tak akan tinggal diam.”

Mendengar nama Gants saja sudah cukup membuat mata Kaineko melebar. Bagi mereka yang pernah mencicipi medan tempur, nama itu tak asing—tentara bayaran terkuat. Tapi yang lebih mengejutkannya adalah... makhluk besar di belakangnya.

“Ka—Kau... Fried!? Kau kembali!”

"Grrr..."

“Sudah lama ya... Kami dengar cerita keberanianmu selama ini.”

“Gah!”

“Dia baik-baik saja. Kalian bisa ngobrol nanti.”

"Grrah!"

“Kalau kau rindu, katakan saja. Jangan buat dia menunggu selamanya.”

"Ah, maaf! Tolong, bisa bicara dalam bahasa yang kami mengerti!?”

Percakapan antara Friedrich dan Kaineko terus berlangsung dalam geraman. Sei memelototi mereka, kebingungan. Tak ada yang bisa menyalahkannya. Untungnya, si Ksatria Wanita maju dan menerjemahkan.

“Sepertinya, kucing liar itu adalah kakak dari Friedrich. Mereka baru saja reuni setelah lama berpisah.”

“Kakak!?“ Sei terperanjat, lalu menoleh bolak-balik di antara keduanya.

Kaineko tingginya hanya sekitar seratus tiga puluh sentimeter, sementara Friedrich—seekor harimau humanoid—tinggi menjulang lebih dari dua setengah meter. Perbedaannya... seperti kucing rumahan dan harimau dewasa.

Melihat tatapan Sei, Kaineko menggaruk wajahnya, malu.

“Oh, ya... Kami memang terlihat beda, ya? Aku mirip ayahku, sementara Friedrich... dia warisi ibuku.”

“Bukan itu masalahnya…”

Ekologi beastkin benar-benar misterius. Tapi sekarang bukan saatnya mengurusi garis keturunan. Setelah sedikit percakapan pribadi, akhirnya mereka saling menggenggam tangan.

“Sepertinya pembicaraan sudah selesai. Kami diizinkan ikut.”

Nama-nama besar seperti Pahlawan dan Pedang Suci sangat berguna di saat seperti ini. Party terbaik telah berkumpul. Mereka sepakat untuk menuju Hnitbjorg bersama.

"Kalau begitu... biarkan aku yang membimbing kalian. Ayo, para pemberani!"

Padang Rumput Draupnir yang Luas

Di tengah hamparan rumput hijau yang seolah tak berujung, dua sosok berjalan perlahan namun pasti: Libra dan Karkinos. Misi mereka sederhana—menemukan Archer. Tapi kenyataannya, hanya Libra yang benar-benar mencari. Karkinos lebih seperti beban, berjalan tanpa arah dan hampir tak membantu apa-apa.

Libra mengamati sekeliling dengan mata tajamnya, lalu berhenti. Di tangannya, ia mengambil sesuatu dari tanah.

Sebuah anak panah.

Benda itu, dulunya, adalah senjata yang menumbangkan seekor dinosaurus sebelum Libra sempat menembak. Diduga kuat, panah itu dilepaskan oleh Archer. Benda itu sendiri tak berguna lagi. Namun bagi Libra, yang penting bukan panahnya—melainkan informasi yang dibawanya.

Dengan sudut jatuh panah sebagai petunjuk, ia mulai melakukan perhitungan. Angin, arah tembakan, resistansi udara—segala data itu berdansa dalam penglihatannya, membentuk angka dan grafik yang tak terlihat oleh mata biasa.

Satu titik akhirnya terpilih. Dalam bayangan Libra, sebuah lingkaran muncul menandai lokasi yang paling mungkin sebagai tempat Archer menembak. Tak ada penanda nyata, tapi bagi Libra, itu sudah cukup.

"...Di sana, ya?"

Tempat itu jauh lebih dekat dari yang ia perkirakan. Jika memang Archer yang melepaskan panah itu, seharusnya ia bisa menembak dari jarak yang lebih jauh. Tapi nyatanya, lokasi asal tembakan tak jauh dari panggung komentator di festival perburuan.

Libra melangkah menuju lokasi itu, berpikir.

Archer mungkin sudah menghapus jejaknya, tapi tak ada penghapusan yang sempurna. Ada bekas pijakan samar di tanah. Beberapa helai rumput rebah, tergilas. Sepotong kecil bulu atau rambut mungkin terlepas. Untuk mata biasa, itu tak berarti. Tapi bagi Libra, semua itu adalah petunjuk berharga.

"Ayo pergi, Karkinos."

"Y-Ya!"

Dengan Karkinos—yang jujur saja lebih mirip beban daripada partner—Libra kembali bergerak. Ia akan terus menelusuri jejak, mengikuti sisa-sisa keberadaan Archer, sedikit demi sedikit.

Begitu Libra memulai perburuannya, hampir mustahil untuk lolos darinya. Bahkan jika buruannya adalah salah satu dari Dua Belas Bintang Surgawi, pengejaran ini tak akan kenal ampun.