Bab 9 : Rampasan Perang
Malam turun di Kota Vulcan, dan hutan barat kembali diselimuti bau anyir darah. Tubuh-tubuh bergelimpangan, ditembusi peluru, berserakan di tanah becek. Sang pemimpin kelompok, satu-satunya yang masih hidup, terhuyung dengan luka di tubuhnya, sampai akhirnya berhadapan dengan kapten pemburu, Gregor, yang pedangnya kini menancap di mulut pria itu.
“Ah… ah…”
Mata merah darah pria itu melotot, wajahnya terdistorsi oleh amarah. Namun Gregor lebih cepat. Dengan sekali hentakan dan tebasan, rahang bawah pria itu terlepas. Darah menyembur deras, tubuhnya bergetar hebat sebelum ambruk ke tanah.
Gregor mengibaskan pedang, menyingkirkan darah yang masih menetes. Tatapannya dingin meneliti tubuh yang masih berkelojotan. Baru saja hendak menyarungkan senjatanya, telinganya menangkap gerakan samar dari semak terdekat.
“Siapa di sana?!”
Tanpa ragu, ia melempar pedang berlumur darah ke arah sumber suara. Senjata itu lenyap di antara dedaunan. Namun tak ada jeritan.
Melenceng? Atau hanya perasaanku?
Gregor sempat termenung. Namun saat itu juga, tubuh pria yang seharusnya sudah mati merangkak bangun kembali. Gerakannya aneh, kepala terangkat, memperlihatkan wajah yang lebih menyeramkan dari mayat biasa.
Rahang bawahnya hilang, lidah menjulur dari langit-langit mulut, trakea dan pembuluh darah leher terbuka jelas. Darah masih muncrat, tapi bukannya mati—ia justru bangkit, mengulurkan tangan ke arah kepala Gregor.
“Apa—”
Dalam sekejap, pria itu menerjang. Gregor sempat mengelak, tapi tangannya masih menyentuh wajah Gregor, membuat topeng besinya terlepas.
“Rrrghh!!”
Suara parau dan mengerikan keluar dari tenggorokan yang rusak. Tangan satunya terangkat, hendak meremukkan wajah Gregor yang terbuka.
Bang!
Dentuman senapan memecah malam. Kepala pria itu hancur berantakan, darah dan serpihan otak menyembur ke segala arah, membasahi bahkan tubuh Gregor sendiri. Mayatnya ambruk, kali ini tak bergerak lagi.
Tak jauh, seorang pemburu perempuan berdiri dengan senapan mengepul asap di tangannya.
“Kau terlalu ceroboh, Gregor. Craver tidak akan mati kecuali kau mengenai titik vitalnya.”
Gregor menghela napas, menyeka darah di wajah. “Ugh… Salahku, Elena. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup untuk diinterogasi. Tapi aku kehilangan fokus sebentar… dia sempat dapat celah.”
“Fokusmu buyar?” Elena menaikkan alis, heran.
“Ya…” gumam Gregor, menoleh ke semak tempat suara tadi. Ia meraih kembali pedangnya yang menancap di tanah—tak ada apa pun di sana.
Hanya bayangan? Atau…
Gregor menyarungkan pedang. “Bereskan tempat ini. Kita kembali ke Igwynt.”
…
Di tepi hutan barat, tak jauh dari sana, seorang gadis berambut putih duduk di atas batu, mata terpejam, wajahnya serius.
Suara gesekan ranting terdengar. Dari balik semak, seekor anjing hitam besar keluar, tubuhnya penuh luka dan sobekan. Rahangnya mencengkeram sebuah koper.
Dorothy membuka mata, melompat turun dari batu. Ia menepuk kepala anjing itu dengan lembut.
“Kerja bagus. Anak pintar.”
Anjing itu menjatuhkan koper di kakinya. Dorothy tersenyum tipis, lalu menghela napas.
“Sekarang… istirahatlah dengan tenang.”
Ujung jarinya menyentuh cincin di tangannya. Seketika, cahaya redup berkilau, dan kehidupan palsu di tubuh anjing itu lenyap. Ia ambruk tanpa daya.
Anjing itu memang bukan makhluk hidup. Ia hanyalah salah satu boneka mayat koleksi Edrick yang Dorothy temukan di rumahnya siang tadi.
Dengan kunci dari jasad Edrick, Dorothy berhasil masuk ke rumahnya. Di sana, ia menemukan tumpukan mayat hewan—bahkan manusia—serta catatan-catatan eksperimen Edrick tentang Cincin Marionet Mayat.
Catatan itu mengungkap banyak hal: cincin mampu mengendalikan hingga dua jasad sekaligus dalam radius tiga kilometer. Selama organ indera masih utuh, penggunanya bisa melihat dan mendengar melalui jasad itu. Pengaruh cincin juga bisa memperlambat pembusukan.
Anjing hitam ini hanyalah salah satunya. Dan malam ini, Dorothy memanfaatkannya untuk menyelinap di tengah pertarungan organisasi misterius dan Biro Serenitas.
Ya—sejak awal Dorothy tak pernah berniat jadi penonton. Ia sudah mengincar sesuatu: hadiah yang dijanjikan organisasi untuk Edrick. Hadiah yang konon menjadi tiket ke ranah di luar—syarat untuk bergabung dengan mereka.
Kini koper itu ada di tangannya. Rampasan perang.
Dorothy menunduk pada tubuh anjing yang telah mati untuk kedua kalinya. Namun matanya berhenti pada luka di punggung bawah anjing itu.
Luka itu berbeda. Segar. Baru saja terjadi.
Ia mengenalinya. Itu bekas tebasan pedang pendek yang sempat melayang ke semak-semak saat pertempuran.
Dorothy terdiam. Lalu tersenyum getir.
“Sepertinya kau cukup berhasil membangun hidup di kota ini selama beberapa tahun, ya… Kak Gregor.”
No comments:
Post a Comment