Grimoire Dorothy Chapter 8

Bab 8 : Penyergapan

Mendengar ucapan Elena, Gregor menghela napas panjang, bersandar di kursinya.

“Phew… Semoga saja konvoi adikku tertahan dua hari di jalan. Kalau dia tiba di Igwynt dan tak menemukanku di sana… dia bakal benci setengah mati.”

Gregor mengusap pelipis, wajahnya lelah. Elena menatapnya sejenak lalu berkomentar pelan.

“Sepertinya hubunganmu dengan adikmu sangat baik.”

“Kurang lebih… Orang tua kami meninggal ketika masih kecil. Dia satu-satunya keluargaku. Sekarang, setelah aku berhasil sedikit dikenal di kota, aku ingin membawanya kemari untuk hidup lebih baik. Yang terpenting, aku ingin dia bersekolah. Kalau hanya tinggal di desa selamanya, hidupnya akan sia-sia.”

Nada suara Gregor mengandung kehangatan dan sedikit nostalgia. Elena menimpali, suaranya penuh nada tajam.

“‘Sedikit dikenal’, katamu? Kapten, kau adalah pemimpin skuad termuda dalam sejarah Divisi Pemburu Igwynt, dan yang termuda dengan peringkat magang. Bahkan kepala biro bilang kau punya masa depan cerah. Bagaimana bisa menyebut itu hanya ‘sedikit dikenal’?”

“Oh, Elena, sudahlah. Memang aku cukup baik di biro, tapi pekerjaan kita tak bisa diumumkan. Bagi kebanyakan orang, aku hanyalah orang biasa.”

Gregor menyilangkan kaki, meraih rokok dari laci meja kepala polisi, menyalakannya, lalu mengembuskan asap.

“Merokok di depan wanita itu kurang sopan, tahu…” Elena mendengus kesal. Gregor hanya melirik dan menjawab santai.

“Ya, ya… Aku cuma butuh sedikit asap karena suasana hatiku buruk. Lagi pula, bukankah kau bilang di dalam skuad kau menganggap dirimu salah satu dari kami?”

“Hah… Kuharap kasus ini cuma polisi lokal yang kalut. Semoga besok kita bisa pulang.”

Gregor mengembuskan asap lagi, suaranya murung. Tepat saat itu, langkah tergesa terdengar dari luar. Seorang anggota skuad pemburu bergegas masuk dengan amplop di tangan.

“Kapten, kami menemukan ini di tubuh mayat!”

Gregor segera mematikan rokoknya, menerima amplop itu. Wajahnya mengeras saat membaca, sementara Elena berdiri di belakangnya, matanya tajam menatap baris terakhir.

“Piala Darah…” gumam Gregor lirih. Elena menutup senyum tipis.

“Sepertinya kita tidak jadi pulang besok.”

Malam berlalu, siang datang, lalu kembali berganti malam. Vulcan, setelah hiruk-pikuk siang, kembali ditelan sepi.

Di barat kota terbentang hutan jarang, dulunya bagian dari rimba besar sebelum ditebang habis demi kebutuhan kayu. Kini tinggal belukar dengan pepohonan jarang. Rumor menyebut tempat itu kuburan rahasia geng-geng Vulcan, membuat warga enggan mendekat.

Di tengah hutan, sebuah tanah lapang kecil. Tiga—empat orang berdiri sunyi, seolah menunggu.

Mereka berpakaian berbeda-beda: ada yang seperti pekerja, ada yang seperti pria terhormat. Jumlah mereka tak sampai lima. Namun posisi mereka membentuk lingkaran longgar, saling berjaga.

Di tengah, seorang pria paruh baya berjas panjang dan topi bowler berdiri, berkumis tipis dan berkacamata. Di tangan kirinya sebuah koper, di kanan sebuah arloji yang terus ia intip. Begitu jarum bertemu tepat di angka dua belas, ia mendongak, mengamati sekitar. Tak ada yang datang. Alisnya berkerut.

“Pak, masih belum ada tanda-tanda. Apa kita dibohongi?” tanya seorang pria kekar berpakaian pekerja dengan nada rendah.

Pria berkacamata itu menjawab datar.

“Cuma bandit lokal. Tak mungkin berani. Pasti ada yang salah. Mundur. Kita tak perlu menunggu lagi.”

“Baik…”

Namun saat mereka bersiap pergi, dari semak-semak sekitar, sepasang mata mengawasi tajam.

“Mereka mundur. Jangan tunggu. Serang sekarang.”

Perintah lirih terdengar. Sebuah jari menarik pelatuk.

Bang!

Muncul semburat api di kegelapan. Peluru melesat tepat ke arah kepala pria berkacamata dari belakang. Sekejap sebelum tertembak, ia seakan menyadari bahaya, menunduk. Peluru hanya menggores kepalanya, topinya beterbangan.

“Penyergapan!!”

Darah mengucur dari pelipis, pria itu meraung. Namun sebelum anak buahnya bisa bereaksi, dari semak-semak bermunculan sosok bertopeng besi, senapan teracung.

Rentetan tembakan memecah malam. Orang-orang di lapangan roboh satu per satu. Hanya pria berkacamata yang masih berdiri, meski peluru menembus perutnya.

“Bangsat-bangsat Biro Serenitas!”

Dengan darah menetes dari mulut, ia melempar kopernya, lalu berlari secepat bayangan, tak terpengaruh luka.

Seorang pemburu melepaskan senapan, menarik revolver, melepaskan tembakan cepat. Dua peluru lagi menancap. Namun pria itu tetap mendekat, matanya liar.

“Ken—yang!”

Mulutnya meregang tak wajar, siap merobek leher sang pemburu. Namun gigi yang hendak menggigit hanya menghantam baja.

“Ugh… Tak peduli sudah berapa kali kulihat, tetap saja menjijikkan. Craver dari Piala Darah…”

Tanpa disadari siapa pun, Gregor sudah berdiri di sampingnya. Pedang di tangannya menembus vertikal dari mulut pria itu. Darah muncrat, gigi berderit melawan baja.

Mata pria itu membelalak, baru menyadari keberadaan Gregor.

“Sha…der…”

Suara patah keluar bersama darah dari mulutnya.

Saat perhatian semua tertuju pada duel itu, sebuah bayangan menyelinap dari balik semak. Seekor anjing hitam besar berlari cepat, tubuhnya penuh luka menganga, jelas sudah mati.

Tanpa suara, anjing mayat itu meraih koper yang tergeletak dan membawanya lari kembali ke rimbunan gelap.

No comments:

Post a Comment