Grimoire Dorothy Chapter 79

Bab 79: Pengkhianatan

Pagi di Igwynt begitu ramai. Jalanan penuh hiruk-pikuk, dan lantai bawah tanah Menara Cypress Fir dipadati aktivitas.

Di dalam Biro Ketentraman, orang-orang sibuk lalu-lalang. Di sudut aula utama, berdiri sebuah pintu besi berat. Meja kerja di dekatnya kosong, tak seorang pun menjaga.

Dalam keramaian itu, tak ada yang menyadari pintu besi yang tadinya rapat perlahan terbuka, memperlihatkan sosok yang bergerak hati-hati.

Seorang pria berkacamata dengan penampilan seperti cendekiawan—Brandon—muncul sambil menenteng koper. Ia menutup pintu rapat-rapat, lalu menyapu ruangan dengan pandangan waspada.

“Sejauh ini baik-baik saja. Tidak ada yang mencurigai. Aku sudah mengambil sebanyak mungkin. Inilah saat yang menentukan.”

Dalam hati, ia menggenggam erat koper itu. Dari Ruang Tersegel milik Biro, ia mencuri dokumen rahasia, wadah spiritual, dan artefak mistik. Semua itu akan jadi bekal dan pijakan barunya di organisasi tempat ia membelot.

Misi ini adalah titah dari Buck: mencuri sebanyak mungkin dari Ruang Tersegel ketika Direktur Biro dan Regu Pemburu sedang tak ada. Separuh misi sudah tercapai. Tinggal satu langkah terakhir—keluar membawa koper tanpa ketahuan. Itulah yang paling berbahaya.

Setiap pintu keluar Biro dijaga oleh Lampu Penerang. Cahaya lampu itu bisa menembus benda dan mengungkap jejak spiritual. Bila mendeteksi jejak yang tak terdaftar, lampu akan menyalakan alarm dan mengguncang seluruh Biro.

Karena itu, pasukan Beyonder dari luar tak pernah bisa menyusup, dan benda mistik pun sulit dibawa keluar.

Biasanya, Brandon menyimpan sebotol kecil obat Chalice. Jejak spiritualnya lemah, ditahan dalam tabung penangkal bayangan, sehingga aman melewati lampu asalkan ia tak terlalu dekat. Tapi kali ini berbeda. Isi koper memancarkan aura spiritual ratusan kali lebih kuat. Mustahil lolos dari lampu tanpa menyalakan sirene.

Namun Brandon sudah punya rencana.

Ia menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari sakunya—jari manusia yang terpotong. Itu adalah wadah spiritual Chalice yang dulu disita saat penggerebekan markas Burton dan disimpan di Ruang Tersegel. Brandon sengaja mencurinya, tak menaruhnya di koper. Itulah kunci pelariannya.

Melirik rekan-rekannya yang sibuk, Brandon menunggu momen lengah. Diam-diam ia memasukkan jari itu ke mulut, mengunyah tanpa ragu, lalu menelannya. Setelah itu, ia menggenggam koper erat-erat dan berjalan menuju salah satu pintu keluar.

Pintu itu terjauh dari Lampu Penerang. Ia tetap harus melewati zona deteksi, tapi setidaknya bisa menunda waktu terungkap sampai detik terakhir.

Brandon mempercepat langkah. Saat mendekati zona deteksi, ia merogoh saku dan mengeluarkan Sigil Pemangsa—barang sitaan lain dari Ruang Tersegel. Ia menempelkannya di kening. Simbol itu terbakar, menorehkan tanda Chalice di dahinya.

“Lindungi aku, O Cawan Darah Agung...” bisiknya.

Sekejap, aura Chalice dalam dirinya menggelegak. Tubuhnya mengeras, kekuatannya bertambah. Ia melesat menembus zona deteksi.

Lampu Penerang terdekat berkelip liar, dan sejurus kemudian alarm meraung di seluruh Biro. Orang-orang menoleh kaget ke arah lampu yang menyala.

Mereka melihat Brandon, berlari sambil menenteng koper, menembus pintu keluar.

“Ada yang menyelundupkan barang terlarang! Kejar dia!” seru salah satu anggota Biro. Sekelompok orang langsung mengejar.

Brandon, dengan tubuh diperkuat sigil, berlari menuruni tangga dua anak tangga sekaligus. Ia menembus pintu rahasia hingga ke lantai dasar Menara Cypress Fir, berlari kencang menuju lobi utama.

Di lobi, Ny. Ada sedang duduk di meja resepsionis, memperhatikan buket bunga yang baru dikirim. Ketentramannya buyar ketika lonceng alarm kecil di mejanya berdering nyaring.

“Apa lagi sekarang?” gerutunya. Tepat saat itu, langkah terburu-buru terdengar. Ia menoleh—Brandon, wajah panik, koper di tangan, berlari menuju pintu utama.

Sekejap, Ada sadar apa yang terjadi. Ia bangkit, meraih revolver dari laci, membidik punggung Brandon.

“Ke mana kau bawa barang Biro, brengsek?!” teriaknya, melepaskan tembakan bertubi-tubi.

Dentuman senjata membuat warga sipil menjerit, berhamburan panik. Brandon terkejut oleh serangan tak terduga itu, tapi terus berlari.

Ada melepaskan lima peluru penuh amarah. Empat meleset, namun tembakan terakhir menghantam tangan Brandon, memaksanya menjatuhkan koper. Isinya berhamburan di lantai.

Menggertakkan gigi, Brandon buru-buru menutup koper, menyambar sisa yang bisa diselamatkan, lalu kabur. Ketika Ada mencapai pintu, ia sudah lenyap di jalanan luar.

Di sebuah gang sunyi di kota atas Igwynt, Brandon terhuyung, napasnya memburu. Ia memastikan tak ada yang membuntutinya, lalu bersandar di dinding, terengah.

Efek sigil sudah hilang. Pengejaran panjang menguras tenaganya. Ia butuh waktu memulihkan diri sebelum ke titik pertemuan dengan organisasi barunya.

Tangannya yang berlumuran darah gemetar. Dua jarinya hilang ditembak Ada. Brandon menatap sisa jari itu, matanya berkilat penuh dendam.

“Bajingan tua... suatu hari, aku sendiri yang akan membunuhmu.”

Ia mengunci koper, menstabilkan napas, lalu melangkah ke tengah gang.

“Bersabarlah... Begitu aku jadi Beyonder, semua akan kubalas.”

“Sayang sekali. Kau takkan hidup sampai hari itu.”

Suara dingin terdengar dari belakang.

Brandon menoleh cepat. Sosok pria kurus berhidung bengkok berdiri di sana, mengenakan mantel abu-abu dan topi.

“Kau...” Brandon tergagap.

Pria itu tak menjawab, hanya menusukkan pisau ke dadanya.

Mata Brandon membelalak, tubuhnya ambruk ke genangan air.

Pria itu—Edrick—menyalakan rokok, menghembuskan asap sambil berucap pelan.

“Pengkhianat hanya punya satu akhir, bukan begitu, Brandon?”

Dari genangan itu, tubuh Brandon bergetar. Ia bangkit perlahan, mencabut pisau dari dadanya, lalu mengembalikannya pada Edrick.

“Tentu saja. Itulah akhir yang pantas untukku.”

Edrick menyeringai. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah pergi. Brandon mengikutinya dari dekat, koper tetap di tangannya.

Gang itu kembali sunyi, menyisakan jejak samar darah bercampur air.

No comments:

Post a Comment