Grimoire Dorothy Chapter 78

Bab 78: Tanda

“Apa...? Bukankah orang ini barusan mati?!” Gregor tertegun, menatap Buck yang kini berdiri di depannya.

Saat pertama kali tiba di puncak menara jam, ia melihat tubuh tak bernyawa tergeletak di lantai—pemimpin Crimson Eucharist yang ia kira sudah ditembak mati oleh Elena. Bagaimana mungkin pria itu bangkit kembali?

“Apa ini... benda mistik dari Chalice? Bisa menyembuhkan luka mematikan? Itu konyol!”

Pandangannya jatuh pada ruby yang tersemat di ujung tongkat Buck. Gregor awalnya datang hanya untuk membereskan sisa pertempuran setelah Elena memastikan sang pemimpin sudah tumbang. Namun kebangkitan mendadak lawan membuat posisinya terbalik jadi tak menguntungkan.

Menghadapi satu Craver saja, ia yakin bisa menang. Tapi dua melawan satu? Itu cerita lain.

“Ha! Akhirnya sadar juga, ya?” seru Clifford, helm bertopeng menutupi wajahnya. Dengan kasar ia menarik kapak bermata ganda yang tadi tersangkut di dinding.

“Intel kita bocor—pasti ada pengkhianat. Habisi kapten ini, lalu segera mundur!” perintah Buck dengan suara tegas. Ia menggenggam tongkat ruby itu, lalu menarik keras. Lapisan luar tongkat meluncur, menyingkap sebilah pedang ramping yang tersembunyi di dalamnya. Ternyata tongkat itu sejatinya pedang-tongkat.

“Tentu saja! Mati kau!”

Clifford mendengus dingin dan mengayunkan kapaknya. Gregor menyingkir cepat, tapi dari sisi lain pedang-tongkat Buck menusuk. Ujung bilah nyaris membelah tubuhnya, sempat mengoyak ujung mantelnya.

Pertarungan dua lawan satu pun dimulai. Gregor dipaksa berkelit panik. Kemampuan Beyonder-nya sebagai seorang Shader membuatnya lincah, tapi serangan gencar dua Craver dengan kekuatan fisik yang jauh di atas manusia biasa benar-benar menekan. Gerakan mereka cepat, hantaman mereka berat. Gregor tak punya pilihan selain bertahan.

Atap menara jam itu sempit, ruang geraknya terbatas. Buck dan Clifford memanfaatkan keadaan, perlahan memojokkannya ke dinding.

Ratusan meter jauhnya, Elena memantau pertempuran dengan penglihatan Beyonder-nya. Ia ingin memberikan tembakan bantuan, tapi pergerakan tiga orang di atas sana terlalu cepat, selalu bersembunyi di balik puing. Terlalu berisiko menembak, ia hanya bisa menggertakkan gigi.

“Brengsek... Bukankah kepala pria itu sudah hancur? Bahkan Craver sekalipun tak mungkin bisa hidup kembali!” gumamnya, frustrasi.

Sementara itu Gregor makin tersudut. Di ruang terbuka, ia bisa menahan dua Craver sepuluh menit bahkan tanpa senjata. Tapi di atap sempit ini, ia tak punya ruang untuk menghindar.

Hingga akhirnya, setelah susah payah mengelak dari tusukan Clifford, Gregor kehilangan keseimbangan. Ia jatuh terhuyung. Clifford segera mengangkat kapaknya tinggi-tinggi, siap menebas kepalanya.

Dorr!

Tiba-tiba suara ledakan senjata menggema. Dari moncong pistol laras lebar, hujan serpihan logam menyambar Clifford. Pecahan menembus sela-sela zirahnya, merobek tubuhnya. Clifford jatuh berguling, meraung kesakitan.

Di pintu tangga, berdiri sosok tinggi berbalut seragam pemburu dan bertopeng. Ia menggenggam pistol besar satu tembakan, larasnya masih mengepulkan asap. Turner—kapten regu pemburu lainnya—akhirnya muncul.

Melihat itu, Buck langsung berbalik menyerang Turner dengan pedang-tongkatnya. Turner tidak menghindar. Ia menadah tangan berbalut sarung rantai baja, menjepit bilah itu dengan genggaman kuat. Meski Buck mengerahkan tenaga luar biasa, pedang tak bergeming.

Ekspresi Buck berubah serius. “Kau juga... pengikut Chalice?”

Turner tak menjawab. Ia melempar pistolnya, mengepalkan tinju sebesar palu, lalu menghantam. Buck buru-buru menarik pedang dan menghindar. Tinju Turner menghantam lantai, memecahkan batu bata.

“Mundur!” teriak Buck. Sadar situasi berbalik, ia langsung merobek karung kapur yang tersimpan di atap. Debu putih beterbangan, menyelimuti pandangan. Sambil menyeret Clifford, Buck melompat keluar jendela, kabur dari pertempuran.

“Ugh! Keh! Apa ini...?” Turner terbatuk, mengibaskan tangan mengusir debu. Saat debu kapur mereda, Buck dan Clifford sudah menghilang.

“Keparat! Ke mana mereka lari?” Turner menggeram.

“Mereka melompat ke arah sana,” jawab Gregor, menunjuk jendela sambil bersandar lemah di dinding.

Turner melotot padanya. “Kau lihat mereka? Kenapa tidak ikut lompat? Kau kan cepat, bukan?”

“Sudahlah. Aku bukan Craver sepertimu yang bisa jatuh tanpa lecet. Lompat dari ketinggian itu, aku pasti setengah mati—kalau tidak mati beneran. Kelincahanku datang dari jadi Shader. Ringan, iya. Bisa terbang? Jelas tidak,” Gregor mengangkat bahu.

Turner mendengus kesal. “Tch... Sayang sekali. Padahal aku sudah tak sabar menghancurkan tengkorak mereka.”

“Tenang saja. Aku sudah siapkan rencana cadangan.” Sebuah senyum tipis terukir di wajah Gregor. “Saat bertarung tadi, aku sempat menempelkan sigil penanda pada salah satu dari mereka. Kalau kita temui seorang Lighter, kita bisa langsung melacak jejak mereka.”

Mata Turner berbinar. “Sigil penanda? Bagus! Kau bisa melakukan itu saat ditekan dua Craver? Baiklah, ayo cari biarawati itu. Kita tidak boleh biarkan sampah Crimson Eucharist lolos hari ini!”

Mereka pun segera menuruni tangga menara jam dengan tergesa.

Sementara itu, beberapa saat sebelum bentrokan di Dermaga Tergenang.

Di kota Igwynt, di atap sebuah gedung tinggi berseberangan dengan Menara Cypress Fir, seorang gadis berambut putih duduk diam, mengawasi setiap pintu rahasia Biro Ketentraman dengan berbagai lapisan penglihatan. Ia menunggu mangsanya muncul.

“Ayo cepatlah... Aku mulai bosan menunggu,” gumam Dorothy, menatap kerumunan di bawah dengan mata dingin.

No comments:

Post a Comment