Bab 77: Pertempuran Mendadak
Pinggiran timur Igwynt, tepi Sungai Ironclay, di Dermaga Tergenang.
Menjelang siang, ketenangan khas dermaga itu pecah dihantam rentetan tembakan. Warga menoleh panik ke arah zona penyimpanan di kejauhan, wajah mereka dipenuhi rasa gelisah. Bisik-bisik beredar—apakah ini lagi-lagi perang antar geng?
Namun di zona penyimpanan, kenyataan yang terjadi berbeda dari dugaan mereka.
Para anggota Crimson Eucharist yang sejak tadi menunggu mangsa, senjata terarah pada gudang, sama sekali tidak menyangka kalau tembakan pertama justru datang dari arah belakang. Peluru menghujani mereka dari sudut tak terduga, menembus tubuh serta bangunan bata yang mereka pilih sebagai titik penyergapan.
Dari luar lingkaran jebakan Crimson Eucharist, para pemburu sudah lebih dulu menempati atap-atap bangunan, membidik dengan presisi. Mereka membentuk lingkaran penyergapan yang lebih besar, menjebak para kanibal itu di dalam jebakan mereka sendiri.
Sepagi penuh Crimson Eucharist menyiapkan perangkap, namun pada akhirnya, mereka sendiri yang jadi buruan.
Saat Elena melepaskan tembakan pembuka, regu pemburu yang sudah siaga pun serentak menyalakan hujan peluru ke arah markas-markas persembunyian musuh. Dalam rentetan awal itu, empat anggota Crimson Eucharist yang ceroboh langsung tumbang.
Sisanya cepat menyadari arah serangan, bersembunyi di dalam bangunan sambil membalas. Tapi posisi mereka sudah terpojok, kehilangan banyak orang di awal, dan kini benar-benar ditekan oleh tembakan lawan.
“Ha! Persis seperti di peta ini—posisi persembunyian mereka, titik tembak, bahkan para penjaga semua ditandai jelas. Dengan peta seperti ini, mustahil kita kalah unggul...”
Dari atas bangunan tiga lantai, Gregor menyaksikan musuh panik balas menembak sambil berkomentar puas. Matanya sekilas melirik peta yang terbentang di lantai. Keberhasilan mereka memegang inisiatif sepenuhnya berasal dari peta itu.
Peta tersebut tiba di Biro Ketentraman sekitar pukul sepuluh pagi, tersamar dalam pengiriman bunga. Kasus serupa pernah terjadi bulan lalu—kasus Burton—dan hasilnya membuat Biro tak lagi meremehkan pesan semacam itu. Mereka langsung meneliti informasi di dalamnya.
Yang tak mereka sangka, kali ini pesan berisi bukan hanya lokasi markas Crimson Eucharist, melainkan peta lengkap dengan detail penempatan pasukan mereka.
Begitu menerima peta itu, Gregor dan timnya segera sadar betapa genting situasinya. Mereka mengirim telegram ke direktur yang sedang tak ada di kantor untuk meminta izin operasi. Setelah izin turun, mereka bergegas menuju Dermaga Tergenang. Dua penjaga musuh berhasil mereka tangkap di jalan sebagai pembuktian kebenaran peta, sebelum akhirnya melancarkan kontra-penyergapan ini.
“Hmph. Organisasi misterius itu pasti punya mata-mata di dalam Crimson Eucharist untuk bisa mendapat intel sejelas ini. Ya, kita memang diperalat lagi, tapi kalau bisa menebas beberapa kanibal, itu tetap sepadan.”
Gregor mencabut pedangnya dari tanah, menoleh ke menara jam tua di kejauhan.
“Sepertinya pemimpin mereka ada di sana. Elena, terus beri tembakan penutup. Dan hentikan kebiasaan berdoa tiap kali menembak.”
“Gereja membesarkanku seperti itu—sulit dihilangkan. Lagipula, aku ini anggota regu pemburu sekarang, bukan biarawati,” sahut Elena sambil memutar bola matanya.
Gregor terkekeh, mengenakan maskernya, lalu melompat keluar jendela. Tubuhnya melesat lincah meniti atap-atap menuju menara jam.
…
Suara tembakan menggema di seluruh Dermaga Tergenang, sementara di puncak menara jam terbengkalai, kepanikan melanda.
“Brengsek! Apa-apaan ini?! Kenapa mereka menyerang dari belakang? Mana para penjaga? Mana sinyalnya? Apa yang terjadi dengan mereka semua?!”
Clifford mondar-mandir di balik perlindungan, wajahnya panik. Ia tak bisa menerima bagaimana jebakan yang mereka susun matang berbalik jadi malapetaka. Pemimpin mereka sudah tumbang hanya dengan satu peluru. Kini posisi mereka terkepung dan tertindas.
Dengan frustrasi, Clifford menghentakkan kakinya. Di lantai, Buck tergeletak dengan kepala berlumuran darah, nyawanya sudah hilang.
“Hhh... Pasti ada yang salah. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya bertahan.” Clifford menarik napas panjang, lalu bergerak ke sudut ruangan. Ia membuka kotak peralatan yang sudah dipersiapkan, mengeluarkan senjata dan perisainya, bersiap menghadapi pertempuran.
Sementara itu, permata merah di tongkat Buck berkilat samar, memancarkan cahaya ganjil.
…
Gregor melesat di atas atap, jarak ke menara jam makin dekat.
Dari salah satu jendela, seorang anggota Crimson Eucharist melihatnya. Ia buru-buru mengangkat senapan dan menarik pelatuk. Tapi tepat saat itu, mata Gregor berkilat perak, spiritualitasnya menyembur, kecepatannya melonjak.
Tembakan meleset total.
“Apa—”
Belum sempat pria itu kaget, Gregor sudah menembus jendela, menebasnya dengan satu ayunan. Leher dan tulang belakang musuh terpotong bersih, tepiannya halus. Pedang Gregor bersinar samar dengan kilau perak.
…
Di dalam menara, Clifford sudah siap menyambut. Namun kecepatan dan kelincahan Gregor, ditambah presisi mematikan, membuat para penjaga di tangga roboh tanpa sempat melawan. Pedang bercahaya itu membelah tulang mereka semudah mengiris mentega.
Setelah menyingkirkan para penjaga, Gregor sampai di lantai paling atas. Baru ia muncul, sebuah kapak raksasa sudah meluncur menyambutnya.
“Mati kau, anjing pemerintah!” Clifford, dengan zirah seadanya dan kapak di tangan, menyerang ganas.
Gregor berhasil menangkis, tapi hantaman itu membuat tubuhnya terpental, menabrak dinding.
“Brengsek... Seorang Craver,” gumam Gregor, sadar betapa besar kekuatan lawannya.
“Ha! Tamat riwayatmu!” Clifford meraung, kembali mengayunkan kapaknya.
Gregor melompat menghindar, kapak itu menghantam dinding dan tersangkut. Ia langsung menarik belati dan menusuk ke arah leher Clifford yang terbuka.
Namun tepat saat ujung belati hampir menyentuh kulit, sebuah tongkat melayang menepis tangannya. Senjata itu terhempas ke lantai.
Gregor terkejut, menoleh—dan melihat Buck berdiri. Masih hidup, wajahnya dipenuhi amarah. Luka di kepalanya sudah tak lagi berdarah, sementara permata merah di tongkatnya bersinar menyeramkan.
No comments:
Post a Comment