Bab 66: Sebuah Rasa
“Pertentangan antarspiritualitas, ya? Kalau ‘Stone’ berlawanan dengan ‘Chalice,’ berarti obat spiritual berbasis ‘Stone’ bisa menetralkan yang berbasis ‘Chalice.’ Jadi ‘Stone’ juga punya sifat penawar...”
Setelah mendengarkan penjelasan Aldrich, Dorothy merenung sejenak. Lalu ia menoleh padanya dan bertanya langsung:
“Kalau memang ada obat spiritual berbasis ‘Stone,’ aku yakin kau pasti menyimpannya di sini, kan?”
Seperti yang sudah diduga, Aldrich mengangguk.
“Tentu saja ada. Dari caramu bertanya, sepertinya kau memang berniat membelinya. Jadi tak perlu basa-basi. Stone Powder, dua puluh pound untuk sepuluh gram,” ujarnya, memberi isyarat dengan tangannya.
Tanpa ragu, Dorothy mengeluarkan enam puluh pound dan meletakkannya di meja.
“Aku ambil tiga puluh gram.”
“Baik. Tunggu sebentar.”
Dengan langkah santai, Aldrich menuju sudut bengkel, mengambil sebuah botol kaca berisi bubuk kelabu dari rak kayu, lalu membuka tutupnya. Ia menyendok beberapa takaran, menimbangnya dengan timbangan hingga tepat tiga puluh gram—tidak lebih, tidak kurang.
Bubuk itu ia bungkus dengan kertas, lalu menyerahkannya pada Dorothy.
“Ambil ini. Larutkan dalam air sebelum dipakai. Ingat, untuk setiap dosis obat Chalice yang kau minum, gunakan jumlah Stone Powder yang sama. Standarnya satu banding satu. Dan kalau tak mau otakmu rusak permanen, jangan berlebihan.”
Dorothy menerima bungkusan itu, namun dalam hati mendengus:
Obat ‘Chalice’ bikin kecanduan, obat ‘Stone’ bikin demensia... Aku jadi penasaran, obat ‘Lantern’ atau ‘Shadow’ hasilnya apa. Kalau suatu hari aku bisa meracik sendiri, mungkin aku bisa pakai ‘Revelation’ untuk membuat sesuatu yang bisa meningkatkan kecerdasan.
Dengan obat penawar di tangan, Dorothy—yang kini delapan puluh pound lebih miskin—bersiap meninggalkan ruangan. Namun tiba-tiba Aldrich memanggilnya.
“Ngomong-ngomong, Nona Mayschoss. Aku tahu kau sibuk menghadapi Crimson Eucharist sampai tak ada waktu untuk sekolah. Tapi kuingatkan, kalau nilai akhir semester jelek dan menimbulkan kecurigaan walimu, itu bisa jadi masalah.”
“Tenang saja, Tuan. Aku rajin belajar mandiri di waktu luang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Dorothy tenang.
Aldrich masih belum tahu sebenarnya Dorothy itu Beyonder macam apa.
“Heh, Nona Mayschoss percaya diri sekali dengan belajar mandiri. Tapi perlu kau tahu, nilai akhir di sekolah ini bukan cuma dari pelajaran akademik. Ada juga nilai praktik sosial. Kalau nilainya nol, itu akan sangat berpengaruh.”
Dorothy terdiam sejenak.
“Hah? Praktik sosial?”
Di taman Sekolah St. Amanda, Dorothy baru saja keluar dari ruang bawah tanah dan berjalan sambil menghela napas kesal.
“Hah? Jadi benar-benar ada pelajaran praktik sosial di sini? Kukira itu cuma alasan yang kuada-adakan untuk menipu Gregor! Jadi ternyata beneran ada di zaman ini?”
Dorothy sama sekali tak menyangka sekolah benar-benar mencantumkan praktik sosial dalam sistem penilaian, apalagi menjadikannya faktor penting. Rupanya, menurut kepala sekolah yang licik itu, aturan ini dibuat agar siswa tak jadi kutu buku tanpa pengalaman dunia nyata.
“Syukurlah, nilai praktik baru dihitung di akhir semester. Masih ada waktu. Sekarang fokus dulu bereskan masalah Crimson Eucharist.”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap bungkusan kecil di tangannya.
“Dengan ini... mereka seharusnya percaya kalau aku memang sudah terjerumus, kan?”
Beberapa hari kemudian, pagi hari, di White Pearl Street, Barnard’s Old Book Collection.
Clifford tua sedang memeriksa buku besar di balik meja kasir ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh dan melihat gadis berambut putih dari beberapa hari lalu masuk sambil membawa sebuah buku.
“Halo, Tuan Pemilik. Aku datang untuk mengembalikan buku,” kata Dorothy tanpa basa-basi. Begitu melihatnya, mata Clifford berbinar, ia segera menyahut.
“Oh... ternyata nona muda dari waktu itu! Coba ceritakan, buku mana saja yang sudah kau baca?”
“Yang ini.”
Dorothy meletakkan sebuah buku di meja kasir. Tak lain adalah Injil Cahaya.
“Oh, jadi buku ini... Nona, boleh aku tanya bagaimana kesanmu setelah membacanya?” Clifford berhenti sejenak, lalu menatap Dorothy dengan tatapan penuh arti. Dorothy terlihat agak gelisah ketika menjawab.
“Umm... aku penasaran, apa mungkin kau tanpa sengaja menyelipkan beberapa halaman dari buku lain ke dalamnya?” katanya, sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas longgar dan menaruhnya di meja.
Begitu Clifford melihatnya, ia pura-pura terkejut sekaligus senang.
“Ah! Jadi ada di sini rupanya! Kukira hilang. Ternyata ikut terselip. Aduh, betapa cerobohnya aku. Terima kasih, nona, sudah mengembalikannya. Halaman-halaman ini milik sebuah buku yang sangat langka.”
Sambil mengumpulkan lembaran itu hati-hati, Clifford berbicara dengan nada lega seakan menemukan harta tak ternilai. Dorothy yang melihatnya menahan ekspresi bimbang.
“Umm... itu... aku cuma ingin tahu... apa novel itu... ada kelanjutannya?” tanya Dorothy gugup.
Mendengar pertanyaan itu, senyum puas menyelip di bibir Clifford.
Dapat! Dia sudah mulai terpengaruh racun.
“Oh, tentu saja! The Taste of Crimson adalah koleksi berhargaku. Aku mengumpulkannya sedikit demi sedikit, lembar demi lembar. Tak kusangka kau pun bisa menghargainya!”
Clifford terkekeh. “Jarang ada orang yang punya selera sama. Kalau begitu, bagaimana kalau kuperlihatkan beberapa halaman berikutnya?”
“Benarkah? Itu luar biasa! Terima kasih banyak, Tuan!”
“Hehe, tak usah sungkan. Jarang ada yang benar-benar bisa menikmati karya semacam ini...”
Dari bawah meja, Clifford mengeluarkan beberapa halaman—sudah ia siapkan sebelumnya—lalu menyerahkannya pada Dorothy, yang menerimanya dengan wajah antusias.
Setelah meminjam dua buku tambahan yang tampak biasa-biasa saja dan mengucapkan terima kasih lagi, Dorothy meninggalkan toko. Clifford menatap punggungnya dengan senyum makin bengis.
Sementara itu, di luar toko, Dorothy menggenggam erat halaman-halaman itu, bibirnya melengkung membentuk senyum licik yang sama.
Dalam minggu-minggu berikutnya, Dorothy rutin datang ke toko Clifford setiap beberapa hari sekali untuk meminjam buku. Setiap kali, Clifford menyelipkan lebih banyak halaman dari The Taste of Crimson. Jumlahnya pun kian lama kian banyak. Hingga setelah beberapa kali kunjungan, Dorothy sudah hampir membaca keseluruhan kitab mistik itu.
Karena aspek Chalice memiliki nilai spiritual yang cukup penting baginya, Dorothy memilih langsung menyerap spiritualitas yang terkandung di dalamnya. Total, ia mendapatkan tiga poin Chalice dan satu poin Revelation.
Kini, cadangan spiritual Dorothy tercatat: enam poin Revelation, delapan poin Chalice, empat poin Shadow, satu poin Silence, dan satu poin Stone. Dari enam poin Revelation, lima di antaranya bisa pulih sendiri.
Selama interaksinya dengan Clifford, Dorothy sengaja menampilkan diri seolah makin terpesona pada isi buku, seakan benar-benar terobsesi dengan pengetahuan Chalice. Perilaku itu membuat Clifford yakin waktunya sudah tiba.
Suatu sore, di toko Clifford, Dorothy duduk di depan meja kasir dengan tatapan kosong. Clifford, yang melihatnya baru saja mengembalikan lembaran terakhir, tersenyum dan berkata:
“Jadi, Nona Mayschoss, bagaimana perasaanmu setelah menuntaskan The Taste of Crimson? Mau berbagi pikiran? Anggap saja diskusi kecil antarpecinta buku.”
“Hm... pikiranku? Rasanya... aneh. Sejenis keanehan yang tak bisa dijelaskan. Aku begitu ingin terus membaca, tapi... berhenti di situ saja... Selesai. Aku ingin tahu seperti apa rasa anggur berikutnya, tapi kenapa ceritanya berhenti...”
Dorothy menatap lembaran di hadapannya, bicara dengan lambat dan mata nanar. Clifford melihat reaksinya, senyumnya makin lebar. Ia tahu sudah waktunya melangkah ke tahap selanjutnya.
“Rasa anggur berikutnya... ah, ya. Itulah misteri yang sengaja dibiarkan di akhir cerita. Membuat orang penasaran. Aku benar-benar mengerti perasaanmu. Aku juga begitu—selesai membaca, aku terus bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya rasa anggur itu.”
“Dan kemudian, aku melangkah lebih jauh. Aku ingin merasakannya sendiri. Kebetulan, aku berhasil menemukan jawabannya...”
Sambil berkata begitu, Clifford mengambil teko dari balik meja dan menuangkan secangkir teh merah panas. Ia menyodorkannya ke hadapan Dorothy dengan senyum licik.
“Nona Mayschoss, daripada sekadar membaca... tidakkah kau ingin mencicipinya sendiri?”
No comments:
Post a Comment