Bab 65: Korespondensi
Di dalam kamarnya, Dorothy membalik beberapa lembar pengetahuan mistik yang ia dapat dari Injil Cahaya dan mulai membaca. Dengan kemampuan membaca cepat sebagai seorang Cognizer, kurang dari semenit ia sudah menuntaskan semuanya.
"Isinya sedikit sekali..." gumam Dorothy sambil menatap lembaran di tangannya.
"Sepertinya orang itu takut aku membaca terlalu banyak sekaligus lalu jadi gila karena racun kognitif."
Jujur saja, Dorothy merasa kurang puas dengan isi yang ia dapat. Tapi kalau dipikir ulang, masuk akal. Crimson Eucharist tidak menginginkan boneka-boneka gila yang tak terkendali, melainkan pion-pion yang bisa mereka kendalikan. Memberikan seluruh isi kitab mistik sekaligus pada seorang gadis tiga belas tahun jelas bukan pilihan yang bijak.
Pengetahuan yang baru saja ia baca berjudul Rasa Merah Darah. Isinya bercerita tentang orang biasa yang tanpa sengaja bersentuhan dengan pengetahuan Chalice, lalu makin lama makin terobsesi dengan spiritualitasnya, sampai jatuh ke dalam jurang dekadensi. Penulisnya tidak diketahui, dan formatnya seperti sebuah novel.
Sayangnya, karena Clifford hanya menyelipkan sebagian halaman, Dorothy cuma bisa membaca bagian awalnya. Tepat ketika suasana cerita mulai terbangun, tiba-tiba berhenti. Spiritualitas yang ia peroleh tak lebih dari satu poin pada aspek Chalice. Sementara pada Revelation, kemajuannya bahkan tak terukur—tidak sampai satu poin pun.
"Hhh... sepertinya orang itu memang sengaja ingin lambat-lambat. Setiap kali aku kembalikan buku lalu pinjam yang lain, dia pasti cuma kasih tambahan sedikit. Kalau mau selesai, aku harus bolak-balik berkali-kali."
Dorothy bergumam, pikirannya mulai menata strategi.
"Kalau begitu, berarti aku harus sering berhubungan dengannya ke depan. Gregor mungkin tidak selalu bisa menemaniku, jadi aku harus ekstra hati-hati."
"Selain itu, selama aku terus membaca kitab mistik yang ia berikan, aku harus berpura-pura terpengaruh racun kognitif. Supaya nanti, ketika waktunya tiba, aku bisa ‘dilarang’ membawa Gregor lagi. Pada akhirnya, kalau dia ingin mempercepat proses, kemungkinan besar dia akan berusaha membuatku menelan semacam obat."
Semakin lama, rencana Dorothy makin jelas.
"Sekarang, di matanya, aku baru mulai mencicipi racun kognitif. Waspadanya pasti longgar. Kalau aku sudah beberapa kali meminjam buku dan terlihat mulai terpengaruh, meski pergi sendirian, dia mungkin tidak akan menggunakan paksaan."
"Kalau... kalau aku bisa menahan efek obat sekaligus pura-pura meminumnya dengan sukarela, dia mungkin benar-benar yakin aku sudah jatuh ke tangannya. Kalau itu terjadi, bukan hanya aku bisa menyusup lebih dalam ke lingkaran mereka, tapi aku juga bisa mengumpulkan informasi, bahkan mungkin mengakses lebih banyak kitab mistik."
Kuncinya... bagaimana caranya menahan obat-obatan yang berhubungan dengan ‘Chalice’.
Ia menghela napas sambil meraba dompetnya—baru saja menebal karena hasil jerih payahnya—lalu kembali mengembuskan napas panjang dengan pasrah.
Sepertinya sudah waktunya menemui Aldrich lagi.
Menggelengkan kepala, Dorothy menyimpan lembaran itu, lalu menarik seragam sekolah dari lemari dan bersiap-siap.
Keesokan harinya, di Sekolah St. Amanda yang terletak di pinggiran barat Igwynt.
Di siang hari, para murid sibuk mengikuti pelajaran di kelas. Dorothy, sebaliknya, berjalan cepat melewati taman sekolah, tak peduli pada suara guru yang mengajar.
Karena terlalu sering bolos, sudah berminggu-minggu Dorothy tak duduk di bangku kelas. Bisa jadi, teman-teman sekelasnya bahkan sudah lupa ia ada.
Memang, Gregor yang membayar biaya sekolah. Tapi Dorothy sendiri yang membayar mahal setiap kali membolos. Statusnya kini hanya sekadar murid di atas kertas. Kalau ini terjadi di kehidupan sebelumnya, pasti sudah ada surat panggilan ke orang tua, disusul hukuman lisan maupun fisik.
Tapi di era ini, guru tak repot-repot menghubungi orang tua. Sekolah adalah hak istimewa; mau serius atau tidak, urusan siswa masing-masing. Sikap acuh itu justru cocok untuk Dorothy. Di mata Gregor, tetap seolah-olah adiknya rajin berangkat sekolah setiap hari.
Mempercepat langkah, Dorothy masuk ke kapel kecil di taman, lalu menuju ruang bawah tanah tempat disemayamkannya para alumnus terhormat sekolah. Ia menekan mekanisme tersembunyi pada sebuah sarkofagus berukir indah. Tutup batu berat itu bergeser dengan suara bergemuruh, memperlihatkan sebuah lorong rahasia.
Dorothy menuruni tangga, masuk ke ruang bawah tanah St. Amanda. Begitu tiba, debu yang beterbangan membuatnya bersin keras.
"Haaachoo!"
"Oh, Nona Mayschoss! Jarang-jarang kau mencariku. Ada urusan apa kali ini?"
Di tengah ruang bawah tanah, Aldrich—berpakaian layaknya penjaga sekolah—sedang mengukir patung seorang ksatria dari batu. Melihat Dorothy di pintu masuk, ia menyapanya hangat. Dorothy, sambil mengelap hidung dengan sapu tangan, tak kuasa berkomentar dalam hati.
Setiap kali ke sini, kau selalu mengukir batu. Apa kau tidak khawatir kena penyakit paru-paru gara-gara debu?
Setelah merapikan sapu tangannya, Dorothy menatap langsung pada Aldrich dan berkata:
"Aku datang untuk menindaklanjuti pembicaraan kita sebelumnya. Tentang cara melawan korupsi, terutama dari kultus Chalice. Apa kau punya saran?"
Tanpa basa-basi, ia mengeluarkan sepuluh pound dari dompetnya dan menaruhnya di atas meja sebelum Aldrich sempat menjawab.
"Haha, kelihatannya kau cukup berhasil akhir-akhir ini, Nona Mayschoss. Kabar baik..."
Aldrich meletakkan pahatnya, menepuk tangan, lalu tersenyum.
"Melawan korupsi... Untuk racun kognitif sebenarnya tidak ada rahasia, hanya perlu disiplin dalam prosesnya, kau pun pasti sudah tahu. Tapi kalau soal obat-obatan... ada satu metode: racun melawan racun."
"Racun melawan racun?" wajah Dorothy menampakkan sedikit keraguan.
"Ya. Meski lebih tepat disebut netralisasi spiritual. Hmm... yang akan kuberitahu ini agak melampaui pertanyaan awalmu, jadi ada biaya tambahan..."
Plak!
Sebelum kalimatnya selesai, Dorothy sudah meletakkan lagi sepuluh pound di atas meja, wajah tanpa ekspresi. Aldrich terkekeh dan melanjutkan.
"Ah, lugas seperti biasa. Baiklah, begini: mungkin kau belum tahu, keenam spiritualitas memiliki hubungan saling berpasangan. Misalnya, Lantern berpasangan dengan Shadow, Chalice dengan Stone, dan Revelation dengan Silence."
"Ada antagonisme bawaan di antara pasangan-pasangan itu. Yang paling jelas, tentu saja, Lantern dan Shadow, yang saling meniadakan dalam banyak aspek. Sementara antara Chalice dan Stone, meski tak separah itu, tetap saja ada."
"Dalam banyak kasus, Chalice dan Stone bisa saling menetralkan. Obat-obatan yang dibuat dengan spiritualitas Chalice bekerja dengan membangkitkan hasrat naluriah paling kuat dalam diri manusia, membuat pemakainya tak berdaya dan kecanduan. Tapi sebaliknya, Stone, dalam manifestasi spiritualnya, melambangkan keteguhan, pengendalian, konservatisme, kekakuan, serta penolakan. Karena itu, obat yang dibuat dengan spiritualitas Stone dapat menetralkan efek dari obat-obatan berbasis Chalice."
No comments:
Post a Comment