Bab 60 : Ekor
Sore hari di Igwynt, Kota Bawah, White Pearl Street.
Di sebuah gang sempit, empat-lima preman jalanan nongkrong di tangga usang. Seperti biasa, para pengangguran ini menghabiskan waktu dengan bualan dan ocehan kosong. Di antara mereka, seorang pemuda dengan celana gantung dan suspender tengah asyik menceritakan kisah panas.
“Itu beneran?” tanya salah satu preman.
“Tentu saja! Sepupuku sendiri yang lihat dan dengar langsung,” jawab si pemuda percaya diri.
“Dia kebetulan ada di luar toko Corey waktu kejadian. Orang yang datang ngasih barang gadai ternyata bawa barang curian—hasil kasus Burton Veil! Awalnya Corey nggak sadar, tapi begitu ngeh, dia langsung panik dan teriak-teriak nama Burton Veil!”
Kerumunan kecil itu heboh, penuh desas-desus dan keterkejutan.
“Serius? Jadi pembunuh Burton Veil mungkin sembunyi di White Pearl Street?”
“Katanya orang itu bisa habisin tujuh-delapan orang sendirian. Kalau bener ada di sini, bos-bos gede pun nggak bakal berani macem-macem.”
“Eh tunggu… jangan-jangan Corey malah kerja sama pembunuh itu buat jual barang curiannya?”
Mereka makin liar berspekulasi. Sementara itu, pemuda bersuspender—yang sejak awal menebar rumor—diam-diam menyelinap pergi.
Dari atap dekat situ, Dorothy mengendalikan marionet mayatnya, menggerakkannya melalui lorong-lorong untuk menyebar gosip serupa. Dengan kontrol presisi, kabar tentang “Corey si pegadaian yang menjual barang curian kasus Burton Veil dan kemungkinan terkait si pembunuh” perlahan menyebar. Dorothy memperkirakan, tak butuh waktu lama sebelum kabar itu sampai ke telinga yang seharusnya.
“Jadi… kapan kalian bergerak?” gumam Dorothy pelan, menatap matahari yang mulai condong ke barat.
Pagi tadi, Gregor sempat bilang kalau dia harus pulang terlambat. Kebetulan, Dorothy sendiri juga punya rencana “lembur” malam ini.
Hari berganti malam.
Kegelapan menyelimuti Igwynt, menutupi White Pearl Street dalam bayangan pekat.
Corey masih kesal. Setelah memaki anak buahnya yang gagal melacak si pencuri, ia memutuskan menutup toko lebih awal dan menyuruh semua pulang.
“Brengsek… brengsek! Gimana bisa sebanyak itu gagal ngikutin satu orang!? Dasar sampah!” gerutunya, mengunci pintu dengan wajah mendidih.
“Hmph… besok aku akan bicara dengan Harkson. Aku minta anak-anaknya bantu. Kita lihat apakah bajingan itu masih bisa ngumpet! Begitu ketangkep, akan kupotong tangan-kakinya, masukin ke peti mati, lalu kulempar ke dasar Sungai Ironclay—sama seperti semua orang yang berani menentangku!”
Baru saja ia membalikkan badan, sebuah tangan berbalut sarung hitam tiba-tiba menempelkan pisau ke lehernya.
“Jangan bergerak, Corey Cross…”
Suara rendah itu membuat tubuh Corey kaku. Matanya membelalak, amarahnya seketika berubah jadi ketakutan.
Apa!? Lagi!? Bagaimana bisa ada orang masuk ke tokoku?
Untuk kedua kalinya hari itu, Corey ditodong. Otaknya berputar cepat, tapi ia memaksa tersenyum kaku.
“T-Tuan… mari kita bicarakan baik-baik. Kalau yang kau mau uang, aku… aku nggak bawa sekarang. Lepaskan aku, nanti akan kuambilkan.”
“Aku tidak butuh uang,” jawab pria tinggi berkerudung serba hitam itu dingin.
“Aku hanya ingin tahu satu hal: apakah tadi siang kau menerima barang curian dari kasus Burton Veil?”
Corey buru-buru mengangguk.
“Y-Ya, ya! Aku memang terima barang itu!”
“Apa? Mana barangnya?”
“Di saku jaket, sebelah kanan. Arloji saku. Biar kuambil—”
“Tak perlu… aku ambil sendiri.”
Pria itu merogoh saku Corey dan mengeluarkan arloji. Dibuka, tampak ukiran nama Burton Veil.
“Siapa yang menggadaikan ini padamu? Kau kenal dia?”
Corey tergagap, menjawab cepat, “Seorang pria… tinggi, mantel hitam, topi. Dia bersenjata dan bermasker. Wajahnya tak kelihatan! Aku benar-benar nggak kenal!”
“Katakan yang sebenarnya.”
“Aku sumpah! Dia malah maksa aku dengan todongan pistol untuk nerima arloji itu! Aku sama sekali nggak ada hubungannya! Tolong, jangan bunuh aku!”
Pria itu mengangguk pelan. Ia menyimpan arloji ke saku, lalu menurunkan pisaunya. Corey didorong mundur.
“Berdiri di situ. Jangan bergerak, jangan menoleh.”
“Y-Ya! Aku janji!”
Pria itu berbalik hendak pergi. Tapi Corey—yang dua kali dalam sehari dipermalukan—tak mau tinggal diam. Dengan tatapan penuh benci, ia melirik laci kabinet di depan.
Tanpa ragu, ia meraih revolver, membalik, dan mengangkat senjata ke arah punggung pria itu.
“Rasakan ini, bajing—”
Srek!
Sebuah pisau lempar meluncur dari sudut gelap, menancap tepat di lehernya. Mata Corey melotot, darah tersembur, tubuhnya roboh ke lantai sebelum sempat menarik pelatuk.
Lintah darat paling ditakuti di White Pearl Street, Corey Cross, menemui ajal di tokonya sendiri.
Dari sudut gelap tempat pisau itu melayang, seorang pria lain berbalut hitam keluar. Ia berdiri di sisi rekannya, menatap mayat Corey dengan senyum sinis.
“Semua orang di White Pearl tahu janji Corey Cross tak pernah ada nilainya.”
Selesai bicara, ia mengeluarkan selembar kertas kasar seukuran telapak. Ia jongkok, menempelkan kertas itu ke dahi Corey yang melongo. Seketika, kertas itu terbakar, meninggalkan bekas simbol samar “Piala” yang terpanggang di kulitnya.
Lalu terjadilah sesuatu yang mengerikan. Darah dan daging Corey mulai menguap, larut menjadi asap biru. Kulit, otot, organ—semuanya lenyap dengan cepat. Hanya tulang dan pakaiannya yang tersisa.
“Bereskan cepat. Tuan Clifford masih menunggu,” kata salah satu dari mereka.
Ia mengambil karung, memasukkan sisa tulang dan pakaian Corey, lalu bersama rekannya keluar lewat jendela samping, menghilang ke gang gelap.
Namun mereka tak tahu, semua gerakan itu ada saksi. Seekor tokek di langit-langit memperhatikan diam-diam. Saat mereka membereskan tulang Corey, seekor tokek kecil merayap masuk ke celana Corey, ikut terbawa masuk ke karung.
Di tempat lain, di sudut jalan yang temaram, Dorothy membuka matanya perlahan.
“Akhirnya… aku punya jejak kalian.”
No comments:
Post a Comment