Bab 59 : Kabar Angin
Siang hari di Igwynt. Sinar matahari jatuh di jalanan White Pearl Street, tapi hangatnya nyaris tak menembus ke dalam ruangan—apalagi ke dalam toko gadai milik Corey.
Di balik meja kasir, Corey membeku. Moncong pistol hitam pekat menganga tepat di depannya. Dada terasa sesak, hawa dingin menjalari sekujur tubuh. Namun sebagai pria yang sudah kenyang makan asam garam, ia tidak langsung panik. Dengan paksa, ia menarik senyum kaku.
“Hehe… Tuan pelanggan, apa maksudnya ini?”
“Aku rasa… satu pound terlalu murah. Jadi kutambahkan nyawamu ke dalam transaksi. Berapa harganya sekarang, pemilik toko?”
Suara berat nan dingin keluar dari pria bermantel panjang dengan wajah tersembunyi. Senjata tak bergeser sedikit pun. Corey tetap menahan senyum gugup, lalu menjawab.
“Oh… begitu rupanya. Sepertinya tadi aku memang meremehkan nilainya. Tunggu sebentar… akan kurevaluasi lagi.”
Pelan-pelan, ia menggeser tangannya ke bawah meja, mendekati mekanisme tersembunyi. Lantai di depan meja itu sebenarnya adalah pintu jebakan. Sekali ditarik tuas, papan akan terbuka dan menjatuhkan siapa pun yang berdiri di atasnya ke lubang di bawah, sekaligus membunyikan bel alarm untuk memanggil orang-orangnya dari ruang belakang.
Sebagai lintah darat terkenal di White Pearl Street, Corey sudah mempersiapkan langkah berjaga-jaga semacam ini. Ancaman terhadap dirinya bukan barang baru. Yang berani macam-macam dengannya, kini ada yang terbenam di tambang gelap tanpa cahaya, atau jadi bangkai di dasar berlumpur Sungai Ironclay.
Dengan hati-hati ia hampir meraih tuas. Tapi seekor tokek di dinding belakang—marionet Dorothy—menyaksikan semua gerak-geriknya.
Sekejap sebelum tuas ditarik, mata pria bermantel itu menyipit tajam. Ia mendadak menghentakkan pistol ke dalam mulut Corey.
“Mmhh! Mmhh!”
Rasa dingin logam di lidah jauh lebih menakutkan daripada sekadar ditodong. Corey yang sempat tenang langsung panik total. Mata melotot, suara tercekik keluar dari tenggorokannya.
“Hampir lupa bilang—jangan coba-coba main trik kecil di depanku. Aku bisa melihat segalanya. Sekarang, beri aku penilaian yang benar. Kau takkan dapat kesempatan kedua. Paham?”
Suara dingin itu menusuk. Corey gemetar hebat, buru-buru mengangguk. Baru setelah itu pistol ditarik keluar, meski moncongnya masih mengarah tepat padanya.
“Uhuk… uhuk, uhuk…”
Ia batuk keras, lalu dengan tangan gemetar mengangkat arloji saku itu lagi. Setelah sekilas menatap, ia berkata dengan suara bergetar, “I-ini… arloji dengan pengerjaan halus… presisi… Nilainya… sepuluh pound!”
Tatapan beku pria itu tak bergeming.
“Tidak, tidak! Sepuluh pound masih terlalu rendah. Bagaimana kalau tiga puluh pound?”
Tetap saja, pria itu diam.
“Enam puluh pound! Enam puluh sudah cukup, kan?”
Tak ada reaksi. Corey mulai kalut.
“112 pound! 112! Itu semua uang tunai yang kumiliki di toko sekarang! Tolong… ampuni aku!”
Akhirnya pria bermantel itu bersuara datar.
“Kalau begitu, ambilkan.”
Corey tergopoh membuka brankas terdekat, mengeluarkan uang, dan menyerahkannya dengan tangan gemetar. Pria itu menerima, menyelipkan ke sakunya, lalu mundur perlahan tanpa menurunkan pistol sampai ia keluar pintu.
Begitu pria itu pergi, Corey langsung menekan bel di dinding dengan brutal. Tak lama, dua orang besar berlari masuk dari ruang belakang.
“Ada apa, bos?”
“Aku dirampok! Seorang pria bermantel hitam baru saja keluar! Kejar dia, cepat! Ikat dan bawa kembali! Ajak lebih banyak orang—dia bersenjata!”
“Siap, bos!”
Sementara toko Corey kacau, di seberang jalan Dorothy berdiri di atas atap, menyaksikan semuanya dengan senyum tipis. Ia mengangguk puas.
“112 pound… lumayan juga. Cari uang kuliah lewat kerja sampingan memang lebih efisien.”
Ia masih mengendalikan Edrick, marionet mayat, yang kini lincah menghindari para pengejar Corey. Dengan bantuan gagak marionetnya dari udara, menyingkirkan mereka jadi perkara mudah. Tak lama, Dorothy sudah berhasil membuat Edrick lolos dan bersembunyi.
Setelah memastikan aman, ia melepaskan kendali dan memanggil kembali marionet-marionet kecilnya. Melihat Corey mengamuk memaki anak buahnya di depan toko, Dorothy berbisik pelan.
“Heh… dengan bisnis sebusuk itu, mana mungkin kau berani lapor polisi. Baiklah, saatnya ke tahap berikutnya…”
Ia mengaktifkan kembali Corpse Marionette Ring. Dari bayangan di belakangnya, perlahan bangkit sosok seorang pemuda berkaus kotak-kotak dan mengenakan topi.
Ketika Dorothy dulu diculik Crimson Eucharist, ada lima orang penyerang. Lima mayat tertinggal setelahnya. Dua berubah jadi mumi, dua hancur dalam pertarungan di rumah Burton. Tinggallah satu tubuh yang masih bisa dipakai—pemuda ini.
Dorothy mengendalikan tubuh pemuda itu, mengarahkannya masuk ke White Pearl Street. Marionet itu pun melangkah ke sebuah kedai ramai.
Di dalam bar penuh tawa dan obrolan, pemuda itu memesan bir lalu berjalan mengitari ruangan, menyimak pembicaraan orang-orang. Tak lama, telinganya menangkap sekumpulan pria yang sedang bercakap heboh di satu meja.
“Hey… dengar kabar? Toko Corey tadi siang ribut. Dia marah-marah!”
“Corey? Siapa yang berani macam-macam sama dia? Cari mati…”
“Katanya dia nyuruh anak buahnya ngejar seseorang, tapi gagal. Mungkin Corey ketemu pencuri…”
Pemuda itu mendekati meja mereka dengan senyum misterius, lalu menimpali.
“Bukan pencuri biasa… kali ini Corey benar-benar kena batunya.”
Para pria menoleh. Pemuda itu berdiri sambil mengangkat gelas bir, wajahnya penuh rahasia.
“Kena batunya? Maksudmu apa? Jadi Corey berurusan sama orang serius?” salah satu bertanya penasaran.
Pemuda itu melirik kanan-kiri, lalu mendekat dan menurunkan suaranya.
“Kudengar dari sepupuku yang kerja di toko Corey. Katanya tadi siang ada orang aneh menggadaikan sesuatu. Corey sempat terima, tapi sadar ada yang janggal lalu nyuruh anak buahnya ngejar.”
“Menggadaikan barang? Jangan-jangan Corey ketipu barang palsu? Wah, itu sih karma,” salah satu meledek.
Pemuda itu terkekeh.
“Heh… lebih parah daripada barang palsu. Itu barang curian—milik Burton Veil!”
“Burton Veil!? Yang di koran itu? Yang tewas dibantai di rumahnya bersama para pelayan? Si tuan tanah Purple Hill yang brengsek itu?”
Pria mabuk itu sampai hampir melompat dari kursinya. Pemuda itu mengangguk serius, lalu menepuk meja.
“Tepat sekali. Dan kuduga pembunuh Burton Veil itu… masih ada di sini, di White Pearl Street. Tepat di antara kita!”
No comments:
Post a Comment