Bab 58 : Pegadaian
Siang hari di Igwynt, Kota Bawah, White Pearl Street.
Meski namanya terdengar mewah, White Pearl Street jauh dari citra jalanan penuh toko perhiasan dan barang mewah.
Jalan ini justru dipenuhi aura tua dan suram, berjejer toko-toko barang bekas, antik, jasa penilaian, besi rongsokan, hingga pegadaian. Warga Igwynt sering membawa barang-barang agak berharga tapi tak terpakai ke sini untuk digadai demi uang cepat. Sementara itu, para oportunis berkeliaran, berharap menemukan harta karun tersembunyi yang bisa mengubah nasib mereka dalam semalam.
Namun, reputasi White Pearl Street di Igwynt tidaklah baik. Bukan hanya karena jalan ini dipenuhi pengangguran yang berkhayal jadi kaya mendadak, tapi juga karena hubungan eratnya dengan berbagai geng, berkat sifat bisnis yang digeluti di sini.
Banyak orang terdesak yang sudah menggadaikan semua miliknya di jalan ini. Untuk mencegah para penunggak kabur dari kewajiban, sebagian besar toko mendapat dukungan perlindungan geng.
Kehadiran geng, kerumunan oportunis, bisnis gadai yang menjamur, dan para lintah darat menjadikan White Pearl Street sarang kehancuran finansial. Di balik permukaannya yang tampak tenang, mengalir arus kekerasan yang sunyi.
Saat ini, Dorothy berdiri di tepi jalan itu. Ia mengenakan gaun putih sederhana, rambut panjang seputih salju diikat ke belakang, kepala tertutup topi besar, dan sebuah tas kecil tergantung di tangannya. Dengan tenang ia mengamati suasana jalan.
Jalanan redup itu hanya dilintasi segelintir pejalan kaki. Debu menempel di kaca jendela dan papan toko. Banyak etalase menampilkan kerajinan lama, vas, tembikar, perhiasan emas dan perak, juga aneka barang yang sulit dikenali. Ada toko yang bahkan tak memasang papan nama, pintu depannya tertutup rapat, akses hanya lewat pintu samping. Ada pula yang menjajakan benda-benda aneh di lapak pinggir jalan. Wajah para pejalan kaki terlihat murung atau curiga, dan jumlah gelandangan di sini dua kali lipat lebih banyak dibanding jalan lain di Kota Bawah.
Dorothy menatap sekeliling, alisnya sedikit berkerut.
Seluruh jalan ini berasa aneh… Semua orang seperti menyimpan rahasia. Gimana aku bisa menemukan jejak Eucharist di sini…?
Ia menarik napas dalam-dalam. Menurut intel dari No. 22 Elmwood Street, ada sebuah markas tersembunyi di jalan ini. Dorothy ingin menemukannya, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Setelah menjejalkan seminggu penuh pelajaran hanya dalam setengah hari, Dorothy langsung meminta izin libur lagi pada Aldrich. Setiap pagi, setelah berpamitan pada Gregor dan pura-pura berangkat ke sekolah, ia justru naik kereta ke sini untuk sepenuhnya menjalankan misinya melawan kultus.
Uang yang habis banyak untuk Aldrich membuatnya merasa miskin sekali. Setelah berpikir panjang, ia memutuskan bahwa memburu anggota Eucharist akan jadi cara tercepat untuk menghasilkan uang. Karena itu, fokusnya tertuju pada menemukan markas di jalan ini.
Namun, ternyata sulit—bukan karena tak ada orang mencurigakan, justru karena semua orang di jalan ini terlihat mencurigakan!
Selama tiga hari, Dorothy sudah menyisir jalan ini menggunakan marionet bangkai hewan kecil. Ia membuntuti beberapa orang mencurigakan, tapi hasilnya nihil—semuanya hanya penjudi yang kalah lalu mencari pinjaman, atau lintah darat. Tiga hari berlalu tanpa satu pun petunjuk tentang Crimson Eucharist.
“Ugh… sama sekali nggak ada hasil…”
Berdiri di sudut jalan, Dorothy menghela napas panjang. Kesal, ia memutuskan meninggalkan White Pearl Street dan mampir ke sebuah kafe acak, memesan kopi manis.
Sambil menyeruput, ia berusaha memikirkan cara melacak Crimson Eucharist. Saat otaknya buntu, ia meraih koran di meja untuk menghibur diri.
Begitu dibuka, judul besar terpampang jelas.
Kasus Burton Veil Belum Terpecahkan: Polisi Igwynt Dikritik. Pengamat Sosial Stanley Peringatkan Penundaan Bisa Picu Ketakutan Publik.
“Serius… kasus ini masih aja dibahas? Udah beberapa hari, masih juga diliput. Apa nggak ada berita lain, hah?” Dorothy mencibir dalam hati sambil membaca.
Tiba-tiba sebuah ide melintas, matanya berbinar.
“Hmm… mungkin aku bisa… memanfaatkannya…”
Ia membuka tas kecilnya dan mengobrak-abrik isinya, sampai menemukan sebuah arloji saku tua.
Begitu dibuka, di bagian dalam tutupnya terukir sebuah nama: Burton Veil.
Arloji ini ia ambil dari rumah Burton. Selain uang dan dokumen rahasia, ia juga sempat menggondol beberapa benda kecil yang terlihat berharga, termasuk arloji saku ini yang ditemukan di laci meja. Awalnya, ia berencana menggadaikan benda-benda itu demi uang, tapi selalu ragu karena khawatir menarik perhatian.
“Sepertinya sekarang… aku bisa sengaja menarik perhatian.”
Menatap arloji itu, Dorothy menguatkan tekad.
Siang, Igwynt, Kota Bawah, White Pearl Street.
Pegadaian berjejer rapat di White Pearl Street, menopang keputusasaan banyak orang. Kebanyakan pegadaian di sini, dilindungi geng, juga merangkap usaha lintah darat, mengeruk untung dari kelemahan orang-orang paling rentan.
Corey adalah salah satunya. Corey’s Pawn miliknya termasuk yang terbesar di White Pearl Street. Dengan modal besar dan transaksi cepat, banyak orang terdesak datang padanya untuk pinjaman atau gadai.
Namun berbeda dari pesaing, Corey lebih mengandalkan bisnis pinjaman berbunga tinggi ketimbang gadai.
Di dalam Corey’s Pawn, Corey—pria botak paruh baya dengan kemeja dan celana panjang—duduk di balik meja kasir. Sambil merokok, ia memeriksa catatan utang para klien. Di sampingnya berdiri seorang asisten bertubuh kekar.
“Hmph… si penjudi bangkrut Dunn sekarang sudah ngutang dua belas pound? Kalau sebentar lagi nggak bayar, dia harus kerja di tambang. Aku males harus ngambil lebih banyak jarinya…”
“Brooke… awasi si Dunn. Kalau dia tetap nggak bayar, dua-tiga hari lagi kumpulkan anak-anak dan tagih.”
“Baik, bos,” jawab asistennya, lalu pergi. Corey kembali menekuri buku utang.
Tak lama kemudian, pintu toko berderit terbuka. Corey mendongak dan melihat seorang pria dengan mantel panjang, topi, dan syal menutupi separuh wajahnya masuk.
Pria itu melirik isi etalase, lalu mendekat ke meja kasir dan meletakkan sesuatu di atasnya.
“Aku ingin menggadaikan ini. Sebutkan harganya,” ucapnya dingin.
“Ah, pelanggan. Baiklah, mari kulihat,” Corey tersenyum licik.
Ia mengenakan kacamata dan mengangkat benda itu—sebuah arloji saku.
Corey mengamatinya dengan seksama.
“Pengerjaan lumayan, masih berfungsi, terawat meski sudah tua… mungkin nilainya sekitar tiga pound.”
Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya berbeda.
“Hmmm… arlojimu sudah usang, kacanya tergores, susah dijual. Paling banter satu pound… tunggu, apa ini ukiran nama?”
Saat menyadari ukiran itu, Corey menajamkan mata.
“Burton Veil… Burton Veil!?”
Sekonyong-konyong ia sadar nama itu sama dengan yang marak di koran—bangsawan yang dibantai bersama keluarganya. Jantungnya berdegup kencang saat ia menatap si pelanggan.
Yang dilihatnya adalah moncong pistol dingin menempel di wajahnya, dan sepasang mata tanpa belas kasihan menatap tajam.
No comments:
Post a Comment