Bab 44: Sang Pencerna
Begitu Dorothy menekan konfirmasi doa, jendela transparan itu lenyap. Seketika, suasana di sekelilingnya berubah aneh.
Di ruangan yang tadinya tenang, angin pusaran kecil tiba-tiba tercipta entah dari mana. Nyala lilin yang berkelip padam seketika, asapnya tercerai-berai. Lingkar luar dari abu ritual terhembus hingga membentuk pola spiral sempurna. Jubah Dorothy ikut berdesir, namun simbol “Wahyu” di pusat lingkaran tetap utuh, seakan dilindungi.
Angin itu hanya bertahan sekejap sebelum sirna. Saat reda, lilin-lilin sudah padam, dupa berhenti menyala, dan lingkaran abu berantakan. Dorothy, yang masih berlutut, perlahan bangkit berdiri. Tatapannya kini bening, pikirannya jernih dan tajam.
“Jadi ini… rasanya menjadi seorang Beyonder?”
Menatap tangannya, Dorothy berbisik lirih. Ia bisa merasakan perubahan dalam dirinya dengan sangat jelas.
Kepalanya serasa lebih ringan, fokusnya bisa ia pusatkan maupun sebarkan sesuka hati. Kekuatan mentalnya meningkat pesat. Ia merasa segar, pikirannya tajam tak seperti sebelumnya.
“Jalur ‘Wahyu’… sebutan bagi Beyonder tahap Murid adalah ‘Sang Pencerna’ (Cognizer). Kalau jalur ‘Piala’ memperkuat vitalitas dan tubuh, maka ‘Wahyu’ memperkuat pikiran dan daya nalar…”
Bersamaan dengan kenaikan ini, seakan sebuah pemahaman baru mengalir dalam dirinya: pengetahuan tentang peringkat barunya dan kemampuan yang mengikutinya.
“Baiklah… saatnya uji coba sedikit.”
Dorothy tersenyum kecil. Ia ingin langsung mencoba kemampuannya. Tapi ketika beranjak menuju pintu dengan percaya diri, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Berbalik, ia melirik sisa-sisa ritual di lantai. Dengan wajah kikuk, ia buru-buru kembali, mengeluarkan sapu kecil dan pengki dari tasnya, lalu mulai membersihkan.
Hampir setengah hari ia habiskan menyapu, menghapus, dan menutupi setiap jejak ritual. Begitu selesai, Dorothy mengusap keringat dari keningnya, menggerutu pelan.
“Huff… hal pertama yang kulakukan setelah jadi Beyonder malah kerja rodi… kemampuan ‘Pencerna’ ini sama sekali tak membantu stamina fisik…”
Setelah yakin tak ada sisa jejak, Dorothy meninggalkan gubuk itu. Napasnya terengah saat berjalan sejauh satu kilometer menuju tepi sungai, barulah ia menemukan kereta dan kembali ke kota Igwynt.
Dari balik jendela kereta, ia memperhatikan hiruk pikuk pejalan kaki dan iklan berwarna yang menghiasi jalan. Saat kereta berhenti di depan sebuah toko buku, ia turun, masuk, lalu mengambil sebuah buku tebal tentang tap dance. Ia duduk di sudut sepi, berpura-pura membaca santai seperti pengunjung lain.
Namun perbedaan mencolok adalah kecepatan matanya. Halaman demi halaman padat tulisan ia baca cepat berkali-kali, lalu beralih ke halaman berikutnya. Sekilas tampak seperti asal membalik, padahal ia menyerap setiap kata.
Sebagai “Pencerna,” Dorothy kini memiliki ketajaman mental luar biasa. Ia bisa membaca kilat, memadatkan waktu belajar, dan memahami konsep rumit dengan mudah.
Dalam tiga puluh menit, seluruh isi buku selesai ia lahap. Menutup mata sejenak, Dorothy bisa mengingat setiap detail nyaris kata demi kata. Bahkan iklan dan orang-orang yang dilihatnya dari jendela kereta sebelumnya muncul jelas di benaknya—dari gerakan kecil, ekspresi wajah, sampai bulu anjing di pinggir jalan. Semua terekam bagai video ultra-HD yang bisa ia putar sesuka hati.
Kekuatan ingatan jangka pendek sempurna ini adalah karunia lain dari “Pencerna.” Hingga setengah hari, ia bisa mengingat segalanya dengan mutlak. Setelah itu, ingatan perlahan memudar kecuali ia sengaja menyimpannya sebagai memori jangka panjang.
“Ini rasanya seperti punya cheat akademik…” gumam Dorothy sambil tersenyum.
Ia mengembalikan buku ke rak, lalu keluar dari toko dan naik kereta lagi menuju pelabuhan.
Pelabuhan ramai, penuh aroma asin laut dan ikan. Dorothy menundukkan kepala di balik tudungnya, melewati keramaian hingga tiba di gudang sewaan. Membuka gembok, ia masuk dan segera menguncinya lagi.
Di dalam, deretan peti panjang menanti. Ia membuka salah satunya, lalu mengaktifkan Cincin Marionet Mayat di jarinya.
Tak lama, tutup peti terangkat. Sosok familiar bangkit perlahan—Edrick, yang sudah lama tak terlihat.
Setelah melarikan diri dari kejaran Ekaristi Merah dengan menceburkan diri ke sungai, Dorothy mengendalikan mayat Edrick agar tenggelam ke dasar, mengaitkannya pada mesin-mesin tua agar tak mengapung. Malam berikutnya, ia kembali untuk mengambilnya, bahkan menyuruhnya merangkak di dasar sungai menuju rawa terpencil sebelum diam-diam membawanya naik.
Ia tetap menyimpan Edrick karena saat itu ia satu-satunya mayat yang bisa ia kendalikan. Kehilangannya akan sangat merepotkan untuk rencana masa depan. Dan kini, Dorothy hendak bereksperimen dengan kemampuannya yang baru.
Menatap tubuh pucat tanpa ekspresi itu, Dorothy mengangkat tangan. Dengan pikirannya, ia menyalurkan satu poin spiritualitas “Wahyu” ke dalam cincin.
Seketika, benang penghubung mentalnya dengan cincin terasa lebih dalam. Tautan spiritual pada Edrick menguat signifikan.
Dengan satu pikiran, Edrick bergerak. Ia melompat, lalu mulai menari tap dance—gerakan yang baru saja Dorothy pelajari dari buku.
Di ruang remang, langkah kakinya memantul berirama, tubuhnya bergerak luwes, hampir tak beda dari manusia hidup.
Kemudian, sesuai perintah Dorothy, Edrick beralih. Ia melakukan senam radio Call of the Times, salto depan-belakang, menirukan tingkah kera nakal, bahkan mengeksekusi spin Thomas flair sempurna. Satu demi satu, gerakan makin menantang.
Akhirnya, Dorothy memintanya berhenti dan berdiri tegak di hadapannya.
Dengan senyum tipis, ia berbisik,
“Halo, Tuan Grandi.”
Ekspresi Edrick berubah samar. Ia berlutut di hadapan Dorothy, meletakkan satu tangan di dada, dan menjawab dengan suara dalam,
“Siap melayani, Nona Mayschoss.”
No comments:
Post a Comment