Bab 43: Ritual
“Antarmuka?”
Duduk di meja belajarnya, Dorothy mengerutkan kening mendengar jawaban sistem yang bergema di kepalanya. Ia mengusap pelipis, bingung.
Antarmuka? Jadi hakikat sistem ini hanyalah antarmuka? Antarmuka antara apa dengan apa? Hei, sistem, bisa jelaskan lebih jauh soal yang kau sebut antarmuka itu?
Dorothy terus bertanya dalam hati, tapi kali ini tak ada jawaban. Hanya hening yang ia dapat.
Setelah mencoba berbagai cara dan tak kunjung berhasil, ia akhirnya menyerah sementara. Rasa penasaran soal jati diri sistem ia sisihkan dulu, fokus pada prioritas utama: ritual kenaikan.
Kini ia tahu sistem mampu menyalurkan doa dan memberi bimbingan. Sebuah ide muncul di benaknya.
“Mungkin… aku bisa mencobanya. Dan kebetulan besok juga akhir pekan.”
Ia berbisik pelan, lalu menutup sesi penelitiannya malam itu. Semua bahan terlarang ia simpan kembali ke dalam tas sekolah, berganti piyama, mematikan lampu, lalu merebahkan diri.
…
Keesokan paginya, cahaya mentari yang cerah menembus jendela. Dorothy bangun dari tidur lelap, bangkit dari ranjang sambil mengucek mata. Begitu membuka pintu kamar, ia mendapati ruang tamu kosong. Karena tak ada kelas, ia tidur dua jam lebih lama dari biasanya, dan Gregor sudah berangkat kerja.
Di zaman ini, akhir pekan dua hari belum lazim. Sebagian besar profesi menuntut orang bekerja sepanjang tahun, kecuali libur keagamaan. Pekerjaan Gregor pengecualian karena sifatnya khusus; jadwalnya sangat bervariasi. Kadang ia pulang cepat, kadang hilang beberapa hari, dan sesekali libur penuh. Dorothy paham ritme kerja kakaknya bergantung sepenuhnya pada penugasan.
Beberapa sekolah, dipengaruhi tradisi agama, menerapkan satu hari libur tiap minggu, mengikuti mitos sang Juru Selamat yang bekerja enam hari lalu beristirahat satu hari. Namun sekolah Dorothy, Saint Amanda’s, melangkah lebih jauh. Berkat kepala sekolah reformis—Aldrich—sekolah itu tak hanya menerima murid perempuan, tapi juga menambahkan pelajaran praktis dan seni pada kurikulum klasik. Ia bahkan memperjuangkan kegiatan ekstrakurikuler dan waktu untuk keluarga, hingga memberikan libur dua hari penuh pada akhir pekan.
Dorothy tentu menikmati hasil reformasi itu sepenuhnya. Hari Sabtu ini ia putuskan untuk menggunakannya bagi “kegiatan ekstrakurikuler”-nya sendiri.
Selesai merapikan diri, ia memakan sarapan seadanya yang ditinggalkan di meja, lalu berganti pakaian kasual. Setelah itu, ia keluar membawa ransel, naik kereta menuju pasar.
…
Sesampainya di pasar, Dorothy mulai membeli bahan-bahan dari daftar yang sudah ia tulis sebelumnya. Begitu sebagian besar terkumpul, ia menuju toko-toko mewah di jalan komersial untuk melengkapi sisanya. Lima belas pound habis dari kantongnya. Dengan barang belanjaan di tangan, ia kembali naik kereta menuju pinggiran barat Igwynt, hingga tibalah di sebuah hutan kecil.
Dulu hutan ini luas, penuh satwa buruan. Kini, akibat perburuan berlebih dan meluasnya kota, hanya tersisa pepohonan sepi tak bernilai. Di tengahnya masih berdiri sebuah gubuk penebang tua. Setahun lalu, gubuk itu sempat jadi tempat pembunuhan—si pelaku menyembunyikan mayat di sana, dan polisi baru menemukannya setelah pengakuan.
Dorothy tahu cerita itu dari obrolannya dengan para kusir. Justru karena itulah ia merasa tempat ini cocok: terpencil, tak tersentuh para pemuja. Kalau pernah dipakai menyembunyikan mayat, berarti para kultis tak menganggapnya penting.
Turun di dekat spot pemancingan sungai, ia mengenakan jubah, berjalan menembus pepohonan, hingga tiba di gubuk kosong itu.
Gelap, pengap, dan bau busuk menyelimuti ruangan. Namun Dorothy tak terganggu. Ia segera menyiapkan ritual.
“Serbuk kapur bercahaya… serpih kayu merah… rumput bayangan…”
Satu per satu bahan ia keluarkan dari tas: mineral, serpihan kayu, dan herbal. Semua ia campur jadi bubuk halus, lalu digoreskan membentuk lingkaran sederhana sesuai petunjuk pengetahuan mistik. Enam lilin ia pasang mengelilinginya, dan tiga tungku kecil dari kuningan ia isi dengan dupa impor beraroma tajam.
Asap wangi segera memenuhi ruangan. Dorothy lalu melangkah ke tahap terakhir: menggambar simbol spiritual di tengah lingkaran.
Ia menusuk jarinya dengan jarum, meneteskan darah ke bubuk sisa, lalu mengaduknya. Dengan adonan itu, ia hati-hati melukis simbol.
Menurut catatan mistik Aldrich, simbol-simbol spiritual adalah sebagai berikut:
Lentera: tongkat tegak lurus, dengan delapan garis cahaya memancar dari puncaknya, bagai matahari kecil.
Bayangan: sebilah belati melengkung membentuk bulan sabit.
Piala: cawan kuno bertepi lebar dengan segitiga terbalik terukir di tubuhnya.
Batu: bukan batu permata atau palu, melainkan koin dengan segitiga sama sisi tertera di atasnya.
Sunyi: sebuah mata tertutup.
Wahyu: sebuah mata terbuka.
Dorothy hendak melakukan ritual “Wahyu.” Ia pun menggambar simbol mata terbuka di tengah lingkaran dengan penuh kehati-hatian.
Selesai semua, Dorothy meletakkan alatnya, lalu berlutut di depan lingkaran. Dengan suara lirih, ia melafalkan mantra.
“Aku bersumpah menapaki jalan ini… menghormati prinsip ini… menyelami lautan pengetahuan… mencari kebenaran… Aku akan jadi kompas… sekaligus arah…”
Suara lembutnya menggema, membuat udara di ruangan seakan bergerak. Asap dupa melingkar-lingkar, dan nyala lilin bergetar seakan menanggapi.
Mantranya usai, Dorothy memulai doa.
“Aku ingin menapaki jalur ‘Wahyu,’ tapi jalannya tertutup kabut. Di sini aku berdoa, memohon pada entitas agung yang tersembunyi, bukalah jalan, tunjukkan arah…”
Begitu doa itu berakhir, gema suaranya terdengar di dalam pikiran.
“Memohon pada entitas agung yang tersembunyi, bukalah jalan, tunjukkan arah…”
Beberapa detik kemudian, sebuah jendela transparan muncul di hadapannya.
“Permintaan bimbingan awal diterima. Ingin melanjutkan bimbingan?”
Sudut bibir Dorothy terangkat tipis. Dengan niatnya, ia memilih “Konfirmasi.”
No comments:
Post a Comment