Bab 45 : Persiapan
Melihat Edrick berlutut khidmat di hadapannya dan bersumpah setia, aku mengangguk puas. Gerakan Edrick sekarang sudah jauh melampaui batas wajar sebuah boneka mayat—nyaris tak bisa dibedakan dari manusia hidup. Semua ini berkat kemampuan baru yang kudapat setelah kenaikan peringkatku.
Kini aku bisa memperkuat kendali atas Corpse Marionette Ring dengan mengonsumsi spiritualitas “Wahyu”. Peningkatan ini memberiku kendali yang jauh lebih presisi, membuat boneka mayat mampu melakukan gerakan rumit yang sebelumnya mustahil. Bahkan, aku bisa membuat mereka berbicara. Jika mengorbankan lebih banyak “Wahyu”, aku bisa menambah jumlah maksimum boneka yang bisa dikendalikan untuk sementara waktu.
Peningkatan ketajaman mental dan kendali ini benar-benar mencerminkan kemampuan seorang Beyonder jalur “Wahyu”—namun tentu saja, ada harga yang harus dibayar.
Untuk mempertahankan kendali tingkat percakapan pada sebuah boneka, aku harus menginjeksi 1 poin “Wahyu” ke dalam cincin. Efek itu hanya bertahan satu hari. Sementara itu, meningkatkan jumlah boneka yang bisa kukendalikan membutuhkan lebih banyak “Wahyu”.
Kalau terus-terusan digunakan, persediaanku pasti cepat terkuras. Namun, setelah kenaikan peringkat, kapasitas spiritualku mengalami perubahan mendasar.
Sebelum jadi seorang Cognizer, aku memiliki sepuluh poin “Wahyu” yang sifatnya hanya simpanan. Kini, semuanya telah berubah menjadi lima poin “Wahyu” bawaan.
Spiritualitas simpanan akan berkurang setiap kali dipakai, sedangkan spiritualitas bawaan bisa pulih perlahan lewat istirahat. Dengan kata lain, “Wahyu” bagiku kini serupa sumber daya regeneratif—mirip sistem MP dalam permainan. Aku punya lima poin “Wahyu” bawaan yang bisa pulih seiring waktu, tapi batasnya tetap lima. Sementara jenis spiritualitas lain yang kumiliki masih berupa energi simpanan yang habis bila dipakai. Beyonder dari jalur lain pun mengalami transformasi serupa—seorang Craver, misalnya, akan punya lima poin “Chalice” bawaan.
Kupandangi cincin Corpse Marionette di tanganku, lalu menatap Edrick yang masih berlutut. Senyum tipis terulas di bibirku. Waktunya sudah tiba untuk menghadapi Crimson Eucharist secara langsung.
“Sekarang waktunya bersiap... Biar kali ini mereka yang merasakan penderitaan,” gumamku pelan, kedua tanganku merapat di belakang punggung sementara mataku menatap cahaya redup lampu gas di gudang.
Dua Hari Kemudian
Fajar menyingsing di Igwynt. Cahaya lembut pagi menimpa apartemen-apartemen di Southern Sunflower Street, kawasan kota atas. Gregor terbangun, mengucek matanya yang masih berat, lalu bangkit dari ranjang. Seperti biasa, dia berpakaian, menguap panjang, kemudian membuka pintu kamarnya. Begitu melangkah ke ruang tamu, pemandangan tak terduga menantinya.
“Dorothy? Haha... Jarang-jarang aku lihat kamu bangun sepagi ini,” ujar Gregor sambil terkekeh saat melihat gadis berambut putih itu tengah sarapan tenang di sofa.
Biasanya, akulah yang lebih pagi, sering mengomelinya karena terlalu suka tidur lama. Tapi hari ini, dia yang lebih dulu bangun. Dorothy menggigit sepotong roti, lalu menoleh sekilas pada Gregor yang berdiri di ambang pintu.
“Sekolah ada pelajaran praktik hari ini. Jadi harus kumpul lebih awal,” jawabnya santai.
“Oh, pelajaran praktik ya? Bagus juga. Lebih segar bergerak di luar ruangan daripada terkurung seharian di kelas. Metode sekolahmu memang lumayan inovatif,” komentar Gregor sambil berjalan ke kamar mandi.
Tak lama, keduanya sarapan bersama, meski Dorothy lebih dulu selesai dan bergegas pergi.
Beberapa saat setelahnya, Gregor juga keluar, menuruni tangga apartemen.
Dia tak memilih naik kereta kuda, melainkan berjalan cepat melewati jalanan pagi yang masih sepi. Empat puluh menit kemudian, langkahnya membawanya keluar dari kawasan perumahan menuju pusat kota yang mulai ramai. Sepuluh menit lagi, tibalah dia di depan sebuah gedung sepuluh lantai yang dipenuhi papan iklan perusahaan.
Gregor masuk ke lobi, melangkah di atas lantai marmer mengilap menuju meja resepsionis, di mana seorang wanita tua berambut memutih dan berkacamata tengah sibuk menulis.
“Selamat pagi, Bu Ida,” sapa Gregor ramah.
Wanita itu menoleh, merapikan kacamatanya, lalu menjawab dengan suara tegas namun hangat.
“Pagi, Gregor. Kamu jalan kaki lagi? Rumahmu kan lumayan jauh. Bukankah lebih mudah naik kereta kuda?”
“Terima kasih atas perhatiannya, tapi aku memang suka olahraga. Jarak segini belum cukup buat bikin aku berkeringat,” jawab Gregor sambil tersenyum lebar.
Wanita itu mengangguk, lalu menyerahkan sebuah kunci.
“Baiklah, terserah kamu. Oh ya, ruang nomor 8 lagi diperbaiki hari ini, jadi kamu pakai ruang 6 saja.”
“Baik, terima kasih, Bu Ida,” ucap Gregor sebelum berbelok ke lorong samping.
Alih-alih menaiki tangga utama, dia memilih sebuah koridor yang berujung pada pintu biasa. Setelah membukanya, tampaklah tangga menurun. Pintu ditutup kembali, Gregor menuruni anak tangga menuju aula luas tanpa hiasan, penuh dengan para petugas dan pegawai yang sibuk.
Mengabaikan keramaian, Gregor langsung menuju pojok ruangan, di mana rak-rak penuh senjata, topeng, dan peralatan lain berdiri berjajar. Di balik meja depan rak, seorang pemuda berkacamata dengan rambut cokelat keabu-abuan tampak serius menulis.
“Hey, Brandon!” seru Gregor sambil menepuk keras meja.
Pemuda itu terlonjak kaget, hampir jatuh dari kursinya. Begitu sadar siapa yang datang, dia menghela napas lega.
“Hh... Tuan Mayschoss, hampir saja jantungku copot.”
“Haha! Kamu terlalu penakut, Brandon. Kalau mau jadi Hunter, mentalmu harus lebih kuat. Oh ya, berhentilah panggil aku dengan ‘Tuan’. Panggil saja Gregor,” sahutnya sambil tertawa.
Brandon tersenyum kecut, menggeleng pelan.
“Aku rasa tidak, terima kasih. Aku sudah cukup puas jadi pegawai. Dulu memang sempat punya mimpi konyol waktu muda.”
“Kau dulu ingin jadi seperti ayahmu,” sela Gregor.
“Itu cuma khayalan bocah. Nyatanya, aku memang tak cocok. Apa yang kulakukan sekarang pun tetap bermanfaat untuk Biro, hanya lewat cara berbeda,” jawab Brandon mantap.
Gregor mengangguk paham.
“Selama kau memberi kontribusi, itulah yang terpenting.”
Tiba-tiba, suara serak menggema dari seberang aula.
“Brandon! Tambah lagi lima ratus butir peluru!”
No comments:
Post a Comment