Grimoire Dorothy Chapter 36

Bab 36: Identitas

Barat Igwynt, Sekolah Saint Amanda pada malam hari.

Malam sunyi menyelimuti Saint Amanda setelah makan malam. Para siswa laki-laki yang hendak masuk kelas malam mendadak dikejutkan suara tembakan nyaring yang bergema dari arah jauh di dalam kampus. Rasa penasaran membuat mereka bergegas ke jendela kelas, berusaha mengintip ke kegelapan dan saling berspekulasi dengan penuh semangat. Hanya ketika seorang guru berwajah keras membentak agar mereka kembali duduk, kegaduhan itu mereda.

Sementara ruang kelas masih terang benderang untuk pelajaran malam, jauh di bawah sekolah, di ruang bawah tanah yang luas dan tersembunyi, cahaya lampu gas juga menyala terang, menyingkirkan setiap bayangan.

Balai besar itu penuh dengan meja dan lemari, semuanya dipenuhi patung batu berbagai ukuran. Ada patung kepala kecil, patung setengah badan, hingga patung utuh setinggi manusia, berserakan di meja, kursi, bahkan lantai. Ukiran pada tiap patung begitu halus, seolah bernyawa. Di sepanjang dinding berjajar bongkahan batu mentah, menunggu digarap. Ventilasi besar dengan kipas berputar pelan berderu samar, menandakan adanya sumber tenaga misterius.

Debu putih melapisi lantai, bangku-bangku tersebar tak rapi, palu dan pahat tergeletak di sudut. Tak jauh, papan gambar penuh dengan sketsa wajah manusia dan bentuk geometri rumit, semuanya hitam putih, tanpa warna, hanya goresan pensil. Tak ada setetes pun cat.

Sekilas, ruangan ini tampak seperti bengkel pemahat batu. Dorothy berdiri di tengahnya, menatap sekeliling penuh rasa ingin tahu. Tak jauh darinya, sang penjaga sekolah, Dean, tampak sibuk memahat patung kepala seorang pria berwajah keras dengan pahat kecil, menyalin dari foto-foto hitam-putih yang bertumpuk di sampingnya. Suara ketukan ritmis alatnya menggema di ruangan.

Di sisi lain, lima tubuh terbujur rapi di lantai, masing-masing ditutupi kain putih.

“Terima kasih banyak sudah menyelamatkanku malam ini, Pak...” Dorothy akhirnya membuka suara setelah menatap sekeliling. Pandangannya kembali pada Dean, yang tetap memahat sambil tersenyum tipis.

“Heh... Para pesuruh Crimson Eucharist itu melanggar batas, membuat keributan di wilayahku. Sudah sewajarnya aku turun tangan. Tapi, Nona Mayschoss, yang pantas kau syukuri adalah dirimu sendiri...”

Dean melirik ke lima jasad itu, nada suaranya mengandung kekaguman.

“Dari lima orang itu, empat kau habisi sendiri. Aku hanya merampungkan sisanya. Saat aku menerima pesan dari marionetemu, keretamu sudah melaju cukup jauh. Kalau bukan karena kau berhasil memaksa mereka berbalik arah, bahkan aku takkan sempat tiba tepat waktu untuk menyelamatkanmu...”

Pandangan Dean kembali ke Dorothy.

“Keberanianmu, ketenanganmu, kejernihan pikiranmu... Untuk usia sepertimu, itu sungguh luar biasa. Senang rasanya punya murid seperti dirimu di Saint Amanda. Terutama seorang gadis yang jauh melampaui para bangsawan muda sok pintar yang hanya pandai bicara.”

“Bapak terlalu memuji,” jawab Dorothy sambil menunduk sedikit, rendah hati, lalu melanjutkan,

“Aku masih jauh dari kata hebat. Ada banyak hal yang ingin kupelajari... dan banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Anda.”

Dean tersenyum kecil, menatapnya tajam beberapa saat, kemudian berkata,

“Pertanyaan, ya? Boleh saja. Tapi sebelum itu, kau harus menjawab pertanyaanku lebih dulu. Bagaimana kau bisa tahu kalau aku bukan orang biasa? Apa kau punya kemampuan mengenali seorang Beyonder?”

Pertanyaan itu merujuk pada saat Dorothy, setelah masuk ke kereta milik Eucharist, menggunakan marionet tokeknya untuk menuliskan kata Crimson Eucharist di tanah dekat taman sekolah—sinyal darurat yang memanggil Dean. Dorothy memang sudah curiga sejak awal bahwa lelaki tua itu bukanlah sosok sederhana.

Setelah berpikir sebentar, Dorothy menjawab dengan nada analitis.

“Tindakan Anda pertama kali menarik perhatianku ketika Anda pura-pura tersandung dan hampir menjatuhkan dua patung di depan kakakku dan aku. Kakakku berhasil menangkap keduanya, dan Anda lalu memuji, ‘Refleks bagus, Nak.’ Kalimat itu... menekankan pada kelincahan. Dari situ aku mulai curiga, meski saat itu kupikir aku terlalu berprasangka.”

Dean mengangguk tipis. Dorothy melanjutkan.

“Kecurigaanku makin kuat ketika aku bertanya pada Anda tentang patung-patung di ruang seni. Aku perhatikan cara Anda membersihkan patung... bukan sekadar teliti, tapi terstruktur.”

Dorothy mulai berjalan pelan, mengingat detailnya.

“Gerakan Anda bukan sembarangan. Setiap usapan mengikuti struktur patung, seolah mengukir. Bagian-bagian kecil, bahkan lipatan bawah kelopak mata, Anda bersihkan berulang dengan arah yang sama. Itu lebih mirip teknik memahat daripada sekadar membersihkan. Penjaga sekolah biasa takkan melakukannya.”

Dean menaruh pahatnya, bertepuk tangan pelan, senyum puas di wajahnya.

“Ha! Pengamatan setajam itu... benar-benar langka.”

Dorothy meneruskan tanpa ragu.

“Sejak itu, aku mulai benar-benar memperhatikan. Meskipun usia Anda sudah lanjut, gerakan Anda terlalu lincah. Terlalu tenang. Jatuh di tanah datar jelas pura-pura. Itu ujian kecil, bukan kecelakaan. Tapi semua itu masih sekadar dugaan... sampai aku mencari data.”

Dorothy menatap lurus ke Dean.

“Aku mengirim marionet kecilku ke arsip dan catatan kepegawaian sekolah. Hasilnya jelas: nama ‘Dean’ memang tercatat, tapi tidak ada pembayaran gaji atas nama itu. Saat itulah aku sadar—Anda bukan sekadar penjaga. Anda adalah kepala sekolah, Aldrich. Saat itu aku belum yakin apakah Anda Beyonder, tapi dalam keadaan terjepit, aku tidak punya pilihan selain meminta bantuan Anda.”

Dean terbahak kecil, tawa rendah menggema di ruang penuh patung.

“Bagus sekali, Nona Mayschoss. Luar biasa. Ya, aku memang Aldrich, kepala sekolah Saint Amanda.”

Ia meletakkan alatnya, berbalik, lalu duduk di kursi. Wajahnya masih tersenyum saat menatap Dorothy.

“Analisis yang mengagumkan, kecerdasan yang tajam. Sekarang... giliranmu bertanya.”

Dorothy mengangguk tipis, menjaga ekspresi serius.

“Terima kasih, Tuan Aldrich. Pertanyaan pertamaku: kenapa Anda menguji aku dan kakakku di hari pertama? Apa yang membuat Anda memperhatikan kami?”

Aldrich tidak segera menjawab. Ia menyesap teh, senyumnya samar, lalu berkata,

“Menurutmu apa, Nona Mayschoss? Atau mungkin... gadis kecil yang cukup berani?”

Nada suaranya berubah, dalam dan penuh wibawa. Dorothy tertegun. Ia mengenali suara itu.

Suara yang pernah ia dengar tak lama lalu, di sebuah pertemuan rahasia yang nekat ia hadiri.

Itu adalah suara Grayhill.

No comments:

Post a Comment