Bab 35: Pengejaran
Di pedesaan pinggiran barat Igwynt, tiga kereta melesat di jalan sunyi. Satu di depan, dua lain mengejar di belakang. Sesekali kilatan tembakan menerangi kegelapan, membelah keheningan dengan dentuman senjata.
Dorothy menelungkup di kursi kusir, tubuhnya sibuk mengendalikan banyak hal sekaligus. Tangan dan pikirannya serentak memandu kuda mayat agar tetap di jalan berliku, sementara tubuh kusir boneka Thomas di atap kereta menembakkan pistol ke arah pengejar. Peluru berdesing, menghantam kayu dan besi. Sesekali Dorothy mendengar dentuman peluru menancap di dinding kereta.
Dengan kecepatan tinggi dan pijakan tak stabil, akurasi nyaris mustahil. Sebagian besar tembakan meleset, yang kena pun hanya menyayat kereta, tak membahayakan.
Di atas atap, Thomas si boneka mati terus menembak ke arah mantan rekannya. Namun peluru revolver terbatas. Begitu kosong, Dorothy cepat mengendalikan Thomas untuk melempar pistolnya kembali ke bawah. Dengan cekatan ia melemparkan pistol terisi. Thomas menangkapnya, kembali menembak, sementara Dorothy mengisi ulang senjata yang kosong. Siklus tukar-menukar ini membuat rentang waktu tembakan bertahan tanpa jeda berarti.
Mengemudi, menembak, mengisi ulang—Dorothy mengerahkan tubuhnya dan dua boneka mayat secara bersamaan, pertunjukan multitasking yang menakjubkan.
Karena Thomas menembak dari atap, bidikan musuh pun terfokus padanya. Meski sulit mengenai, beberapa peluru akhirnya menembus dadanya. Dua tembakan bersarang di tubuhnya, namun Thomas tetap berdiri. Sebagai mayat hidup, ia hanya butuh jalur kendali dan aliran arwah Chalice tetap utuh untuk berfungsi.
Dengan “cheat keabadian” ini, Dorothy perlahan unggul. Meski bidikannya biasa-biasa saja, tingkat toleransi kesalahannya tinggi. Akhirnya, tembakan Thomas berhasil menembus dada salah satu penumpang kereta pengejar, membunuhnya seketika. Begitu tubuhnya mulai terkulai, Dorothy segera melepaskan kendali Thomas, lalu mengulur benang roh cincin Corpse Marionette ke jasad baru itu.
Mata pria itu bergulir, tubuhnya bangkit kembali. Dengan pistol yang masih tergenggam, ia berbalik dan menembak rekannya yang duduk di samping.
Bang!
Tembakan jarak dekat, telak, menumbangkan korban kedua.
Dorothy mencoba mengendalikan mayat itu untuk menembak kusir dua kereta, tapi mereka sudah sadar. Salah satu kusir menarik keras kendali, membuat kereta berbelok tajam. Getaran itu mengacaukan bidikan, peluru meleset dan malah menghantam salah satu kuda.
Kuda itu meringkik, hilang kendali, menabrak kereta di sebelahnya. Dua kereta saling bertabrakan, tali kendali terjerat, dan keduanya terjungkal dalam kecelakaan kacau.
Kereta Dorothy melaju kencang, meninggalkan puing-puing.
Namun dari reruntuhan, dua sosok bangkit perlahan—para kusir. Tubuh mereka penuh luka dan darah, tapi tetap berdiri. Pandangan kosong mereka hanya tertuju pada kereta Dorothy yang menjauh.
“Kita tidak boleh mundur...”
“Misi harus diselesaikan...”
“Waktunya tiba... untuk mempersembahkan diri...”
“Menjadi santapan... bagi jamuan...”
Dengan suara datar, mereka merogoh pakaian. Tangan mereka mengeluarkan kertas tua seukuran telapak, dengan pola arkana rumit dan simbol piala di tengah.
“Dengan tubuh ini sebagai persembahan... kami memohon pada Blood Chalice...”
Kertas itu mereka tempelkan ke dahi. Seketika, api merah darah menyala, melahap habis kertas itu, meninggalkan tanda piala bercahaya samar di dahi.
Mata mereka berpendar merah. Mengabaikan luka, kedua kusir itu mulai berlari mengejar—kecepatan mereka menyalip kuda.
Di atas kereta, Dorothy sempat menghela napas lega, mengira sudah lolos. Ia bahkan mulai berpikir untuk berhenti, tapi kegaduhan di belakang membuatnya menoleh.
Matanya terbelalak. Dua sosok berlari dengan kecepatan tak masuk akal, mendekat dengan cepat. Ia mengenali mereka—kusir dari kereta yang terguling.
“Gila... mana mungkin manusia bisa berlari lebih cepat dari kuda?!”
Dorothy segera bertindak. Ia menghidupkan kembali Thomas di atap untuk menembaki mereka. Satu roboh oleh hujan peluru, namun yang lain sudah melompat ke atap kereta, membuat Dorothy terkejut.
“Ini... tak mungkin manusia!”
Dorothy mengarahkan Thomas untuk menembak jarak dekat. Namun kusir itu lebih cepat. Dengan sekali tebas, ia menepis pistol Thomas dan melempar tubuhnya dari atap. Dorothy kini tanpa perisai.
Pria itu langsung menerjang ke kursi kusir, tepat ke arahnya. Dorothy mengernyit, menyadari situasi genting.
“Sial... aku harus gunakan Dragon Shouts...”
Namun sebelum ia sempat melepaskannya, suara siulan tajam membelah udara. Sebuah tombak batu panjang meluncur dari kejauhan, menembus dada kusir itu dan menghantamnya ke tanah, tertancap mati.
Dorothy tertegun. Ia menoleh ke arah datangnya tombak. Di kejauhan, di perempatan jalan, berdiri beberapa sosok.
Empat ksatria berzirah penuh, seluruh tubuh bagai batu abu-abu, berdiri tegak seperti patung. Salah satunya masih dalam posisi melempar tombak.
Di tengah mereka berdiri seorang lelaki tua. Pakaiannya sederhana, hanya celemek dan lengan baju digulung. Rambutnya beruban, topinya berdebu. Di tangannya ia memegang seekor tokek kecil yang kaku.
Itu adalah Dean, petugas kebersihan Akademi Saint Amanda.
Senyum tipis terbit di wajahnya. Ia berseru dari jauh,
“Cukup sampai di sini, Nona Mayschoss.”
No comments:
Post a Comment