Novel Bos Terakhir Chapter 141

Bab 141: Sol dari Tujuh Tokoh Ingin Bertempur!

Ketika api Aries menghilang dan medan pertempuran tenang, avatar Fire Ouroboros pun lenyap. Tampaknya, pertarungan telah dimenangkan oleh tim gabungan Aquarius dan para Bintang.

“Yah… agak mengecewakan,” komentar Scorpius, mengangkat bahu.

Tapi hasil ini memang wajar. Avatar itu sebelumnya ditahan sendirian oleh Aquarius. Sekarang, ia harus menghadapi empat Bintang sekaligus: Aries, Scorpius, dan Karkinos, dengan Phoenix dan Hydrus yang telah menyulitkannya lebih dulu. Kemenangan nyaris tak terelakkan.

Aquarius pun tidak menggubris lebih jauh. Namun, satu hal mengganggunya.

—Di akhir pertempuran, sebelum lenyap… sang avatar tertawa.

Padahal selama ini, avatar itu hanya bereaksi secara refleksif. Menyerang hanya jika diserang, seperti orang yang berkedip saat dikejutkan cahaya atau menarik tangan saat terkena panas. Tapi… tertawa?

Itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

Segelnya belum melemah. Ouroboros masih tertidur. Namun tawa itu… terasa nyata.

Dan membuat Aquarius resah.

“Oi, Aquarius. Ayo naik. Sudah selesai, kan?” seru Scorpius.

“...Ya. Kita naik.”

Ia menoleh sebentar ke arah naga raksasa yang kembali terlelap.

Tak ada tanda bergerak.

Namun, sesaat setelah mereka meninggalkan tempat itu…

Fire Ouroboros membuka matanya.
Dan… menutupnya kembali.

Di tempat lain—Alfheim, tanah para peri.

Putri Pollux dan kakaknya, Castor, kini berkumpul bersama tokoh-tokoh penting: Terra, sang pangeran iblis; Virgo, Bintang Surgawi; serta Luna, anggota Tujuh Tokoh. Dalam keadaan siaga tinggi, Pollux bahkan memanggil tiga roh pahlawan sebagai penjaga:

  • Pavo: mantan flügel yang terobsesi gaya mewah seperti merak. Diasingkan karena ‘terlalu mencolok.’

  • Apus: petualang flügel yang pernah menganggap Ruphas sebagai rival… sampai menyerah tanpa perlawanan.

  • Corvus: flügel yang mengecat sayapnya hitam demi meniru Ruphas.

Mereka semua Level 1000. Tiga veteran Perang Besar dua abad lalu. Para pengikut Ruphas yang setia dan berbahaya.

Pollux duduk bersandar di pohon, menyilangkan tangan. Wajahnya tenang, tapi pikirannya tajam seperti pisau.

“Yang perlu kita pikirkan sekarang… adalah satu hal penting: Apa langkah Dewi berikutnya?

“...Apa bukan lebih baik dibicarakan di hadapan Ruphas-sama?” tanya Virgo hati-hati.

Namun Pollux menggeleng.

“Tak perlu. Ruphas-sama pasti sudah memahami arah ini, bahkan jika beliau belum menyadarinya secara sadar.”

“…Kalau begitu, bagaimana dengan para Bintang lain?”

“Juga tak perlu. Akan jadi malapetaka kalau Scorpius dan Aigokeros ikut terlibat. Bisa-bisa, dunia sudah meledak sebelum sempat musyawarah.”

Komentarnya terdengar kejam… tapi juga tidak salah.

Pollux sadar bahwa kepercayaan membabi buta adalah bentuk kelengahan. Terutama ketika lawan mereka adalah entitas sekelas Dewi Penciptaan.

“Dewi bisa mengubah hati, mencuci ingatan, bahkan mengambil kendali penuh atas seseorang,” ujar Pollux.

“Bahkan aku pun… tidak yakin diriku bebas dari pengaruhnya.”

Dengan kata lain—hanya Ruphas dan Benetnash yang pasti bersih.

Sebab satu-satunya cara lolos dari kendali Dewi adalah menjadi terlalu ‘aneh’ untuk dimasukkan ke dalam sistem. Dan mereka berdua… terlalu absurd untuk dikendalikan.

Pollux melanjutkan.

“Dewi memiliki tiga metode utama:

  1. Mengendalikan orang lewat kelemahan hati.

  2. Mengambil alih kesadaran secara langsung.

  3. Mengaktifkan bidak yang telah ia siapkan jauh-jauh hari.”

Terra tampak tak percaya. “Tapi… bukankah dia mahakuasa?”

Pollux menggeleng.

“Tidak juga. Dunia ini terlalu kecil dibanding keberadaan dirinya. Bahkan dia tak bisa melihat detailnya. Bayangkan dunia ini seperti butiran pasir. Apa kau bisa membedakan satu molekul asing di dalamnya tanpa menghancurkannya?”

Terra mengangguk pelan.

“…Kalau Dewi sendiri turun tangan langsung, dunia ini akan hancur hanya karena ia bernapas.”

Karena itulah, Dewi hanya bisa menggerakkan ‘alat kecil’ dengan hati-hati. Dan alat terbaiknya… adalah ouroboros.

“Karena itulah kita menyegel mereka lebih dulu,” lanjut Pollux.

“Dan saat ini, hanya dua yang tersisa: Moon Ouroboros dan Heavenly Ouroboros.”

Moon Ouroboros adalah Raja Iblis—Orm. Tapi karena Pollux dan Castor adalah bagian dari Wood Ouroboros, sementara Aquarius dan Parthenos telah berpihak ke Ruphas, kini… kekuatan Dewi sangat terbatas.

Tiba-tiba, suara tajam menyela dari balik semak:

“Analisismu tak buruk… Tapi salah.”

Semua orang langsung siaga.

Muncul dari kegelapan, melangkah santai, seorang pria jangkung berambut putih, bermata emas, dan berkulit biru—ciri khas iblis kelas atas.

“Target pertamaku adalah Wood Ouroboros.”

Luna menggigil.

“...Kau—Sol!?”

Sol dari Tujuh Tokoh.
Salah satu tangan kanan Dewi.
Level-nya… seharusnya 300.
Tapi energi yang terpancar darinya…

…menyeramkan.

Sol melangkah keluar dari bayang-bayang, senyumnya tipis, tapi hawa di sekitarnya mendadak menegang—seperti udara sebelum badai besar.

Pohon-pohon di sekitar mereka layu seketika. Tanah merekah. Burung-burung lari tak tentu arah, dan bahkan kabut pun seolah menghindar dari tempat pria itu berdiri.

“Aku datang atas perintah Dewi. Tapi bukan untuk membujuk, bukan untuk menyusup… hanya satu hal.”

Mata emasnya menyala.

“Menghancurkan Wood Ouroboros.”

Pollux berdiri dari duduknya, pandangannya tajam.

“Begitu ya. Jadi kita memang berada dalam daftar teratas, ya?”

“Benar,” sahut Sol, tanpa menyembunyikan niatnya. “Karena kalian berdua—Castor dan Pollux—adalah variabel yang paling menyebalkan bagi Dewi. Kalian memihak Ruphas. Kalian menolak takdir. Dan yang lebih parah… kalian membuat Bintang lainnya ragu terhadap garis besar dunia ini.”

Virgo gemetar, tapi tetap berdiri di sisi mereka.

“…Dewi tidak suka manusia berpikir.”

“Bukan hanya manusia,” ujar Sol, suaranya dalam dan menusuk.

“Dewi membenci ‘kesadaran’ di luar rancangannya. Termasuk milikmu, Luna.”

Luna menggertakkan gigi. “Kau… menghancurkan semuanya hanya karena kami tidak patuh?”

“Bukan ‘kami’.”
Kau.

Sol mengangkat tangannya.

Segera, tanah di bawahnya merekah, dan dari balik celah muncul bayangan-bayangan hitam yang merayap seperti tinta. Mereka membentuk sesuatu yang mirip tubuh—raksasa kegelapan berkulit besi, berbentuk seperti manusia… namun tidak bernyawa.

“Leviathan Tanpa Bentuk.”
Satu dari avatar kekacauan yang diciptakan dari pengaruh langsung Dewi.

“Lawan aku… kalau bisa,” ucap Sol ringan.

“Jika kalian bertahan, aku akan mempertimbangkan kembali laporan untuk Dewi.”

Pollux melangkah maju. Cahaya kehijauan mengelilinginya, dan bunga-bunga tumbuh dari tanah yang baru saja rusak.

“Kalau begitu, aku akan tunjukkan…”
“Bahwa Wood Ouroboros tak akan tumbang hanya karena ancaman kecil dari tangan Dewi.”

Castor muncul di sisi lain, tongkatnya bersinar.

“Dan aku—sebagai cahaya yang menyertai kegelapan adikku—takkan membiarkanmu menyentuh setitik pun hutan ini.”

Pavo, Apus, dan Corvus berdiri berbaris. Mereka membuka sayap flügel masing-masing. Aura suci menyelimuti ketiganya, meski jelas mereka berbeda dari flügel lainnya.

Virgo, meski gentar, memanggil kekuatan konstelasinya.

Luna membuka salib kembar di punggungnya, sebuah relik Tujuh Tokoh yang kini diarahkan pada Sol.

“Kalau begitu,” kata Sol, sambil mengangkat satu jari,

“Mari kita mulai pertarungannya.”

BOOM!!

Pertarungan pecah seketika.

Castor mengangkat tongkatnya dan menciptakan penghalang cahaya berlapis tiga di depan tim mereka. Pavo dan Corvus meluncur ke langit seperti peluru, menyerbu langsung Leviathan tanpa Bentuk yang dikendalikan oleh Sol.

Makhluk itu mengangkat lengannya—panjang, kurus, dan retak-retak seperti porselen tua—lalu mengayunkan satu serangan ke bawah.

BOOOMM!!

Tanah seakan berguling. Seluruh hutan bergetar.

Apus menahan serangan itu dengan dua tangan, tapi terdorong mundur puluhan meter. Dia menggertakkan gigi.

“Gila… Ini bukan lawan biasa…”

Di tengah benturan energi, Pollux tetap tenang. Ia merentangkan tangan, dan ratusan tanaman merambat muncul dari tanah, menjerat kaki Leviathan, kemudian tumbuh cepat seperti ular hijau yang ingin menelan tubuh raksasa itu.

“Growth of Gaia.”

Tanaman suci, ditanam hanya dalam wilayah Wood Ouroboros, bisa menahan bahkan makhluk iblis kelas atas.

Tapi Leviathan merespons dengan menyebarkan asap hitam, sejenis kabut kutukan, yang melelehkan akar-akar itu seperti cairan asam.

Pollux mengerutkan alis. “Ini… bukan racun biasa. Ini—”

“—Kutukan.”

Suara Sol terdengar dari atas pohon, kini berdiri di cabang yang seharusnya tak sanggup menopang berat tubuh.

“Kutukan dari bintang. Dari langit. Bukan dari dunia ini.”

Luna melepaskan dua salibnya, berubah menjadi busur dan panah bercahaya.

“Kalau begitu… aku akan menghancurkannya dari asal!”

Ia menembakkan [Artemis Nova], serangan yang menghantam langsung ke tengah tubuh Leviathan. Ledakan suci mencabik lapisan kegelapan itu, untuk sesaat memperlihatkan bagian dalam makhluk tersebut—

…yang ternyata berisi wajah manusia.

Banyak. Ratusan.

Semua merintih, menangis, ada yang tersenyum, ada yang tertawa seperti orang gila.

“…Itu…” bisik Virgo, gemetar.

“Mereka yang ditelan oleh kutukan Dewi,” kata Sol. “Manusia, elf, flügel, beastkin. Semuanya. Dan sekarang… mereka bagian dari dia.”

Castor mengangkat tongkatnya tinggi.

“—Kalau begitu, kita akan menyelamatkan mereka. Dengan cahaya.”

“Astral Seal – Polaris Cross!!”

Cahaya berbentuk salib raksasa turun dari langit, menghantam tubuh Leviathan dari atas. Seluruh hutan terang benderang sejenak.

Leviathan berteriak—bukan dengan satu suara, tapi ratusan suara yang tumpang tindih. Tangis, tawa, jeritan… dan satu kalimat yang paling menyayat:

“...Tolong... bunuh kami...”

Pavo dan Corvus mendarat bersamaan.

“Kalau begitu… kita akan mengabulkan permintaan mereka,” kata Corvus.

“Aku bahkan akan menari untuk mereka,” ucap Pavo sambil membentangkan jubahnya seperti merak.

Pollux berdiri di tengah, rambutnya berkibar oleh tekanan sihir.

Ia menatap Sol tajam.

“Kenapa kau lakukan ini? Apa yang kau dan Dewi inginkan?”

Sol menatap kembali—tanpa emosi.

“Keseimbangan. Dunia ini miring. Kalau dibiarkan, semuanya akan hancur oleh keinginan yang tak terkendali.”

“Jadi… kau menyebut kehendak bebas sebagai kesalahan?”

“Bukan kesalahan. Tapi anomali. Dunia ini harus diputar ulang.”

“Kalau begitu…”

Pollux membuka tangannya.

Ratusan roh kayu muncul di sekelilingnya, membentuk lingkaran cahaya hijau tua.

“…Aku akan jadi anomali pertama yang menghentikanmu.”

Pollux berdiri di pusat pusaran roh hutan, aura kayu suci mengelilinginya bagai jubah dewa alam.

“Sol… Aku sudah dengar cukup.”

Sol, masih berdiri di atas cabang pohon, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Tak ada rasa terancam. Tak ada kemarahan. Hanya… ketenangan yang mengganggu.

“…Kalau begitu,” katanya pelan, “Izinkan aku menunjukkan kenapa Dewi mempercayakan tugas ini padaku.”

Tiba-tiba—cahaya hitam muncul di balik punggungnya.

Tiga lingkaran sihir berputar berlapis-lapis, seperti roda takdir yang menolak dibaca.

Dari sana, muncul bentuk senjata… tombak kembar, hitam perak berkilau, masing-masing mengandung kutukan dari langit dan bumi.

Tanah mulai merekah. Langit di atas mereka—yang seharusnya dilindungi pohon raksasa Alfheim—berubah kelabu.

“Mode Awakened,” gumam Virgo.

“Bukan…” Castor menggertakkan gigi. “Ini bukan kekuatan iblis biasa.”

“Ini… ekstensi dari kekuatan Dewi.

Sol mengangkat kedua tombaknya, lalu mengatupkan mereka seperti sepasang gunting.

“Domain: Kematian Tanpa Penyebab.”

Seketika, seluruh dunia menjadi sunyi.

Tidak ada suara. Tidak ada getaran. Tidak ada warna. Hanya… diam.

Castor terhuyung, bahkan tanpa terluka. Corvus jatuh berlutut. Luna menahan napas, keringat dingin mengucur.

“Apa ini…?”

Virgo menoleh ke Pollux, suaranya gemetar.

“Bahkan aku… tak bisa merasakan Roh Bintangku…”

Pollux berusaha tetap berdiri.

Tapi tubuhnya perlahan kehilangan koordinasi—seolah dunia menolak keberadaannya.

“…Kutukan ini,” gumamnya pelan, “adalah konsep ‘hapus dari cerita.’

“Benar,” sahut Sol.

“Siapa pun yang terkena serangan ini… bukan hanya mati.”

“Mereka akan ‘tidak pernah ada.’”

“Dalam sejarah. Dalam ingatan. Dalam dunia.”

“Bahkan Dewi sendiri pun… takkan mengingat mereka.”

“Begitu berbahayanya…” Castor mengepalkan tangan.

“Kenapa Dewi memberimu kekuatan seperti ini?”

Sol tidak menjawab. Ia hanya mengangkat salah satu tombaknya—lalu melemparkannya lurus ke arah Castor.

Waktu seolah melambat.

Namun sebelum tombak itu mencapai sasaran…

“Barrier of Yggdrasil!”

Pollux berdiri di depan kakaknya, tangan terentang.

Tombak menancap—dan dunia terguncang.

Ledakan tak terjadi.

Sebaliknya, suara itu lenyap.

Luka tidak muncul.

Tapi… potongan tanah yang terkena serangan itu menghilang.
Benar-benar menghilang. Seolah tidak pernah ada. Bukan hancur. Bukan lenyap karena sihir. Tapi… dihapus dari realitas.

Corvus berteriak, “Kita harus memisahkan dia dari medan! Dia memakai medan ini sebagai bahan bakar kekuatan konsep!”

“Bagaimana caranya!?” teriak Apus. “Seluruh tempat ini hutan hidup! Kita tak bisa membiarkan dia menyerap lebih banyak!”

Tapi sebelum mereka bisa menyusun strategi lanjutan, Sol kembali melompat—tombak keduanya berubah bentuk, menjadi jarum panjang.

Dan satu nama muncul dalam pikirannya.

Pollux.

“Kalau kalian menolak bergabung,” gumam Sol, “maka… kalian akan dihapus.”

Ia meluncur lurus ke arah Pollux, cahaya di tombaknya menyala terang.

Dan saat semua tampak tak bisa menghentikannya—

“Cukup sampai di situ.”

Suara lembut namun menggetarkan udara datang dari balik kabut.

Seseorang berdiri di antara Sol dan Pollux.

Seorang wanita berambut ungu gelap, mengenakan mantel raksasa yang berkibar seperti bendera perang. Sayap hitam menutup setengah wajahnya.

Tatapannya menembus waktu dan keberadaan.

Ruphas Mafahl.

Sol menghentikan serangannya.

“…Kau akhirnya muncul.”

Ruphas menatapnya datar.

“Dan kau terlalu berani untuk menyentuh keluarga orang.”

Udara berhenti bergerak.

Seluruh medan pertempuran membeku dalam hening.

Sol berdiri tegak, masih dengan dua tombak hitam berputar di belakang punggungnya, menyala dengan kutukan konseptual. Tapi ia tak bergerak. Matanya tak berkedip, terkunci pada satu sosok:

Ruphas Mafahl.

Wanita yang, dua abad lalu, menjadi pusat orbit seluruh dunia.

Dewa. Iblis. Manusia. Bahkan Dewi sendiri… mengarahkan pandangannya padanya.

Kini, dia berdiri di antara Sol dan Pollux—hanya berdiri, tanpa pose perang, tanpa aura menakutkan—namun cukup untuk membuat tanah di sekitarnya berhenti gemetar.

“Sol,” ucap Ruphas tenang, tanpa meninggikan suara.
“Seharusnya kau tahu. Jika kau ingin menyentuh keluargaku…”

Dia menatap langsung ke mata Sol, dan dalam sepersekian detik—langit seakan pecah.

“…Maka aku sendiri yang akan menyingkirkanmu dari panggung ini.”

Sol mengangkat satu alis. “Aku pikir kau takkan muncul langsung.”

“Lalu kau sengaja mengincar mereka untuk memancingku?”

“Sebagian. Sebagian lagi karena mereka memang ancaman nyata.”

Ia menoleh ke Pollux, Castor, dan yang lainnya.
“Seperti yang kau lihat… kekuatan para Ouroboros telah bangkit. Jika dibiarkan, mereka akan menyatu. Dan jika itu terjadi, tidak ada jalan kembali. Bahkan Dewi tidak akan sanggup menghentikannya.”

Ruphas tetap tak bergeming.

“…Bagus kalau begitu. Aku juga ingin melihat apakah benar dunia ini bisa keluar dari ‘takdir’ yang Dewi ciptakan.”

“Kau tahu ini akan membuatmu musuh seluruh surga?”

“Sudah lama aku tidak cocok dengan tempat itu.”

Sol terdiam sesaat.

Lalu… menarik napas.

Dan mundur satu langkah.

“…Kau menang hari ini, Ruphas.”

“Bukan karena kekuatanmu. Tapi karena… waktunya belum tepat.”

Kutukan di tubuhnya perlahan mereda. Tombak-tombaknya lenyap ke udara, dan domain konseptual mulai mencair. Warna kembali. Suara kembali. Alam kembali bernafas.

“Namun saat waktunya tiba… kita akan bertemu lagi. Dan kali ini, aku akan bertarung bukan sebagai pion… tapi sebagai pengganti Dewi.

Dan dalam sekejap, tubuh Sol berubah menjadi cahaya hitam yang melesat ke langit—lenyap tanpa jejak.

Hening.

Semua mata kini mengarah ke Ruphas.

Pavo, Apus, Corvus—bahkan Luna dan Virgo—semua membungkuk dalam hormat yang nyaris seperti penyembahan.

Pollux menatap Ruphas, menahan napas.

“…Kau datang,” katanya pelan.

“Maaf, aku terlambat,” jawab Ruphas sambil tersenyum kecil.

Pollux tersenyum, lega. “Kau datang tepat waktu. Seperti biasa.”

Castor menunduk dalam. “Terima kasih.”

Ruphas mengangguk. Tapi wajahnya kembali serius saat memandang ke langit, ke arah tempat Sol lenyap.

“…Kita sudah masuk tahap akhir.”

“Mulai saat ini, setiap langkah akan menentukan hidup dan mati dunia ini.”

Di kejauhan, angin berbisik pelan.

Daun-daun pohon Alfheim yang sakral melambai, seolah menyambut kembali Ratu Langit ke panggung dunia.

Dan di atas langit Midgard, awan mulai bergerak… melingkar seperti roda besar yang akan menggulung sejarah sekali lagi.

📘 Ilustrasi Volume 6

(Biasanya menggambarkan Ruphas berdiri melindungi Pollux dan Castor, sayap hitamnya terbentang dengan mata menatap tajam ke arah langit, sementara di belakangnya para penjaga Wood Ouroboros berlutut.)


✦ Catatan Penulis

Sol bukan tokoh antagonis murni.

Dia adalah “mata” Dewi — yang bergerak karena keyakinan akan stabilitas dunia. Tapi di sisi lain, dia juga manusia yang berpikir.

Dan hari ini, ia mundur bukan karena kalah, tapi karena ia melihat sesuatu dalam Ruphas yang bahkan Dewi tak miliki:
Keinginan untuk menyelamatkan, bukan sekadar mengatur.

📌 Selanjutnya: Para Bintang kembali berkumpul. Dan rahasia di balik Heaven Ouroboros mulai terkuak.

Novel Bos Terakhir Chapter 140

Bab 140: Phoenix Gunakan Leer!

Pertarungan dimulai kembali.

Avatar Fire Ouroboros berdiri diam, tak bereaksi sedikit pun terhadap serangan Phoenix dan Hydrus.

Sulit untuk mengatakan apakah itu karena ia menganggap serangan mereka tak sepadan untuk dihindari, atau karena refleksnya lambat akibat belum benar-benar bangun. Namun… hasilnya sama saja:

Ia berdiri tanpa bergerak.

Phoenix mengerutkan alis, menatap tajam. Tapi bukan sembarang tatapan—ia menggunakan salah satu skill khusus yang hanya dimiliki oleh magical beast:

[Shackle Eyes].

Efeknya sederhana namun efektif—menghancurkan pertahanan lawan dan membatasi gerakan mereka dalam waktu singkat. Untuk makhluk biasa, itu cukup untuk menjatuhkan musuh sekelas raja.

Sayangnya… lawan kali ini adalah Fire Ouroboros.

Phoenix mengangkat tangannya tinggi, lalu melepaskan mantra sihir api:

[Flare Tornado] — pusaran api yang melilit dari bawah ke atas, mengurung tubuh sang naga tidur.

Tapi kerusakan yang ditimbulkan? Nol. Bahkan bisa dikatakan kontra-produktif.

Fire Ouroboros menyerap serangan elemen api.

Apa pun yang Phoenix lontarkan hanya memberi makan energi si naga.

“Seranganku tak akan mempan… tapi bisa mengalihkan perhatiannya,” gumamnya.

Itu cukup.

Karena kartu utama mereka kali ini adalah…

"TIDAL WAVE!!"

Suara keras menggema dari Hydrus, yang telah menyiapkan sihir atribut air terbesar: [Tidal Wave].

Gelombang air raksasa setinggi puluhan meter menggulung dalam gua es, menelan hampir seluruh medan pertarungan.

Aquarius buru-buru memperkuat penghalang. “Jangan sampai kena tubuh aslinya! Kalau naga itu bangun sepenuhnya… kita tamat!”

“Maaf!” seru Hydrus, buru-buru mengalihkan arah tsunami agar tak menyentuh segel utama.

Meski masif, serangan itu tak cukup menggoyahkan si naga tidur.

Phoenix menertawai Hydrus. “Hahaha, payah sekali!”

“Diam kau!” Hydrus memerah, malu dan marah.

Tapi ejekan itu terpotong oleh gerakan halus dari sang naga.

Avatar itu bergerak.

Tanpa peringatan, kakinya menjulur dan menangkap pergelangan kaki mereka berdua.

“Kuh! Dia—cepat!”
“Gawat!”

Cengkeramannya sangat kuat, hingga tulang kaki mereka mulai retak. Menyadari tak ada cara lain, keduanya menggunakan Knife-Hand Strike untuk mengamputasi kaki mereka sendiri dan melepaskan diri.

Phoenix menumbuhkan kembali kakinya dari api.
Hydrus menumbuhkan daging baru dari luka potong.

Tapi sebelum mereka sempat bernapas lega…

“Shing!”

Avatar meluncurkan tebasan sihir yang nyaris mengenai mereka.

Untungnya, efek dari artefak [Sadachbia] melindungi mereka—bilah tak terlihat itu meleset sendiri seolah tubuh mereka ditolak oleh serangan itu.

“Sekarang kita serang balik!!”

Amarah memuncak.

Phoenix menciptakan bola api putih menyilaukan di telapak tangannya.

“Bakar semuanya—[Prometheus]!!

Api suci yang bahkan bisa menembus pertahanan elemen serupa—panasnya mencapai jutaan derajat, menyambar avatar seperti meteor dari surga.

Di saat yang sama, Hydrus menyusun kekuatan air:

Oceanus!!

Gelombang air terkompresi—beratnya ratusan miliar ton—menghantam naga bersamaan dengan Prometheus.

Keduanya memicu ledakan besar. Uap panas memenuhi ruangan. Tapi mereka tidak berhenti.

Mereka membentuk penghalang bola di sekitar avatar, menjebak ledakan di dalam radius 1,5 meter—menciptakan oven dewa dengan tekanan dan panas ekstrem.

Dunia berguncang.

Es mencair. Tanah bergetar.

Di balik asap, Phoenix dan Hydrus tersenyum.

“Sudah pasti—ini selesai.”

KRRAAAANG!!

Suara retakan terdengar dari dalam penghalang bola sihir.

Phoenix dan Hydrus sama-sama memucat.

“…Jangan bilang…”

Retakan itu makin lebar. Cahaya merah membara keluar seperti sinar dari celah magma.

“Dia masih hidup!?”

BOOM!!!

Dalam sekejap, penghalang meledak dari dalam. Udara di sekitarnya langsung berubah—seolah seluruh medan kini berada di dalam perut gunung berapi.

Api murni, tanpa bentuk, menyembur dari tubuh avatar.

Tubuh sang naga terlihat untuk pertama kalinya—bersisik hitam kemerahan, membara, dan memantulkan cahaya seperti lava cair. Tapi matanya tetap tertutup. Ia masih… tertidur.

Dan itulah yang membuatnya mengerikan.

“Dia masih belum sadar… tapi sudah sekuat ini,” gumam Phoenix.

Hydrus terhuyung. “Kalau dia bangun beneran, kita semua tinggal abu.”

Naga itu mengangkat kepala. Mulutnya menganga—dan dari sana, cahaya putih keemasan mulai berkumpul.

“Phoenix, itu—!”

Napas naga penuh,” jawab Phoenix.

“Yang bahkan Dewi akan hindari jika terkena langsung?”

Phoenix mengangguk.

“…Kalau begitu…”

“…Kita harus menghentikannya sekarang!

Keduanya bersiap melompat.

Tapi terlalu lambat.

Cahaya napas naga menyala.

Mereka sempat mengangkat tangan untuk bertahan.

Tapi…

“Block Formation – Wedge of Heaven!”

Sebuah perisai cahaya raksasa berbentuk panah tegak lurus tiba-tiba terbentuk di depan mereka, memblokir semburan napas naga secara langsung.

Ledakan sihir terpental, menghancurkan atap gua, tapi tak menyentuh Phoenix dan Hydrus.

“W-what the—?”

Mereka menoleh.

Dan di sana berdiri Libra.

“Perintah dari Ruphas-sama: lindungi mereka.”

Di belakangnya muncul Aigokeros, membawa pedang besar berhiaskan bulu-bulu bunga.

“Duhai Phoenix-sama, kamu seperti kertas terbakar saat melawan cinta!”

“Bukan saatnya pidato cinta, kambing!”

“CINTA ITU TIDAK ADA WAKTUNYA!!”

Tak lama, muncul Aries dan Scorpius dari sisi kanan.

“Maaf, kami agak terlambat!” Aries berseru.

Scorpius memutar rantainya, lalu menunjuk ke arah naga.

“Ohh, jadi ini si pengigau? Waktunya kita bikin dia mimpi indah~”

“Target terlalu kuat untuk satu tim,” kata Libra tegas. “Kami akan bertempur dalam formasi enam lapis. Aries sebagai ujung tombak. Aku dan Aigokeros bagian penahan. Phoenix dan Hydrus tetap jarak jauh. Scorpius…”

“Ganggu dia sebisanya?” sahut Scorpius sambil tersenyum.

“Betul.”

Naga itu mulai menggeram. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara. Hanya energi panas murni yang keluar dari seluruh tubuhnya.

Aries menunduk pelan, mengaktifkan sihir penguat di seluruh tubuhnya.

Lalu, melangkah maju.

“…Kalau mimpi buruk ini ingin bangkit… maka aku akan membungkusnya dengan pukulan dan mengembalikannya ke tidur selamanya!”

“–[Meteor Rush]!!”

Aries melesat seperti komet, memimpin timnya menuju pertarungan klimaks.

KRRAAAANG!!

Suara retakan terdengar dari dalam penghalang bola sihir.

Phoenix dan Hydrus sama-sama memucat.

“…Jangan bilang…”

Retakan itu makin lebar. Cahaya merah membara keluar seperti sinar dari celah magma.

“Dia masih hidup!?”

BOOM!!!

Dalam sekejap, penghalang meledak dari dalam. Udara di sekitarnya langsung berubah—seolah seluruh medan kini berada di dalam perut gunung berapi.

Api murni, tanpa bentuk, menyembur dari tubuh avatar.

Tubuh sang naga terlihat untuk pertama kalinya—bersisik hitam kemerahan, membara, dan memantulkan cahaya seperti lava cair. Tapi matanya tetap tertutup. Ia masih… tertidur.

Dan itulah yang membuatnya mengerikan.

“Dia masih belum sadar… tapi sudah sekuat ini,” gumam Phoenix.

Hydrus terhuyung. “Kalau dia bangun beneran, kita semua tinggal abu.”

Naga itu mengangkat kepala. Mulutnya menganga—dan dari sana, cahaya putih keemasan mulai berkumpul.

“Phoenix, itu—!”

Napas naga penuh,” jawab Phoenix.

“Yang bahkan Dewi akan hindari jika terkena langsung?”

Phoenix mengangguk.

“…Kalau begitu…”

“…Kita harus menghentikannya sekarang!

Keduanya bersiap melompat.

Tapi terlalu lambat.

Cahaya napas naga menyala.

Mereka sempat mengangkat tangan untuk bertahan.

Tapi…

“Block Formation – Wedge of Heaven!”

Sebuah perisai cahaya raksasa berbentuk panah tegak lurus tiba-tiba terbentuk di depan mereka, memblokir semburan napas naga secara langsung.

Ledakan sihir terpental, menghancurkan atap gua, tapi tak menyentuh Phoenix dan Hydrus.

“W-what the—?”

Mereka menoleh.

Dan di sana berdiri Libra.

“Perintah dari Ruphas-sama: lindungi mereka.”

Di belakangnya muncul Aigokeros, membawa pedang besar berhiaskan bulu-bulu bunga.

“Duhai Phoenix-sama, kamu seperti kertas terbakar saat melawan cinta!”

“Bukan saatnya pidato cinta, kambing!”

“CINTA ITU TIDAK ADA WAKTUNYA!!”

Tak lama, muncul Aries dan Scorpius dari sisi kanan.

“Maaf, kami agak terlambat!” Aries berseru.

Scorpius memutar rantainya, lalu menunjuk ke arah naga.

“Ohh, jadi ini si pengigau? Waktunya kita bikin dia mimpi indah~”

“Target terlalu kuat untuk satu tim,” kata Libra tegas. “Kami akan bertempur dalam formasi enam lapis. Aries sebagai ujung tombak. Aku dan Aigokeros bagian penahan. Phoenix dan Hydrus tetap jarak jauh. Scorpius…”

“Ganggu dia sebisanya?” sahut Scorpius sambil tersenyum.

“Betul.”

Naga itu mulai menggeram. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara. Hanya energi panas murni yang keluar dari seluruh tubuhnya.

Aries menunduk pelan, mengaktifkan sihir penguat di seluruh tubuhnya.

Lalu, melangkah maju.

“…Kalau mimpi buruk ini ingin bangkit… maka aku akan membungkusnya dengan pukulan dan mengembalikannya ke tidur selamanya!”

“–[Meteor Rush]!!”

Aries melesat seperti komet, memimpin timnya menuju pertarungan klimaks.

BRAAAAK!!

Pukulan Aries menghantam dada naga raksasa, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan separuh dinding gua es.

Avatar terguncang, tapi belum roboh.

Aigokeros menyusul dari samping, mengayunkan pedangnya sambil berteriak penuh pujian:
“Demi keindahan Ruphas-sama, terimalah cintaku yang berbentuk baja!!”

Satu serangan—meledak dalam bentuk kelopak bunga bercahaya.

Sementara itu, Libra menahan cakar naga dengan kekuatan fisik gila-gilaan. Tubuhnya berderak, tapi ia tetap teguh berdiri.

“Stabilisasi struktur. Semua serangan ditahan dalam garis tegak.”

Dari belakang, Phoenix dan Hydrus mengatur sihir kombinasi.

“Air panas siap.”
“Api siap. Campur!”

Vapor Lance!!

Sihir gabungan itu berubah menjadi tombak uap yang menembus lapisan sihir naga, menciptakan ledakan internal!

Namun sang naga tetap bangkit, mengayunkan ekornya seperti cambuk.

Scorpius melesat—menjaring ekor itu dengan rantai beracun, lalu menanamkannya ke dinding es.

“Tak bisa bergerak, ya? Sekarang, say ‘selamat tidur’~!”

Avatar mengangkat kepala.

Suaranya tetap lirih. Tapi kali ini… ia berbicara.

“...Ma…fahl…"

Seketika… semua orang terdiam.

“Eh?”

“…Tunggu,” gumam Aries. “Apa dia baru saja… menyebut ‘Mafahl’?”

Seketika itu juga, tubuh naga membeku.

Matanya—masih tertutup—meneteskan air mata darah.

Dan dari dalam tubuh avatar… muncul cahaya merah kristal, yang melayang ke udara seperti kepompong.

“W-Wait… itu bukan bagian dari tubuhnya,” ujar Phoenix.

“Bukan. Itu…” Aquarius yang baru saja tiba memandangi cahaya itu dengan wajah serius.

“…Itu adalah pecahan ‘jiwa’ asli Fire Ouroboros.”

Pecahan itu berdenyut perlahan.

Dan dari dalamnya… muncul sosok kecil.

Bukan naga.

Bukan iblis.

Tapi seorang gadis kecil—berambut merah menyala, berpakaian putih seperti pendeta, dengan mata merah yang bersinar terang.

Ia perlahan membuka mata—dan menatap Aries.

“…Kamu… bukan Mafahl.”

Semua orang membeku.

Aquarius berbisik, suaranya nyaris tak terdengar:

“…Itu… wujud awal dari Fire Ouroboros. Sebelum berubah menjadi dewa kehancuran.”

“…Dia bermimpi… menjadi manusia. Dan itulah bentuk mimpinya.”

Gadis kecil itu menatap semua orang, lalu tersenyum tipis.

“…Kalau kalian datang dari pihak Mafahl… mungkin aku tidak perlu bangun.”

Dan perlahan, tubuhnya mulai larut kembali ke dalam cahaya.

Kepompong kristal pecah menjadi partikel cahaya hangat, menyelimuti seluruh gua.

Api padam. Uap lenyap.

Naga kembali tidur.

Avatar… lenyap tanpa suara.

Semua orang terdiam. Tak ada sorak kemenangan.

Karena kali ini… mereka tidak mengalahkan musuh.

Mereka menyentuh hatinya.

Beberapa saat kemudian, Aquarius berbicara:

“…Pertarungan ini tak hanya menyegel kembali naga. Tapi juga menunjukkan bahwa… bahkan entitas kehancuran masih menyimpan sisa rasa manusiawi.”

Aries menatap ke atas, ke langit yang jauh di atas gua.

“…Akan kuberitahu Ruphas-sama. Bahwa bahkan musuh terkuat kita… masih bisa diselamatkan.”

Langkah kaki mereka mulai meninggalkan gua, satu per satu.

Perlahan.

Tapi penuh arti.

Dan langit Midgard mulai berubah.

Tirai terakhir… segera dibuka.


✦ Catatan Penulis

Kadang, musuh terbesar bukanlah yang perlu dikalahkan… tapi yang perlu dimengerti.

Fire Ouroboros bukan jahat. Dia… hanya kesepian.

Dan bab ini adalah bentuk pengakuan bahwa bahkan kehancuran pun bisa bermimpi.

📌 Selanjutnya: Babak akhir dimulai. Semua Bintang hampir kembali. Dan dunia akan segera goyah.

Novel Bos Terakhir Chapter 139

Bab 139: Fire Ouroboros Gunakan Sleep Talk!

Kota iblis telah dihancurkan dalam satu malam.

Dan keesokan harinya, Aries dan timnya—Scorpius, Karkinos, Phoenix, serta Hydrus—diberi kehormatan untuk memasuki istana es yang megah. Tempat yang selama dua abad menjadi jantung dari segel sang naga purba.

Keempat dindingnya berkilau seperti kristal beku yang tak pernah meleleh, bahkan di tengah musim panas. Tapi yang lebih mencolok adalah para ksatria es—berdiri berjajar dengan armor dan pedang kristal, tak bergerak sedikit pun, seolah bukan makhluk hidup, tapi hiasan kuno dari zaman terlupakan.

Aries bertanya-tanya, Apakah mereka masih hidup? Atau hanya boneka?

Namun pertanyaan itu segera tergeser oleh sosok yang duduk di atas takhta raja.

Seorang pemuda berpakaian mewah, duduk angkuh dengan satu tangan di sandaran, menatap kelima tamu mereka dari atas dengan senyum tipis.

Begitu ia merasa cukup mengamati mereka, dia berdiri dan mengangkat tangannya lebar-lebar, lalu berbicara dengan gaya teatrikal:

“Para pelancong! Kalian telah melakukan keadilan besar dengan mengalahkan Pluto! Maka dengan kemurahan hati kami, silakan ajukan permintaan kalian—harta, gelar, kehormatan—apa pun yang kalian inginkan, akan kami berikan!”

Scorpius menatapnya lelah.

“…Murah hati sekali,” gumamnya datar. Lalu menyapukan jemarinya ke rambut dengan gaya angkuh.

“Kalau begitu, aku ingin bertemu Aquarius, Tuan ‘Pengganti.’”

Pemuda itu tergagap.

“Hah!? Aku ini—Aqua—”

“Maaf, aku tak tertarik dengan pengganti. Yang kupanggil adalah sang Water Pitcher sendiri—Ganymedes.

Seketika, seluruh auranya berubah.

Wajahnya yang semula santai kini memucat. Mata melebar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Dia tahu. Mereka tahu.

Identitasnya—bukan Aquarius.

Tapi Ganymedes, binatang ajaib level 600 yang bertugas menggantikan Aquarius menjaga wilayah ini karena Aquarius terlalu malas untuk muncul langsung.

Dan Ganymedes sadar, di hadapannya kini berdiri Dua Belas Bintang.

Bukan orang biasa. Tapi monster.

“…K-Kalian semua… Tidak, kalian adalah—!”

Scorpius menatapnya tajam.

“Kami akan masuk. Dan kau tak akan menghalangi, bukan?”

“……S-Silakan.”

Tak satu pun dari ksatria es di sekitarnya bergerak.

Benar saja—mereka bukan makhluk hidup. Hanya boneka.

Tim Aries melangkah melewati Ganymedes tanpa memedulikannya, mendorong tirai yang tergantung di balik takhta. Di ujung ruangan berikutnya, mereka menemukan kendi air raksasa, berdiri kokoh di altar kristal.

Tingginya tiga meter. Besar. Berat. Tidak nyaman untuk dibawa.

Tapi mereka tahu… benda itu bukan hanya kendi.

Itu adalah Aquarius.

“Sudah lama… Aquarius,” seru Scorpius.

Suara gadis muda menjawab dari dalam kendi:

“Ohh? Suara yang sangat familiar… sudah lama sekali…”

Air di dalam kendi beriak. Lalu, perlahan, muncul sosok gadis kecil.

Rambut biru tua. Mata biru cerah. Kimono berwarna kelopak sakura. Aksesori bunga di kepala. Wajah polos seperti anak 12 tahun… dan senyum cerah yang membuat udara es seolah menghangat.

Namun mereka tahu:

Gadis ini bukan manusia.
Bukan peri.
Bukan binatang ajaib.

Tapi item—artefak hidup yang diciptakan oleh Dewi.

[Artefak Ilahi: Ratu Lautan (Aquarius)]

Wujud gadis itu hanya proyeksi, tubuh palsu dari air. Tubuh aslinya adalah kendi raksasa itu sendiri.

“Yah, lihat siapa yang datang,” katanya santai. “Kalajengking lesbian, kepiting bisu, dan anak domba nakal. Nostalgia sekali. Dan dua lainnya... eh, siapa kalian tadi?”

“Ini Phoenix!”
“Ini Hydrus!”

“Ohh, benar. Yakitori dan ular biru.”

“BURUNG ABADI!!”
“ULARRR AIIIIRR!!”

Aquarius tertawa puas, tanpa niat sedikit pun untuk mengingat nama asli mereka.

Meski sikapnya santai, Aquarius bukan orang jahat. Dia hanya… tidak tertarik pada detil sosial.

Meski cara bicaranya menyebalkan, dia dekat dengan para Bintang dan termasuk faksi moderat.

“Jadi? Kalian ke sini cuma mau minum?”

“Kami ke sini karena Ruphas-sama sudah bangkit,” kata Aries. “Dan dia ingin kau kembali.”

“...Ahh… Jadi akhirnya waktunya tiba, ya.”

Aquarius tidak terkejut. Bahkan tampaknya sudah tahu dari awal. Hal itu membuat Scorpius merasa… sedikit cemburu.

Ia tahu alasannya: Ruphas merahasiakan kebangkitannya dari hampir semua orang. Tapi pada orang-orang yang mengurung Ouroboros, dia memberi tahu lebih dulu—untuk mencegah hal buruk terjadi.

Scorpius paham.

Tapi tetap saja… menyebalkan.

“Maaf, sekarang bukan waktu yang tepat,” kata Aquarius.

“Ada masalah?”

“Yup. Seperti yang kalian tahu, aku bertugas menyegel Fire Ouroboros. Tapi naga ini… susah tidur. Setiap 20 tahun, dia menciptakan avatar separuh sadar dan mengamuk tanpa alasan. Dan seperti mimpi buruk berjalan, dia membakar segalanya yang ada di sekitarnya.”

“…Setelah dikalahkan, dia akan tidur lagi. Tapi sampai avatar itu ditangani, aku tak bisa pergi.”

Karkinos mengangguk pelan.

“Jadi begitu. Itulah kenapa kami akan bantu. Kami semua diperintahkan untuk membawamu kembali. Kalau perlu, kami akan hadapi sang naga tidur.”

Aquarius menatap mereka sejenak. Lalu tersenyum.

“Baiklah. Besok, kita bikin si tukang tidur itu tidur nyenyak.”

Keesokan harinya, Aquarius memandu mereka menuju bagian terdalam dari istana es—tempat tersembunyi yang tidak dicapai cahaya matahari ataupun sihir biasa.

“Tempat ini… dibuat jauh di bawah permukaan tanah. Bahkan tidak muncul di peta Midgard mana pun,” jelas Aquarius sambil berjalan di depan.

Tangga spiral dari kristal mengarah jauh ke bawah, menembus inti beku Muspelheim. Suhunya perlahan meningkat—bukan karena panas, melainkan karena energi sihir yang tak terkendali mulai merembes dari kedalaman.

Mereka melewati 108 lapisan sihir pengaman, masing-masing ditandai dengan lingkaran sihir kompleks, dan perlindungan dari berbagai elemen.

“Ada berapa banyak segel di sini?” tanya Phoenix, keringat mulai muncul di pelipisnya meski udara tetap dingin.

“Kalau tidak salah ingat… sekitar 236 segel utama, dan lebih dari 1000 segel tambahan,” jawab Aquarius.

“…Kenapa tidak kau buat saja satu segel besar?” gerutu Hydrus.

“Karena setiap kali aku coba, naga itu ‘terbatuk’ dan membatalkan segelnya dari dalam.”

“…Dia benar-benar naga tidur yang rewel, ya.”

Akhirnya, mereka sampai di ujung tangga.

Yang menyambut mereka adalah pintu logam raksasa, hitam pekat, setinggi 30 meter. Dikelilingi ukiran naga dan api, dan di atasnya tertulis dalam aksara kuno:

“Yang membakar dunia, sang lidah api dari siklus kehancuran—Ouroboros.”

Di balik pintu ini—Fire Ouroboros, salah satu dari tiga entitas tertua dalam mitologi Midgard, disegel dalam tidur abadi.

Aries menelan ludah. “Jadi… dia ada di sana?”

“Ya. Tapi… bukan tubuh aslinya yang akan kalian hadapi,” jawab Aquarius.

Dari bawah tanah, udara mulai bergetar.

Tanah berdesir.

Udara menebal—seperti tekanan dari mimpi buruk yang melintas di batas realitas.

Aquarius menatap langit-langit gua.

“…Dia bangun.”

[Avatar of Fire Ouroboros – Mode: Half Dreaming]

Dari sisi kiri gua, batu-batu mulai runtuh, dan dari celah antara realitas dan ilusi… muncul bayangan besar.

Itu bukan naga penuh—melainkan manifestasi kabur dari sang Ouroboros. Ukurannya sekitar 15 meter, dengan tubuh bersisik menyala merah gelap, mata tertutup, dan mulut yang menggumamkan sesuatu… seperti orang mengigau dalam tidur.

“Ah… napasnya saja… membakar tanah,” gumam Scorpius sambil mundur setapak.

“Tapi dia belum sadar sepenuhnya,” kata Karkinos.

Phoenix memandang serius. “Kalau kita serang sekarang, kita bisa—”

Tiba-tiba, kepala naga itu menoleh ke arah mereka.

Matanya tetap tertutup. Tapi dari mulutnya keluar kalimat lirih:

“…Enak… tidur lagi… Jangan ganggu…”

Dan seketika, tubuhnya menyemburkan cahaya merah ke segala arah.

“AWAS!!” Aries berteriak, mendorong Scorpius ke samping.

Ledakan sihir menyapu dinding gua, menghancurkan sebagian pelindung sihir dan menyebarkan gelombang panas ke seluruh ruangan.

Mereka semua terhempas. Karkinos menancapkan capitnya ke tanah agar tidak terbanting. Phoenix menahan diri dengan sayap, tapi satu sisi armornya meleleh.

Hydrus tertelan semburan air panas dari ledakan uap sihir.

“Ugh… Itu bahkan bukan serangan sadar…” keluhnya sambil batuk-batuk.

“Jadi beginilah kekuatan naga yang bahkan belum bangun sepenuhnya…” Aries berdiri, tubuhnya berasap, tapi matanya menyala.

Aquarius melangkah ke sisi mereka, tatapannya dingin.

“Kalau dia bangun sepenuhnya… seluruh Muspelheim akan musnah dalam satu menit. Kita harus mengalahkannya sebelum kesadarannya pulih.”

Aries mengepalkan tangan. Sihir mulai berkumpul di sekitarnya.

“…Kalau begitu, ayo kita buktikan.”

“Kalau dia mengigau—kita akan buat dia tidur dengan pukulan nyata.”

Phoenix dan Hydrus bersiap.

Scorpius memutar rantai, mulutnya melengkung ke arah senyum miring.

Karkinos berseru, “Operasi… pengantar tidur, dimulai!”

Dan dalam sekejap—tim Aries kembali terjun ke dalam pertempuran.

Melawan salah satu mimpi buruk terbesar dunia.

Boom!!

Pertempuran dimulai dengan ledakan besar—napas naga, meski dalam keadaan setengah sadar, menyapu seluruh medan seperti badai neraka.

Lidah api melesat tanpa arah, membakar batu, mencairkan dinding gua, dan menghancurkan beberapa segel pelindung Aquarius dalam sekejap.

“Dia makin tidak stabil!” seru Aquarius dari jauh. “Kalau ini terus berlanjut, bukan cuma avatar-nya yang bangun—tubuh aslinya juga bisa terbangun!

Aries mengangguk. “Kita selesaikan ini cepat!”

Scorpius melesat terlebih dulu, rantainya berputar cepat, menciptakan bayangan ungu yang menusuk perut naga dari bawah.

CLANG!

Serangannya terpental—sisik naga terlalu keras, bahkan tanpa lapisan sihir pelindung.

“Tch. Tak mempan.”

Tapi itu bukan tujuan utamanya.

Scorpius tersenyum sinis. “Yang penting aku sudah menandai titik lemahnya.”

Dari bawah, Hydrus langsung menyusul, menyemburkan arus air bertekanan tinggi ke arah sayap naga.

“Hydro Drill!”

Air menembus sisik, menciptakan retakan di satu sisi.

Namun… sebelum serangan itu berlanjut—

“Uuuhh… jangan… ambil bantal…”

Tubuh naga memuntahkan sihir panas seperti semburan lava dari segala arah.

Serangan otomatis dari “tidur berjalan”.

Hydrus terlempar ke belakang. Armor luarnya meleleh, dan tubuhnya menghantam dinding.

Phoenix langsung menukik dari atas, membalut dirinya dengan api merah keemasan.

“BURUNG ABADI TAK KENAL API!” serunya.

Sayapnya bersinar. Fire Cross Claw!

Dua bilah api berbentuk X menghantam wajah naga—membakar kulit dan menciptakan luka nyata untuk pertama kalinya.

Tapi naga itu hanya mendecakkan lidah—masih dalam tidur.

Dan tiba-tiba—ekornya berputar 360 derajat dan menghantam Phoenix dari samping!

BOOM!

“AGH!? Dari mana dia tahu aku di sana!?”

“Dia nggak tahu,” jawab Scorpius. “Itu cuma refleks orang ngantuk yang diganggu tidur!”

Karkinos mengaktifkan pelindung esnya.

“Aries! Aku akan buka jalur. Siapkan serangan terakhir!”

“Iya!”

Karkinos melompat tinggi, mengayunkan kedua capitnya. Mereka berubah menjadi guntur es yang membekukan udara di sekitarnya.

“Shell Break – Twin Crash!”

Capit menghantam perut naga—es membungkus tubuhnya, memperlambat gerakan!

“Sekarang, Aries!” teriak semua orang bersamaan.

Aries berdiri, napasnya berat. Tapi matanya penuh cahaya.

“Baiklah… waktunya bangunkan si tukang tidur ini dengan bantal dari neraka!

Ia mengumpulkan mana—panas dan murni—lalu menyatukannya ke dalam bentuk baru.

Bola api merah keemasan, sebesar bola dunia, melayang di atas telapak tangannya.

“Kalau ini tidak cukup membangunkanmu…”

“—Maka mimpi terakhirmu akan jadi mimpi buruk!”

“Solar Nova!”

Ia melemparkan sihir pamungkas itu ke kepala naga!

ZRAAAAAAAMMM!!!

Avatar Fire Ouroboros melolong—tidak terbangun, tapi terguncang. Energi sihir mengamuk ke segala arah. Ledakan menyebar, lalu menghilang dalam hisapan vakum.

Dan saat asap menghilang…

Naga itu perlahan-lahan roboh.

Tidur kembali.

Aquarius muncul dari belakang altar, keringat bercucuran.

“Berhasil… dia tertidur lagi. Untuk beberapa dekade ke depan, kita aman.”

Aries menurunkan tangannya. Napasnya berat.

“Kalau dia bangun lagi…”

“...Kita suruh dia pakai earplug,” gumam Phoenix, terjatuh telentang.

Scorpius duduk bersandar di batu, tertawa kecil.

“Yah, kita baru saja meninabobokan dewa api. Hari biasa untuk kami.”

Karkinos mengangkat tangannya ke langit.

“Operasi pengantar tidur: sukses.

Dan dengan itu… avatar Fire Ouroboros kembali tertidur.

Bencana ditunda.

Dan Aquarius—yang menyaksikan segalanya—menatap mereka satu per satu.

“…Kalian sudah cukup kuat.”

Ia menoleh ke Aries.

“Kalau begitu… aku akan ikut. Sudah waktunya aku bergabung kembali dengan Ruphas-sama.”

Beberapa jam setelah pertempuran usai, mereka kembali ke permukaan melalui tangga kristal panjang yang terasa… sedikit lebih hangat dari sebelumnya.

Aquarius berjalan di depan. Kali ini, bukan sebagai penjaga terikat, tapi sebagai rekan seperjalanan.

“Jadi… kau benar-benar akan bergabung dengan kami?” tanya Aries, masih agak sulit percaya.

Aquarius menoleh, tersenyum kecil.

“Aku sudah menjaga tempat itu selama dua abad. Tugas sudah selesai. Segel stabil. Dan kalau Dewi benar-benar akan turun tangan sendiri… maka hanya dengan bersatu kita bisa melawannya.”

Scorpius mendengus, tangan di pinggang. “Akhirnya, satu lagi dari kami kembali.”

“Jangan salah paham,” jawab Aquarius ringan. “Aku ikut bukan karena kau.”

“Y-ya juga sih…”

Hydrus dan Phoenix, meski sama-sama diam, tampak sedikit lebih lega. Bahkan Karkinos tampak santai—mungkin karena untuk pertama kalinya, tak ada musuh yang muncul dari balik dinding.

Langit di atas kota Nektar bersih.

Salju perlahan mencair di atap-atap rumah.

Orang-orang mulai membangun kembali.

Dan di puncak istana es, Aries berdiri menatap horizon, mantel putihnya berkibar pelan.

Aquarius berdiri di sampingnya.

“…Kau sudah banyak berubah.”

Aries tak menoleh.

“Ya. Tapi aku juga masih aku yang dulu.”

“Lalu kenapa kau tetap berdiri?”

“…Karena ada yang harus aku jaga. Ada yang harus aku tebus.”

“…Jawaban yang bagus.” Aquarius menutup matanya, lalu tersenyum.

Sementara itu…

Di langit Midgard, awan aneh mulai terbentuk.

Petir ungu menyambar dari udara cerah.

Langit mulai retak—seperti cermin yang ditampar oleh tangan tak kasatmata.

Di tengahnya, muncul lubang bundar gelap, berputar perlahan.

Dari sana, suara lirih yang terdengar seperti doa dan kutukan bercampur mengalun, merambat ke seluruh dunia.

Dan di luar cakrawala itu—menanti entitas yang belum pernah sepenuhnya menampakkan diri.

Dewi.

Senyum tipis muncul di balik kabut cahaya.

“…Semua sudah sesuai rencana.”

📘 Ilustrasi Volume 6

(Biasanya menggambarkan Aquarius berdiri bersama Aries di puncak menara es, memandang ke kejauhan, dengan langit mulai retak secara halus di kejauhan.)


✦ Catatan Penulis

Avatar Fire Ouroboros adalah “bos mimpi buruk”—bukan karena sadar, tapi karena tidak sadar.

Dan itu yang membuatnya berbahaya: refleks dewa, tapi tidak ada pikiran untuk mengontrol.

Aquarius akhirnya bergabung!
Tinggal beberapa Bintang lagi…
Dan konflik terakhir akan dimulai.

Dewi tidak tinggal diam.

Tapi para Bintang pun telah kembali.

Langit akan bergemuruh.

Dan dunia… akan dipertaruhkan.

📌 Selanjutnya: Babak terakhir dimulai. Semua pihak bergerak. Dan “pemain terakhir” masuk ke medan.