Bab 141: Sol dari Tujuh Tokoh Ingin Bertempur!
Ketika api Aries menghilang dan medan pertempuran tenang, avatar Fire Ouroboros pun lenyap. Tampaknya, pertarungan telah dimenangkan oleh tim gabungan Aquarius dan para Bintang.
“Yah… agak mengecewakan,” komentar Scorpius, mengangkat bahu.
Tapi hasil ini memang wajar. Avatar itu sebelumnya ditahan sendirian oleh Aquarius. Sekarang, ia harus menghadapi empat Bintang sekaligus: Aries, Scorpius, dan Karkinos, dengan Phoenix dan Hydrus yang telah menyulitkannya lebih dulu. Kemenangan nyaris tak terelakkan.
Aquarius pun tidak menggubris lebih jauh. Namun, satu hal mengganggunya.
—Di akhir pertempuran, sebelum lenyap… sang avatar tertawa.
Padahal selama ini, avatar itu hanya bereaksi secara refleksif. Menyerang hanya jika diserang, seperti orang yang berkedip saat dikejutkan cahaya atau menarik tangan saat terkena panas. Tapi… tertawa?
Itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Segelnya belum melemah. Ouroboros masih tertidur. Namun tawa itu… terasa nyata.
Dan membuat Aquarius resah.
—
“Oi, Aquarius. Ayo naik. Sudah selesai, kan?” seru Scorpius.
“...Ya. Kita naik.”
Ia menoleh sebentar ke arah naga raksasa yang kembali terlelap.
Tak ada tanda bergerak.
Namun, sesaat setelah mereka meninggalkan tempat itu…
Fire Ouroboros membuka matanya.
Dan… menutupnya kembali.
—
♒
Di tempat lain—Alfheim, tanah para peri.
Putri Pollux dan kakaknya, Castor, kini berkumpul bersama tokoh-tokoh penting: Terra, sang pangeran iblis; Virgo, Bintang Surgawi; serta Luna, anggota Tujuh Tokoh. Dalam keadaan siaga tinggi, Pollux bahkan memanggil tiga roh pahlawan sebagai penjaga:
-
Pavo: mantan flügel yang terobsesi gaya mewah seperti merak. Diasingkan karena ‘terlalu mencolok.’
-
Apus: petualang flügel yang pernah menganggap Ruphas sebagai rival… sampai menyerah tanpa perlawanan.
-
Corvus: flügel yang mengecat sayapnya hitam demi meniru Ruphas.
Mereka semua Level 1000. Tiga veteran Perang Besar dua abad lalu. Para pengikut Ruphas yang setia dan berbahaya.
Pollux duduk bersandar di pohon, menyilangkan tangan. Wajahnya tenang, tapi pikirannya tajam seperti pisau.
“Yang perlu kita pikirkan sekarang… adalah satu hal penting: Apa langkah Dewi berikutnya?”
—
“...Apa bukan lebih baik dibicarakan di hadapan Ruphas-sama?” tanya Virgo hati-hati.
Namun Pollux menggeleng.
“Tak perlu. Ruphas-sama pasti sudah memahami arah ini, bahkan jika beliau belum menyadarinya secara sadar.”
“…Kalau begitu, bagaimana dengan para Bintang lain?”
“Juga tak perlu. Akan jadi malapetaka kalau Scorpius dan Aigokeros ikut terlibat. Bisa-bisa, dunia sudah meledak sebelum sempat musyawarah.”
Komentarnya terdengar kejam… tapi juga tidak salah.
Pollux sadar bahwa kepercayaan membabi buta adalah bentuk kelengahan. Terutama ketika lawan mereka adalah entitas sekelas Dewi Penciptaan.
—
“Dewi bisa mengubah hati, mencuci ingatan, bahkan mengambil kendali penuh atas seseorang,” ujar Pollux.
“Bahkan aku pun… tidak yakin diriku bebas dari pengaruhnya.”
Dengan kata lain—hanya Ruphas dan Benetnash yang pasti bersih.
Sebab satu-satunya cara lolos dari kendali Dewi adalah menjadi terlalu ‘aneh’ untuk dimasukkan ke dalam sistem. Dan mereka berdua… terlalu absurd untuk dikendalikan.
—
Pollux melanjutkan.
“Dewi memiliki tiga metode utama:
-
Mengendalikan orang lewat kelemahan hati.
-
Mengambil alih kesadaran secara langsung.
-
Mengaktifkan bidak yang telah ia siapkan jauh-jauh hari.”
Terra tampak tak percaya. “Tapi… bukankah dia mahakuasa?”
Pollux menggeleng.
“Tidak juga. Dunia ini terlalu kecil dibanding keberadaan dirinya. Bahkan dia tak bisa melihat detailnya. Bayangkan dunia ini seperti butiran pasir. Apa kau bisa membedakan satu molekul asing di dalamnya tanpa menghancurkannya?”
Terra mengangguk pelan.
“…Kalau Dewi sendiri turun tangan langsung, dunia ini akan hancur hanya karena ia bernapas.”
—
Karena itulah, Dewi hanya bisa menggerakkan ‘alat kecil’ dengan hati-hati. Dan alat terbaiknya… adalah ouroboros.
“Karena itulah kita menyegel mereka lebih dulu,” lanjut Pollux.
“Dan saat ini, hanya dua yang tersisa: Moon Ouroboros dan Heavenly Ouroboros.”
Moon Ouroboros adalah Raja Iblis—Orm. Tapi karena Pollux dan Castor adalah bagian dari Wood Ouroboros, sementara Aquarius dan Parthenos telah berpihak ke Ruphas, kini… kekuatan Dewi sangat terbatas.
—
Tiba-tiba, suara tajam menyela dari balik semak:
“Analisismu tak buruk… Tapi salah.”
Semua orang langsung siaga.
Muncul dari kegelapan, melangkah santai, seorang pria jangkung berambut putih, bermata emas, dan berkulit biru—ciri khas iblis kelas atas.
“Target pertamaku adalah Wood Ouroboros.”
—
Luna menggigil.
“...Kau—Sol!?”
—
Sol dari Tujuh Tokoh.
Salah satu tangan kanan Dewi.
Level-nya… seharusnya 300.
Tapi energi yang terpancar darinya…
…menyeramkan.
—
Sol melangkah keluar dari bayang-bayang, senyumnya tipis, tapi hawa di sekitarnya mendadak menegang—seperti udara sebelum badai besar.
Pohon-pohon di sekitar mereka layu seketika. Tanah merekah. Burung-burung lari tak tentu arah, dan bahkan kabut pun seolah menghindar dari tempat pria itu berdiri.
“Aku datang atas perintah Dewi. Tapi bukan untuk membujuk, bukan untuk menyusup… hanya satu hal.”
Mata emasnya menyala.
“Menghancurkan Wood Ouroboros.”
Pollux berdiri dari duduknya, pandangannya tajam.
“Begitu ya. Jadi kita memang berada dalam daftar teratas, ya?”
“Benar,” sahut Sol, tanpa menyembunyikan niatnya. “Karena kalian berdua—Castor dan Pollux—adalah variabel yang paling menyebalkan bagi Dewi. Kalian memihak Ruphas. Kalian menolak takdir. Dan yang lebih parah… kalian membuat Bintang lainnya ragu terhadap garis besar dunia ini.”
Virgo gemetar, tapi tetap berdiri di sisi mereka.
“…Dewi tidak suka manusia berpikir.”
“Bukan hanya manusia,” ujar Sol, suaranya dalam dan menusuk.
“Dewi membenci ‘kesadaran’ di luar rancangannya. Termasuk milikmu, Luna.”
Luna menggertakkan gigi. “Kau… menghancurkan semuanya hanya karena kami tidak patuh?”
“Bukan ‘kami’.”
“Kau.”
—
Sol mengangkat tangannya.
Segera, tanah di bawahnya merekah, dan dari balik celah muncul bayangan-bayangan hitam yang merayap seperti tinta. Mereka membentuk sesuatu yang mirip tubuh—raksasa kegelapan berkulit besi, berbentuk seperti manusia… namun tidak bernyawa.
“Leviathan Tanpa Bentuk.”
Satu dari avatar kekacauan yang diciptakan dari pengaruh langsung Dewi.
“Lawan aku… kalau bisa,” ucap Sol ringan.
“Jika kalian bertahan, aku akan mempertimbangkan kembali laporan untuk Dewi.”
—
Pollux melangkah maju. Cahaya kehijauan mengelilinginya, dan bunga-bunga tumbuh dari tanah yang baru saja rusak.
“Kalau begitu, aku akan tunjukkan…”
“Bahwa Wood Ouroboros tak akan tumbang hanya karena ancaman kecil dari tangan Dewi.”
Castor muncul di sisi lain, tongkatnya bersinar.
“Dan aku—sebagai cahaya yang menyertai kegelapan adikku—takkan membiarkanmu menyentuh setitik pun hutan ini.”
—
Pavo, Apus, dan Corvus berdiri berbaris. Mereka membuka sayap flügel masing-masing. Aura suci menyelimuti ketiganya, meski jelas mereka berbeda dari flügel lainnya.
Virgo, meski gentar, memanggil kekuatan konstelasinya.
Luna membuka salib kembar di punggungnya, sebuah relik Tujuh Tokoh yang kini diarahkan pada Sol.
—
“Kalau begitu,” kata Sol, sambil mengangkat satu jari,
“Mari kita mulai pertarungannya.”
—
BOOM!!
Pertarungan pecah seketika.
Castor mengangkat tongkatnya dan menciptakan penghalang cahaya berlapis tiga di depan tim mereka. Pavo dan Corvus meluncur ke langit seperti peluru, menyerbu langsung Leviathan tanpa Bentuk yang dikendalikan oleh Sol.
Makhluk itu mengangkat lengannya—panjang, kurus, dan retak-retak seperti porselen tua—lalu mengayunkan satu serangan ke bawah.
BOOOMM!!
Tanah seakan berguling. Seluruh hutan bergetar.
Apus menahan serangan itu dengan dua tangan, tapi terdorong mundur puluhan meter. Dia menggertakkan gigi.
“Gila… Ini bukan lawan biasa…”
—
Di tengah benturan energi, Pollux tetap tenang. Ia merentangkan tangan, dan ratusan tanaman merambat muncul dari tanah, menjerat kaki Leviathan, kemudian tumbuh cepat seperti ular hijau yang ingin menelan tubuh raksasa itu.
“Growth of Gaia.”
Tanaman suci, ditanam hanya dalam wilayah Wood Ouroboros, bisa menahan bahkan makhluk iblis kelas atas.
Tapi Leviathan merespons dengan menyebarkan asap hitam, sejenis kabut kutukan, yang melelehkan akar-akar itu seperti cairan asam.
Pollux mengerutkan alis. “Ini… bukan racun biasa. Ini—”
“—Kutukan.”
Suara Sol terdengar dari atas pohon, kini berdiri di cabang yang seharusnya tak sanggup menopang berat tubuh.
“Kutukan dari bintang. Dari langit. Bukan dari dunia ini.”
—
Luna melepaskan dua salibnya, berubah menjadi busur dan panah bercahaya.
“Kalau begitu… aku akan menghancurkannya dari asal!”
Ia menembakkan [Artemis Nova], serangan yang menghantam langsung ke tengah tubuh Leviathan. Ledakan suci mencabik lapisan kegelapan itu, untuk sesaat memperlihatkan bagian dalam makhluk tersebut—
…yang ternyata berisi wajah manusia.
Banyak. Ratusan.
Semua merintih, menangis, ada yang tersenyum, ada yang tertawa seperti orang gila.
“…Itu…” bisik Virgo, gemetar.
“Mereka yang ditelan oleh kutukan Dewi,” kata Sol. “Manusia, elf, flügel, beastkin. Semuanya. Dan sekarang… mereka bagian dari dia.”
—
Castor mengangkat tongkatnya tinggi.
“—Kalau begitu, kita akan menyelamatkan mereka. Dengan cahaya.”
“Astral Seal – Polaris Cross!!”
Cahaya berbentuk salib raksasa turun dari langit, menghantam tubuh Leviathan dari atas. Seluruh hutan terang benderang sejenak.
Leviathan berteriak—bukan dengan satu suara, tapi ratusan suara yang tumpang tindih. Tangis, tawa, jeritan… dan satu kalimat yang paling menyayat:
“...Tolong... bunuh kami...”
—
Pavo dan Corvus mendarat bersamaan.
“Kalau begitu… kita akan mengabulkan permintaan mereka,” kata Corvus.
“Aku bahkan akan menari untuk mereka,” ucap Pavo sambil membentangkan jubahnya seperti merak.
—
Pollux berdiri di tengah, rambutnya berkibar oleh tekanan sihir.
Ia menatap Sol tajam.
“Kenapa kau lakukan ini? Apa yang kau dan Dewi inginkan?”
Sol menatap kembali—tanpa emosi.
“Keseimbangan. Dunia ini miring. Kalau dibiarkan, semuanya akan hancur oleh keinginan yang tak terkendali.”
“Jadi… kau menyebut kehendak bebas sebagai kesalahan?”
“Bukan kesalahan. Tapi anomali. Dunia ini harus diputar ulang.”
—
“Kalau begitu…”
Pollux membuka tangannya.
Ratusan roh kayu muncul di sekelilingnya, membentuk lingkaran cahaya hijau tua.
“…Aku akan jadi anomali pertama yang menghentikanmu.”
—
Pollux berdiri di pusat pusaran roh hutan, aura kayu suci mengelilinginya bagai jubah dewa alam.
“Sol… Aku sudah dengar cukup.”
Sol, masih berdiri di atas cabang pohon, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Tak ada rasa terancam. Tak ada kemarahan. Hanya… ketenangan yang mengganggu.
“…Kalau begitu,” katanya pelan, “Izinkan aku menunjukkan kenapa Dewi mempercayakan tugas ini padaku.”
Tiba-tiba—cahaya hitam muncul di balik punggungnya.
Tiga lingkaran sihir berputar berlapis-lapis, seperti roda takdir yang menolak dibaca.
Dari sana, muncul bentuk senjata… tombak kembar, hitam perak berkilau, masing-masing mengandung kutukan dari langit dan bumi.
Tanah mulai merekah. Langit di atas mereka—yang seharusnya dilindungi pohon raksasa Alfheim—berubah kelabu.
—
“Mode Awakened,” gumam Virgo.
“Bukan…” Castor menggertakkan gigi. “Ini bukan kekuatan iblis biasa.”
“Ini… ekstensi dari kekuatan Dewi.”
—
Sol mengangkat kedua tombaknya, lalu mengatupkan mereka seperti sepasang gunting.
“Domain: Kematian Tanpa Penyebab.”
Seketika, seluruh dunia menjadi sunyi.
Tidak ada suara. Tidak ada getaran. Tidak ada warna. Hanya… diam.
Castor terhuyung, bahkan tanpa terluka. Corvus jatuh berlutut. Luna menahan napas, keringat dingin mengucur.
“Apa ini…?”
Virgo menoleh ke Pollux, suaranya gemetar.
“Bahkan aku… tak bisa merasakan Roh Bintangku…”
—
Pollux berusaha tetap berdiri.
Tapi tubuhnya perlahan kehilangan koordinasi—seolah dunia menolak keberadaannya.
“…Kutukan ini,” gumamnya pelan, “adalah konsep ‘hapus dari cerita.’”
—
“Benar,” sahut Sol.
“Siapa pun yang terkena serangan ini… bukan hanya mati.”
“Mereka akan ‘tidak pernah ada.’”
“Dalam sejarah. Dalam ingatan. Dalam dunia.”
“Bahkan Dewi sendiri pun… takkan mengingat mereka.”
—
“Begitu berbahayanya…” Castor mengepalkan tangan.
“Kenapa Dewi memberimu kekuatan seperti ini?”
Sol tidak menjawab. Ia hanya mengangkat salah satu tombaknya—lalu melemparkannya lurus ke arah Castor.
Waktu seolah melambat.
Namun sebelum tombak itu mencapai sasaran…
“Barrier of Yggdrasil!”
Pollux berdiri di depan kakaknya, tangan terentang.
Tombak menancap—dan dunia terguncang.
—
Ledakan tak terjadi.
Sebaliknya, suara itu lenyap.
Luka tidak muncul.
Tapi… potongan tanah yang terkena serangan itu menghilang.
Benar-benar menghilang. Seolah tidak pernah ada. Bukan hancur. Bukan lenyap karena sihir. Tapi… dihapus dari realitas.
—
Corvus berteriak, “Kita harus memisahkan dia dari medan! Dia memakai medan ini sebagai bahan bakar kekuatan konsep!”
“Bagaimana caranya!?” teriak Apus. “Seluruh tempat ini hutan hidup! Kita tak bisa membiarkan dia menyerap lebih banyak!”
—
Tapi sebelum mereka bisa menyusun strategi lanjutan, Sol kembali melompat—tombak keduanya berubah bentuk, menjadi jarum panjang.
Dan satu nama muncul dalam pikirannya.
Pollux.
—
“Kalau kalian menolak bergabung,” gumam Sol, “maka… kalian akan dihapus.”
Ia meluncur lurus ke arah Pollux, cahaya di tombaknya menyala terang.
Dan saat semua tampak tak bisa menghentikannya—
“Cukup sampai di situ.”
Suara lembut namun menggetarkan udara datang dari balik kabut.
—
Seseorang berdiri di antara Sol dan Pollux.
Seorang wanita berambut ungu gelap, mengenakan mantel raksasa yang berkibar seperti bendera perang. Sayap hitam menutup setengah wajahnya.
Tatapannya menembus waktu dan keberadaan.
Ruphas Mafahl.
—
Sol menghentikan serangannya.
“…Kau akhirnya muncul.”
Ruphas menatapnya datar.
“Dan kau terlalu berani untuk menyentuh keluarga orang.”
—
Udara berhenti bergerak.
Seluruh medan pertempuran membeku dalam hening.
Sol berdiri tegak, masih dengan dua tombak hitam berputar di belakang punggungnya, menyala dengan kutukan konseptual. Tapi ia tak bergerak. Matanya tak berkedip, terkunci pada satu sosok:
Ruphas Mafahl.
Wanita yang, dua abad lalu, menjadi pusat orbit seluruh dunia.
Dewa. Iblis. Manusia. Bahkan Dewi sendiri… mengarahkan pandangannya padanya.
Kini, dia berdiri di antara Sol dan Pollux—hanya berdiri, tanpa pose perang, tanpa aura menakutkan—namun cukup untuk membuat tanah di sekitarnya berhenti gemetar.
—
“Sol,” ucap Ruphas tenang, tanpa meninggikan suara.
“Seharusnya kau tahu. Jika kau ingin menyentuh keluargaku…”
Dia menatap langsung ke mata Sol, dan dalam sepersekian detik—langit seakan pecah.
“…Maka aku sendiri yang akan menyingkirkanmu dari panggung ini.”
—
Sol mengangkat satu alis. “Aku pikir kau takkan muncul langsung.”
“Lalu kau sengaja mengincar mereka untuk memancingku?”
“Sebagian. Sebagian lagi karena mereka memang ancaman nyata.”
Ia menoleh ke Pollux, Castor, dan yang lainnya.
“Seperti yang kau lihat… kekuatan para Ouroboros telah bangkit. Jika dibiarkan, mereka akan menyatu. Dan jika itu terjadi, tidak ada jalan kembali. Bahkan Dewi tidak akan sanggup menghentikannya.”
—
Ruphas tetap tak bergeming.
“…Bagus kalau begitu. Aku juga ingin melihat apakah benar dunia ini bisa keluar dari ‘takdir’ yang Dewi ciptakan.”
“Kau tahu ini akan membuatmu musuh seluruh surga?”
“Sudah lama aku tidak cocok dengan tempat itu.”
—
Sol terdiam sesaat.
Lalu… menarik napas.
Dan mundur satu langkah.
“…Kau menang hari ini, Ruphas.”
“Bukan karena kekuatanmu. Tapi karena… waktunya belum tepat.”
Kutukan di tubuhnya perlahan mereda. Tombak-tombaknya lenyap ke udara, dan domain konseptual mulai mencair. Warna kembali. Suara kembali. Alam kembali bernafas.
“Namun saat waktunya tiba… kita akan bertemu lagi. Dan kali ini, aku akan bertarung bukan sebagai pion… tapi sebagai pengganti Dewi.”
—
Dan dalam sekejap, tubuh Sol berubah menjadi cahaya hitam yang melesat ke langit—lenyap tanpa jejak.
—
Hening.
Semua mata kini mengarah ke Ruphas.
Pavo, Apus, Corvus—bahkan Luna dan Virgo—semua membungkuk dalam hormat yang nyaris seperti penyembahan.
Pollux menatap Ruphas, menahan napas.
“…Kau datang,” katanya pelan.
“Maaf, aku terlambat,” jawab Ruphas sambil tersenyum kecil.
Pollux tersenyum, lega. “Kau datang tepat waktu. Seperti biasa.”
Castor menunduk dalam. “Terima kasih.”
Ruphas mengangguk. Tapi wajahnya kembali serius saat memandang ke langit, ke arah tempat Sol lenyap.
“…Kita sudah masuk tahap akhir.”
“Mulai saat ini, setiap langkah akan menentukan hidup dan mati dunia ini.”
—
Di kejauhan, angin berbisik pelan.
Daun-daun pohon Alfheim yang sakral melambai, seolah menyambut kembali Ratu Langit ke panggung dunia.
Dan di atas langit Midgard, awan mulai bergerak… melingkar seperti roda besar yang akan menggulung sejarah sekali lagi.
—
📘 Ilustrasi Volume 6
(Biasanya menggambarkan Ruphas berdiri melindungi Pollux dan Castor, sayap hitamnya terbentang dengan mata menatap tajam ke arah langit, sementara di belakangnya para penjaga Wood Ouroboros berlutut.)
✦ Catatan Penulis
Sol bukan tokoh antagonis murni.
Dia adalah “mata” Dewi — yang bergerak karena keyakinan akan stabilitas dunia. Tapi di sisi lain, dia juga manusia yang berpikir.
Dan hari ini, ia mundur bukan karena kalah, tapi karena ia melihat sesuatu dalam Ruphas yang bahkan Dewi tak miliki:
Keinginan untuk menyelamatkan, bukan sekadar mengatur.
—
📌 Selanjutnya: Para Bintang kembali berkumpul. Dan rahasia di balik Heaven Ouroboros mulai terkuak.
—
No comments:
Post a Comment