Grimoire Dorothy Chapter 143

Chapter 143 : Pandai Tulang

Larut malam di Knight Street, tepat di depan Rumah No. 26, suara tembakan bertubi-tubi menggema. Di bawah kendali pihak-pihak tertentu, konflik yang seharusnya bisa cepat reda malah meledak menjadi pertarungan sengit—pertempuran tak terelakkan lagi.

Terprovokasi dan yakin para Pemburu memang berniat melenyapkan mereka, para preman mencabut senjata, meraung, lalu menyerbu mengepung para Pemburu.

Knight Street sendiri sempit, jarak mereka pun rapat. Para Pemburu baru saja menembakkan peluru pertama dan belum sempat mengisi ulang, ketika para preman yang berteriak beringas sudah menerjang. Terpaksa, para Pemburu menarik pedang, siap menghadapi jarak dekat.

Namun mereka tidak gentar. Para Pemburu dipilih dari polisi elit, ditempa latihan keras, dan keterampilan bertarung mereka jauh melampaui para preman. Meski kalah jumlah, biasanya mereka bisa menghabisi musuh tanpa ampun.

Tapi kali ini berbeda…

Arwah-arwah tak kasatmata yang merasuki tubuh mereka kembali bergerak. Gerakan para Pemburu mendadak berat, refleks melambat. Serangan balik tajam yang biasa mereka lancarkan tak bisa keluar; mereka hanya bisa bertahan, perlahan mundur. Hingga akhirnya, mereka terdesak saling menempel punggung, membentuk formasi bertahan rapat agar tak terkepung dari segala sisi.

“Haha! Lihat tuh, ternyata mereka cuma gertak doang! Saudara-saudara, habisi semua!”

Melihat para Pemburu mundur, para preman makin beringas. Senjata mereka memang kasar dan tanpa teknik, tapi amukan brutal itu saja sudah cukup untuk melukai. Beberapa Pemburu sudah kena tebasan, untung seragam khusus mereka mampu menahan sebagian besar serangan meski tetap ringan dipakai.

Dari jendela lantai empat sebuah bangunan, Goffrey mengatur arwah-arwahnya, makin mengacaukan pertempuran. Tujuannya jelas: membiarkan para preman menekan Pemburu, menjerumuskan Anna ke dalam bahaya, dan memaksa Beyonder yang melindunginya turun tangan. Itulah sosok yang ia tunggu-tunggu.

“Matilah, anjing hitam… Selama bocah itu belum benar-benar terancam, orang di baliknya tak akan muncul.”

Ia bergumam pelan, menanti manifestasi spiritualitas Batu.

Pertempuran di bawah makin kacau. Para Pemburu tersudut parah. Tapi tiba-tiba, bayangan berkelebat masuk. Berbalut topeng besi, Gregor mengayunkan pedangnya—tiga preman tewas dalam hitungan detik. Pedangnya, dipenuhi bayangan, membelah tubuh lawan dengan mudah. Darah muncrat, membuat para preman yang tadi penuh percaya diri tertegun ngeri.

Awalnya Gregor menyepelekan, mengira ini cuma urusan preman jalanan, jadi ia biarkan bawahannya yang tangani. Tapi melihat kondisi kacau, ia tak punya pilihan selain turun tangan langsung.

“Ada yang janggal… Pertarungan ini aneh… jelas ada sesuatu. Tapi sudahlah—kubantai dulu semua, baru kupikirkan.”

Dengan pikiran itu, ia kembali menebas.

Di atas, Goffrey memperhatikannya dengan seksama.

“Seorang Shader? Wajar kalau seorang murid memimpin skuad… tapi tetap saja, murid hanyalah murid.”

Ia menggerakkan artefak tulang di tangannya. Seketika, tiga arwah baru muncul dari tubuh Pemburu yang sekarat, langsung menerobos masuk ke tubuh Gregor.

Baru saja ia hendak menebas kepala preman, tubuh Gregor kaku mendadak. Gerakannya terhenti total, seakan tombol jeda ditekan. Ia ingin bergerak, tapi rasa sakit menusuk otot-ototnya.

“A-apa… ini…?”

Mata Gregor membelalak. Preman yang tadi hampir ditebasnya sempat ragu, tapi segera wajahnya terpelintir jahat. Dengan pisau kecil di tangan, ia menikam Gregor yang tak bisa menghindar.

DUK!!

Namun sebelum sempat menancap, sebuah palu besi raksasa menghantam wajah si preman dari samping, meremukkan tengkoraknya, gigi beterbangan, darah muncrat. Tubuhnya terpelanting mati di tempat.

Gregor tertegun. Ia menoleh, mendapati penyelamatnya—seorang preman kekar berlumuran darah, menggenggam palu berlumuran daging. Mata pria itu kosong. Tanpa sepatah kata, ia kembali mengayunkan palu, menghancurkan kepala preman lain.

“Apa-apaan ini…? Mereka menyerang sesama?”

Gregor terbelalak. Pandangannya menyapu medan, melihat beberapa preman lain juga tiba-tiba berbalik membantai kawan sendiri.

“Kau bajingan, Barry! Kenapa kau—?!”

Bentrok antar-preman pecah. Teriakan amarah saling sahut, tubuh bersimbah darah. Medan pertempuran jadi semakin kacau.

“Apa yang terjadi? Kenapa mereka berbalik menyerang? Ada orang lain yang ikut campur? Bukan… ini bukan kekuatan Jalur Batu.”

Kening Goffrey berkerut. Ia menarik dua arwah lagi dari tubuh Pemburu, menyelipkannya ke salah satu preman brutal. Tapi anehnya, begitu arwah masuk, ia merasakan perlawanan.

“Ini… boneka daging? Jadi bukan Batu, melainkan Chalice…”

Goffrey bergumam, sadar ada Beyonder lain yang juga memainkan bidak di papan ini.

Di atap gedung lain Knight Street, Dorothy berdiri memperhatikan.

Dengan Cincin Marionet Mayat di tangannya, ia membangkitkan preman-preman mati dari medan pertempuran, mengarahkan mereka menyerang kawan sendiri, sekaligus menyelamatkan Gregor. Diam-diam, ia pun ikut masuk ke permainan.

“Seorang Beyonder pengendali arwah, ya? Syukurlah aku ikut lembur malam ini…”

Pertarungan pun berbalik. Preman yang tadi unggul mendadak porak-poranda, barisan mereka koyak karena saling bunuh.

Sementara itu, demi menahan Gregor tetap lumpuh, Goffrey sudah memakai tiga dari lima arwahnya. Lalu dua lagi untuk melawan marionet tulang. Semua arwah habis tersita, ia tak lagi bisa menekan Pemburu lainnya.

Para Pemburu yang terbebas dari pengaruh arwah menggertakkan gigi, lalu menyerang balik. Beberapa preman langsung tumbang. Melihat kawan-kawan mereka roboh satu demi satu, sisa preman panik. Teriakan histeris pecah, mereka bubar lari ketakutan.

“Hmph. Sampah tak berguna…”

Goffrey mencibir dingin. Ia menarik arwah-arwahnya, membebaskan Gregor dari lumpuh.

“Jangan kira selesai di sini… Tujuanku belum tercapai.”

Ia menggerakkan artefak tulang lagi. Kelima arwahnya melesat menuju sebuah taman kecil.

Di balik semak-semak, tersembunyi sebuah koper—sudah ia siapkan sejak awal.

Arwah-arwah masuk ke koper itu. Klik! Koper terbuka, memperlihatkan isinya di bawah cahaya lampu jalan.

Di dalamnya, lima bilah tulang bergerigi sepanjang setengah meter, tanpa gagang, seluruhnya terbuat dari tulang putih.

Satu demi satu arwah melebur ke dalam bilah itu. Segera, kelima senjata tulang melayang, mengapung di udara, ujungnya menodong ke medan pertempuran.

“Sekarang saksikanlah… kekuatan seorang Pandai Tulang.”

Dengan suara pelan, Goffrey menggerakkan jarinya—lima bilah tulang terbang menukik ke arah Gregor dan para Pemburu.

No comments:

Post a Comment