Grimoire Dorothy Chapter 74

Bab 74: Pengintaian Target

Tengah hari di Igwynt, di sebuah kamar penginapan.

Tirai tebal ditutup rapat, menahan sinar matahari. Lampu gas di meja memancarkan cahaya kekuningan yang temaram. Dorothy duduk di meja, di hadapannya terbentang peta besar kota Igwynt. Peta putih itu tampak kecokelatan di bawah cahaya lampu.

Di samping peta tergeletak alat gambar—jangka, penggaris. Di atas peta, lingkaran sihir telah digambar dengan bubuk merah tua. Rangkaian rune dan simbol misterius tumpang tindih di atas tata kota. Simbol paling menonjol dalam lingkaran itu: sebuah tongkat tegak dengan cahaya di ujung atas, dan mata terbuka di bagian bawah.

“Huft… selesai juga…”

Setelah teliti menyalin lingkaran sihir sesuai petunjuk Aldrich, Dorothy akhirnya rampung mempersiapkan ramalan. Ini akan jadi percobaan pertamanya sepanjang kariernya sebagai mistikus.

Ia membuka kotak kayu kecil di meja, mengeluarkan sepotong amber—fragmen oranye kekuningan yang ia beli dari Aldrich pagi tadi. Itu adalah wadah berisi spiritualitas Lampu.

Menurut ajaran Aldrich, untuk ramalan dibutuhkan dua jenis spiritualitas: Lampu dan Wahyu. Wahyu bisa ia berikan sendiri, namun mendapatkan Lampu sudah menguras 150 pound. Berdasarkan keahlian pasif Cain Appraisal, ia menilai amber itu memuat kurang lebih satu titik spiritualitas Lampu.

“Satu titik spiritualitas seharga 150 pound… andai aku bisa mengekstrak dan menjual Wahyu milikku sendiri…”

Dorothy mendengus kesal dalam hati. Tetap saja, ia meletakkan amber itu di atas simbol Lampu di peta, sementara simbol Wahyu dibiarkan kosong untuk dirinya.

Lalu ia mengeluarkan sebuah liontin kristal dari saku. Murah, hanya beberapa koin dari pedagang jalanan. Penjualnya bersumpah itu kristal asli, tapi Dorothy yakin cuma kaca biasa.

Tak masalah. Kata Aldrich, dalam ramalan yang penting adalah spiritualitas, bukan alatnya. Selama spiritualitasnya ada, sisanya tak penting.

Dengan liontin murahan itu, Dorothy siap melakukan metode ramalan sederhana bernama pendulum reading. Dari semua metode yang diajarkan Aldrich, inilah yang paling cocok untuk mencari lokasi.

Secara teori, Dorothy bisa langsung mencoba meramalkan markas besar Crimson Eucharist lalu melaporkannya ke Biro. Tapi ia tidak yakin mereka benar-benar punya markas pusat. Kalaupun ada, bisa jadi dipagari anti-ramalan. Dengan hanya satu titik Lampu, ia tak mau berjudi. Lebih aman jika ia meramalkan lokasi penyergapan.

Berdiri di meja, Dorothy memegang liontin di atas peta, membiarkan ujung kristalnya tergantung. Ia mulai berbisik lirih.

“Dengan Lampu yang maha melihat, terangilah samudra Wahyu…”

Amber di lingkaran sihir retak halus, spiritualitas tak kasatmata memancar. Seketika Dorothy merasakan ada yang tersedot dari dalam dirinya—sistemnya menandai satu titik Wahyu berkurang.

“Aku ingin tahu lokasi di mana Crimson Eucharist berencana menjebak pasukan pemburu di Igwynt.”

Setelah menyatakan niat, Dorothy mulai mengayunkan liontin. Kristal murahan itu bergoyang ke sana-kemari di atas peta.

Perlahan, seolah digerakkan tangan tak terlihat, liontin condong ke satu arah. Ayunannya melambat, lalu berhenti total—menunjuk lurus ke satu titik di peta, menantang gravitasi.

Dorothy menelusuri ujung liontin itu. Tertulis di peta: Flooded Dockyard.

Flooded Dockyard

Terletak di pinggiran timur Igwynt, di hilir Sungai Ironclay, Flooded Dockyard dulu merupakan dermaga sungai yang cukup sibuk, melayani kapal kecil dan feri penyeberangan. Namun karena lokasinya buruk, kawasan itu sering banjir parah saat musim hujan—dari situlah namanya muncul.

Dermaga ini bukan fasilitas resmi, melainkan milik swasta beberapa perusahaan dagang. Akibatnya, tempat itu lama menjadi sarang aktivitas ilegal: penyelundupan barang mistis, bahkan pasar gelap. Beberapa tahun lalu, otoritas Igwynt melakukan penggerebekan besar, menangkap hampir seratus orang. Sejak itu, dermaga terbengkalai, ditinggalkan, sepi.

Sore hari di Igwynt, Flooded Dockyard.

Di tepi sungai berdiri gubuk liar tak beraturan, diselingi gedung bata tiga-empat lantai yang dibiarkan tanpa plester luar. Pintu-pintu gudang menganga kosong, perahu-perahu berkarat masih terikat di dermaga, tak pernah dipakai lagi.

Di sudut jalan sepi, sebuah kereta berhenti. Di dalamnya, seorang gadis berambut putih duduk bersandar dengan mata terpejam. Indra Dorothy saat itu tersambung pada mata yang melihat dari langit.

Beberapa burung mati yang ia kendalikan beterbangan di atas Flooded Dockyard, memberinya pandangan udara atas medan.

“Kalau aku jadi mereka, bagaimana caranya memilih lokasi penyergapan paling sempurna?”

Dorothy membayangkan dirinya sebagai anggota Crimson Eucharist, menyusun jebakan agar lawan musnah tanpa kesempatan.

Berkat sudut pandang dari atas, ia segera melihat lokasi ideal: sebuah gudang kecil berkerangka baja rendah, dikelilingi empat menara bata setengah jadi. Salah satunya, sedikit lebih tinggi, mirip menara jam. Posisi menara cukup jauh, memberi ruang strategis untuk menempatkan orang.

Dalam pikirannya, jika penembak jitu ditempatkan di empat menara plus menara jam, siapa pun yang masuk ke gudang itu akan terkepung sempurna.

Dinding gudang hanya dari papan gypsum, rapuh terhadap peluru. Banyak lubang di dinding, memberi garis bidik jelas ke dalam. Kalau pasukan masuk, lalu dikepung dari lima sudut tinggi, mustahil bisa bertahan.

Dalam pertempuran antar-Beyonder tingkat rendah—yang masih banyak melibatkan manusia biasa—senjata api tetap jadi kekuatan utama. Baik bagi Crimson Eucharist maupun Biro Ketenteraman, peluru adalah raja. Dalam skenario Dorothy, gudang itu adalah ladang pembantaian.

Sepanjang sore, Dorothy memerintahkan burung-burung bangkai itu berpatroli, memetakan menara bata dan gudang, sembari menunggu sesuatu.

Akhirnya, sekitar pukul tiga, setelah lebih dua jam, ia melihat sekelompok pria menyelinap ke menara jam. Dari puncaknya, mereka mengamati sekitar, berdiskusi sengit.

Salah satunya, pria kurus bermata tajam dengan rambut cokelat tersisir rapi dan kumis tipis, menggenggam tongkat sambil memberi perintah pada bawahannya.

“Ahhh… akhirnya kalian datang untuk survei, ya…”

Dorothy meregangkan tubuh malas dari dalam kereta, melihatnya dengan senyum tipis.

Malam hari di Igwynt, sebuah apartemen mewah.

Di kamar berantakan, Brandon berlutut dengan khidmat. Di hadapannya, mulut menjijikkan dari daging dan darah di altar pengorbanan melantunkan perintah.

“Perangkap sudah disiapkan. Operasi berlangsung besok. Pukul 10.30 pagi, ‘hadiah’ kita akan dikirim ke Biro Ketenteraman. Begitu mereka bergerak, kau segera bertindak.”

“Siap, Tuan Buck!”

No comments:

Post a Comment