Bab 6 : Seni Tipu Daya
Di jalanan pagi yang sibuk di Kota Vulcan, Dorothy berdiri di tepi jalan, menatap papan sebuah toko dengan penuh pikir.
“Studio foto? Oh iya… Di dunia ini, yang mirip era modern akhir di kehidupanku dulu, orang masih harus pergi ke studio khusus kalau ingin difoto.”
Ia bergumam dalam hati. Di dunia asalnya, mengambil foto semudah menekan tombol ponsel, tapi di sini masih merupakan kemewahan. Dorothy asli bahkan tak pernah punya foto dirinya seumur hidup.
Kini, melihat studio itu—sambil mengingat isi dua surat yang ditemukannya—sebuah ide mulai terbentuk.
Dorothy mendekati lapak roti hitam di sebelahnya. “Permisi, sudah berapa lama studio foto ini berdiri? Hasilnya bagus?”
“Ah, Henry’s? Sudah hampir sepuluh tahun. Hasil fotonya bagus sekali. Kalau punya uang lebih, layak dicoba,” jawab si penjual roti.
Dorothy mengangguk pelan. “Sepertinya aku memang harus foto…” bisiknya, lalu melangkah masuk ke studio.
Di dalam, ruangan agak gelap. Seorang pria berkacamata dengan kepala botak di bagian atas tengah sibuk mengutak-atik kamera besar di meja panjang. Saat Dorothy masuk, wajahnya sempat ragu—hampir saja ia mengira gadis kecil itu pengemis. Namun Dorothy dengan percaya diri menaruh beberapa koin di meja.
“Mr. Henry, ya? Studio ini buka untuk foto sekarang, kan?” Dorothy tersenyum. Mata pria itu langsung berbinar.
“Tentu saja, nona kecil. Kami siap kapan saja.”
“Bagus. Apakah di sini ada properti pemotretan?”
“Pasti! Ada kostum bangsawan, latar pemandangan… Dengan wajahmu, berpakaian begitu bisa tampak seperti putri bangsawan—bahkan putri adipati!” ucap Henry penuh percaya diri.
Dorothy hanya tersenyum tipis. “Aku tidak perlu kostum. Ada tali dan kain?”
“Tali… dan kain?”
Henry terdiam, bingung, menatap gadis kecil yang tersenyum penuh misteri di hadapannya.
…
Tidak seperti di dunia modern, memotret di sini prosesnya merepotkan. Waktu eksposur lama, mencetak hasilnya pun berhari-hari. Namun berkat “strategi bayar lebih” Dorothy, pekerjaannya dipercepat.
Selesai sesi foto, ia sempat berkeliling kota, makan siang, lalu membeli pakaian baru. Sore harinya, ia kembali ke studio. Di bawah tatapan heran Henry, ia menerima foto yang sudah dicetak.
Di jalan, Dorothy membuka amplop. Di dalamnya, tampak seorang gadis terikat di kursi dengan tali, mulut disumpal kain, menatap kamera dengan wajah marah. Rambut putih pucatnya kontras, bahkan di foto hitam-putih.
Ya, itulah dirinya. Dorothy sengaja berpose seperti korban penculikan, dengan Henry menyaksikan proses aneh itu dari awal hingga akhir.
Ia menyelipkan foto itu kembali, lalu berjalan menyusuri kota. Setelah beberapa kali bertanya, ia sampai di pinggiran kota, ke sebuah distrik bernama North Street.
Di sebuah persimpangan, ia menemukan rumah gosong dan reyot, jelas bekas terbakar. Dari posisinya, itulah nomor 24.
Dorothy melirik sekeliling, matanya jatuh pada seorang pengemis lusuh. Ia mendekatinya, melempar dua koin ke mangkuknya.
“Ah… Semoga Bunda Suci memberkatimu, nona baik hati…” ucap si pengemis dengan senyum ompong.
Dorothy tersenyum samar, lalu mengeluarkan dua koin lagi, menggoyangkannya di depan wajahnya. Tatapan pengemis itu berbinar. Dorothy menyerahkan amplop berisi foto.
“Taruh ini di kotak surat rumah nomor 24. Setelah itu, koin ini milikmu.”
Si pengemis langsung berlari, memasukkan amplop ke kotak, lalu kembali. Namun Dorothy sudah menghilang, hanya dua koin tambahan yang kini ada di mangkuknya.
Meninggalkan North Street, Dorothy kembali berkeliling. Kali ini ia membeli tinta, pena, beberapa kertas, dan amplop di sebuah toko umum. Senja mulai turun saat ia selesai belanja.
Dorothy lalu masuk ke restoran sederhana, memesan steak besar, dan duduk di sudut. Ia mulai menulis surat. Berkali-kali coret, sengaja merusak gaya tulisannya agar tak dikenali. Setelah puas dengan satu draf, ia membacanya.
Tuan Edrick yang terhormat,
Ada perubahan rencana. Namun kesepakatan tetap berlaku. Waktu dan lokasi perlu disesuaikan.
Tempat pertemuan baru adalah hutan barat Vulcan, di bagian tengah. Waktu: 10 April, besok malam sekitar tengah malam. Kami akan membawa hadiah yang dijanjikan, yang akan membuka jalan bagi Anda ke ranah di luar.
Satu peringatan: tampaknya kita sedang diawasi. Bukan Biro Serenitas atau Gereja. Asal dan tujuan pihak ini belum jelas, tapi metode mereka aneh dan sangat berbahaya. Inilah alasan perubahan mendadak. Jadi berhati-hatilah saat datang.
Semoga suatu hari kita duduk bersama di meja yang sama, berbagi jamuan, dan merasakan berkah menakjubkan dari Piala Darah Agung.
Dorothy tersenyum tipis, memasukkan surat ke amplop. Saat itu, steak pesanannya tiba. Setelah makan agak kikuk dengan garpu dan pisau, ia keluar, menuju pinggiran kota.
Di tempat sepi, ia membakar semua draf yang tak terpakai dengan korek. Lalu ia mendatangi semak belukar, tempat ia menyembunyikan salah satu mayat semalam.
Dengan gerakan tangan, muncul sosok berpakaian hitam basah, wajah pucat, mata kosong—salah satu anak buah Edrick yang telah ia jadikan boneka.
Dorothy menyerahkan amplop itu. Mayat itu menerimanya tanpa suara.
…
Malam turun, bulan menggantung. Kota Vulcan kembali lengang.
Di pusat kota, hanya sedikit tempat yang tetap terang, salah satunya kantor polisi di sisi timur. Di bawah lampu listrik, seorang polisi berjaga di depan pintu, sesekali menguap.
“Sudah waktunya pergantian jaga…” gumamnya. Saat itu ia melihat sosok muncul di jalan gelap.
Awalnya ia tak peduli, mengira hanya pejalan kaki larut malam. Tapi makin lama sosok itu berjalan lebih cepat ke arahnya.
Polisi itu waspada, menggenggam pentungan. “Hei! Berhenti! Siapa kau?”
Sosok itu mendekat—seorang pria bertato di tangannya, berotot, memakai celana hitam dan kemeja. Wajahnya pucat, mata kosong.
Polisi itu terperangah. “Kau… kau Wood! Anak buah Mad Dog Ed! Kenapa kau di sini? Dia yang menyuruhmu?”
Wood hanya menatap kosong. Lalu bibirnya tersentak, membentuk senyum kaku tak alami. Dan tiba-tiba, ia roboh ke depan, jatuh dengan keras.
“Ah!”
Polisi itu terloncat kaget. Pikirnya, pria itu pingsan mabuk. Tapi saat ia mendekat, mencoba memeriksa denyut nadi, ia mundur dengan teriakan ngeri.
“Dia… mati! Sudah mati!”
Ketakutan, lututnya lemas. Ia terjerembab, lalu bangkit tergesa, membuka pintu kantor polisi sambil terengah.
No comments:
Post a Comment