Grimoire Dorothy Chapter 5

Bab 5 : Kota

Dorothy menapaki lembah sungai yang basah kuyup, langkahnya berat ditemani “pelayan” mayat yang ia kendalikan. Perjalanan itu jauh dari kata mudah. Gerimis yang tak kunjung reda, tanah licin, dan jalan berbatu membuat setiap langkah terasa seperti ujian. Lampu gas tua hanya memberi cahaya terbatas, menambah kesulitan di tengah kegelapan.

Tantangan terberat datang ketika ia harus mendaki lereng curam dan licin demi kembali ke jalan utama kafilah dari jalur berlumpur. Beberapa kali tubuhnya hampir terperosok jatuh. Untungnya, Dorothy menemukan mayat para bandit yang sebelumnya ia hempaskan ke sungai. Dengan kekuatan Cincin Marionet Mayat, ia menghidupkan salah satunya. Berkat bantuan dua mayat hidup, Dorothy akhirnya berhasil mendaki ke atas. Dari situ, ia sadar bahwa cincin itu hanya bisa mengendalikan dua mayat sekaligus.

Begitu tiba di jalan, perjalanan menjadi lebih lancar. Sekitar satu jam kemudian, cahaya redup mulai tampak di kejauhan. Lelah tapi lega, Dorothy tahu ia sudah mencapai tujuan sementaranya—Kota Vulcan.

Di pinggiran kota, ia menyembunyikan dua mayat pengikutnya. Ia lalu mengenakan kerudung untuk menutupi rambut peraknya, membuka payung hitam, dan melangkah masuk ke jalan-jalan Vulcan.

Hujan yang masih rintik dan malam yang larut membuat jalanan sepi. Bangunan kayu bertingkat dua atau tiga berdiri di sisi-sisi jalan, sederhana tapi kokoh. Beberapa jendela masih menyala, sementara lampu jalan yang jarang-jarang hanya menebar cahaya redup di tanah becek, penuh jejak kaki dan roda kereta. Sesekali, sebuah kereta melintas dengan derit roda.

“Sepi sekali…” gumam Dorothy, mempercepat langkah. Ia butuh tempat beristirahat.

Di dekat pusat kota, tak jauh dari sebuah gereja, ia menemukan penginapan yang tampak cukup layak. Begitu masuk, tubuh kecilnya yang lusuh hampir saja diusir pemilik penginapan, seorang wanita tambun. Namun bunyi koin yang digelontorkan di meja seketika mengubah sikapnya. Senyum ramah menggantikan tatapan jijik, dan Dorothy langsung dipandu ke kamar terbaik.

Uang itu berasal dari tubuh Edrick. Sekitar lima pound. Dari ingatan Dorothy asli, mata uang resmi Kerajaan Pritt adalah Pound: satu pound setara satu koin emas atau seratus koin besi. Bibi Hannah hanya berpenghasilan sembilan pound setahun. Dorothy sendiri jarang punya lebih dari lima koin besi. Jadi uang Edrick setara setengah tahun pendapatan seorang petani biasa. Membayar kamar bagus bukan masalah.

Kamar Dorothy ada di lantai atas: ada karpet, lukisan sederhana, dan yang terpenting—bersih, dengan kamar mandi pribadi dan bak untuk berendam. Begitu pintu terkunci, Dorothy menghela napas lega. Ia hampir ambruk di karpet, tapi memaksa diri untuk segera mandi.

Air hangat menyapu tubuh mudanya. Namun rasa asing membuatnya kikuk. Wajah merah padam, perasaan malu dan penasaran bercampur. Ia bolak-balik antara menutup diri dan memberanikan diri, hingga waktu mandi jadi jauh lebih lama. Baru setelah wajahnya memerah habis, ia keluar dan mengenakan pakaian.

Ketika berbaring di ranjang, lampu kamar dipadamkan, Dorothy memperhatikan sesuatu. Jari kirinya bersinar samar. Awalnya ia mengira cincin Marionet Mayat memiliki fitur bercahaya. Tapi tidak—cahaya itu berasal dari cincin lain.

Cincin sederhana dengan pola bulan sabit di atasnya, memancarkan sinar perak lembut dalam gelap.

Dorothy mengenal cincin ini. Dalam ingatan Dorothy asli, cincin itu sudah menemaninya sejak kecil. Bibi Hannah pernah bilang, cincin itu satu-satunya peninggalan ibunya—wanita yang tega meninggalkan Dorothy dan kakaknya. Gadis itu selalu menyayanginya, tak pernah melepasnya.

“Anak malang…” bisik Dorothy, menatap cincin bercahaya itu. Ia menghela napas, menutup mata, lalu terlelap.

Malam tanpa mimpi pun berlalu.

Ketika ia bangun, cahaya matahari menyusup lewat celah tirai. Menguap panjang, ia meregangkan tubuh, mencuci muka, lalu mengenakan pakaian yang masih lembap. Sarapan sederhana berupa roti dan susu disediakan penginapan. Setelah itu, ia keluar.

Pagi di Vulcan jauh lebih ramai dibanding semalam. Hujan sudah berhenti, tapi jalan masih basah. Orang-orang memenuhi jalan, kereta melintas lebih sering. Di pinggir jalan, para pengemis lusuh meminta sedekah, sementara asap mengepul dari cerobong rumah-rumah.

Dorothy terkesima. Terutama melihat banyaknya kereta barang dan penumpang. Dari kenangan kusir yang kini sudah mati, ia ingat bahwa meski kecil, Vulcan adalah simpul transportasi penting. Banyak kafilah dari pesisir barat menuju Igwynt melewati kota ini. Igwynt adalah kota penting di barat daya Kerajaan Pritt—dan tempat tinggal kakaknya.

Dengan mudah, Dorothy bisa saja mencari kereta ke Igwynt untuk melanjutkan perjalanan. Tapi ia tidak melakukannya.

Isi dua surat yang ia temukan di tubuh Edrick masih membayang dalam pikirannya.

“Di balik permukaan dunia yang tampak biasa… ada ranah tersembunyi. Dan di dalamnya, ada yang sudah mengincarku. Aku tidak tahu alasannya, tapi aku tidak bisa diam saja…”

Sambil berjalan di jalan yang ramai, Dorothy merenung. Setelah semua yang terjadi semalam, ia tidak mungkin hanya naik kereta dan pergi, pura-pura semuanya baik-baik saja. Itu sama saja menutup mata.

“Kalau aku tidak tahu siapa mereka, bagaimana aku bisa tidur tenang? Aku harus bertindak. Tidak bisa pasrah.”

Dorothy sadar. Menunggu hanya membuatnya jadi sasaran empuk. Bagaimana mereka tahu detail perjalanannya? Kalau sekali bisa, artinya mereka bisa melakukannya lagi. Pertemuan berikutnya bisa lebih berbahaya.

Daripada menunggu diserang, lebih baik ia maju—meski hanya untuk mencari tahu sedikit tentang mereka. Informasi sekecil apa pun lebih berharga daripada ketidaktahuan.

Untungnya, menurut surat, ada anggota organisasi itu di Vulcan. Artinya, kesempatan terbuka.

“Tapi… bagaimana caranya? Aku hanya anak tiga belas tahun…”

Dorothy mengernyit. Organisasi misterius dengan kemungkinan kekuatan mistik jelas bukan lawan yang bisa ia hadapi langsung. Bahkan dengan Dragon Shout, peluangnya tipis.

Melapor ke pihak berwenang? Ia ragu. Kalau kelompok itu benar-benar punya kekuatan mistik, polisi biasa bisa saja tak berdaya.

Saat langkahnya hampir pasrah, pandangannya tertumbuk pada sebuah toko. Ia berhenti, matanya berbinar.

Di etalase kaca, terpajang foto-foto hitam putih. Dorothy menengadah, membaca papan nama toko itu.

Henry’s Photography Studio.

No comments:

Post a Comment