Bab 42: Antarmuka
Duduk di meja belajarnya, Dorothy menatap paragraf terakhir di halaman-halaman lusuh itu di bawah cahaya lampu. Alternatif solusi untuk menemukan pembimbing membuatnya penasaran, dan ia mulai menimbang satu per satu kemungkinan.
“Benda spiritual dengan atribut yang sesuai bisa menggantikan peran pembimbing? Kalau begitu, aku harus mencari benda yang dipenuhi ‘Wahyu’. Tapi ‘Wahyu’ biasanya melekat pada pengetahuan—di mana aku bisa menemukan objek yang mengandungnya?”
Dorothy menyadari, karena sifat “Wahyu” yang abstrak, mustahil baginya menemukan benda nyata yang bisa memuatnya. Dengan kemampuannya sekarang, peluang itu sangat tipis. Paling jauh, ia bisa mencoba bertanya pada Aldrich. Tapi kalau pun Aldrich memilikinya, harganya pasti selangit.
“Meski begitu… cara ini masih lebih masuk akal daripada mencari Beyonder ‘Wahyu’ langsung. Baiklah, catat dulu saja.”
Ia lalu mengalihkan pikirannya pada pilihan kedua.
“Berdoa pada entitas ilahi tingkat tinggi? Kalau sedang berkenan, mereka mungkin bisa jadi pembimbing ritual. Tapi… ini terasa lebih tak bisa diandalkan daripada cara-cara lain.”
Dorothy mengerutkan kening. Pertama, tak ada jaminan entitas ilahi akan peduli pada dirinya—seorang asing yang bukan siapa-siapa. Kalaupun mereka merespons, siapa yang bisa menjamin mereka melakukannya karena niat baik? Halaman lusuh itu bahkan sudah memperingatkan: sekalipun berhasil menarik perhatian, hasilnya lebih sering berujung malapetaka. Prosesnya tak bisa dikendalikan, penuh risiko, dan mudah berakhir bencana.
Lebih jauh lagi, Dorothy bahkan tak tahu entitas ilahi mana saja yang benar-benar ada. Satu-satunya dewa yang ia kenal hanyalah Tritunggal Gereja Cahaya. Tapi apakah mereka nyata? Kalaupun nyata, dengan miliaran orang yang berdoa setiap hari, kenapa harus peduli pada dirinya? Lagipula, Gereja terang-terangan menentang mistisisme dan sekte-sekte rahasia. Berdoa pada dewa mereka sama saja menyerahkan diri ke pihak berwenang.
Bersandar di kursinya, kening berkerut, Dorothy larut dalam pikiran. Bagaimana ia bisa menemukan pembimbing?
“Ugh… Jadi bagaimana sekarang? Cari orang? Rasanya mustahil. Cari benda? Aku tak tahu harus mulai dari mana. Berdoa pada entitas ilahi? Itu lebih konyol lagi—aku bahkan tidak tahu bagaimana cara berdoa!”
Ia mengeluh lirih. Namun begitu kata-kata itu selesai meluncur, sebuah suara tiba-tiba bergema dalam benaknya.
“Tidak tahu bagaimana cara berdoa…”
Dorothy terperanjat, tubuhnya tegak di kursi.
Apa… suara barusan?! pikirnya kaget.
Setelah merenung sejenak, suara itu terdengar seperti suaranya sendiri—ucapan yang baru saja ia katakan, tapi hanya bagian akhirnya.
Ada apa ini? Kata-kataku sendiri bergema di dalam kepalaku? Apa aku tiba-tiba mengalami gejala aneh? Atau fenomena mistik? Atau jangan-jangan racun kognitif akhirnya bekerja, dan aku mulai kehilangan akal?!
Dorothy panik. Kemungkinan kerusakan mental membuatnya cepat bertindak.
“Aku harus menguji ini…”
Ia berbisik pelan, “Halo? Tes… apa kau bisa mendengarku?”
Tapi kali ini tak ada gema. Sekilas ia mengira semua itu hanya khayalan.
“Tidak… pikirkan baik-baik. Bagaimana tepatnya kata-kata itu muncul? Kenapa hanya bagian akhir? Apa sebenarnya yang kukatakan?”
Ia menelusuri ingatannya dan mencoba eksperimen hati-hati.
“Tadi aku bilang… tidak tahu bagaimana cara berdoa…”
Begitu kata itu terucap, gema kembali terdengar.
“Tidak tahu bagaimana…”
“Apa-apaan ini…!”
Bulu kuduk Dorothy meremang. Ia segera menenangkan diri, menganalisis pola yang terjadi. Beberapa kali mencoba, akhirnya ia menarik kesimpulan.
“Sepertinya ini hanya muncul kalau aku menyebut kata ‘berdoa.’”
Untuk menguji hipotesis itu, Dorothy menggumam, “Berdoa… halo, halo, tes—kau bisa dengar aku?”
Dan gema menjawab,
“Halo, halo, tes—kau bisa dengar aku?”
Tidak masuk akal… apa aku sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri?
Dorothy tertegun, setengah bingung setengah geli. Namun eksperimen berulang membuktikan: kata “berdoa” memang pemicunya.
Kenapa bisa begitu?
Ia termenung, lalu tiba pada dugaan yang paling mungkin: hanya satu hal yang sanggup berbicara langsung di dalam pikirannya…
“System, itu tadi kau yang bicara?”
“Benar.”
Jawaban itu membuat Dorothy menghela napas lega. Setidaknya ia tidak kehilangan akal gara-gara racun pengetahuan. Tapi kelegaan itu menimbulkan pertanyaan baru.
Kenapa sistem bisa merespons kata “berdoa”? Dan kenapa seakan-akan menyalurkan doa?
Tiba-tiba Dorothy teringat sesuatu. Sistem yang menemaninya sejak menyeberang ke dunia ini mampu mengakses pengetahuan dari dunia lain, bahkan mengekstrak spiritualitas darinya. Kalau bisa melakukan semua itu… mungkinkah sistem juga bisa berperan sebagai pembimbing?
Dengan ragu, ia bertanya,
“Sistem, apa kau bisa menerima doa? Apa kau bisa menjadi pembimbing untuk ritual kenaikanku?”
“Benar. Mampu menerima dan menyalurkan doa. Mampu memberikan bimbingan.”
Jawaban itu membuat Dorothy terdiam, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu. Ternyata gema aneh tadi hanyalah sistem yang menafsirkan ucapannya sebagai doa. Dan “memberikan bimbingan” jelas selaras dengan peran entitas ilahi sebagai pembimbing ritual.
Kesadaran ini membuat Dorothy semakin penasaran: sebenarnya apa sistem ini? Sejak ia menyeberang dunia, sistem selalu ada bersamanya. Tidak mungkin ia hadir tanpa tujuan.
Setelah berpikir lama, Dorothy akhirnya bertanya mantap,
“Sistem… apa kau sebenarnya? Atau lebih tepatnya, apa hakikatmu?”
Sistem menjawab dengan suara lirih, sehalus bisikan,
“Antarmuka.”
No comments:
Post a Comment