『Hmm. Sepertinya... ini dia.』
Di tengah pertarungan, Wood Ouroboros bergumam pelan, seolah sudah menerima nasibnya.
Dia belum kalah sepenuhnya. Masih ada kemungkinan baginya membalikkan keadaan. Tapi dia memandang ke langit… dan tahu bahwa akhirnya telah tiba.
Mana yang sebelumnya menyusun tubuh Heavenly dan Wood Ouroboros kini bergerak, berkumpul ke satu tempat.
Tubuh Fire Ouroboros yang sudah sekarat mulai mengurai menjadi partikel cahaya. Hanya masalah waktu sebelum semuanya berakhir.
“Eh…?”
『Tirai... Tirai cerita ini telah ditutup.』
Waktunya telah datang.
Waktunya menurunkan tirai bagi kisah yang sudah kehilangan arah—kisah yang tak lagi berjalan sesuai naskah.
Alurnya telah rusak. Cerita ini sudah tidak bisa diselamatkan.
Satu-satunya pilihan yang tersisa: Dewi harus merobek naskah dan membuangnya. Ini bukan akhir dari dunia—ini adalah akhir dari cerita.
Wood Ouroboros menyesali hanya satu hal: waktu singkat yang bisa ia habiskan bersama anak-anaknya.
Namun sebelum lenyap, dia memutuskan untuk menyelesaikan satu tugas terakhir.
Dia menatap Pollux dan Castor—anak-anak yang dia bentuk, temani, dan… cintai.
Cahaya lembut terpancar dari matanya, menyelimuti tubuh mereka berdua.
“A—Apa ini…?”
“K—Kekuatan… Meluap...!”
SP Pollux melonjak tak terbatas. Statusnya meningkat tajam. Bahkan ada keterampilan baru yang muncul di daftar kemampuannya—kemampuan yang dulunya hanya dimiliki oleh Ouroboros, sang penyeimbang dunia.
Wood Ouroboros mulai memudar jadi cahaya.
“A—Apa yang kau lakukan!?”
『Aku telah mewariskan segala yang kumiliki pada kalian. Aku juga sudah memutuskan ikatan di antara kita. Mulai sekarang… kalian bukan lagi avatarku. Bahkan jika aku menghilang, kalian akan tetap hidup.』
Dia tersenyum.
Pollux menatapnya, dan entah kenapa… dia merasa ingin menangis.
Sejak awal, Ouroboros ini memang berbeda.
Dia tidak pernah berniat membunuh anak-anaknya. Dia hanya… bermain.
Mengamati. Menemani. Mendidik.
Jika dia benar-benar serius, Argo sudah lama tenggelam.
Yang dia lakukan selama ini… hanyalah seperti orang tua yang bermain pedang-pedangan dengan anak-anaknya.
『Kalian telah tumbuh. Meskipun kalian bagian dari diriku… kalian memilih jalan sendiri. Aku sangat bahagia.』
Ouroboros telah mengawasi Pollux sejak awal—bahkan dari dalam tidurnya. Dia tahu rasa sedihnya, rasa takutnya. Dan kini… anak itu berdiri sebagai musuh di hadapannya, atas kehendaknya sendiri.
Sebagai orang tua… tak ada kebahagiaan yang lebih besar.
『Kisah Dewi telah usai. Mulai sekarang, ini adalah cerita kalian sendiri. Maaf, aku tak bisa berbuat lebih banyak sebagai ayah kalian. Hidup baik-baik, ya.』
“Jangan bercanda! Kenapa kau baru bilang semua ini sekarang?! Aku… aku bahkan belum sempat memanggilmu…”
—‘Ayah.’
Namun sebelum kata itu bisa diucapkan...
Wood Ouroboros menghilang menjadi cahaya.
Hanya meninggalkan satu kesan terakhir…
『Menyenangkan… Sangat menyenangkan…』
Pollux menatap tempat ayahnya menghilang—lalu jatuh berlutut.
“…Ini terlalu kejam. Kenapa kau bilang semua itu di akhir? Bagaimana perasaanku sekarang, hah…?”
“…Mungkin dia tak ingin kita melemah,” jawab Castor perlahan.
“Kakak…”
“Laki-laki memang makhluk egois.”
Castor menepuk kepala adik perempuannya dengan lembut.
—
Dan itulah akhir dari Ouroboros.
Yang terakhir, Fire Ouroboros, menjerit kesakitan saat tubuhnya mulai lenyap.
『TIDAK! AKU TIDAK MAU MENGHILANG!』
Tapi Benetnash menyelesaikannya dengan satu tikaman.
Dengan itu… akhir dunia Midgard pun tiba.
Ouroboros telah tiada.
Cerita telah berakhir.
Yang tersisa… hanyalah pertempuran di luar naskah.
Pertarungan antara sang Dewi dan Tuan bersayap hitam.
Di tengah medan pertempuran yang mulai senyap, api dari tubuh Fire Ouroboros perlahan padam, meninggalkan hanya abu bercahaya.
Itulah tanda akhir.
Ouroboros terakhir telah tumbang.
Dunia Midgard... telah tamat.
Namun sebelum apapun sempat stabil, suara keras bergema dari langit.
“KILL STEALLLLLLLLLLLLL!!”
Seseorang berteriak dengan semangat membara, seperti pemain MOBA yang merebut pembunuhan lawan dari tangan rekan satu tim.
Seketika itu juga, ledakan cahaya muncul.
Status semua orang—manusia, iblis, demihuman, bahkan naga—mendadak terguncang. Mereka melihat log sistem mereka:
[EXP didistribusikan.]
[Karena kehadiran aktif dalam pertarungan, Anda menerima sejumlah besar pengalaman.]
[Level meningkat.]
Namun tidak sampai di situ.
Nama satu orang mencuat paling atas:
[Ruphas Mafahl telah menerima 99,999,999,999 EXP.]
[Level meningkat menjadi 999.]
[Satu-satunya individu yang menerima seluruh sisa EXP dari keempat Ouroboros.]
Reaksi semua orang hampir serempak:
“APAAN ITU!?”
Bahkan Aigokeros—yang biasanya selalu tenang—nyaris menjatuhkan piala wine-nya.
“M—Mafahl-sama!? Mengapa mencuri semuanya begitu saja!?”
“Karena kalau dibiarkan mereka semua yang naik level, aku bisa jadi target utama. Jadi... ya, lebih aman aku ambil semua.”
Ruphas, tanpa rasa bersalah
Benetnash mengerutkan alis.
“Kau... Itu seperti menendang orang yang sudah terkapar!”
“Yah, siapa suruh lambat. Yang cepat yang dapat~”
Dina memegangi kepalanya sambil menghela napas, seolah ini sudah di luar akal sehat.
“Kita di akhir dunia… dan dia malah sibuk farming EXP…”
Ruphas hanya tersenyum licik.
Namun tawa itu segera berhenti, karena ia mendongak ke langit.
Midgard… perlahan hancur.
Bintang-bintang meredup.
Gravitasi mulai kacau. Udara menghilang. Tanah mulai mengambang.
“Waktunya habis.”
Itulah akhir dari naskah.
Dunia yang ditulis oleh Alovenus… secara resmi telah tamat.
Namun akhir cerita bukan akhir segalanya.
Ruphas mengangkat tangannya tinggi ke langit.
“X-Gate.”
Sebuah lingkaran cahaya raksasa muncul di langit.
Itu bukan gerbang biasa.
X-Gate adalah Gerbang Penyeberangan Eksistensi—pintu menuju luar semesta. Pintu yang bahkan melampaui dunia Alovenus sendiri.
Orang-orang menatapnya bingung.
“Kita… mau ke mana?”
“Ke luar panggung. Ke tempat yang belum ditulis oleh siapa pun.”
Ruphas menoleh ke seluruh umat manusia, lalu berteriak:
“Dengarkan aku, semua! Dunia ini telah berakhir. Tapi bukan berarti hidup kita ikut berakhir. Sekarang... ikutlah aku. Kita akan keluar dari dunia yang dibentuk oleh tangan dewa—dan membangun cerita kita sendiri!”
Tak ada yang bersuara.
Namun… satu per satu, orang-orang mulai bergerak.
Mereka melangkah ke arah gerbang cahaya yang perlahan terbuka.
Demi masa depan yang belum ditulis.
Demi kisah yang benar-benar milik mereka.
Demi dunia… tanpa dewa.
Di balik semua itu, Alovenus menyaksikan dari kejauhan, wajahnya tak lagi tenang.
Dia menggigit bibirnya.
“Jangan pergi...! Ceritanya belum selesai! Kalian masih butuhku, bukan?”
Namun tak ada jawaban.
Karena cerita ini… tak lagi membutuhkan penulis.
Langit Midgard telah berubah menjadi serpihan bintang.
Tanah mengambang. Laut menguap. Gravitasi hancur.
Semuanya—dunia, hukum alam, bahkan waktu—berderak, mengumandangkan nyanyian kehancuran terakhir.
Tapi di tengah kehancuran itu…
X-Gate berdiri megah. Gerbang raksasa yang menembus realitas itu bersinar bagaikan cahaya harapan di tengah malam abadi.
Ruphas berdiri di depan pintu, tangannya terangkat, wajahnya serius namun tenang.
Di belakangnya, barisan demi barisan manusia dan makhluk hidup mulai masuk.
Mereka tak tahu ke mana gerbang itu membawa.
Tapi mereka tahu satu hal: Midgard telah berakhir.
Dan jika mereka ingin terus hidup... mereka harus melangkah ke depan.
“…Ini semua terasa aneh,” gumam Aries.
“Aku tak pernah menyangka akhir dunia akan terasa seperti… pindahan besar-besaran.”
Aquarius, di sampingnya, mendesah.
“Ya, ini seperti evakuasi darurat... hanya saja bukan dari bencana alam, tapi dari dewa sinting.”
Mereka tertawa kecil. Tapi itu bukan tawa bahagia—melainkan tawa getir orang-orang yang terlalu lelah untuk menangis.
Aigokeros berdiri bersama Dina di pinggir medan.
Ia memandangi gerbang cahaya yang terus menyerap umat manusia, lalu berkata pelan:
“Ini sudah di luar rencana. Bahkan untuk seseorang secerdas aku…”
Dina menanggapi sambil tersenyum lelah.
“Aku rasa... inilah satu-satunya akhir yang pantas.”
Sementara itu, Libra menatap ke langit yang remuk.
“Midgard… berakhir. Apakah kita akan pergi juga?”
Ruphas menjawab sambil terus mengamati keretakan langit:
“Kita semua akan pergi. Tapi aku akan datang belakangan.”
Libra menoleh.
“…Ruphas-sama?”
“Masih ada satu hal yang harus kuselesaikan. Satu benang yang belum kuputus.”
Mata Ruphas menyipit, menembus batas dimensi.
“Dia… masih menunggu di luar sana.”
Gerbang mulai menyusut. Pemindahan hampir selesai.
Midgard telah kehilangan bentuknya.
Yang tersisa hanyalah “panggung kosong”—dan dua aktris utama.
Ruphas Mafahl.
Dan Alovenus.
Alovenus berdiri seorang diri di atas reruntuhan dunia.
Matanya kosong. Senyumnya telah lenyap.
“Kau benar-benar membawanya sejauh ini…”
Ia menatap ke arah di mana gerbang terakhir baru saja tertutup.
“Bahkan aku tak menyangka... bahwa dunia yang kutulis akan ditinggalkan begitu saja.”
“Tapi, Ruphas…”
“Tanpa aku... kalian takkan punya cerita.”
Langkah kaki bergema.
Ruphas berjalan perlahan di atas panggung dunia yang retak.
Tak ada lagi latar.
Tak ada lagi pemeran sampingan.
Tak ada lagi penonton.
Hanya dua pemeran utama.
“Salah, Alovenus.”
Ruphas berbicara.
“Cerita… akan selalu ada. Selama ada orang yang hidup, yang bermimpi, dan yang berjuang... cerita akan terus lahir.”
“Kau hanya takut... karena tak bisa mengendalikan cerita yang tak kau tulis.”
Alovenus menggertakkan gigi.
“Kau... bahkan bukan tokoh utama!”
“Benar. Aku hanya karakter pendukung.”
Ruphas mengangkat tangan—cahaya hitam dan putih berkumpul di telapak tangannya, membentuk timbangan takdir.
“Tapi kadang… karakter pendukunglah yang paling dikenang.”
Dan dengan itu, tirai dunia lama turun.
Yang akan dimulai berikutnya…
Bukan pertarungan untuk menyelamatkan dunia.
Bukan duel demi nasib umat manusia.
Tapi—
Pertarungan antara pencipta dan perusak.
Antara Dewi yang tak bisa mencipta… dan manusia yang tak bisa mati.
Antara penulis yang kehilangan kendali… dan karakter yang menolak naskah.
Inilah akhir dari segalanya.
Inilah awal dari yang tak pernah ditulis.
No comments:
Post a Comment