Bab 185 – Dewa Pencipta, Alovenus, Menantang Pertarungan!
Kapan semua ini dimulai?
Alovenus tak lagi mengingatnya.
Ia tahu bahwa dahulu dia adalah manusia. Tapi saat ia menjadi dewa, semua jejak tentang dirinya sebagai manusia menghilang dari sejarah—seolah-olah dia tidak pernah ada.
Tidak ada yang tahu masa lalunya.
Tidak ada yang bisa membuktikan eksistensinya sebelum menjadi dewa.
Hanya dirinya sendiri yang tahu… dan bahkan itu pun mulai kabur.
Yang pasti, dia telah menghancurkan dewa pencipta sebelumnya, dan menggantikannya.
Setelah itu, hal pertama yang dia lakukan adalah menciptakan alam semesta baru.
Ia membentuk planet, mengatur lingkungan, dan mulai bereksperimen menciptakan kehidupan.
Namun di sanalah ia gagal.
Ia, yang mampu menghancurkan dewa sebelumnya dengan mudah, tidak mampu menciptakan kehidupan.
Bagi Alovenus, kehidupan terlalu rapuh. Terlalu kompleks. Terlalu asing.
Bahkan menciptakan satu sel pun terasa seperti menyusun teka-teki yang mustahil.
Jadi akhirnya, ia mengambil jalan pintas: ia mengambil makhluk hidup dari dunia lamanya—dari Bumi.
Dia menculik mereka dari dunia asal, memindahkan ke Midgard, dan membiarkan mereka berkembang di sana.
Seiring waktu, manusia muncul. Mirip dengan yang dulu ia kenal, tapi tetap berbeda.
Dan saat melihat mereka… Alovenus merasa bahagia.
Ia mencintai mereka.
Setiap kali mereka memohon, ia menjawab. Ia memberi. Ia menyelamatkan.
Bahkan ketika mereka melanggar larangan—memakan buah terlarang yang berisi “esensi kejahatan”—ia tetap memaafkan mereka.
“Aku mencintai kalian semua.”
“Aku ingin kalian bahagia.”
“Aku akan membuat kalian bahagia… apapun yang terjadi.”
Dan dengan niat itu… ia terus memberi.
Namun semakin banyak yang ia beri, semakin kosong ekspresi manusia.
Kebahagiaan mereka meningkat… tapi mereka tidak pernah merasa bahagia.
Kini, semua itu telah berlalu.
Midgard telah musnah. Cerita telah mencapai akhir halaman.
Dan Alovenus berdiri di tempat yang tak bisa dimasuki siapa pun—ruang di luar alam semesta.
Tempat tanpa batas, tanpa warna, tanpa waktu. Dunia putih tak berujung.
Di sekelilingnya, berserakan titik-titik hitam.
Setiap titik itu adalah satu alam semesta.
Midgard hanyalah salah satu dari titik itu—sebuah dunia kecil di sistem bintang kecil dalam galaksi kecil.
Bahkan jika Ruphas dianggap monster di Midgard, di sini, dia hanya debu di antara galaksi.
Alovenus yakin: tidak mungkin ada yang bisa datang ke sini.
Tapi dia salah.
Untuk pertama kalinya, ia gemetar.
Karena di hadapannya, berdiri tiga sosok.
Ruphas. Benetnash. Orm.
Mereka… datang ke wilayah miliknya.
Dan mereka datang untuk mengakhirinya.
“Jadi... kau Alovenus, ya?”
Ruphas melangkah maju.
Ini pertama kalinya dia melihat sang Dewi secara langsung.
Sosoknya mirip Dina. Hanya warna rambutnya yang berbeda—emas berkilau, mengenakan gaun putih dan jubah biru, diselimuti cahaya.
Begitu cantik. Begitu agung. Tapi begitu kosong.
Ruphas mencoba melihat statusnya… namun tak ada gunanya.
Angka-angka di jendela statusnya penuh dengan digit sembilan, memanjang hingga ke tepi layar. Nilainya tidak lagi bisa dipahami.
“Aku terkejut. Aku tak menyangka kau bisa sampai ke sini,” ujar Alovenus datar.
“Begitu juga aku,” jawab Ruphas santai, meski dalam hati ia tahu: perbedaan kekuatan mereka sangat besar.
Lalu, Alovenus bertanya dengan suara tenang:
“Kau datang untuk menuntut penulisan ulang naskah?”
“Kalau kau sudah tahu, bagus. Bahkan jika kau menolak… aku akan memaksamu.”
Dewi menarik napas pelan.
“Menurutmu... apa salahnya menulis musuh bersama untuk seluruh umat manusia? Bukankah itu membuat mereka bersatu?”
Dan di sinilah pertarungan kata-kata dimulai.
Ruphas menatapnya tajam.
“Kau mencoba menyatukan dunia lewat kebohongan. Lewat rasa takut. Lewat keputusasaan. Dan kau menyebut itu… kebahagiaan?”
Alovenus tertunduk sedikit.
“Awalnya... aku hanya ingin membuat orang bahagia.”
Ia teringat masa lalu.
Ia menciptakan utopia.
Tak ada kelaparan. Tak ada penyakit. Tak ada usia tua. Tak ada perang. Tak ada kemiskinan.
Semua orang bisa hidup selamanya, dalam damai.
Namun...
“Mereka membusuk.”
Orang-orang menjadi boneka.
Mereka tak berjalan. Tak memilih. Tak berjuang.
Mereka hanya menunggu diberi.
Dan pada akhirnya… mereka bahkan tidak merasa bahagia.
“Aku ingin menyelamatkan mereka yang berjuang. Bukan memberi boneka hadiah.”
Itulah kesalahan fatal Alovenus.
Ia menciptakan surga… tapi lupa bahwa manusia butuh penderitaan untuk mengenali kebahagiaan.
Dan saat ia menyadari semua itu, semuanya sudah terlambat.
Orm menggertakkan gigi.
“Jadi... semua yang kulakukan… semua nyawa yang kubunuh... hanya demi idealisme kosong seperti itu!?”
Dia meninju.
Tinju itu... bisa menghancurkan galaksi.
Namun Alovenus menahannya dengan satu dinding tak terlihat.
“Jangan bersedih, Moon Ouroboros. Mereka bahagia… bahkan jika kebahagiaan itu palsu.”
“JANGAN MAIN-MAIN—!!”
Orm meraung. Dia menyesal. Dia marah. Tapi lebih dari segalanya… dia ingin tahu kenapa.
Kenapa semua orang harus menderita demi naskah yang busuk ini?
Ruphas dan Benetnash melangkah maju.
Namun sebelum mereka sempat bertindak, Alovenus memegang tangan Orm—dan senyum aneh muncul di wajahnya.
“Demi masa depan yang bahagia… biarlah dunia menjadi putus asa.”
“—Hypernova Explosion.”
Langit pecah.
Cahaya membakar segalanya.
Ledakan supernova yang bisa menghanguskan seluruh multisemesta—berpusat pada tiga orang:
Alovenus. Orm. Ruphas.
Dan dengan itu, pertarungan terakhir pun dimulai.
—BOOM.
Satu dentuman. Tak ada suara. Tak ada panas. Tak ada cahaya.
Ledakan itu begitu besar hingga tak bisa digambarkan oleh hukum fisika mana pun.
Cahaya dan materi berubah jadi debu informasi. Energi menguap dalam satu embusan kekuatan absolut.
Di tengah kehancuran itu—satu sosok berdiri tanpa goyah.
Ruphas Mafahl.
Tubuhnya terluka.
Armor gelapnya retak.
Sayapnya menyala nyaris tak stabil.
Namun matanya... tetap tajam.
“Benar-benar… awal yang gila.”
Di sampingnya, Benetnash berdiri dengan rambut terbakar sebagian, senyum getir di bibir.
“Aku bahkan tak sempat menyuruhmu mundur, Ruphas.”
“Kalau aku mundur, siapa yang akan membuka pertarungan?”
Orm—yang menjadi sasaran utama Hypernova Explosion—berlutut, tubuhnya dipenuhi luka tak kasatmata.
Namun—ia masih hidup.
“Apa itu... tadi?” gumamnya lemah.
“Ledakan tingkat bintang. Tak bisa dilawan dengan sistem Midgard,” jawab Benetnash cepat.
“Sial…”
Orm mencoba berdiri. Tapi tubuhnya menolak.
“Orm, mundur. Ini bukan pertarungan yang bisa kau lawan dalam keadaan sekarang.”
“Tapi—!”
“Tenang. Kami belum kalah.”
Alovenus muncul perlahan dari kabut putih.
Tidak luka. Tidak letih. Tidak terpengaruh.
“Seharusnya... kalian sudah lenyap.”
“Maaf mengecewakanmu,” ujar Ruphas sambil menarik napas.
“Kami datang jauh-jauh kemari, masa langsung mati begitu saja? Apa menurutmu kami NPC tutorial?”
Alovenus mengangkat tangan.
“Kalau begitu... mari lanjutkan permainan ini.”
Dan permainan pun dimulai.
Serangan tak lagi berupa pukulan atau sihir.
Benetnash bergerak lebih cepat dari cahaya, meninju dengan massa setara bintang katai putih.
Ruphas melepaskan Brachium—menebas dengan konsep “seleksi eksistensi.”
Tapi Alovenus hanya mengangkat satu jari.
“No damage.”
Seketika... semua serangan batal.
Ya. Dibatalkan.
Bukan diblokir. Bukan ditangkis. Bukan dihindari.
Tapi—seolah tidak pernah terjadi.
“Apa yang… barusan terjadi?” tanya Benetnash dengan mata melebar.
“Dia menghapus hasil serangan kita,” gumam Ruphas pelan.
“Dia tidak melawan kita sebagai karakter. Dia melawan sebagai penulis.”
Alovenus menatap mereka seperti orang dewasa melihat anak kecil menggambar di dinding.
“Kalian belum paham, ya?”
“Ini bukan pertarungan antara karakter dan karakter.”
“Ini adalah pertarungan antara karakter… dan narator.”
Ruphas memejamkan mata sejenak.
“Kalau begitu… aku akan melawan narator dengan pena milikku sendiri.”
Ia membuka matanya—dan memanggil semua serangannya kembali.
Satu demi satu, gerakan yang telah dihapus, diulang.
Pukulan Benetnash, tebasan Brachium, serangan Orm dari tadi—semuanya diaktifkan ulang.
Alovenus terkejut.
“Kau… seharusnya tidak bisa—”
“Salah. Kau bukan satu-satunya yang bisa menulis ulang kenyataan.”
“Aku juga karakter ciptaan. Tapi aku adalah ciptaan yang telah menciptakan dirinya sendiri.”
Alovenus mulai kehilangan kendali.
“Tidak… ini tidak seperti seharusnya…”
“Kau bukan tokoh utama!”
Ruphas mengangkat tangannya.
Dunia putih di sekeliling mereka bergoyang.
“Karena itu, aku akan menulis ulang semuanya.”
“Dunia tempat tokoh pendukung bisa… mengalahkan penulisnya.”
Langit yang semula putih kini berubah menjadi hitam.
Bintang-bintang kembali menyala.
Dan satu panggung baru muncul.
Sebuah medan kosong di ujung realitas, tempat hanya mereka berempat yang bisa berdiri.
Inilah panggung terakhir.
Alovenus, Dewa Pencipta.
Ruphas Mafahl, bos terakhir yang menolak naskah.
Benetnash, bintang pertempuran.
Orm, putra sang keabadian.
—
“Kau ingin cerita berakhir seperti yang kau mau?”
“Maaf.”
“Akhir dari cerita ini—akan kami tentukan.”
No comments:
Post a Comment