Novel Bos Terakhir Chapter 183

Bab 183 – Ruphas Menangkis Bola Itu!

Ketika Dewi hendak memberikan kekuatan kepada seseorang, ia selalu memastikan satu hal terlebih dahulu:

Apakah orang itu benar-benar menginginkannya?

Hanya jika jawabannya "ya", maka kekuatan itu akan diberikan.

Dengan begitu, orang itu akan menerima kekuatan secara alami dan menggunakannya dengan penuh keyakinan.

Namun... jika dia mengabaikan tahap itu, tetap saja tidak jadi masalah.

Karena Dewi masih bisa memaksa seseorang menerima kekuatannya dan menjadikannya boneka.

Tentu, ada risiko. Orang itu harus memiliki ketabahan mental sekelas Benetnash agar bisa melawan pengaruhnya.

Dengan kata lain, jika Alovenus benar-benar ingin, dia bisa mengendalikan Sei kapan pun dia mau.

Tapi... kenapa dia tidak melakukannya?

Jawabannya sederhana: karena dia masih terlalu lemah.

Tak peduli seberapa tinggi status yang dia berikan, jika sang boneka tidak memiliki “keputusan sendiri,” maka akan selalu ada celah.

Dan bagi musuh seperti Ruphas Mafahl, celah sekecil apa pun adalah hukuman mati.

Pengendalian penuh akan menghasilkan senjata yang kaku dan mudah ditebak. Bukannya menjadi kekuatan tempur, malah menjadi beban.

Dewi sendiri tahu itu.

Itulah sebabnya, dulu saat mengendalikan Alioth dan yang lain, dia tidak sepenuhnya menghapus keinginan mereka. Ia hanya menyusup dan memelintirnya.

Pollux memang pengecualian, karena dia memang boneka sejak awal. Tidak ada kehendak di sana.

Tapi pahlawan?

Pahlawan perlu melalui “proses”. Dia harus merasakan kelemahan, kegagalan, dan ketidakberdayaan. Dia harus jatuh, terpuruk, dan menangis.

Baru setelah itu… dia akan mencari kekuatan dengan kemauannya sendiri.

Namun, rencana sempurna itu hancur... oleh satu pengkhianatan.

Dina.

Sang avatar Dewi sendiri… berkhianat.

Tak berlebihan jika mengatakan bahwa Dina adalah Alovenus lain, karena dia memiliki kepribadian dan ingatan sang Dewi.

Namun justru karena itulah... pengkhianatannya tak terduga.

Dia tidak hanya memberi Ruphas kepribadian palsu seperti yang direncanakan.

Dia juga memberinya pengetahuan tentang dunia lain, dan bahkan mengembalikan Ruphas ke dirinya yang asli.

Dua Belas Bintang—yang seharusnya berpencar dan ragu—malah kembali ke sisi Ruphas.

Para iblis melemah. Plot utama terbengkalai.

Dia bahkan memalsukan ketidakmampuannya sendiri agar Libra bisa kembali.

Sei, si protagonis, diabaikan sepenuhnya.

Dan ketika Dewi akhirnya sadar... situasinya sudah di luar kendali.

Hubungan antara pahlawan dan Ruphas telah terjalin. Mereka kini berdiri di sisi yang sama.

Dan itu… seharusnya tidak mungkin terjadi.

Ini seharusnya kisah tentang sang protagonis melawan bos terakhir.

Namun yang terjadi… malah sang protagonis berkata:

“Penulisnya nyebelin. Jadi ayo kita hajar bareng-bareng.”

Itu... tidak masuk akal.

Tapi itulah kenyataannya.

Kini, Dewi harus turun tangan sendiri.

Tak akan ada penyimpangan lagi.

Tak akan ada gangguan.

Dewi yakin akan kemenangannya. Begitu juga Ruphas.

Keduanya sudah memainkan kartu pamungkas masing-masing.

Yang tersisa hanyalah satu hal: siapa yang akan keluar sebagai pemenang?

Tapi ada satu hal yang tak berubah...

Apa pun yang terjadi, tirai akan diturunkan oleh sang pahlawan.

Aku tidak bisa mengingat bagaimana semuanya sampai di titik ini.

Yang kuingat hanyalah... dunia dipenuhi cahaya, lalu suara-suara hilang satu per satu, dan kemudian semuanya tenggelam dalam kesunyian.

Saat aku membuka mata, yang kulihat hanyalah bayangan hitam pekat.

Tidak ada langit. Tidak ada tanah. Tidak ada suara. Tidak ada apa pun selain diriku sendiri.

Apakah ini mimpi?

Atau alam bawah sadar?

Atau... semacam ruang mental?

Aku tak tahu.

Namun yang pasti, aku bisa merasakan sesuatu—sebuah tekanan mengerikan yang menempel di seluruh tubuhku. Bukan rasa sakit. Tapi beban. Berat... dan menyiksa.

Aku terjatuh.

Dan ketika aku mencoba bangkit, lututku gemetar. Aku ingin berdiri, tapi tubuhku tak sanggup.

Suaraku pun tak keluar.

Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara.

"Aku… siapa…?"

Pertanyaan itu bergaung dalam kekosongan.

Aku tahu namaku. Aku tahu darimana asalku. Aku tahu mengapa aku ada di dunia ini.

Namun semua itu… terasa tak berarti.

Aku tidak berguna.

Aku tidak pernah menyelamatkan siapa pun.

Sejak pertama kali dipanggil ke dunia ini, aku hanya menjadi beban.

Saat Aries terluka, aku hanya bisa menyaksikan.

Saat dunia nyaris hancur, aku hanya bisa bersembunyi.

Bahkan sekarang pun, saat semua orang sedang bertarung... aku hanya bisa diam.

Apa gunanya aku disebut “pahlawan”?

Apa aku benar-benar pantas disebut seperti itu?

"Tidak… aku bukan pahlawan."

Suara itu... muncul dari dalam diriku sendiri.

Dan entah kenapa... aku mengangguk setuju.

Benar.

Aku hanyalah anak SMA biasa.

Aku bahkan tidak populer di sekolah.

Aku tidak punya cita-cita besar.

Aku tidak punya keberanian seperti tokoh anime.

Aku tidak punya tekad seperti karakter utama manga shounen.

Yang kupunya... hanyalah rasa takut.

Aku ingin pulang.

Aku ingin melarikan diri.

“...Sei.”

Sebuah suara memanggilku.

Lembut, penuh kasih, tapi juga berbahaya—seperti bisikan iblis.

Aku mendongak, dan di hadapanku, dia muncul.

Seorang wanita yang begitu cantik, seakan dilukis dengan tangan Tuhan. Rambutnya bersinar lembut, matanya bagai galaksi yang menenangkan.

Alovenus.

Dewi yang memanggilku ke dunia ini.

“Kau sudah cukup menderita, bukan?”

“Kau sudah cukup berusaha.”

“Tak apa untuk berhenti sekarang.”

Tangannya terulur padaku, seperti seorang ibu yang hendak memeluk anaknya.

“Serahkan semuanya padaku. Kau sudah cukup terluka…”

Dan sesaat... aku merasa ingin menyambutnya.

Ya. Aku ingin semuanya selesai.

Aku ingin tidur dan melupakan semuanya.

Kalau aku menerima tangan itu... semua akan berakhir.

Aku takkan disalahkan lagi. Tak perlu melawan siapa pun.

Segalanya akan selesai dengan bahagia.

Tapi—

Tiba-tiba, aku ingat sesuatu.

Seseorang.

Sosok yang berdiri di hadapanku dulu.

Yang berkata, dengan tatapan kuat:

“Kau memiliki pilihan. Kau bebas menentukannya.”

Itu—Ruphas Mafahl.

Dia... tidak memaksaku. Tidak pernah menyuruhku melakukan sesuatu yang tak kuinginkan.

Dia memberiku hak untuk memilih.

Untuk berjalan maju, atau menyerah.

Dan sekarang… aku sadar.

Jika aku menerima tangan Alovenus, maka aku akan menyerah atas pilihan itu.

Aku akan melemparkan kehendakku sendiri—dan membiarkan orang lain menulis akhir hidupku.

Aku akan membiarkan ceritaku ditulis oleh tangan orang lain.

“…Tidak.”

Tanganku... bergerak mundur.

“Aku tidak ingin berakhir seperti ini.”

“Aku ingin... memilih dengan caraku sendiri.”

Suara itu lemah, namun tegas.

Alovenus terkejut. Ekspresi lembutnya berubah sedikit.

“Kau… menolak?”

“Ya.”

“Kau akan menolak ‘kebahagiaan’ yang sudah kuletakkan di depan matamu?”

“Kalau itu bukan pilihanku sendiri… maka itu bukan kebahagiaan.”

Aku berdiri.

Kakiku gemetar, lututku masih lemah, tapi aku memaksa tubuhku berdiri.

Karena aku tahu... jika aku menerima tangan itu sekarang, aku takkan pernah bisa memaafkan diriku sendiri.

Aku tidak ingin menjadi boneka.

Aku tidak ingin menjadi pahlawan palsu.

Aku... ingin hidup sebagai diriku sendiri.

Dan di saat itulah—

Cahaya melesat dari langit.

Sinar terang memotong kegelapan.

Dan seseorang berdiri di antara aku dan tangan Alovenus.

—Ruphas Mafahl.

Dengan senyum kecil, ia berkata:

“Sepertinya aku datang tepat waktu, ya?”

Cahaya menyelimuti tubuhku.

Kegelapan menghilang, digantikan oleh dunia putih bersih.

Dan di sanalah dia berdiri—Ruphas Mafahl, sosok yang semestinya menjadi “bos terakhir”, namun justru berdiri sebagai penyelamatku.

Alovenus memandangnya dengan mata menyipit.

“Ruphas... Kau… tidak seharusnya ada di sini.”

“Sayangnya, aku sangat keras kepala.”

Jawab Ruphas enteng sambil menepuk-nepuk sarung tangan kulit di tangannya. Ia menatapku sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke Dewi.

“Apa kau pikir aku akan membiarkanmu mencuri kehendak orang lain tepat di depan mataku?”

“Aku tidak mencuri. Aku hanya… memberinya pilihan yang lebih mudah.”

“Pilihan di mana dia berhenti menjadi dirinya sendiri, ya? Maaf. Aku tidak tertarik pada akhir cerita yang membosankan.”

Ruphas berjalan maju, melangkah perlahan ke arah Alovenus.

Dan Dewi, untuk pertama kalinya sejak awal cerita—mundur selangkah.

“Berhenti. Jika kau melangkah lebih jauh… kau akan menghapus segalanya.”

“Oh? Jadi sekarang kau peduli soal itu?”

Langkah Ruphas tak melambat sedikit pun.

Cahaya menyelimuti tubuhnya. Bukan cahaya kekuatan... tapi keberanian.

“Cerita ini bukan milikmu, Alovenus. Bukan juga milikku. Dan bukan milik siapa pun yang menonton dari balik layar.”

“Lalu milik siapa?”

“Milik mereka. Milik kami. Milik orang-orang yang berjuang di dunia ini.”

Dengan satu gerakan cepat, Ruphas mengayunkan tangannya.

Tangan kanan yang membawa kekuatan dewa, kekuatan kehendak bebas—mengayun dari arah bawah, seperti pemain bisbol yang menyambut bola fastball.

“Dan inilah… bola itu.”

Ledakan cahaya muncul.

Seketika, dunia mental yang diciptakan Dewi retak.

Bayangan, godaan, dan pengaruh Alovenus dihancurkan sepenuhnya.

Bukan dengan sihir.

Bukan dengan kekuatan.

Tapi dengan satu tindakan: Menangkis bola yang dilemparkan oleh penulis naskah.



Ketika aku membuka mata, aku sudah kembali ke medan perang.

Dewi—yang sebelumnya berdiri megah—terlihat terhuyung. Wajahnya menegang, matanya membelalak.

“Kau… KAU MENANGKIS BOLAKU!? ITU TIDAK MASUK AKAL! ITU TIDAK ADA DI SKENARIONYA!”

Ruphas berdiri tegak, mengenakan jubah gelap dengan lengan terangkat, seolah benar-benar baru saja memukul bola homerun.

“Kalau bolanya mengarah ke sesuatu yang tak bisa kau biarkan terjadi… ya tinggal ditangkis saja. Sederhana, kan?”

Dunia membisu.

Semua orang—bahkan Alovenus—terdiam.

Dan aku, Sei, hanya bisa berdiri terpaku, menatap punggung wanita yang menangkis naskah takdir itu seakan itu cuma bola latihan sore hari.

Sejak awal… semua orang menyebutnya bos terakhir.

Semua orang memanggilnya musuh utama.

Tapi yang kulihat...

Bukan musuh.

Bukan iblis.

Bukan dewa.

Yang kulihat hanyalah—

Pahlawan.


Epilog

—Ruphas menangkis bola itu.

Dengan tinju penuh tekad.

Dengan senyum penuh keyakinan.

Dengan keberanian seorang manusia yang menolak ditulis oleh tangan orang lain.

Alovenus, sang penulis, hanya bisa menjerit dalam hati.

“AKU YANG TULIS CERITA INI!! KENAPA KAU YANG JADI PROTAGONISNYA!?”

Dan jawabannya sangat sederhana—

Karena semua orang sudah bosan dengan protagonis yang selalu menang.

Sekarang giliran karakter pendukung yang menyalip naskah.

Karena kadang-kadang… karakter seperti itu lah yang benar-benar membuat cerita layak dikenang.

No comments:

Post a Comment