Novel Bos Terakhir Chapter 91

Bab 91: Kemunculan Setengah-Manusia Liar

Sei berlari keluar seperti sedang melarikan diri, lalu menatap langit, diliputi perasaan nelangsa.

Meskipun tadi aku kabur dalam keadaan panik, sekarang setelah kupikirkan lagi... tindakan yang kulakukan mungkin sangat memalukan.
Tapi... kalau aku tetap di sana, mungkin aku akan terseret dalam situasi itu dan malah bertunangan dengan si Putri Beruang... Jadi, meski sekarang aku menyesal, aku juga tak yakin apakah keputusanku tadi salah.

Sei meninggalkan yurt dengan dalih ingin memberikan eliksir untuk dewa pelindung. Namun kenyataannya, eliksir itu bukan miliknya, melainkan milik Kaineko.

Singkatnya, ia benar-benar hanya kabur. Dan sekarang, dia tidak tahu harus berbuat apa.

Ah, kacau sekali aku ini...
Dia menyesali semua itu begitu menyadarinya.

"Sei!"

Cruz, Virgo, Gants, Friedrich, dan yang lain menyusul keluar dari tenda satu per satu. Saat Cruz menghampirinya, ia berseru, tampak seolah-olah marah.

…Meski sebenarnya, dari nada suaranya saja sudah terlihat bahwa dia hanya berpura-pura marah.

“Tidak sopan sekali meninggalkan ruangan tanpa izin saat berada di hadapan seorang kaisar. Kaisar Beruang itu memang ceroboh—eh maksudku, murah hati, tapi kalau kau bertingkah begitu di depan raja lain, bisa-bisa kau dipenjara karena dianggap menghina! Apalagi kalau yang kau hadapi adalah Putri Vampir... bisa-bisa kau langsung dihukum mati, tahu?!”

“Ma—maaf…”

“Ya, kali ini kita selamat karena reputasimu. Tapi... tolong jangan ulangi lagi lain kali. Sudah jelas, kan?”

Sei menunduk setelah ditegur keras. Walau pada akhirnya insiden itu dimaafkan berkat jasa-jasa mereka bagi negeri ini, tetap saja, tindakannya itu tidak bisa dibenarkan.

Melihat wajah Sei yang murung, Cruz menghela napas pelan, lalu memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan.

“Sudahlah. Sekarang kita harus menuju tempat dewa pelindung. Kita sudah cukup lama menunda, dan mungkin keadaannya makin parah.”

“Aku setuju.”

Kaineko pun mengangguk, lalu memimpin rombongan.

Lokasi dewa pelindung adalah rahasia negara. Hanya Kaineko sendiri yang tahu letaknya. Tapi karena Sei telah menyelamatkan negara ini, mereka memutuskan untuk mengabaikan kerahasiaan itu untuk sementara.

Mereka mulai masuk ke dalam hutan. Begitu melewati gerbang pepohonan, sinar mentari yang menyusup lewat celah-celah dahan menyambut mereka, diiringi kicauan burung.

Apakah itu sinar mana yang berkilauan...?

Alam liar yang belum tersentuh manusia terasa sangat magis dan memikat. Ditambah dengan cahaya mana yang melayang-layang di udara, tempat ini seolah berada di dunia lain.

Saat Sei mendongak, dia melihat kupu-kupu sebesar tubuh manusia beterbangan dan burung kecil setinggi pinggangnya melompat-lompat riang.

...Oi, mereka besar banget. Tadinya kelihatan seperti hutan dongeng, sekarang malah jadi kelihatan kayak tempat nongkrong monster.

Namun, yang paling menarik perhatian Sei adalah Virgo yang tampak sangat senang sejak mereka memasuki hutan. Matanya berbinar saat memandangi sekeliling, seolah bisa bersenandung kapan saja.

“Virgo-san, kamu suka hutan, ya?”

“Panggil Virgo saja. Aku agak canggung dipanggil pakai -san.”

“Ah, baiklah. Tapi iya, kamu kelihatan ceria banget.”

“Ya. Sejak kecil aku tinggal di hutan. Kudengar flugel biasanya lebih suka tinggal di puncak gunung, tapi aku lebih suka hutan.”

Di dunia ini, beastkin tinggal di padang rumput, flugel di pegunungan, kurcaci menyukai gua, floresiensis suka berpindah-pindah, manusia membangun kota, vampir tinggal dalam kegelapan, dan elf menetap di hutan. Itu adalah pengetahuan umum tentang tujuh ras di Midgard.

Dengan kata lain, flugel seharusnya menyukai tempat tinggi yang tidak terlalu dipenuhi mana. Bahkan Ruphas sendiri membangun kastil berbentuk menara yang menjulang ke langit.

Jadi Virgo, yang lebih menyukai hutan penuh mana, jelas tidak biasa di antara kaumnya.

“Oh? Jarang sekali. Flugel biasanya tidak tahan berada di tempat yang penuh mana.”

“Aku juga sering dengar begitu. Tapi entah kenapa, aku nggak pernah merasa terganggu.”

“Menarik. Mungkin salah satu orang tuamu adalah seseorang yang telah menyerap banyak mana?”

“Begitu, ya?”

Cruz mengangkat jemari dan menghitung beberapa pengecualian langka di kalangan flugel.

“Ya, kalau orang tuamu sudah banyak menyerap mana, bahkan flugel bisa jadi tak lagi menolak mana. Ambil contoh Ruphas Mafahl. Dia pernah memasuki tempat dengan konsentrasi mana yang bahkan para elf enggan datangi, dan dia melakukannya tanpa ragu.”

“Tapi... sayap Virgo putih bersih, lho?”

“Tidak semua perubahan tampak di permukaan. Orang tua Ruphas pun katanya punya sayap putih biasa.”

Mendengar penjelasan itu, Sei langsung teringat pada Megrez. Dulu, Megrez menduga bahwa leluhur Ruphas mungkin pernah memakan buah terlarang, dan hanya Ruphas yang menunjukkan perubahan fisik.

Kalau begitu, mungkin Virgo justru kebalikannya—orang tuanya telah menyerap mana, tapi dia tetap mempertahankan wujud luar biasa seperti flugel pada umumnya.

Dan kalau begitu... siapa sebenarnya orang tua Virgo?

Untuk memiliki anak seperti Virgo, yang tidak hanya tahan terhadap mana, tapi juga mencintai hutan, mereka pasti telah menyerap banyak mana.

Dengan kata lain—salah satu dari mereka kemungkinan besar adalah salah satu pahlawan dari dua abad lalu.

“Kita sudah sampai. Tepat di depan sana.”

Kaineko berhenti. Mereka tiba di sebuah ruang terbuka di dalam hutan. Aneh sekali, tak ada pohon tumbuh di sana—seolah-olah alam sengaja menciptakan ruang untuk makhluk besar tinggal.

Tanahnya ditumbuhi rumput lembut, pemandangan yang seharusnya indah...

Tapi yang pertama mereka rasakan justru ketakutan.

Seekor naga raksasa, panjangnya lebih dari lima puluh meter, tergeletak lemah di atas tanah.

Tubuhnya penuh luka. Sisik birunya, yang biasanya berkilau, kini retak dan mengeluarkan darah.

Ini jelas bukan sekadar penyakit.

Dan kemudian, Sei menyadari—di atas tubuh naga itu berdiri empat sosok asing.

“Lihat siapa yang datang. Jarang sekali ada pengunjung di tengah hutan seperti ini.”

Yang pertama berbicara adalah seorang wanita aneh—bagian atas tubuhnya tampak seperti manusia, tapi bagian bawahnya diselimuti sisik seperti tubuh ular.

Seorang lamia—salah satu spesies dalam kategori “binatang sihir”, yang kecerdasannya setara dengan manusia. Namun, karena bentuk tubuh mereka tidak sepenuhnya menyerupai manusia, mereka dikategorikan sebagai makhluk buas dan menjadi sasaran penindasan.

“Kelihatannya mereka datang buat nyembuhin naga pelindung~. Tapi sudah terlambat~.”

Sosok yang kedua memiliki kepala ikan. Dia berasal dari ras duyung—binatang sihir yang konon tinggal damai di laut dan memiliki budaya sendiri, tapi tetap diperlakukan sebagai makhluk kelas dua oleh dunia humanoid.

“Pergilah, anak-anak muda. Kalian bukan urusan kami.”

Yang ketiga yang angkat bicara membuat Sei nyaris menjerit.

Itu... serangga!

Tubuhnya tampak seperti manusia, tapi kepalanya menyerupai laba-laba. Dari punggungnya tumbuh kaki-kaki serangga yang bergerak-gerak mengerikan.

Dia adalah bugkin—spesies yang terbentuk karena paparan mana berlebihan terhadap serangga atau manusia yang mengonsumsi serangga penuh mana. Mereka juga dianggap menjijikkan dan tak punya hak sebagai makhluk berakal.

“Kyahahaha! Lihat wajah-wajah ketakutan itu! Sudah kukatakan, cuma dengan tampil saja kau bisa bikin mereka lari terbirit-birit!”

Yang terakhir adalah seorang gadis muda dengan bunga tumbuh di kepala dan anggota tubuhnya. Kakinya tampak seperti akar tanaman.

Seorang dryad—makhluk tumbuhan dengan wujud mirip manusia. Tapi seperti yang lain, ia pun dikategorikan sebagai binatang sihir, dan karena itu, mereka juga ditindas dan disingkirkan.

Mereka berempat—lamia, duyung, bugkin, dan dryad—mewakili ras-ras yang secara teknis tak jauh berbeda dari humanoid, tapi karena definisi sempit dunia ini, mereka hidup sebagai kaum yang terpinggirkan.

“Kau makhluk keji! Menjauh dari naga pelindung-sama sekarang juga!”

Kaineko menghunus pedangnya, berseru marah. Tapi keempat makhluk itu tak menunjukkan reaksi takut. Mereka hanya menatap Kaineko dengan pandangan seperti menyaksikan pembunuh orang tua mereka.

Bugkin itu menjawab dengan nada penuh amarah.

“Binatang sihir... ya, mungkin memang begitu. Di dunia ini, kami dipaksa menerima label itu. Tapi... apa bedanya kami dengan kalian?”

“Apa!?”

“Kita bisa bicara. Kita bisa saling memahami. Hanya karena kami berbeda bentuk, kami dianggap berbeda? Mengapa kami harus ditindas, dianiaya, diusir?”

Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Mereka tak tahu harus menjawab apa. Mereka hanya bisa berkata: “Karena kalian berbeda.”

Lamia itu menepuk bahu rekannya yang berbentuk laba-laba dengan lembut.

“Sudahlah. Tak ada gunanya bertanya pada mereka. Selama ratusan tahun kita sudah mencoba bicara baik-baik. Kita berusaha keras agar bisa hidup berdampingan. Tapi semua itu diabaikan. Makanya, kita akhirnya memilih jalan ini. Sudah sejauh ini, bicara tidak akan mengubah apa pun.”

“...Kau benar. Sangat benar.”

“Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kami sekarang hanyalah Leon-sama. Kami tak bisa lagi berharap pada kaum humanoid.”

Sei hanya bisa menatap mereka dengan perasaan tak nyaman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Mereka berbeda... sangat berbeda dari makhluk sihir lainnya yang pernah kutemui.

Mereka bisa berpikir. Mereka bisa diajak bicara. Kita seharusnya bisa hidup berdampingan.

Sebagai orang luar dari dunia ini, Sei bisa merasakan penderitaan mereka. Tapi mereka yang sejak lahir tinggal di dunia ini, tak akan bisa mengerti. Mereka hanya tahu bahwa binatang sihir itu jahat dan mengeluh tanpa alasan.

“Itu cukup omong kosongnya, binatang keji! Kalian menyiksa naga pelindung-sama hingga begini lalu bicara soal perdamaian?! Ha! Kalian hanya makhluk menjijikkan yang mencoba terlihat suci! Kalian bicara damai sambil bawa senjata? Lucu sekali!”

Kaineko melompat menyerang, mengarah langsung ke bugkin.

Namun pedangnya dipatahkan dengan mudah. Laba-laba itu hanya menangkisnya dengan salah satu lengan dan menendang Kaineko hingga terpental.

“Grrrrrr!”

Friedrich, sang pedang suci, mengaum marah dan meluncur. Dia menghantamkan tebasan penuh tenaga ke tubuh lawan.

Namun bugkin hanya mundur selangkah, lalu balas memukulnya hingga Friedrich terlempar.

“Gu, ooo...”

“Kyahaha! Lemah! Lemah sekali! Humanoid terkuat macam apa itu?! Leon-sama benar. Kalian sudah payah sekarang!”

“Ku!”

Virgo terbang menyerang dryad, dan kali ini dia berhasil. Tebasannya memotong lengan si dryad, menembus pertahanannya, dan membuat luka cukup dalam.

Namun, meski cedera itu mematikan bagi manusia, dryad hanya sedikit terkejut. Luka itu tak cukup untuk melumpuhkannya.

“Oh? Lumayan juga kau, gadis kecil!”

Dryad menyerang balik dengan lengan-lengan tanaman, tapi Virgo lincah dan bisa menghindar di udara. Namun, bugkin dan duyung ikut menyerang, menambah tekanan.

Serangan tombak dan pukulan beruntun menghujani Virgo. Ia masih bisa menangkis sebagian serangan, tapi lama-kelamaan dia terdorong jatuh.

Tepat saat dia nyaris menabrak pohon, Sei menubruknya dan menjadi penyangga tubuhnya.

Namun sebelum mereka bisa bangkit, bugkin menyemburkan jaring, membatasi gerakan mereka.

“S—Sei!?”

“Sayapmu menutup pandanganku—aku tak bisa lihat ke depan!”

Dalam sekejap, Sei, Virgo, Kaineko, dan Friedrich tak lagi bisa bertarung.

Melihat keadaan mereka, lamia menatap Virgo.

“Cukup mengesankan. Tapi dengan kekuatan sebesar itu, kau akan jadi ancaman. Maaf, tapi kau harus mati di sini.”

“Tunggu! Dia cuma gadis muda! Tak perlu sampai seperti itu!”

“Sersan, kau terlalu lembut. Diam di belakang saja.”

Lamia mengarahkan tangan dan melepaskan tombak air ke arah Virgo.

Virgo yang terkurung tak bisa bergerak. Serangan itu tak bisa ia hindari. Ricardo, Nick, dan Shu melompat, mencoba menghalangi tombak itu dengan senjata mereka.

Namun senjata mereka hancur seketika. Tombak air itu menembus pelindung dan tubuh mereka, menghujani luka di sayap dan kaki mereka.

“—!”

Virgo memejamkan mata, pasrah.

Sei bergerak mencoba menghalangi serangan itu dengan tubuhnya.

Namun sebelum tombak itu mencapai Virgo, sesuatu terbang dari dalam hutan.

Sebuah jangkar raksasa meluncur, menebas pepohonan di jalurnya dan menghantam tombak air itu hingga terpental.

“Si—siapa itu?!”

Lamia terbelalak. Semua mata tertuju pada jangkar itu.

Dan dari balik pepohonan, muncullah seorang pria muda.

Rambutnya keemasan, mengenakan mantel putih dan penutup mata di satu sisi. Ia menggenggam jangkar besar dengan satu tangan seolah-olah itu hanya tongkat ringan.

“Siapa aku...? Tak penting. Hanya pria malang yang jatuh dari langit dan mendarat tak jauh dari sini. Tapi, kupikir aku tak bisa berpura-pura tak melihat situasi ini. Jadi... izinkan aku ikut campur sebentar.”

Jangkar itu ia ayunkan sembari mantelnya berkibar ditiup angin.

Bajunya robek di beberapa bagian, tubuhnya penuh luka, namun dari aura yang terpancar... kekuatannya sangat besar. Bahkan Sei bisa merasakannya hanya dari getaran di kulit.

Pria ini... kuat! Ini... sudah di level yang benar-benar berbeda!

Tak seorang pun tahu apa yang telah dia alami. Tapi jelas, dia telah melalui banyak hal.

Meski dalam kondisi luka parah, pria itu berdiri dengan wibawa yang membuat empat makhluk itu terdiam.

Dia adalah Castor—salah satu dari Kembar Bintang Surgawi, pedang sang Putri Peri. Dan sekarang, dia menatap ke arah mereka, sambil tersenyum... tanpa rasa takut sedikit pun.


(Catatan Penulis)

HP: 1020 / 55000
Castor: “Penglihatanku kabur… kesadaranku mulai kabur… bisakah mereka semua pulang saja?”
Status saat ini: di ambang kematian.

❌ Salah: Flugel suka tempat tinggi.
✅ Benar: Flugel tidak suka mana, jadi mereka memilih tempat tinggi karena kadar mana di sana rendah.
Q: Kalau begitu, bagaimana dengan Ruphas?
A: Dia memang suka tempat tinggi. Sederhana saja.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 90

Bab 90: Pahlawan Melarikan Diri!

Setelah salah satu dari Tujuh Sosok berhasil diatasi—atau lebih tepatnya, disingkirkan oleh orang lain—Sei dan rombongannya kembali ke yurt untuk menerima pujian.

Namun, Sei pribadi merasa sulit menikmati kemenangan ini. Dalam hatinya, ada rasa tidak nyaman—karena pada dasarnya, mereka seperti mencuri kredit.

Bukan "sedikit", tapi benar-benar mencurinya. Semua kemuliaan itu pada dasarnya adalah milik Ruphas.

Saat ini, hanya Virgo yang masih bersama kelompok Sei. Anggota Ruphas lainnya sudah kembali ke golem berbentuk markas operasi mereka demi menghindari sorotan berlebihan.

Mengenai siapa yang seharusnya menerima pujian, Ruphas sendiri hanya berkata santai, “Tak butuh semua itu, berikan saja pada Virgo.” Meski itu datang langsung dari yang bersangkutan, Sei tetap merasa bersalah.

Mereka juga menerima hadiah utama berupa ramuan elixir—bagian paling bernilai dari keseluruhan hadiah. Bahkan untuk ini pun, Ruphas berkata dia tak membutuhkannya.

Hasil akhirnya: Sei dan timnya menerima semua kehormatan, hadiah, dan pengakuan… padahal mereka hampir tidak melakukan apa pun.

Sei sempat curiga—jangan-jangan semua kemurahan hati ini ada maksud tersembunyi?

“Pahlawan, kau telah berjasa besar bagi kami. Izinkan aku mewakili negeri ini untuk mengucapkan terima kasih dari lubuk hati terdalam. Namamu akan tercatat selamanya dalam sejarah negeri ini.”

Kaineko, dalam suasana hati yang amat cerah, melimpahi pujian pada Sei dan kawan-kawan.

Selesai berbicara, ia mengangkat tangan sebagai isyarat. Sekelompok anjing buas berbaris masuk, lalu mulai membawa batangan emas, satu per satu.

Mata Jean dan para petualang di sekelilingnya langsung berbinar melihat tumpukan emas itu. Tapi Sei sendiri hanya bisa bingung. Nilai emas di dunia ini masih samar baginya.

“Silakan dicek. Harusnya totalnya lima juta eru.”

“Eh… bukankah ini terlalu banyak?”

Awalnya, saat menerima misi ini, hadiah dijanjikan hanya seribu eru sebagai uang muka dan lima ratus ribu eru untuk penyelesaian. Tapi yang mereka terima sekarang… sepuluh kali lipat.

Selain itu, masih ditambah satu elixir, barang yang nilainya tak ternilai.

Kaineko hanya menjawab dengan tenang, seolah itu hal wajar.

“Kelompokmu adalah party Pahlawan resmi dari Laevateinn. Kalau kami memberi bayaran serendah petualang biasa, negara lain akan mempertanyakan harga diri kami. Jumlah ini pantas. Tak perlu sungkan.”

Penjelasan itu memang masuk akal di dunia ini.

Petualang dianggap strata paling rendah dalam tatanan sosial. Bayaran lima ratus ribu saja sudah dianggap tinggi. Yang membuat Sei merasa ganjil hanyalah latar belakangnya—dia berasal dari Jepang, tempat sistem kerja lebih manusiawi.

Jean, melihat kegelisahan Sei, menepuk pundaknya.

“Selanjutnya, Pahlawan Sei-dono,” lanjut Kaineko, “Setelah mendengar jasamu, Kaisar dan Permaisuri kami ingin bertemu. Bahkan, Kaisar secara pribadi menyatakan… jika kau tak keberatan, dia ingin menyambutmu dalam keluarga kerajaan sebagai tunangan putrinya. Bagaimana?”

Begitu kalimat itu terlontar, tatapan Cruz menajam.

Sudah kuduga—pikirnya—hal seperti ini pasti terjadi.

Popularitas Pahlawan pasti mengundang perhatian kaum bangsawan. Begitu dia resmi menjadi tunangan sang putri, tak ada yang bisa menyentuhnya. Semua prestasi Pahlawan nantinya akan tercatat sebagai milik Draupnir.

Dan melihat pencapaian ini, tampaknya keluarga kerajaan sudah menilai Sei sebagai sosok menjanjikan.

Cruz segera maju.

“Tunggu dulu, Kaineko-dono. Bukankah ini terlalu terburu-buru? Sei-dono masih punya urusan penting. Dia juga berasal dari dunia lain dan pasti ingin kembali. Kami sangat menghargai tawaranmu, tapi tidak benar membebaninya dengan ikatan semacam ini.”

“Ah, tentu. Kami sangat memahami. Karena itulah kami berkata ‘jika ia tidak keberatan.’ Bagaimana, Sei-dono? Setidaknya, maukah kau bertemu putrinya sekali saja? Bahkan sang putri sendiri ingin bertemu dengan sang Pahlawan.”

Cruz menggertakkan gigi melihat Kaineko tersenyum lebar, seperti kucing yang baru saja menjebak seekor tikus ke sudut ruangan.

Kucing sialan ini…! Dari luar tampak manis, tapi ternyata licik bukan main!

Sekali Raja mengajukan permintaan seperti itu, tak mungkin ditolak mentah-mentah.

“Putrinya, ya?”

Sei sedikit bingung. Sejujurnya, semua ini mulai terasa seperti plot kisah fantasi. Dan dia… sedikit terbawa suasana.

Pahlawan dan Putri—klise abadi, tapi tetap menarik. Mustahil untuk tidak tergoda.

“Fufufu, penasaran dengan sang putri, ya?”

“Eh? U-um…”

“Tak perlu malu. Itu hal manusiawi. Lagi pula, putri keempat kami, Lechwe-sama, terkenal karena kecantikannya. Mata besarnya, kulit seputih salju, wajah manis… bahkan sifatnya lemah lembut dan menerima siapa pun. Seluruh pria di negeri ini pasti iri padamu.”

Mendengar deskripsi itu, Sei makin bimbang.

Memang, ia tak naif. Mungkin ada bumbu promosi dalam deskripsi itu. Tapi setelah melihat sosok seperti Virgo dan Ruphas, dia tahu standar kecantikan dunia ini memang luar biasa.

Bahkan tanpa makeup atau editan foto, wanita di dunia ini… sungguh menakjubkan.

“Y-ya, kalau hanya untuk bertemu sekali…”

“Bagus! Kalau begitu, ayo kita segera berangkat!”

Kaineko tersenyum lebar, dalam hati menertawakan kemenangannya.

Kalau Sei bertemu Lechwe, dia yakin pemuda itu akan jatuh hati. Bahkan bisa melupakan niatnya kembali ke dunia asal.

Secepat kilat Kaineko menarik Sei menuju yurt kerajaan.

Segalanya sudah disiapkan. Kereta kuda sudah menunggu di luar.

Ck! Kucing ini bahkan sudah menyiapkan segalanya…!

Cruz kembali menggerutu dalam hati, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kalau dia salah bicara, bisa dianggap menyinggung keluarga kerajaan. Maka, dia hanya bisa mengikuti dari belakang.

Begitu sampai, mereka melihat yurt itu… luar biasa besar.

Terlalu besar bahkan untuk disebut tenda. Karpet merah di lantai, lampu gantung di langit-langit—lebih mirip istana mini daripada yurt.

Di atas takhta raksasa, duduklah seekor beruang kutub dengan pakaian khas Mongolia. Mahkota menghiasi kepalanya.

Dan di sebelahnya, duduk seekor beruang betina dengan gaun mewah.

...Aku tahu ke mana ini akan mengarah. Aku bisa lihat ujungnya.

Mata besar. Kulit putih (bulu?). Wajah imut…

Sifat penyayang dan menerima siapa pun? Jelas saja. Ukurannya saja cukup besar untuk memeluk siapa pun.

Tidak salah lagi. Dia pasti sang putri.

Apa-apaan ini… Aku tahu dia beastkin, tapi… ayolah! Aku cuma ingin sedikit bermimpi…

“Pahlawan, kau telah berjasa besar. Kami sangat terkesan dengan pencapaianmu.”

Suara berat itu datang dari mulut beruang yang jelas-jelas… adalah seekor beruang.

Beruang beastkin—makhluk berbicara dengan tubuh bipedal. Meski kukunya bisa ditarik, dan sedikit menyerupai tangan manusia, penampilannya masih… ya, beruang.

Dan si “putri” di sebelahnya? Juga beruang. Hanya beda gaun.

Tidak… aku nggak sanggup.

Tentu saja, ini bukan soal rasis atau tidak. Tapi ini… bukan masalah itu.

Secara fisik, jika dia tak sengaja mencakarmu, bisa-bisa kau mati. Standar kecantikannya terlalu jauh.

Iya, dia imut. Tapi… beda konteksnya. “Imut” untuk anjing dan kucing itu beda dengan “imut” untuk lawan jenis.

Dan… jujur saja, kalau bukan karena pakaiannya, Sei bahkan tidak bisa menebak mana yang pria dan mana yang wanita.

“Aku… kalau begitu, mari kita segera antarkan elixir ke naga pelindung-sama! Waktu kita sedikit, kan, Kaineko-san!?”

“Eh? Tapi—”

“Kalau naga pelindung-sama mati karena kita terlalu lama di sini, itu tanggung jawab besar, kan!? Kita harus segera pergi!”

“...D-baiklah. Dimengerti.”

Tanpa menunggu jawaban lengkap, Sei langsung kabur dari tenda secepat angin.

Jelas itu tindakan tidak sopan. Tapi sang Raja… tampaknya tidak ambil pusing.

Telinganya memang sedikit turun, tanda kecewa, tapi tak satu pun dari mereka mencoba mengejar.

“...Apa kami melakukan kesalahan?”

“Ti-tidak sama sekali! Kami akan menegur Pahlawan nanti!”

“Hmm? Ah, tidak perlu. Kami mengundangnya untuk dipuji, bukan dimarahi. Tak usah diperbesar.”

Cruz, yang membungkuk panik, merasa sedikit lega.

Syukurlah Sei tidak terpikat oleh putri negeri ini.

Meskipun tindakan Sei agak ceroboh, mengingat dia berasal dari dunia yang tak mengenal bangsawan, ini bisa dimaklumi.

Lagi pula, siapa yang tak ingin menghindari pernikahan dengan seekor beruang?

Tepat ketika Cruz memikirkan itu… dari balik ruangan, muncul seorang gadis muda.

Kulit putih salju. Rambut putih terang. Mata besar. Wajah halus dan mungil. Dada montok. Telinga beruang di sisi kepala.

—Cantik.

Sangat cantik.

Dan… setengah beastkin.

Satu-satunya hasil pernikahan campuran antara manusia dan beastkin. Sosok langka, nyaris punah, dan kecantikannya seakan… luar biasa.

Ta-tunggu… ini sang putri!?

Gadis itu mendekat ke Raja dan bertanya:

“Ayah, maaf aku terlambat. Umm… di mana Pahlawan-nya?”

“Ahh, Lechwe… maaf, sepertinya pendekatan kita kurang tepat. Sayangnya, dia baru saja pergi.”

Cruz menatap mereka bergantian, tercengang.

Dia… sang putri!? Lalu yang di sebelah Raja tadi siapa!?

Dengan susah payah menahan keterkejutannya, Cruz bertanya:

“Um… apakah gadis ini Putri Lechwe?”

“Benar. Cantik, kan? Mirip denganku, bukan?”

“Sa-saya sempat mengira… wanita di sampingmu tadi…”

“Ahh, itu? Dia Permaisuri Pertama, Kumaaru. Cantik, kan? …Oh ya, kau pasti heran bagaimana kami bisa punya putri setengah beastkin padahal kami berdua murni. Itu karena Lechwe anak dari Permaisuri Keempat.”

Beruang ini… ternyata poligami!?

Cruz menahan dorongan untuk memekik.

Jadi singkatnya… Raja Beruang ini punya banyak istri, salah satunya manusia. Dan dari situ lahirlah Lechwe, putri manusia-setengah beastkin.

Cruz akhirnya bisa menghela napas lega.

Syukurlah… syukurlah Sei tidak sempat bertemu sang putri…

 

Novel Bos Terakhir Chapter 89

Bab 89: Ruphas Menggunakan Telekinesis

Meski disebut “kerja sama”, kenyataannya party Pahlawan takkan punya peran berarti dalam pertarungan ini.

Selain karena perbedaan level yang sudah sangat jelas, faktor nasib buruk juga memihak pada kami.

Musuh kali ini berupa massa air raksasa yang kebal terhadap serangan fisik. Sementara itu, anggota kelompok Pahlawan adalah seorang Holy Knight, tentara bayaran, petualang, dan seorang ksatria.

Satu-satunya yang berpotensi membantu hanyalah si elf yang kupanggil “nii-san”… Cruz. Tapi melihat betapa pengecutnya dia terhadapku, sepertinya tidak banyak yang bisa diharapkan.

Mungkin hanya si Pahlawan muda, Sei, yang bisa memberi kontribusi.

Setahuku, bahkan saat level rendah, Pahlawan bisa mempelajari berbagai skill pendukung yang hebat. Kalau dia bisa mengisi peran support, mungkin akan berguna juga.

Skenario ideal adalah Virgo dan Aries menahan lawan, Libra menyebarkannya, dan saat itu tiba, aku akan mengumpulkan semua mana dan—ubah jadi apel.

“…Tapi kelihatannya… mana itu dikumpulkan secara acak dan membabi buta.”

“Ya, agak menyusahkan. Sepertinya mana-nya tak cuma berasal dari sekitar sini, tapi juga disedot dari tempat lain, seperti penyedot debu.”

Dari kejauhan, aku melihat Virgo berusaha sekuat tenaga untuk menghapus mana. Tapi… sepertinya dia takkan sempat menyelesaikannya tepat waktu.

Atau lebih tepatnya, bukankah itu skill khas Parthenos?

Kalau aku tak salah, namanya [Vindemiatrix]… skill yang fungsinya memang hanya satu—menghapus mana. Skill ini cukup berguna, tapi terlalu khusus dan tak banyak situasi di mana ia bisa dipakai secara optimal.

Tapi di dunia ini, di mana "ras iblis = mana", skill itu sangat efektif.

Sepertinya Parthenos mengajarkan ini pada Virgo.

Namun tetap saja, meski skill-nya digunakan, jumlah air terus meningkat. Kecepatan penyebarannya bahkan melebihi kemampuan penghapusannya.

Sepertinya awalnya si monster air itu hanya menyerap mana dari sekitar sini. Tapi sebagai reaksi terhadap Virgo, ia mulai menyedot dari wilayah yang lebih luas.

Sekarang, air itu terus tumbuh, menyerap mana dari tempat-tempat yang bahkan tidak berkaitan.

Saat ini masih bisa dikendalikan, tapi kalau terus begini dan semua MP Midgard disedot… itu akan jadi masalah besar.

Kesimpulannya: kami harus menghentikannya sekarang.

Aku menciptakan bola cahaya putih di telapak tanganku dan menembakkannya ke langit.

“Breidablik.”

Saat nama mantra itu terdengar, cahaya tersebut meluas, berubah menjadi kubah besar yang menyelimuti seluruh ibu kota.

[Breidablik] adalah skill debuff area-of-effect untuk seluruh musuh di dalam area.

Setelah diaktifkan, kekuatan sihir semua yang berada di dalamnya, baik musuh maupun sekutu, akan berkurang.

Skill ini sulit digunakan. Bisa jadi bumerang, karena akan memengaruhi caster dan sekutunya juga. Tapi kalau partymu full petarung fisik tanpa magic, ini bisa sangat kuat.

Latar belakang skill ini menyatakan bahwa ia bisa memblokir aliran mana. Kupikir akan cocok untuk situasi ini, dan ternyata memang efektif.

Aliran mana dari luar berhasil kublokir.

Tapi baru saja aku mulai merasa puas, aku mendengar suara seseorang ambruk.

Saat menoleh, kudapati si Harimau Suci ambruk begitu saja di tanah.

“Err… Ruphas-sama, bagaimana ya menjelaskannya… bidang pengusir mana seperti ini cukup efektif untuk mengacaukan makhluk sihir dan binatang buas… Jadi di dalam area ini, makhluk seperti mereka jadi sulit bergerak bebas. Apalagi kalau bidang ini diciptakan dengan kekuatan penuh Ruphas-sama… Kurasa, kecuali mereka setingkat dengan Dua Belas Bintang, mereka bahkan takkan mampu menggerakkan jari mereka.”

Mendengar penjelasan canggung dari Dina, aku hanya bisa berpikir:

…Eh? Serius? Ini seharusnya skill buat musuh, kok sekutu juga kena?

Segera aku menoleh, memeriksa kondisi Aigokeros dan yang lainnya.

“Tak usah khawatir, Tuanku. Meski terasa sedikit, kami masih bisa bergerak normal.”

“Yaaan~ Diperbudak oleh Ruphas-sama tuh kenikmatan~.”

“Tidak masalah! Justru cacat yang pas!”

“Aku tidak merasakan apa pun.”

Hmm… sepertinya memang ada sedikit dampak pada Aigokeros, Scorpius, dan Karkinos, tapi performa mereka tetap bisa diandalkan.

Sedangkan Libra, benar-benar tidak terpengaruh.

Di game, musuh—baik pemain maupun golem—akan terkena efek skill ini. Tapi di sini, justru sekutu yang lebih terpengaruh. Kecuali dalam kondisi khusus seperti sekarang, aku rasa aku tak akan sering menggunakan skill ini lagi.

“Pe… penghalang penolak mana… dan mencakup seluruh ibu kota dalam sekejap…”

“Cruz-san, seberapa luas ibu kota ini?”

“...Sekitar 3.000 km². Kalau hanya menghitung permukaannya, lebih besar dari Svalinn.”

“Jadi sekitar 1,5 kali luas Prefektur Tokyo… dan bisa diselimuti secepat itu… Skalanya gila.”

Mendengar penjelasan Cruz, aku mendadak teringat betapa kecilnya negeri ini.

Meskipun dihuni berbagai ras, wilayahnya bahkan hanya sedikit lebih besar dari Tokyo.

Ruang hidup humanoid saat ini… kalau dikumpulkan semua, mungkin tak jauh beda dengan wilayah Jepang.

Tapi yah, kalau kita bisa menyingkirkan para iblis, masalah ini akan terselesaikan juga.

“Ayo bantu Virgo. Semua ikut aku.”

Aku meraih Sei, menyelipkannya di bawah lenganku, dan mengepakkan sayap untuk terbang.

Libra terbang sambil membawa Dina, dan Aigokeros memanggul Karkinos—ya, aku lupa dia tidak bisa terbang…

Scorpius? Dia menjulurkan kepangan rambutnya, menancapkannya ke gunung—Hnitbjorg, kalau tidak salah—lalu meluncur ke atas sambil memperpendek rambutnya.

…Jangkauannya gila, oi.

Meski terlihat tak penting, dia terlihat sangat bodoh karena dia terbang ke belakang saat diluncurkan.

Oh ya, party Pahlawan ikut terangkat menggunakan kekuatan telekinesis-ku—yang sebenarnya jarang kugunakan belakangan ini.

Kami mendarat di dekat Virgo yang sedang bertarung. Saat melihat lebih dekat, massa air itu ternyata… luar biasa besar.

Panjangnya… mungkin lebih dari satu kilometer?

Kalau terus dibiarkan membesar, bukan tidak mungkin akan menelan Blutgang.

“Ruphas-sama!”

“Virgo, kau baik-baik saja?”

“T-tidak apa-apa!”

Aku menurunkan Sei dan memeriksa kondisi Virgo dengan [Mata Pengamatan].

Tidak ada luka berarti. Sepertinya Aries berhasil melindunginya.

Bahkan Aries pun tampak baik-baik saja. Mereka berdua tampaknya bertarung tanpa cedera berarti.

Begitu menyadari kedatanganku, Virgo berubah ke bentuk manusianya dan mendarat di sisiku.

…Oh ya, bajunya rapi. Sepertinya dia memang cepat mengganti pakaian saat transformasi.

“Ruphas-sama, maaf… aku sudah mencoba membakarnya, tapi dia langsung pulih…”

“Tak perlu khawatir. Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Virgo.”

Tugasku untuk Aries adalah melindungi Virgo. Dia sudah melaksanakannya dengan baik. Tidak ada alasan untuk memarahinya.

Soal monster air itu… ya, memang pertandingan yang tidak adil. Aries tidak punya skill penghapus mana.

Kalau aku atau Aigokeros, mungkin kami bisa menghadapinya dengan cara lain. Tapi karena aku sudah di sini…

Aku rasa saatnya Virgo bersinar.

Aku mengaktifkan skill kelas [Esper] dan menggunakan telekinesis pada gumpalan air.

[Psycho Compression]—skill yang digunakan untuk melumpuhkan musuh lemah sambil memberikan damage. Tapi bila digunakan dengan penuh tenaga, bisa memberi tekanan ekstrem.

Pernahkah kalian berpikir saat kecil: jika ada wadah tak bisa pecah, dan kau terus memasukkan air ke dalamnya sambil mengecilkan ukurannya… apa yang akan terjadi?

Cairan bisa dikompresi hanya sampai batas tertentu. Setelah itu, tekanan air akan memecahkan wadah.

Tapi… bagaimana jika wadah itu tak bisa pecah?

Itulah yang kulakukan sekarang.

Aku menciptakan wadah tak terlihat di sekitar gumpalan air dan mulai mengecilkannya secara terus-menerus.

Pada tekanan sekitar 3.500 atmosfer, air berubah menjadi Ice V, dan di atas 6.200 atmosfer menjadi Ice VI.

Aku tak tahu seberapa kuat telekinesis-ku, tapi kulihat air itu mulai mengkristal, berubah jadi serpihan es.

…Hmmm, mungkin nanti aku coba eksperimen dengan arang. Kalau arang bisa berubah jadi berlian, maka tekananku sudah setara satu juta atmosfer.

Meski… di dunia ini, hukum fisika sering bolos kerja. Bahkan batu pun bisa berubah jadi berlian kalau Dewi mau.

Apa pun itu, ini skakmat.

Massa air kini telah hancur, terpecah menjadi mana, lalu kukompresi—dan berubah menjadi kristal misterius.

“…I-itu… kristal sihir legendaris… ‘Mana Diamond’… benda itu benar-benar… ada…? B-bahkan bisa dibuat… oleh… manusia…?”

Cruz bergumam seperti orang linglung. Aku sempat bingung, tapi Dina menjelaskan:

“Ahh, kristal itu dianggap barang ilusi. Bahkan dua ratus tahun lalu, Ruphas-sama tak pernah menunjukkannya ke publik. Dulu hanya digunakan sebagai bahan membuat aksesori.”

“Oh begitu. Barang langka, ya.”

Sepertinya aku tak sengaja menciptakan item langka.

Bisa jadi bahan alkimia yang bagus, tapi sekarang, yang terpenting adalah memberikan Virgo peran penentu.

Aku mengangkat kristal itu ke udara, mengarahkannya ke Virgo.

“Virgo, waktunya menyelesaikan semuanya. Buatlah momen yang mencolok.”

“Y-ya!”

Meski sekarang sudah jadi kristal, jika dihancurkan, ia akan kembali jadi air.

Saatnya Virgo bersinar.

Dengan kedua tangan, Virgo memunculkan cahaya putih mengilap—dan melafalkan:

“Vindemiatrix!”

Skill penghapus mana absolut yang hanya bisa digunakan Parthenos di game.

Saat dia menyalurkan skill itu ke kristal, benda tersebut langsung pudar dan… lenyap sepenuhnya dari dunia ini.

“B-berlian mana-nya—! Kristal legendaris itu—!?”

Cruz menjerit seolah jiwanya ikut terangkat. Tapi… yah, tak ada yang peduli.

Aku bisa mengerti kenapa dia panik, tapi tetap saja, berteriak sekeras itu…

Oh, dia pingsan. Wajahnya memucat seperti mayat.

Kurasa… itu akhir dari cerita untuk si elf ini.

· 

“……….”

Jauh di tempat lain, Raja Iblis membuka matanya di atas takhtanya.

Di tempat yang sangat jauh, kehidupan palsu itu telah dipadamkan.

Dan orang yang mengakhirinya—adalah dirinya sendiri.

Setelah Venus dibuang, tak ada lagi yang mampu mengatur Tujuh Sosok itu. Begitulah pikir Terra.

Dan memang benar, itu fakta.

Tapi benih telah ditanam.

Dengan racun pada dewa penjaga Draupnir, dan karakter Mercurius yang terlalu sayang pada Luna, arah kehancuran sudah tampak jelas.

Sekarang tinggal Raja Iblis—yang kini cukup kuat untuk mengubah nasib ras iblis—mulai menunjukkan minat pada kepala para dewa penjaga, sesuatu yang sebelumnya tak ia pedulikan.

Dengan itu saja, Mercurius akan menapaki jalan menuju kehancuran.

Faktanya… dialah, sang Raja Iblis, pemimpin sejati Tujuh Sosok Penghancuran.

Orang yang paling menginginkan ras iblis—ciptaan Dewi—menghilang dari dunia ini.

Orm menurunkan pandangannya, memainkan kunci yang ia ambil dari Castor.

“Memikirkan sesuatu?”

Suara datang dari balik takhta. Dina muncul—seperti biasa, entah dari mana.

Orm tersenyum samar, meletakkan kembali kuncinya.

“Tidak ada yang penting. Hanya teringat tatapan Mercurius… Waktu dia memohon padaku untuk Luna, matanya sangat serius. Kadang… aku jadi bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar boneka?”

Dina menyipitkan matanya, lalu menjawab dengan suara dingin tanpa emosi:

“Mereka tetap boneka. Entah punya perasaan atau tidak, itu tak penting. Boneka tetaplah boneka. Mereka bergerak sesuai keinginan pemiliknya. Dan pada akhirnya… dibuang.”

“Cukup kejam.”

“Itu kenyataan. Bukankah menakutkan kalau boneka bisa bergerak tanpa perintah? Karena itu, satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah bergerak diam-diam, sembunyi-sembunyi. Kalau tak ingin dibuang, mereka harus kembali ke tempat semula dan memohon, ‘Aku ini cuma boneka.’ Kalau tidak… mereka akan dibuang.”

Orm menutup matanya, bersandar di singgasana. Wajahnya kosong. Apa yang ia pikirkan… tak bisa ditebak.

“Tapi Mercurius tidak menentang kehendak Dewi.”

“Mungkin. Tapi jawabannya sederhana. Ada boneka nakal lain yang mempengaruhi boneka-boneka itu. Kalau tertangkap… mereka akan dibuang. Setuju?”

“Menakutkan sekali… Apa menurutmu aku juga akan dibuang?”

“Mungkin. Atau… mungkin kau sudah dibuang.”

Dina tersenyum tipis, seolah mengejek.

Orm pun tertawa kecil menanggapinya.

Dan di ruang takhta itu, hanya mata Raja Iblis dan gadis berambut biru yang bersinar… dengan cahaya yang ganjil dan menakutkan.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 88

Bab 88: Cruz Menggunakan Layar Cahaya

Ruphas menyilangkan tangan di dadanya, seolah tengah mencerna pertanyaan dari Sei.

Sementara itu, Sei hanya bisa bertahan dengan meneguhkan hati, menunggu kata-kata berikutnya dari wanita yang berdiri di hadapannya—dan berharap jawabannya tidak akan mengguncang mentalnya terlalu keras. Ia berusaha mempertahankan ketenangan pikiran, siap menghadapi kejutan apa pun dari bibir wanita yang dijuluki Penguasa Tertinggi.

Namun, bertentangan dengan ketegangan Sei yang layaknya prajurit berjalan menuju tiang gantungan, jawaban Ruphas ternyata… sangat sepele.

“Tidak ada maksud tertentu.”

“Ti-tidak ada maksud? Maksudmu… sama sekali tak ada alasan?”

“Benar. Awalnya kami hanya datang ke negeri ini untuk menguji kemampuan para bawahanku. Sekarang hal itu sudah selesai, aku tak ada niat melakukan apa-apa lagi di sini.”

Mendengar itu, Sei mencoba menahan reaksi wajahnya sambil mencerna makna kata-kata Ruphas.

Sepertinya dia tidak berbohong. Namun tetap terasa bahwa tak semua telah diungkapkan.

Kalau memang tidak ada kepentingan apa-apa, seharusnya dia sudah pergi dari negara ini. Kenyataannya, dia masih di sini, bahkan setelah festival perburuan usai. Itu berarti, masih ada sesuatu.

Tapi, entah apa itu, yang jelas tak berkaitan dengan mengancam negeri ini.

“Ngomong-ngomong, kalian semua, sampai kapan kalian berniat tetap dalam wujud seperti itu? Meskipun hanya berdiri diam, bentuk itu bisa menakuti siapa pun. Cepat kembali ke bentuk manusia kalian.”

Begitu perintah keluar dari mulut Ruphas, para binatang raksasa yang berdiri gagah di belakangnya langsung lenyap seketika.

Sebagai gantinya, muncul tiga sosok manusia: pria berambut putih, wanita berpakaian minim, dan pemuda berpakaian merah.

Sei mengenali mereka.

Tidak salah lagi—ini kelompok eksentrik yang berdiri di sisi Virgo dua hari lalu.

Jadi maksud Ruphas sebelumnya, ketika dia berkata ingin menguji kemampuan bawahannya, adalah tentang Virgo.

(Tak heran dia begitu kuat…)

Sei tidak terkejut. Bahkan, dia merasa lega bisa menemukan penjelasan yang masuk akal.

Seseorang yang bukan Pahlawan, bukan pula Penguasa Tertinggi, tapi mampu bertarung seimbang dengan Friedrich, bahkan bisa menetralkan mana.

Ah, tentu saja. Mana mungkin dia hanya orang biasa?

Tapi kalau dia adalah bawahan Ruphas Mafahl, semua bisa diterima. Toh, dia seseorang yang bisa menaikkan level bawahannya sesuka hati.

(...Jangan-jangan... aku dibohongi?)

Pikiran itu sempat melintas di benaknya, tapi segera ditepis.

Setidaknya, Virgo—secara pribadi—adalah gadis yang murni dan baik hati.

Kalau pun ternyata semua itu hanya topeng, maka berarti Sei tak cukup jeli dalam menilai orang. Dia sendiri tahu bahwa dirinya bukan orang pintar. Karena itulah, dia memutuskan untuk percaya pada instingnya.

Setelah berbicara, bertarung, dan berjalan bersama, ia memilih untuk percaya.

Dan karena keputusan itu, kini satu jalan baru terbuka di hadapannya—jalan yang mungkin bisa dia tempuh.

“…Saat ini, di kaki gunung itu, ada seorang gadis bernama Virgo yang bertarung bersama kami. Dia tertinggal di belakang dan sedang menghadapi salah satu dari Tujuh Sosok. Dia adalah… bawahanmu, bukan?”

“Aku mengerti. Rupanya kau salah satu peserta unggulan dalam festival perburuan. …Libra.”

“Ya, tidak salah lagi. Aku bisa mendeteksi sinyal biologis Virgo dari arah gunung.”

Begitu nama Virgo disebut, Ruphas langsung berbalik dan memberi isyarat pada pelayan yang berdiri di sebelahnya.

Sebelum perintah apa pun keluar, pelayan itu langsung memberi laporan seolah sudah menyiapkan jawabannya sejak tadi.

Sei bergidik menyadari betapa tajamnya kemampuan pendeteksian mereka—bahkan dari jarak sejauh itu.

“J-jadi, terus terang saja… kupikir menyedihkan membiarkannya bertarung sendirian. Tapi… secara praktis, tim kami tak memiliki siapa pun yang bisa diandalkan dalam pertempuran fisik. Meskipun kami punya niat membantu… kenyataannya, kami tak bisa berbuat apa-apa. Karena itulah, kami berusaha mencari seseorang yang terlihat cukup kuat untuk dimintai bantuan.”

“…”

“Jadi… maukah kau bertarung bersama kami?”

—Sekarang, bagaimana reaksinya?

Sei menunggu jawaban Ruphas dengan telapak tangan berkeringat.

Gaya bicaranya memang buruk, tapi tujuan sejatinya adalah membangun kerja sama melalui pertempuran demi Virgo.

Meski menyebutnya “bertarung bersama” mungkin terlalu besar kepala… karena perbedaan kekuatan mereka terlalu mencolok.

Namun, firasatnya berkata bahwa keberhasilan bukan hal mustahil. Jika benar Ruphas bukan orang jahat seperti yang selama ini dikatakan, dia pasti tak akan membiarkan bawahannya berjuang sendirian.

Sebaliknya, jika dia tega meninggalkan Virgo, maka Sei harus memikirkan ulang segalanya.

Jawaban Ruphas akan menentukan arah masa depan.

“Ya, tak masalah.”

“Be-benar!?”

“Ya. Virgo adalah rekan kami. Bahkan kalau kalian tak minta bantuan sekalipun, kami akan tetap bergerak menolongnya.”

Ruphas menjawab dengan senyum lembut.

Melihatnya, ekspresi Sei berubah cerah.

…Jujur saja, dia jauh lebih masuk akal dibanding reputasi yang kudengar.

Mungkin semua legenda itu berlebihan. Mungkin dia sebenarnya bukan orang sekejam yang dibicarakan.

Namun, baru saja merasa tenang, sebuah arus air mendadak datang menghantam dari belakang Ruphas, berusaha melahap segalanya.

Air itu pasti sudah mencapai tempat ini selama mereka mengobrol.

Sei nyaris berteriak, “Hati-hati!”, tapi tak sempat.

Bahkan sebelum dia bersuara, Ruphas sudah bergerak.

Dengan cepat, dia meraih tengkuk seorang gadis berambut biru dan menariknya menjauh dari lintasan air.

Dan tanpa menunggu sedetik pun, seperti mengusir lalat, dia mengangkat telapak tangannya dan—

Seketika, arus air deras itu menghilang begitu saja. Hanya karena tekanan dari satu gerakan tangan, aliran besar itu terpental dan meledak ke arah berlawanan.

“!?!?”

—Air, yang seharusnya tak bisa dilawan dengan serangan fisik, terpental!?

Hukum fisika, logika dunia, semua tak lagi berlaku. Yang berbicara hanyalah kekuatan murni.

Melihat itu, Sei hanya bisa membuka mulut lebar—terperangah.

...Kutarik lagi kata-kataku sebelumnya. Ruphas ini benar-benar menakutkan.

Karena dorongan mengejutkan dari sang Pahlawan yang ingin bekerja sama, suasana hatiku langsung melonjak.

Sejujurnya, rasanya seperti aku bisa memanggang belut hanya dari rasa senang ini. Tentu saja itu mustahil, tapi begitulah kira-kira yang ingin kusampaikan: aku benar-benar senang.

Masalah utamaku sebenarnya adalah bagaimana menjalin hubungan dengan sang Pahlawan.

Jika hubungan ini berubah jadi permusuhan, bukan tak mungkin tragedi dua ratus tahun lalu terulang. Meskipun sekarang dia belum sekuat itu, jangan lupakan bahwa dia tetap seorang Pahlawan. Jika Dewi memutuskan ikut campur dan memberinya kekuatan, aku tidak tahu akan jadi monster macam apa dia nanti.

Kau tahu, seperti dalam cerita-cerita klise: awalnya lemah, kalah, lalu karena temannya mati atau kekuatan tersegel bangkit, dia mendadak jadi kuat dan mengalahkan bos terakhir dalam sekali serang.

Tentu saja itu hanya fiksi. Tapi… sayangnya, dunia ini dikendalikan oleh Dewi yang menyukai cerita-cerita semacam itu.

Demi memenuhi perkembangan seperti itu, dia rela menutup mata terhadap semua plot hole dan logika yang runtuh.

Itulah mengapa di dunia ini, hukum fisika tidak berguna. Bisa saja perlengkapan perang membuat percepatan gravitasi berubah. Atau memakai cakar di dua tangan malah menggandakan kekuatan.

Singkatnya, kalau aku meremehkan Pahlawan, Dewi bisa turun tangan dan menjadikan dia ancaman dalam sekejap.

Maka dari itu, jika dia ingin kerja sama, tentu saja aku terima dengan senang hati.

...Tapi ya, soal Sagitarius tetap kusimpan sendiri. Kalau mereka sampai bilang, “Mari kita kalahkan Sagitarius juga sekalian,” itu bisa jadi masalah.

“Oh ya, Ruphas-sama. Ada sekelompok orang yang terus menatap ke arahmu dari sana.”

“Ah, mereka, ya?”

“Benar. Dan sepertinya beberapa dari mereka kita kenal.”

Ketika Dina memberitahuku, aku menoleh ke arah kelompok Pahlawan.

Aku tidak mengenali harimau atau gorila beastkin itu, tapi beberapa lainnya terlihat familiar.

Si botak itu pasti Gants, yang kutemui di Svalinn. Di sebelahnya, si petualang bernama Jean, kalau aku tidak salah ingat.

Yang lainnya, auranya terlalu samar, jadi wajah mereka tidak begitu terekam dalam ingatanku. Tapi aku cukup yakin mereka bagian dari kelompok petarung tak seimbang itu.

Dan si elf, yang pingsan sambil berbusa di mulut, adalah “nii-san” tampan yang mengajariku banyak hal saat pertama kali kupanggil ke dunia ini.

…Kalau begini, mungkin aku bisa ngobrol santai dengan mereka.

Dengan pikiran seperti itu, aku pun berjalan mendekat.

Tapi begitu aku melangkah, beastkin harimau langsung kabur dan bersembunyi di balik pohon. Sementara Jean dan timnya langsung waspada.

Gants, tampaknya, satu-satunya yang bersikap biasa saja.

Yah, setidaknya ada satu yang masih tenang.

“Sudah lama, Gants. Senang melihatmu sehat.”

“...Ahh, kau juga. Saphur—tidak, Ruphas Mafahl.”

Reaksinya tak terlalu mengejutkan. Malah lebih seperti seseorang yang akhirnya mendapat konfirmasi atas dugaannya.

“Dari reaksimu, kau sudah menyadarinya?”

“Yah, sedikit. Bisa melayangkan Aries dengan satu pukulan… pilihannya hanya antara Tujuh Pahlawan atau Raja Iblis. Bahkan orang sebodoh aku tahu kau bukan orang sembarangan. Oh, ngomong-ngomong, karena kau pakai nama samaran, apakah Dina-chan juga begitu?”

“Tidak, namaku memang asli.”

Dina menjawab sambil tersenyum… meskipun aku tak sepenuhnya yakin apakah itu benar.

Tapi sekarang bukan waktunya mempertanyakan identitasnya.

Yang jelas, keberadaan Gants di sini adalah kejutan menyenangkan. Karena dia, percakapan bisa mengalir lebih mudah.

Dan… ya, tampaknya kita tak perlu lagi memanipulasi ingatan Jean dan timnya.

Aku melirik Jean, lalu memberi isyarat pada Dina.

Dina mengangguk, lalu menjentikkan jari.

“...Tsk! Aku ingat sekarang! Saphur-san dan Dina-san, pedagang keliling! Dan Libra, dari Dua Belas Bintang Surgawi! Keparat, kenapa kita selama ini mengira kita menaklukkan makam itu sendirian!?”

Sepertinya efeknya langsung bekerja. Para kru Jean memegangi kepala masing-masing, bingung atas ingatan yang baru kembali.

Wajar sih… mereka pasti merasa aneh, karena seolah mereka baru sadar sudah lupa sesuatu yang sangat penting.

Sementara mereka sibuk bergulat dengan kesadaran, aku memutuskan untuk membangunkan si elf nii-san.

Meskipun penyembuhan bukan keahlianku, bukan berarti aku tak bisa melakukannya sama sekali.

Jika aku anggap kondisinya sebagai efek status “Tidur,” cukup hilangkan debuff-nya.

Normalnya, debuff tidur bisa dihapus dengan serangan, tapi dalam kasus ini, memukulnya tidak akan cukup.

Jadi aku gunakan sihir—dan nii-san pun membuka mata.

Begitu melihatku, rahangnya hampir copot, lalu dia berteriak:

“Ru-Ruru-Ruphas Mafaahhlllllll!?”

Dia buru-buru memasang semacam perisai transparan, duduk sambil gemetaran.

…Oi, itu menyakitkan, tahu.

Tapi tunggu, perisai itu… tipis sekali. Apa itu bisa disebut pertahanan?

Karena penasaran, aku menyentuhnya sedikit.

“Plak!”

Perisainya langsung pecah.

...Oi. Itu terlalu rapuh. Bahkan perisai dalam anime jadul pun lebih kuat dari ini.

“Tenang. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu. Lagipula, sekalipun aku mau, perisai setipis itu tidak akan banyak membantu.”

Aku tidak bermaksud menakut-nakuti dia. Tapi sungguh, perisai seperti itu… lebih mirip stiker tempel daripada pertahanan.

“I-iya… l-lalu… apa maksud semua ini…?”

“Untuk penjelasan detail, tanya saja pada bocah pahlawan itu atau Dina. Intinya, kami memutuskan untuk bekerja sama dengan kalian. Mungkin hanya sementara kami berada di negeri ini, tapi… aku berharap kita bisa saling bahu-membahu.”

Aku tersenyum pada mereka saat mengatakan itu.

Tapi ekspresi wajah mereka berubah seperti orang bego, lalu mereka semua menoleh ke Sei.

…Merepotkan. Tak heran, mengingat reputasiku. Tapi tetap saja—yang bisa bersikap normal cuma si Pahlawan, Gants, dan… seekor anjing kecil yang menggoyangkan ekornya sambil menjilat kakiku.

Sementara si beastkin macan? Bahkan makin menjauh lagi.

Aku mengelus kepala si anjing kecil itu, menatap ke depan… dan menghela napas kecil.

Masa depan macam apa yang menanti, setelah semua ini?