Novel Bos Terakhir Chapter 96

Bab 96: Serangan Benetnash yang Merobek-robeknya

Dulu, dia percaya bahwa dirinya adalah makhluk terkuat di dunia.

Secara alami, vampir adalah ras yang memiliki dominasi mutlak dalam pertarungan dan sihir. Tapi bahkan di antara mereka, sejak awal Benetnash sudah berada jauh di atas.

Jumlah mana yang ia miliki sejak lahir tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Atribut dasarnya, batas pertumbuhannya—semuanya terlalu tinggi. Dia adalah entitas yang berdiri sendirian, jauh melampaui siapa pun. Tak heran kalau sejak kecil, dia dijuluki anak ajaib... atau sang putri.

Namun, gelar-gelar itu sama sekali tak membuatnya bahagia.

Di matanya, vampir-vampir lain bukanlah sesama. Mereka bukan sejenis. Mereka hanya makhluk yang—walau mirip bentuknya—sebenarnya berbeda secara fundamental.

Apakah itu bentuk kesombongan karena terlalu kuat?

Ataukah hanya ego seorang anak yang merasa dirinya spesial?

Mungkin. Tapi... kenyataannya memang demikian. Bukan ilusi. Semakin dia tumbuh, jurang antara dirinya dan yang lain makin melebar. Sampai akhirnya dia yakin:

Semua makhluk di dunia ini hanyalah sampah.

Dia pernah menjelajahi dunia, mencari lawan yang sepadan.

Dia bertarung, membunuh, menjadi lebih kuat. Dan pada akhirnya, tak ada satu pun yang mampu menantangnya.

Kemenangan demi kemenangan, pertarungan yang sudah pasti dimenangkan sejak awal... betapa membosankannya itu semua. Semuanya terasa hambar. Mengecewakan.

Kadang, memang ada musuh yang bisa membuatnya sedikit berkeringat. Tapi—tidak pernah ada yang benar-benar membuatnya merasa kalah. Tak ada satu pun yang bisa disebut sebagai lawan sejati.

Sampai akhirnya, ia berhasil menguasai seperempat benua.

Dia pun mulai mencari lawan baru di belahan dunia lain.

Benetnash sudah mendengar desas-desus tentang Raja Iblis dan Raja Singa. Dua makhluk yang konon berdiri di puncak ras masing-masing.

Tapi—dia tidak berharap banyak. Dalam benaknya, bahkan mereka pasti tak akan sanggup menandingi dirinya.

Dunia ini dulu seimbang karena empat makhluk terkuat saling mengimbangi:
Raja Iblis (dari ras iblis),
Raja Singa (dari beastkin),
Raja Naga (dari dragonkin),
dan dirinya sendiri, sang Putri Vampir.

Empat pilar dunia. Empat eksistensi yang seharusnya saling bertarung dan menentukan supremasi.

Namun, suatu hari dia mendengar kabar mengejutkan.

Raja Naga dikalahkan... oleh seorang flugel wanita.

Seorang wanita dari ras flugel, yang selama ini tak diperhitungkan, telah membunuh makhluk sekuat Raja Naga. Dan dia melakukannya sendiri. Tanpa pasukan. Tanpa tipu daya.

Dia datang, menyerang, dan menghabisi targetnya.

Itu mengejutkan Benetnash.

Tapi, pada saat itu, dia belum benar-benar tertarik.

“Ah, mungkin Raja Naga tidak sekuat yang dikabarkan. Pantas saja kalah.”

Dia menyimpulkan begitu... dan melupakan wanita flugel itu.

Sampai suatu hari...

Wanita itu datang menyerbu wilayahnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Benetnash bertarung dengan seseorang yang membuatnya berpikir: “Aku bisa kalah.”

Untuk pertama kalinya, dia menikmati pertarungan sepenuh hati.

Untuk pertama kalinya dalam ratusan tahun, dia bertemu seseorang yang bisa membuat darahnya mendidih.

Ras mereka berseberangan: vampir dan flugel. Kegelapan dan cahaya.

Tapi... dari semua makhluk yang ada, hanya wanita itu—Ruphas Mafahl—yang bisa dia anggap sejenis.

Ruphas juga seorang penyimpangan. Sebuah kesalahan yang tak seharusnya ada. Sama seperti dirinya.

Pertarungan itu... sempurna.

Mereka saling menebas, saling menguji kekuatan, dan Benetnash... kalah. Telak.

Tapi justru karena itu, dia merasa hidup. Dia ingin lagi. Lagi dan lagi.

Lalu, mereka membuat janji. Ketika Ruphas berhasil menyatukan dunia, mereka akan bertarung lagi—pertarungan yang sesungguhnya. Pertarungan yang akan menentukan segalanya.

Demi itu, Benetnash menerima kekalahannya. Tapi dia tidak puas.

Yang paling membuatnya malu adalah: Ruphas menahannya.

Ruphas tidak menghabisinya. Hanya berkata: “Kau belum kalah.”

“Apa-apaan itu!?” pikir Benetnash. “Kalau aku cukup lemah sampai kau bisa menahanku, maka itu salahku! Jangan kasihan padaku!”

Demi menghapus hina itu, dia menunggu—menunggu pertarungan ulang.

Dia melatih diri tanpa henti. Menyerap mana, naik level hingga mencapai 1000. Semua demi satu hal:

Membunuh Ruphas Mafahl.

Dia tidak membenci Ruphas.

Dia mencintai Ruphas. Dengan hasrat membara, seperti gadis muda yang baru jatuh cinta.

Tapi rasa cinta itu—diubah jadi niat membunuh.

Setiap emosi kasih sayangnya berubah menjadi serangan fatal. Karena dia tak ingin siapa pun menyentuh Ruphas. Hanya dia yang boleh membunuh Ruphas. Dan sebaliknya—hanya Ruphas yang boleh membunuhnya.

Dan lalu...

Hari pertarungan ulang tiba.

Ruphas datang. Dan mereka bertarung. Dunia gemetar menyaksikan duel dua monster itu.

Satu adalah sang Penguasa Tertinggi, yang menciptakan apel emas dan melampaui batas makhluk hidup.

Yang lain, Benetnash, mencapai puncaknya hanya dengan usaha diri sendiri. Tanpa alat bantu. Tanpa kecurangan.

Duel ini... luar biasa.

Mereka bertarung sampai dunia runtuh. Dan akhirnya, Benetnash terpojok. Tubuhnya penuh luka. Regenerasinya tak lagi bisa mengimbangi kerusakan. Satu serangan terakhir... dan semuanya akan berakhir.

Tapi dia tak menyerah.

“Kalau pun aku kalah, aku ingin memberikan satu serangan terakhir yang tak akan dia lupakan.”

Aku akan menusuk hatinya!

Benetnash menyiapkan serangan terakhir.

“Datanglah, Mafahl. Mari kita akhiri semuanya.”

“Ya, aku siap. Datanglah, Benet.”

Ruphas menyambut serangan itu dengan senyuman yang selalu memesona.

Tapi—saat itulah pengkhianatan terjadi.

Seseorang menggunakan sihir gangguan tepat saat Benetnash menyerang.

Ruphas tak bisa bergerak sesaat. Dan Benetnash, yang sudah melaju dengan kekuatan penuh, tak bisa sepenuhnya menghentikan serangannya.

Dia mencoba mengalihkan serangan, tapi tetap saja—cakarnya mencakar sisi Ruphas, menorehkan luka berdarah.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN!?”

Benetnash menjerit. Amarah membuncah. Pertarungan sucinya—dihancurkan oleh intervensi murahan.

Tujuh Pahlawan. Mereka penyebabnya.

Tapi ada yang aneh. Mereka... terlalu kuat.

Kekuatan ilahi yang mereka miliki... bahkan bisa dibandingkan dengan Benetnash.

Namun, mereka tak melawan. Mereka hanya menyegel Benetnash dengan sihir.

Dan karena tubuhnya penuh luka, Benetnash tak bisa melawan balik.

Dia hanya bisa merosot ke tanah, menyaksikan dengan tatapan tak percaya.

“Maaf, Benet. Sepertinya ada hal yang harus kuurus. Pertarungan kita... kita anggap seri kali ini, ya?”

“Tu—tunggu, Mafahl!”

“Tenang saja. Aku pasti akan kembali. Tajamkan taringmu sampai saat itu tiba.”

Dan Ruphas pun terbang. Meninggalkannya.

Tak pernah kembali.

Itulah yang tertulis dalam sejarah.

Luka yang diberikan Benetnash menjadi faktor utama kekalahan Ruphas oleh Tujuh Pahlawan.

Benetnash... kalah lagi. Dan kehilangan satu-satunya saingan sejatinya.

Sejak itu, dia kehilangan arah hidup.

Dia mengurung diri. Tak peduli lagi pada dunia. Tak peduli humanoid dihancurkan. Tak peduli para pahlawan mati.

Sampai akhirnya, lima puluh tahun kemudian...

Pasukan iblis datang menyerang wilayahnya.

Dan di antara mereka... Raja Iblis sendiri.

Pertarungan pun terjadi. Tapi hasilnya jelas.

Benetnash menang. Tapi... Raja Iblis tak bertarung serius.

“Seandainya kau ada saat itu, mungkin dunia takkan seperti ini,” ujar Raja Iblis.

“Jangan omong kosong,” jawab Benetnash.

“Kau masih marah karena pertarunganmu diganggu, ya?”

“…Hati-hati dengan ucapanmu. Lidahmu bisa kucabik.”

“Hmm… Ruphas akan kembali, kau tahu? Menurut ‘dia’, dalam 150 tahun. Kau hanya perlu menunggu.”

Benetnash tak tahu siapa ‘dia’ itu. Tapi... Ruphas benar-benar kembali.

Dan bagi Benetnash, itu sudah cukup.

Tak peduli bagaimana.

Tak peduli alasannya.

Yang penting—musuh bebuyutannya hidup.

Dan dia akan menunggunya.

Sendiri. Di ruangan yang tak boleh dimasuki siapa pun.

Menunggu waktu untuk saling membunuh… dengan cinta yang mematikan.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 95

 Bab 95: Ah! Benetnash Melompat!

Setelah berpisah dari party sang Pahlawan, kami meninggalkan Draupnir. Sekarang, kami sedang dalam perjalanan menuju tujuan berikutnya, menumpang Tanaka yang melaju di sepanjang jalan.

Destinasi kami kali ini adalah wilayah paling utara dari tanah yang dihuni ras humanoid. Tempat ini dikenal sebagai salah satu wilayah paling berbahaya di seluruh benua.

Ada tiga alasan mengapa wilayah ini dianggap begitu berbahaya.

Pertama—faktor geografisnya.

Sebenarnya tak ada yang aneh atau misterius. Letaknya memang sangat buruk.

Seiring dengan dominasi wilayah oleh ras iblis, humanoid hanya mampu bertahan di sedikit wilayah yang tersisa. Dan wilayah paling utara ini... adalah area yang paling dekat dengan teritori iblis.

Namun, anehnya, ras iblis tak pernah melangkah lebih jauh ke tanah itu. Bukan karena mereka tak mau. Mereka tidak bisa.

Alasannya adalah faktor kedua—wilayah itu adalah rumah bagi ras humanoid yang dianggap paling kuat, paling dekat dengan iblis. Negeri para vampir.

Itulah Kerajaan Mjolnir, yang dipimpin oleh sang Putri Vampir: Benetnash.

Bahkan bagi iblis, keberadaan Benetnash adalah ancaman nyata. Jika mereka hanya menghindarinya dan melewati Mjolnir, Benetnash tak akan bereaksi. Tapi... kalau mereka nekat menjejakkan kaki ke wilayahnya, maka pasukan iblis itu akan dimusnahkan total hanya oleh dirinya seorang.

Dengan kata lain, satu-satunya alasan ras humanoid masih bertahan, masih memiliki tempat untuk hidup di dunia ini, adalah karena keberadaan Benetnash di tempat yang paling tak diharapkan.

“Benetnash tinggal di sana.”—fakta itu saja sudah cukup untuk menghentikan langkah iblis selama dua ratus tahun terakhir.

Informasi ini kudapat dari Dina.

“Hm... meskipun begitu, setidaknya dia berjasa bagi humanoid.”

“Walau mungkin dia sendiri tak peduli soal itu. Dia pasti berpikir: ‘Aku bahkan belum bergerak sedikit pun, tapi mereka semua sibuk perang di sekelilingku.’”

Saat aku mencoba memuji peran Benetnash, Dina hanya tersenyum pahit dan menambahkan penjelasannya.

Benetnash tidak peduli dengan siapa pun. Dia hanya tinggal di sana. Humanoid memanfaatkannya sebagai tameng tanpa persetujuannya. Iblis ketakutan padanya dan mundur juga tanpa sepengetahuannya.

Tapi tetap saja, kenyataan bahwa keberadaannya saja menjadi penghalang mutlak… itu sungguh luar biasa.

“Meski begitu, dulu ras iblis pernah mencoba menyerangnya demi memperluas wilayah mereka. Tapi... hasilnya?”

“Wah... Tujuh iblis level 600, sekuat generasi sebelumnya dari 7 Tokoh. Tiga puluh enam prajurit level 500. Dua ratus iblis level 300 yang sebanding dengan 7 Tokoh saat ini. Dan seribu iblis level biasa…”

“Itu semua… dimusnahkan dalam semalam hanya oleh Benetnash.”

Kalau dihitung dengan mereka yang dibantai oleh bawahannya, angkanya bisa berkali-kali lipat lebih besar.

…Ini sungguh gila.

Aku ingin berteriak, tapi hanya bisa terdiam. Beruntung tubuh Ruphas cukup bermartabat untuk menahan reaksi spontan seperti itu.

“Aku mengerti. Tak heran kalau keberadaannya cukup menjadi penangkal. Tapi, Raja Iblis tidak melakukan apa-apa?”

“Pernah terjadi benturan kecil. Tapi keduanya tak bertarung serius, dan akhirnya mundur. Sepertinya mereka memang tak berniat saling bunuh.”

Dengar penjelasan itu, aku hanya bisa menghela napas. Ya… aku paham kenapa mereka mundur.

Kalau mereka bertarung habis-habisan, tak ada jaminan akan ada yang selamat. Dan Benetnash... kalau bukan musuh, dia tak akan peduli.

Bagi Raja Iblis, selama tak mengusik Benetnash, Mjolnir bukan masalah.

Bagi Benetnash, Raja Iblis hanya pengganggu. Tapi kalau tak diganggu, dia tak akan menyerang. Baginya, humanoid hanyalah makanan ternak yang saling bunuh—tak menarik untuk ikut campur.

Dengan pola pikir seperti itu, tentu keduanya memilih mundur. Tapi… kalau aku yang jadi targetnya, Benetnash tidak akan mundur.

Dia akan terus mengejarku sampai salah satu dari kami mati.

Dan itulah yang membuatnya berbahaya—kalau dia di pihakku, dia adalah sekutu paling bisa diandalkan. Tapi sebagai musuh? Tak ada yang lebih menyeramkan darinya.

“Dan alasan ketiga?”

“Oh, ya… adanya Tyrfing, aliansi para demi-human. Dipimpin Leon-sama—salah satu dari 12 Bintang Surgawi.”

Anggotanya terdiri dari centaur, merfolk, spiderkin, plantkin, snakekin, dan raksasa. Jika dihitung dari jumlah, mereka bahkan melampaui Mjolnir.

“Jadi… ras yang tak diakui sebagai humanoid, ya.”

Sejujurnya, aku tak ingin memusnahkan mereka.

Mereka bukan penjahat. Mereka hanya berbeda bentuk tubuh. Terlalu besar. Tidak cukup ‘humanoid’. Hanya karena itu, mereka dianggap monster. Ditaklukkan. Diburu.

Aku bisa paham kenapa humanoid membuat batasan. Tapi yang menerima akibatnya bukan mereka, melainkan para beastkin itu. Dan mereka... tak bisa menerimanya.

Wajar saja kalau akhirnya mereka melawan.

“Oh ya. Tujuan kita adalah Leon dan para beastkin… atau lebih tepatnya, demi-human. Tapi karena lokasi mereka dekat Mjolnir… sedikit rumit.”

“Dan Benet pasti menyadari kehadiranmu,” kata Aigokeros.

Ruphas mungkin flugel, ras paling jauh dari mana, tapi... tubuh ini memancarkan aura yang bisa dirasakan oleh Benetnash.

Yah… menyedihkan juga. Padahal aku ingin datang diam-diam…

Saat aku meratapi itu—dukk!—sesuatu mendarat di atas Tanaka.

Libra langsung melompat ke atap melalui jendela.

Aku segera menghentikan Tanaka dan turun.

Dan di sanalah aku melihatnya—seorang gadis muda berambut perak duduk di atap Tanaka.

“Ck—Benetnash!”

Aries berseru, mengepalkan tangannya yang diselimuti api.

Semua Bintang lainnya pun bersiap tempur. Tapi gadis itu hanya tersenyum tipis, santai… dan langsung menatapku.

Jadi ini… Benetnash.

Aku (sebagai “aku” yang sekarang) belum pernah melihat wajahnya.

Tapi aku (“aku” sebagai Ruphas) mengenalnya. Tak ada yang berubah. Kulitnya putih seputih salju, mata merah darah, rambut peraknya berkilau diterpa cahaya bulan.

Penampilannya seperti gadis empat belas tahun. Dia memakai kemeja putih dan rok hitam, dengan mantel hitam di bahunya.

Jika hanya melihat dari luar—dia hanyalah gadis cantik.

Tapi aku tahu. Dia adalah Putri Vampir.

Dia adalah Benetnash.

“Sudah lama, Ruphas Mafahl. Dua ratus tahun empat bulan. Aku tahu kau telah kembali, tapi melihatmu langsung seperti ini... benar-benar berbeda. Aku senang kau masih hidup.”

“Sepertinya kau juga belum berubah. Penampilanmu sama persis seperti dalam ingatanku.”

“Tentu saja. Waktuku terhenti sejak saat itu. Bahkan jika aku ingin berubah, aku tak bisa.”

Dia tersenyum manis. Mungkin memang tulus dari hatinya. Tapi matanya... tidak.

Pandangan itu—seperti binatang buas yang mengincar mangsa.

Libra melihat peluang dan menyerang. Tapi Benetnash tak menoleh. Dengan satu tangan, dia meraih lengan Libra dan—brak!—melemparkannya ke arahku.

Pergelangan Libra retak.

“Kalian ini... peliharaan kesayangan Mafahl. Bukan tandinganku. Kalau tak mau mati, menyisihlah dan gemetarlah di sudut.”

“Ck… cebol sombong!” Scorpius tak tahan. Dia menerjang, disusul Aigokeros dari arah berlawanan.

Namun—dalam sekejap, keduanya terhempas.

Dia terlalu cepat...

Bahkan aku—dengan tubuh ini—hampir tak bisa mengikuti gerakannya.

“...Tsk! Menunjukkan hal memalukan di depan Ruphas-sama... Aku akan membunuhmu!”

“—Kau tak akan bisa pulang hidup-hidup.”

Keduanya bangkit dan hendak melepaskan bentuk asli mereka.

Tapi aku menghentikan mereka. “Cukup. Mundur.”

Mereka masih bisa hidup jika berhenti sekarang. Kalau terus, paling ringan satu dari mereka akan mati. Mungkin... keduanya.

Dan Benetnash masih menatapku. Sejak awal. Tak tertarik pada yang lain.

“Keputusan bijak. Satu-satunya yang bisa bertarung denganku... hanyalah kau.”

“Kau bicara sesukamu. Bukankah Leon musuhmu?”

“Oh, yang itu? Iya, dia cukup kuat. Tapi… hanya itu. Dia tak bisa menang dariku.”

Ucapannya bukan sombong, melainkan keyakinan mutlak.

Baginya, satu-satunya ‘pertarungan’ yang layak disebut demikian adalah saat dia melawan aku.

Dia mengeluarkan sebuah kertas dan melemparkannya padaku.

Sebuah... undangan?

Alamat lengkap, tanda tangan Benetnash, dan izin masuk ke kastil.

“Ini apa?”

“Undangan. Aku ingin mengundangmu ke istanaku. Tenang saja. Tak ada jebakan, tak ada penjaga. Aku hanya ingin satu hal… pertarungan satu lawan satu, tanpa gangguan.”

Itulah niatnya.

Hari ini, dia datang hanya untuk mengantar undangan.

“Jangan lari, Mafahl. Aku sudah menunggumu dua abad untuk pertarungan ini. Kalau kau kabur, aku akan mengamuk.”

“Tenang saja. Ini undangan dari sahabat lama. Aku akan datang.”

“Kalau begitu, bagus.”

Dia tersenyum—indah, namun berbahaya.

“Satu-satunya yang boleh membunuhmu adalah aku. Dan satu-satunya yang boleh membunuhku… adalah kau. Kali ini, sungguh-sungguh—sampai salah satu dari kita mati.”

Dengan senyum seperti gadis yang hendak pergi kencan, dia menyampaikan janji duel berdarah.

Lalu dia menghilang ke langit malam, diterangi cahaya bulan.

...Gawat. Apa yang harus kulakukan sekarang? Gadis itu benar-benar berlebihan.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 94

Bab 94: Virgo dan Castor Dipercayakan

Setelah tujuan kami berikutnya diputuskan, tak ada alasan lagi untuk terus bertahan di Draupnir.

Yang tersisa hanyalah meninggalkan negeri ini… namun kenyataannya, kami masih di sini.

Alasannya karena Virgo menerima pesan dari sang Pahlawan—bahwa dia ingin berbicara denganku. Pesannya sederhana: “Mohon tunggu sebentar sebelum berangkat.”

Alhasil, aku kini hanya bisa bersantai di sofa dalam Tanaka, menunggu sang Pahlawan datang.

Aigokeros sempat bergumam dengan kesal, “Berani-beraninya membuat Tuanku menunggu…,” tapi kupikir wajar jika sang Pahlawan sedikit tertunda. Dia pasti sibuk melapor pada Kaisar soal serangan para demi-human.

Yah, tidak apa. Aku bisa menunggu dengan santai di sini.

Aku menikmati cahaya bulan yang masuk lewat jendela sambil menyeruput teh racikan Libra.

Oh ya—sebagai persiapan untuk perjalanan kami berikutnya, kami sempat memborong banyak daun teh dari Draupnir. Lumayan untuk stok.

“Ngomong-ngomong, Dina. Kau tahu apa itu ‘Kunci Surga’?”

Aku bertanya padanya pelan. Berdasarkan apa yang dikatakan Castor kemarin, sudah seharusnya aku tahu tentang benda itu. Tapi anehnya, ingatan "Ruphas" di dalam diriku sama sekali tak memberikan petunjuk.

Seolah-olah ingatan itu disembunyikan sangat dalam.

“Tidak, aku juga tak tahu rinciannya. Tapi… aku pernah dengar, orang yang memegangnya punya kekuatan untuk ‘memelihara dunia’...”

“Memelihara dunia…?”

Dalam arti lain, kekuatan untuk mengubah hukum yang mengatur dunia ini. Kesan pertamaku: pemegangnya seperti administrator.

Atau mungkin... Game Master yang diberi otoritas oleh sang administrator.

Apa pun itu, aku cuma bisa menyimpulkan satu hal sekarang—benda itu adalah “kunci yang sangat berbahaya.”

Tapi kenapa dulu Ruphas memilikinya?

Dan lebih aneh lagi—kenapa dia tidak menggunakannya saat bertarung melawan 7 Pahlawan?

Apakah ada syarat tertentu sebelum bisa menggunakannya? Atau… meskipun bisa digunakan, dia memang sengaja memilih untuk tidak memakainya?

Jika yang pertama benar, maka wajar dia tak menggunakannya. Tapi kalau yang kedua… itu artinya Ruphas secara sadar memilih untuk kalah.

Aku tak tahu seberapa jauh benda itu bisa memanipulasi aturan dunia, tapi sekecil apa pun, itu pasti menguntungkannya. Dan dia tetap memilih untuk menyerahkan kunci itu pada Castor dan menghilang.

…Aku benar-benar tak mengerti. Seolah-olah dia memang sengaja kalah dalam pertempuran dua abad lalu.

Tapi—aku terlalu kekurangan informasi untuk bisa menarik kesimpulan.

“Oh, Ruphas-sama. Sei sudah datang.”

“Hm.”

Virgo membuyarkan lamunanku. Aku bangkit dari sofa.

Pintu terbuka. Di sana berdiri rombongan sang Pahlawan, berbaris rapi seperti sekelompok bocah yang baru masuk ke ruang guru.

Terutama si Sei. Dia melihat interior Tanaka dan berkomentar pelan, “Fantasi kok pakai mobil kemah…” dengan wajah tercengang.

Yah, masuk akal sih. Seorang Raja Iblis dengan mobil kemah… siapa yang bakal percaya?

Rasanya bahkan "Penakluk Akhir Zaman" akan terlihat konyol kalau naik mobil, bukannya kuda raksasa hitam. Dan kenyataannya, akulah yang melakukannya sekarang.

Tapi tak apa. Kalau wibawaku cuma berdasarkan rasa takut semata, maka biarlah hancur.

“Senang bisa bertemu langsung, Pahlawan. Aku sudah menunggu.”

Aku menyambut mereka ramah.

Toh mereka sudah bersedia bekerja sama denganku, jadi tentu saja akan kuoptimalkan. Aku bukan tipe yang membiarkan peluang terbuang.

Sei tampak gugup. Sekitar 30% ketakutan, 30% ragu, dan 40% keyakinan. Bagus. Dia punya ekspresi yang layak disebut “Pahlawan.”

Sementara Gants dan Jean tampak biasa saja. Mereka sudah tahu siapa aku, jadi tak ada rasa takut. Bahkan si elf—si pemanggilku dulu—masih tetap gemetar seperti dulu.

Di belakangnya, seekor harimau dan kucing berbulu tebal duduk meringkuk bersama. Di sebelah mereka berdiri seekor gorila beastkin.

Jadi... satu pahlawan, satu petualang, satu tentara bayaran, satu elf, dan tiga beastkin.

Rombongan ini condong banget ke petarung garis depan, ya?

“Hm? Di mana Nick dan yang lain?”

Virgo menoleh dengan bingung. Ah, benar—mereka rekan Jean. Yang kekar-kekar itu.

“Oh, soal mereka... karena luka-lukanya cukup parah, mereka memutuskan untuk tetap di Draupnir dan beristirahat.”

“Sebagai gantinya, aku yang akan bergabung dengan party Pahlawan dan mengisi kekosongan.”

...Tunggu, yang mengisi posisi itu si kucing Bengal dua kaki ini?

Oi, beneran nih?

Dia memang imut sih… tapi tidak terlihat kuat sama sekali. Kalau musuhnya orang Jepang pecinta kucing, mungkin dia bisa mengalahkan mereka dengan pesonanya saja. Tapi dalam pertarungan nyata? Aku ragu.

Kucing itu... seharusnya dicintai. Bukan dijadikan petarung.

“Oh begitu. Yah, mari kita dengar maksud kedatangan kalian.”

“Iya. Sebenarnya...”

Isi cerita Sei sebenarnya sederhana.

Dia belum sepenuhnya yakin apakah aku benar-benar musuh atau bukan. Jadi dia datang untuk bicara langsung.

Untuk bisa datang dan bicara denganku secara langsung, dia benar-benar punya nyali.

Di dunia ini, aku dikenal sebagai makhluk menakutkan. Dan 12 Bintang yang pernah berubah jadi raksasa juga tidak membantu citraku.

Bahkan dengan rekomendasi dari Megrez, yang pernah berkonflik denganku 200 tahun lalu, tak menjamin keselamatan mereka.

Namun, anak ini... tetap memilih untuk berjalan bersamaku, tanpa prasangka.

Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang.

“Aku mengerti. Dan kau benar. Aku memang tidak punya niat bermusuhan dengan kalian. Bukankah aku juga sudah bilang begitu waktu dipanggil dulu?”

Ketika aku berkata begitu, si elf langsung menggigil dan mengeluarkan suara kecil.

Serius, orang ini lebay banget. Aku juga nggak akan makan dia, kok.

“Jadi, bisakah kami menganggap kau akan membantu kami melawan ras iblis?”

“Bukan ide yang buruk. Tapi itu urusan nanti. Masih ada hal yang harus kulakukan sebelum itu.”

Kerja sama dengan mereka adalah opsi bagus, tapi… untuk saat ini, aku harus menuju zona konflik antara Benetnash dan Leon.

Dengan kekuatan party Pahlawan yang sekarang, mereka bisa mati hanya dari gelombang kejut.

Bahkan untuk bertahan hidup dari aura dua orang itu, mereka harus setidaknya selevel dengan anggota 12 Bintang.

Singkatnya: saat ini, mereka cuma akan jadi beban.

“Hal yang harus kau lakukan?”

“Benar. Leon sedang memimpin para beastkin ke jalan kehancuran. Dia mungkin pantas menerima akibatnya... tapi para beast itu tidak. Sebagai pemimpin mereka, aku bertanggung jawab atas kesalahan ini. Aku harus menghentikan orang bodoh itu.”

“Kalau begitu... berarti kami juga ikut terlibat. Kalau para beast benar-benar berperang, kita semua bakal kena. Yo, Ruphas. Aku ikut bantu kalahkan Leon.”

Gants menyatakan niatnya tanpa ragu-ragu. Orang ini memang selalu punya niat baik.

Tapi... ya. Level mereka terlalu rendah. Kalau aku jujur dan bilang, “Kalian terlalu lemah, jadi nggak usah ikut,” aku takut hubungan yang susah payah kubangun bakal hancur.

Jadi lebih baik kuberikan mereka tugas ‘penting’, meski sebenarnya tidak terlalu vital.

“Terima kasih. Tapi wilayah Leon itu medan perang. Aku akan pergi sendiri. Sebagai gantinya, bisakah kalian mencari lokasi desa centaur?”

Masalah Sagittarius masih mengganggu pikiranku.

Libra yakin Sagittarius bukan tipe yang bertindak impulsif. Mungkin... ada sesuatu yang memaksanya.

Jika dugaan kami benar dan itu berkaitan dengan orang yang harus ia lindungi, maka menyelamatkan centaur mungkin bisa membuat Sagittarius berpaling.

Namun, centaur adalah beastkin kuat. Untuk menghadapinya, party Pahlawan terlalu lemah.

Jadi aku memutuskan untuk mengirim bala bantuan.

“Aku akan mempercayakan Virgo dan Castor untuk menemani kalian. Harusnya lebih nyaman jika ada wajah yang kalian kenal.”

Party Pahlawan kekurangan pengguna sihir. Tapi jelas aku tak bisa mengirim Dina—terlalu mencurigakan. Aigokeros? Ah, tidak. Dia malah bisa membantai mereka dari belakang.

Pilihan aman: Virgo dan Castor. Terutama Virgo, agar jauh dari bahaya zona perang.

Sebagai gantinya, aku akan membawa Aries. Serangan bertubi-tubinya akan efektif melawan Leon dan Benetnash.

Apalagi kalau Leon sudah kembali ke status bos—HP-nya pasti di atas sejuta.

Dan Aries bisa memberikan damage maksimal: 99.999.

Meski Aries adalah petarung terlemah di antara 12 Bintang, dalam kondisi tertentu, dia bisa jauh lebih berguna.

“Oh, benar. Sebagai bonus, aku juga berikan kendaraan.”

Menggunakan material dari Blutgang, aku membuat golem model mobil kemah kedua. Kali ini kulengkapi dengan fasilitas dasar: kamar tidur pria, ruang pribadi untuk Virgo, kamar mandi, dan toilet.

Ruangan pria jadi kecil, tapi masih jauh lebih baik ketimbang tidur di luar.

Ya... aku mungkin agak bersenang-senang dengan hobi pribadi...

Mobil kemah golem ini kuberi nama Suzuki.


[Suzuki]
Level: 350
Spesies: Bentuk Kehidupan Buatan

HP: 20.000
STR: 620
DEX: 120
VIT: 700
INT: 9
AGI: 1650
MND: 75
LUK: 100


Statusnya agak aneh, tapi tidak akan sepenuhnya tak berguna saat darurat.

Aku sudah memprogram Suzuki untuk melindungi Virgo dan mendengar perintah dari Castor dan Virgo. Dia juga akan mengikuti instruksi party Pahlawan—selama mereka tidak menyalahgunakannya.

Kalau mereka berniat jahat pada Virgo, Suzuki akan... mengajari mereka pelajaran sampai ke ambang kematian.

Hanya untuk jaga-jaga, sih.

“Umm… Ruphas-san, kenapa ini mobil kemah?”

“Kurasa lebih cocok untuk perjalanan. Atau kamu lebih suka truk?”

“Bukan itu maksudku…”

“Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan. Tapi… anggap saja aku juga tahu sedikit tentang dunia lain.”

Sei menatapku dengan ekspresi bingung, lalu diam. Sepertinya dia sadar kalau tak akan dapat jawaban lebih jauh.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 93

Bab 93: Castor, Dapatkan!

“Kartu ku As, jadi giliran Dina-sama dilewati.”

“Tidak! Jahat sekali!”

“Aku… tidak punya kartu yang bisa kugunakan. Jadi aku akan ambil dari dek... hmm, tiga hati, ya.”

“Ah, aku nggak punya tiga. Kalau begitu, aku ambil tiga kartu.”

Ketika Virgo datang berkunjung ke yurt Kaisar, kami sedang mengisi waktu luang dengan bermain kartu karena bosan. Permainan ini sebenarnya adalah setumpuk kartu yang kuciptakan lewat alkimia—sebuah permainan bernama American Page One, versi lokal dari UNO.

Aturannya nyaris sama dengan UNO: pemain harus meletakkan kartu dengan angka atau simbol yang cocok dengan kartu sebelumnya, dan angka tertentu punya efek khusus.

Misalnya, kartu "As" yang digunakan Libra membuat pemain berikutnya kehilangan giliran. Kartu "3" seperti yang digunakan Aigokeros akan memaksa pemain berikutnya untuk meletakkan kartu tiga juga, atau menarik tiga kartu dari dek.

Sama seperti UNO, kalau tidak ada kartu yang bisa dimainkan, pemain harus terus menarik sampai bisa. Dan tentu saja, siapa pun yang kehabisan kartu pertama kali jadi pemenangnya.

Sebagai catatan, yang pertama menang adalah Karkinos, disusul Scorpius. Saat ini kami tengah berebut posisi ketiga.

Kartu terakhir yang digunakan Aries adalah "8"—kartu bebas yang memungkinkan pemain memilih simbol berikutnya.

“Aku pilih sekop.”

“Kalau begitu, aku mainkan ini.”

Setelah Aries menetapkan sekop, aku menaruh lima sekop. Kartu ini tidak punya efek khusus. Libra menyusul dengan sembilan sekop.

Efek sembilan adalah membalik arah permainan. Alih-alih Dina mendapat giliran, rotasi kembali padaku.

Untung saja, Dina hanya punya satu kartu. Kalau dia diberi giliran, bisa-bisa dia menang. Libra membuat langkah yang tepat.

“Oh, aku juga sudah selesai.”

Aries meletakkan kartu terakhir—enam sekop—dan merebut posisi ketiga.

Ini tidak bagus… kalau begini terus, aku bisa jadi yang terakhir.

“Oh iya, Ruphas-sama, kartu ini bisa jadi barang dagangan, ya? Kalau dikelola dengan baik, bisa jadi sumber penghasilan besar.”

“Permainan sesederhana ini gampang ditiru. Kita nggak akan dapat untung banyak.”

Aku menjawab Karkinos sambil menatap kartuku. Di dunia ini, tak ada hak kekayaan intelektual. Setiap ide bagus pasti cepat ditiru.

Dwarf yang muak dengan situasi itu bahkan menciptakan sistem paten mereka sendiri. Aku rasa negara Blutgang punya sistem serupa.

Sambil memikirkan hal-hal seperti itu, aku berhasil mengosongkan tangan dan menyelesaikan permainan.

Mendapat tempat keempat, ya. Cukup sial.

“Ruphas-sama!”

Tepat saat aku selesai bermain, Virgo masuk.

Sepertinya dia baru saja selesai menerima ucapan terima kasih dari sang Kaisar dan menyembuhkan naga penjaga. Butuh waktu lebih lama dari yang kukira, jadi kami mengisi waktu dengan bermain kartu.

Tapi ada sesuatu yang aneh. Virgo tampak gelisah dan berkeringat. Aku langsung sadar.

Sepertinya ada hal merepotkan yang terjadi.

“Ada apa, Virgo?”

“Ada sesuatu yang perlu kubicarakan… tapi sebelumnya, ada seseorang yang ingin bertemu Ruphas-sama.”

“Hmm?”

Aku berdiri dan berjalan ke pintu. Di luar, berdiri seorang pria tampan mengenakan jas putih—memancarkan aura bajak laut langit.

Aku tak mengingat wajahnya, tapi ada rasa nostalgia.

Aku memejamkan mata, memusatkan kesadaran ke dalam diri—menggali ingatan yang sebelumnya tertutup.

——……

Dia... Ah, aku ingat. Castor.

Kakak dari pasangan Gemini—salah satu dari 12 Bintang Surgawi di bawah Tyrannical Ways. Seorang petarung seimbang, menguasai sihir dan fisik.

Di dalam game, dia dikenal sebagai “Fairy Siblings,” selalu muncul bersama saudari kembarnya. Tapi sekarang, dia sendirian.

Aku mengintip statusnya:


[Castor]

Level: 800
Spesies: Peri
Atribut: Kayu

HP: 32.500 / 55.000
SP: 2.300 / 9.800

STR: 4208
DEX: 2100
VIT: 3005
INT: 6000
AGI: 3995
MND: 800
LUK: 1092

Perlengkapan
Senjata: Anchor Lance (STR +1200, AGI -200, dua tangan)
Armor: Sky Pirate’s Garment (Mengurangi konsumsi mana sihir kayu)
Aksesori: Lambang Bajak Laut Langit (Mengurangi setengah kerusakan fisik)


Cukup kuat untuk bertarung sendiri, meski tetap lebih optimal saat bersama saudari kembarnya.

“Sudah lama, Ruphas-sama. Aku selalu percaya kau akan kembali.”

“Aku juga senang melihatmu dalam keadaan sehat, Castor.”

Castor berlutut dengan hormat. Kesan pertama—positif. Penampilannya elegan, dan dia tak seperti Aries atau yang lain yang sering menyusahkan.

Apakah ini saatnya... akhirnya ada orang waras dalam kelompok idiot ini?

“Ara~, bukankah itu Castor? Ngapain di sini?”

“Lama sekali! Udah 200 tahun, ya, Castor?”

Scorpius dan Karkinos muncul dari belakang, disusul Aries dan Libra yang ikut mengintip.

Sepertinya yang masih bermain untuk posisi terakhir hanya Dina dan Aigokeros.

Dari sudut mataku, kulihat mereka menatap kartu masing-masing dengan frustasi.

“Ngomong-ngomong, kamu kelihatan payah sekali?”

“Soal itu... aku benar-benar minta maaf! ‘Key to Heaven’ yang kutugaskan untuk kujaga... dicuri Raja Iblis tempo hari...!”

Key to Heaven? Apa itu?

Aku mencoba menggali ingatan—tidak ada. Di dalam game, aku yakin tak ada item semacam itu.

Aku harus tanya Dina nanti. Dia mungkin tahu.

Kalau sampai berhadapan dengan Raja Iblis... ya jelas kalah lah. Dengan statusmu, bahkan kalau Raja Iblis berdiri dengan tangan pun kau tetap kalah.

“Tak apa, jangan pikirkan itu. Dina, tolong rawat dia.”

“T-tunggu sebentar. Aku hampir selesai—”

“Oh, aku menang.”

“……”

Permainan selesai. Dina, yang kalah, berdiri lesu dan berjalan menghampiri.

Mungkin ini pertama kalinya mereka bertemu. Aku pun memperkenalkan mereka.

“Castor, ini Dina. Dia penasihatku sekarang. Katanya dia juga ada di sana 200 tahun lalu, tapi kehadirannya tipis sekali sampai-sampai aku tak yakin. Dia penuh kelicikan, tapi perlakukan saja dia dengan baik.”

“Apakah... apakah itu benar-benar boleh?”

“Yah, dia bukan orang jahat. Mungkin.”

Castor menatap waspada. Wajar. Dina memang mencurigakan.

“Dan ini Virgo. Dia adalah penerus Parthenos, bintang baru di posisi ‘Maiden’. Masih hijau, tapi punya potensi besar. Tolong bimbing dia juga.”

“Baik. Aku mengerti.”

Tak ada yang mencurigakan dari Virgo, jadi aku memperkenalkannya secara normal.

Perbedaan nada dalam perkenalan ini mungkin menyayat hati Dina. Tapi... yah, sudah biasa.

“Nah, ayo bicarakan apa yang terjadi.”

Aku menoleh ke Virgo. Waktunya membahas masalah serius yang ingin dia sampaikan.

“Ya... sebenarnya…”

Dan seperti dugaanku, cerita yang kami dengar dari Virgo sungguh merepotkan.

Tentang empat demi-human yang membunuh naga penjaga. Tentang kebencian mereka. Tentang Leon yang berdiri di balik semua itu.

Ini... ini jelas... sebuah deklarasi perang terhadap humanoid.

Mereka, beastkin, sudah mencapai batas. Mereka menuntut hak yang selama ini dirampas.

Dan, semua ini nyambung dengan cerita tentang pengkhianatan Sagittarius yang sebelumnya diceritakan Libra.

Leon… pria itu… ingin memancing perang besar? Ingin menjadikan iblis dan humanoid musuhnya sekaligus?

“Apa pendapat kalian?”

Aku bertanya pada anggota 12 Bintang lainnya.

Jawaban mereka, beragam, tapi intinya sama:

“Dia terlalu tergesa-gesa.”

“Bodoh.”

“Idiot tanpa harapan.”

“Berlebihan.”

“Bisa mati, tahu.”

“Tidak ada rencana sama sekali.”

Komentar mereka mewakili pikiranku juga.

Apa dia lupa bahwa masih ada Benetnash?

Melawan Megrez atau Merak mungkin bisa. Bahkan Levia atau Blutgang. Tapi menghadapi Benetnash dan Raja Iblis sekaligus? Itu tolol.

Tapi... aku kasihan pada para demi-human. Mereka mungkin hanya korban rayuan manis Leon. Diperalat, lalu ditinggalkan.

Kalau hanya Leon, biarkan saja dia ditumbuk Benetnash. Tapi demi-human lainnya tak pantas menerima nasib itu.

“Yang aneh... kenapa Sagittarius ikut-ikutan? Bukannya dia lebih logis?”

“Hm... benar juga. Sagittarius yang aku kenal lebih tenang dan rasional…”

Komentar Karkinos dan Scorpius menunjukkan bahwa ini di luar dugaan.

Entah dia punya alasan tersembunyi, atau sedang terpaksa.

Dia bahkan memberi tahu Libra bahwa dia berpihak pada Leon—tindakan yang tidak masuk akal kalau dia benar-benar ingin memasang jebakan.

Semua ini mengarah ke satu kesimpulan: tujuan kami berikutnya sudah jelas.

Kami harus pergi ke tempat mereka. Menemui Leon dan Sagittarius langsung. Mendengar sendiri kebenaran dari mulut mereka.

 

Novel Bos Terakhir Chapter 92

Bab 92: Castor Menggunakan Thunder Shock

Di dalam hutan yang lebat, empat demi-human berdiri berhadapan dengan seorang pria tampan. Sekilas, tampaknya pertempuran akan tidak seimbang: empat lawan satu. Terlebih lagi, sang pria terlihat telah mengalami luka cukup parah bahkan sebelum pertarungan dimulai.

Namun, keempat lawannya ragu untuk menyerang. Mereka tahu betul—dari pertarungan sebelumnya—bahwa pria itu bukan sembarang orang. Mereka, masing-masing cukup kuat untuk mengalahkan Friedrich sang Holy Sword, manusia terkuat di antara ras humanoid. Tapi... pria ini berbeda.

Mereka tak bisa menemukan satu celah pun. Apa pun bentuk serangan yang mereka pikirkan, bayangan akan serangan balik yang mematikan terus menghantui.

Dan meski pria itu terluka parah, insting mereka berkata bahwa dia tetap bukan lawan yang bisa mereka kalahkan dengan mudah.

Namun demikian, keempatnya memutuskan untuk menyerang. Mereka menyebar, mencoba mengepung Castor.

“Owoo!”

“Hmph!”

Si spiderkin dan merman bergerak lebih dulu, menyerbu Castor dengan senjata masing-masing. Namun, Castor hanya menangkis serangan tombak dengan jangkar, dan menghentikan cakar laba-laba itu dengan satu ujung jarinya.

Meskipun serangan itu dilancarkan dengan kekuatan besar, Castor tak bergeming. Ia bahkan tidak goyah sedikit pun. Dalam satu gerakan cepat, ia menendang sang merman hingga terpental ke belakang, lalu membalik tubuhnya dan memukul sang laba-laba dengan punggung tangannya, menghantamnya ke tanah.

Laba-laba itu masih cukup cepat untuk menghindari serangan langsung, tapi—berat. Meskipun hanya menerima sebagian dampaknya, tubuhnya terluka parah, membuatnya bertanya-tanya bagaimana kerusakannya bisa sebesar itu.

Sementara itu, sang merman terpental hingga menghantam batang pohon, langsung tak sadarkan diri. Sedangkan sang spiderkin harus menerima kenyataan bahwa salah satu lengannya patah.

“Aqua Blast!”

“Air Slasher!”

Lamia menembakkan peluru air, disusul dryad yang mengayunkan bilah angin. Namun Castor hanya menyapu keduanya dengan jangkar, seolah-olah mengusir lalat yang mengganggu. Dalam sekejap, ia membalikkan keadaan.

“Ptarmigan!”

Saat nama mantra itu diucapkan, kilat meledak dari tubuh Castor. Listrik itu menyebar dari pusat tubuhnya, seperti sayap yang mengepak, dan menyambar keempat lawannya sekaligus.

Tersambar petir, mereka semua terjatuh, tubuh mereka mengepulkan asap hitam. Meski belum mati, luka mereka parah. Hanya satu serangan, namun dampaknya sudah cukup untuk menunjukkan jurang kekuatan yang tak terjembatani.

Castor berdiri tegak, memandang mereka dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia masih menahan diri.

“Aku sudah memastikan kalian tak akan mati. Tapi kalau kalian tetap mau lanjut, aku tak punya pilihan selain bersikap serius. Masih mau coba?”

“Nu…”

Spiderkin, yang tampaknya menjadi pemimpin mereka, hanya bisa mengerang pelan. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada yang lain.

“…Kita mundur.”

“Kau—serius!? Dia bahkan sudah setengah mati! Kalau kita keroyok, kita pasti bisa menang, bukan? Kita nggak akan seceroboh tadi!”

“Kita sudah mencapai tujuan kita. Tak ada gunanya tetap di sini.”

Meski sang dryad mencoba membantah, keputusan spiderkin tak berubah. Perbedaan kekuatan mereka terlalu jelas. Jika mereka memaksa bertarung, hasilnya pasti kematian.

Yang paling berbahaya adalah saat seseorang dengan kekuatan seperti itu didesak hingga ke ujung. Maka dari itu, keputusan untuk mundur adalah yang terbaik.

“Tu—tunggu! Siapa kalian sebenarnya!? Kenapa melakukan ini!?”

Sei yang tak kuasa menahan diri berteriak kepada mereka yang mulai berjalan pergi. Spiderkin berhenti sejenak, menoleh, dan menjawab pelan.

“Kami adalah mereka yang akan merevolusi dunia.”

“Revolusi… dunia?”

“Itu benar. Waktu kalian para manusia untuk berlagak sombong hampir habis. Jika Leon-sama serius, kalian dan para iblis bisa ditaklukkan dengan mudah. Saat itulah zaman kami dimulai.”

Mereka tak berkewajiban menjawab. Namun spiderkin dan dryad tetap melontarkan jawaban dengan nada seakan itu adalah kebenaran mutlak. Lamia yang mendengar keduanya langsung menghantam kepala mereka.

“Hey, jangan bocorin hal yang nggak perlu. Ayo pulang.”

Ia mengayunkan ekornya, meraih merman yang tak sadarkan diri. Dryad mengangkat tangan, dan angin bertiup, membawa keempatnya terbang menjauh.

Tak ada yang bisa menghentikan mereka.

“…Siapa sebenarnya mereka?” gumam Gants, sambil membebaskan Virgo dan Sei dari jaring. Cruz, dengan wajah tegang, menjawab sambil menyeka keringat di pelipis.

“Entah kenapa... mereka membawa firasat buruk. Dari kata-kata mereka, aku rasa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.”

“Revolusi dunia... humanoid dan beast... lalu Leon…”

Ada sesuatu yang terasa tak beres. Apapun itu, mereka harus memikirkan hal itu nanti.

Saat ini, yang paling penting adalah memikirkan nasib rekan-rekan mereka yang terluka, dan naga penjaga yang mungkin sekarat.

Cruz bergegas memeriksa kondisi Ricardo, Nick, dan Jean.

“…Parah sekali.”

“Aku—aku nggak apa-apa... urus naga penjaga dulu…”

Ketiganya terluka parah, luka-luka mereka menganga hingga ke tulang. Bahkan dengan penyembuhan tingkat tinggi, mereka akan butuh waktu lama untuk pulih. Mungkin perjalanan mereka harus dihentikan sementara.

Virgo, yang kini bebas, membungkuk dalam kepada Castor, penuh rasa terima kasih, lalu berlari ke arah naga penjaga.

“High Heal!”

Ia mengangkat tangannya, menyalurkan cahaya penyembuh.

High Heal, sihir pemulihan tingkat tinggi. Sebagai versi lanjutan dari Heal, mantra ini mampu menyembuhkan hingga 30.000 HP jika dilakukan oleh Virgo. Di zaman ini, sekali saja biasanya cukup untuk menyembuhkan luka hampir sepenuhnya.

Namun… tidak kali ini. Naga penjaga tetap diam. Luka-lukanya tak hilang, matanya tak terbuka. Melihat itu, Virgo pun pucat pasi.

Sudah terlambat… Tak peduli seberapa kuat sihir pemulihan yang kugunakan… naga penjaga ini… sudah mati.

“A-ada apa, Virgo-dono!? Kenapa tidak sembuh!?”

“Maafkan aku… Dengan kekuatanku… itu…”

Kaineko mengguncang bahunya. Namun Virgo hanya memejamkan mata dan menggeleng.

Memang ada sihir kebangkitan. Tapi itu hanya efektif sesaat setelah kematian, dan termasuk dalam kategori sihir ilahi tingkat tertinggi—mantra yang belum Virgo kuasai.

Mungkin Ruphas bisa… Tapi Virgo bukan Ruphas.

“Itu… itu tidak mungkin… Aku dengar dari Sei-dono… Kau temannya Ruphas Mafahl, bukan!? Kalau begitu, hal seperti ini…”

“…Maafkan aku. Aku… yang paling lemah di antara kami…”

“…Tsk.”

Kaineko menghela napas panjang, lalu melepaskan tangannya. Wajahnya penuh kesal, kecewa—mungkin dendam.

Namun sebagai seorang ksatria, dia tak bisa menyalahkan Virgo. Maka, kemarahan itu ia arahkan pada musuh.

“Lihat saja... lihat saja, kalian beast damn—!”

Seluruh bulunya berdiri. Tapi sebelum ia bisa meledak, Castor yang sedari tadi diam tiba-tiba berjalan pelan dan berdiri di samping Virgo.

Ia menatap wajah Virgo, membuat sang gadis jadi gugup.

“Um, umm?”

“Ah, maaf. Menatap wajah wanita seperti itu, aku jadi terlihat tak sopan. Maafkan aku. Kau kenal Ruphas-sama?”

“Ah, iya.”

Jawaban jujur itu mungkin bodoh. Bisa saja dia ditangkap. Tapi alih-alih curiga, Castor malah mengangguk pelan dan mengambil sebuah botol kecil dari sakunya.

Dia membuka tutupnya dan menuangkan cairan itu ke mulut naga penjaga.

“Umm… itu apa…?”

“Itu disebut Amrita. Salah satu mahakarya alkimia tingkat tertinggi. Campuran air dari Urdarbrunnr, eliksir, darah Raja Naga, darah Phoenix, dan bahan langka lainnya. Meski hanya efektif sesaat setelah kematian, cairan ini bahkan bisa membangkitkan yang mati. Ruphas-sama hanya membuatnya dalam jumlah sangat terbatas.”

Virgo menelan ludah. Cruz di belakangnya nyaris pingsan.

“D-darah Raja Naga… darah Phoenix… air Urdar… aababbabababa…”

“Tak apa. Anggap saja ini hadiah pertemanan dari aku.”

“Oh, jadi kamu juga…”

“Maaf, aku belum memperkenalkan diri. Aku salah satu dari 12 Bintang Surgawi—Castor dari Gemini.”

12 Bintang Surgawi. Mendengar nama itu, Gants dan yang lain langsung siaga.

Tapi Sei… justru merasa sebaliknya. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Ketimbang ancaman, ia justru memancarkan ketenangan.

“Hmm? Naga itu sepertinya hidup lagi. Vitalitas luar biasa.”

Mereka semua menoleh. Dan benar saja—naga penjaga itu kini tertidur lelap. Semua lukanya hilang.

Castor tersenyum, lalu duduk bersandar di pohon.

“Apakah kau baik-baik saja?”

“Ahh, tak masalah. Aku hanya butuh istirahat sebentar. Setelah itu, aku bisa berjalan lagi.”

Dia mengangkat wajahnya dan menatap kelompok itu.

“Tapi apa tak apa membuang waktu bersamaku? Bukankah kalian sedang dalam situasi genting? Aku rasa waktu kalian lebih baik digunakan untuk menyusun langkah selanjutnya.”

Benar. Mereka harus kembali dan melapor. Ini bukan serangan sembarangan. Ini deklarasi perang terhadap seluruh ras humanoid.

“Kamu benar. Dan Nick serta yang lain butuh perawatan.”

“Tapi… bagaimana dengan naga penjaga? Kalau musuh kembali?”

“Kalau begitu, biar aku saja yang tinggal,” ujar Virgo. “Aku juga ingin mengobrol dengan Castor-san.”

“…Baiklah. Tapi kalau dia mulai aneh-aneh, cepat lari, ya? Bagaimanapun, dia salah satu dari 12 Bintang…”

“Baik.”

Cruz jelas khawatir. Tapi ia tak tahu bahwa Virgo juga bagian dari 12 Bintang. Jadi ucapannya justru terdengar lucu.

Akhirnya, Sei dan rombongan meninggalkan hutan. Virgo, Castor, dan naga penjaga tetap tinggal.

Keluar dari penggorengan, masuk ke kobaran api. Sambil mulai menyembuhkan Castor, Virgo menghela napas berat.

Dia tahu—hal-hal yang lebih gila masih akan datang…