Bab 47 : Pertempuran Penyerbuan
Menjelang siang, di rumah No. 22 Western Elmwood Street, kota bawah Igwynt, suara tembakan mendadak pecah. Dua anggota Crimson Eucharist yang baru saja kembali—Thomas dan Oliver—melancarkan serangan mendadak. Mereka memanfaatkan kelengahan rekan-rekan yang menyambut mereka, lalu berbalik menodongkan senjata pada mantan kawan sekaligus atasan mereka.
Di ruang kerja sederhana itu, peluru menghujani ruangan dalam kekacauan. Empat anak buah Eucharist yang kaget tak sempat bereaksi dan roboh seketika. Burton, yang sedang berjalan ke arah altar, terhantam tiga peluru di punggung. Ia hampir jatuh tersungkur, namun segera berbalik dengan wajah meringis penuh amarah, mata merah menyala menatap bengis.
“Pengkhianat... Berani-beraninya kalian...!”
Gigi bergemeletuk, Burton menahan sakit sekaligus murka. Meski tak mengerti alasan pengkhianatan mendadak itu, amarahnya langsung menelan segala kebingungan.
Usai melumpuhkan orang-orang lain di ruangan, Oliver dengan dingin mengarahkan pistol ke Burton. Bersama Thomas, ia menembakkan peluru tanpa belas kasihan. Burton bereaksi cepat, menghindari sebagian besar tembakan. Dari empat peluru, hanya satu yang menembus perutnya.
Sebagai seorang Beyonder jalur “Chalice”, Burton masih sanggup berdiri meski tubuhnya berlubang peluru. Kekuatan dan mobilitasnya tetap utuh. Dengan gerakan mengerikan, ia melesat ke arah Thomas begitu peluru lawan habis.
Kini pertarungan berubah menjadi jarak dekat. Tinju Burton menghantam Oliver lebih cepat dan keras daripada yang bisa diantisipasi siapa pun.
Dugg!
Tinju itu menghancurkan kepala Oliver, membuat tengkoraknya remuk. Tubuhnya terpental keluar ruangan, ambruk di lorong dengan bentuk tubuh yang nyaris tak lagi manusia.
Burton lalu berbalik ke arah Thomas. Dengan gerakan bengis, ia memelintir pergelangan tangan Thomas hingga pisaunya terlepas, lalu meraih pisau itu dan menebas pergelangan Thomas. Dalam dua gerakan berikutnya, ia menebas kepala Thomas, menendang tubuh tak bernyawa itu hingga darah memercik ke seluruh ruangan.
Di saat itulah, dari dalam peti terbuka, seorang gadis berambut putih tiba-tiba membuka mata. Aku—Dorothy—duduk perlahan, menarik selembar perkamen kecil dari balik pakaianku. Simbol abstrak berbentuk piala tertera di sana—Devouring Sigil jalur “Chalice” yang dulu kurebut dari seorang anggota Eucharist.
Tanpa ragu, kutempelkan sigil itu ke kening sambil berbisik lirih,
“Dengan spiritualitasku sebagai persembahan... aku memohon pada Blood Chalice...”
Sigil itu terbakar menjadi abu, meninggalkan tanda merah berbentuk piala berkilau samar di dahiku.
Devouring Sigil memberi kekuatan fisik dengan menghisap spiritualitas “Chalice” pemakainya. Bagi orang biasa, itu berarti kematian seketika. Tapi aku berbeda—aku sudah memiliki cadangan “Chalice” tambahan berkat riset mistis yang kulakukan. Karena itu, aku bisa mengaktifkannya tanpa kehilangan nyawaku.
Kekuatan membanjir dalam tubuhku. Aku menarik keluar dua revolver dari dalam peti, masing-masing kugenggam di tangan kanan dan kiri. Tanpa pikir panjang, kuarahkan ke Burton—yang baru saja selesai menghancurkan Oliver—lalu menarik pelatuk.
Bang! Bang! Bang! Bang!
Suara tembakan menggema. Recoil keras revolver itu kutahan dengan tubuh yang kini diperkuat sigil. Empat peluru menembus Burton—satu menghancurkan lengan kirinya, satu merobek otot paha kanannya, membuatnya limbung. Satu lagi hanya menggores kulit kepala, tak mengenai sasaran vital.
Meski tidak tepat sasaran, serangan itu cukup menjatuhkannya. Burton ambruk, menatapku dengan tatapan penuh benci sambil berusaha bangkit.
“Kau...! Arrgghhh!”
Darah bercucuran, tubuhnya porak-poranda. Namun sebagai Craver, ia menolak mati. Dengan raungan, Burton memaksa tubuhnya yang remuk untuk menyerangku.
Aku menarik napas dalam, lalu mengaktifkan cincin pengendali mayat. Dua poin “Wahyu” kutuangkan ke dalamnya, memaksimalkan batas kendali hingga empat boneka sekaligus.
Empat mayat Eucharist yang tadi ditembak Oliver langsung bangkit, bergerak kaku, menyerbu Burton dan menahannya. Cincin itu cepat menguras cadangan “Chalice” yang tersimpan, tapi aku tak punya pilihan lain.
“Enyahlah!”
Burton meraung, menghantam boneka-boneka itu dengan kekuatan manusia super. Satu per satu tubuh rekan-rekan mereka yang sudah mati hancur berkeping.
Aku menjatuhkan revolver, lalu meraih besi panjang dari peti—sebuah linggis baja. Kutatap Burton dengan dingin, genggamanku erat.
Dengan kekuatan sigil, aku menerjang ke depan, mengayunkan linggis tepat ke kepalanya.
Bugh!
Terdengar bunyi keras tulang retak. Darah menyembur. Burton terhuyung, matanya melebar bingung. Aku tak berhenti—ayunan kedua memecahkan kepalanya, darah dan otak berhamburan. Burton jatuh tersungkur.
Untuk memastikan, kuayunkan lagi—ketiga, keempat—hingga tubuh itu tak lagi bergerak.
Akhirnya, Burton tergeletak diam, tak bernyawa, di tengah genangan darah.
No comments:
Post a Comment