“Waktunya telah tiba.”
Aku mengamati keempat medan tempur yang perlahan mencapai akhirnya, lalu berbicara pada Dewi—pada Alovenus—yang saat ini menjelma sebagai Dina.
Earth dan Heavenly Ouroboros telah dilenyapkan. Fire Ouroboros sudah berada di ambang kehancuran. Dalam kondisinya sekarang, bahkan Benetnash sendiri sanggup menang tanpa bantuan.
Sementara itu, Wood Ouroboros harus menghadapi Pollux dan Orm sekaligus. Dalam waktu singkat, Aries dan yang lainnya juga akan menuju ke sana.
Kemenangan... tinggal menunggu waktu.
Namun, Alovenus tetap tenang. Ekspresinya santai, nyaris bosan. Itu wajar.
Karena dari sudut pandangnya, semua ini tak lebih dari sebuah permainan. Bahkan jika tubuh Dina dikalahkan, ia tak akan benar-benar merasa rugi. Paling jauh, dia akan merajuk dan berhenti “bermain.”
Baginya, dunia ini bukan dunia nyata. Kekalahan tak menimbulkan luka. Kehancuran tak berarti apapun.
Dan karena itulah, aku harus menghancurkan seluruh dunia ini agar bisa menemuinya di tempat yang sejajar.
Kalau tidak, aku bahkan takkan bisa berdiri di medan yang sama dengannya.
“Astaga… betapa menjengkelkannya kalian. Tapi perjalanan kalian berhenti di sini. Sebesar apa pun kekuatan yang kau miliki, kau tidak akan pernah bisa mengalahkanku.”
“Lucu sekali. Kau sendiri bahkan belum benar-benar turun ke medan perang ini. Itu cuma tubuh Dina.”
“Heh… ya, memang. Tapi untuk melawanmu, ini sudah lebih dari cukup.”
Saat ucapannya meluncur, tekanan di sekeliling tubuh Dewi mulai meningkat—drastis.
Mana mengalir dari luar bintang ini. Bukan mana biasa. Bukan milik Midgard.
Melainkan—mana yang menyusun alam semesta itu sendiri.
Inilah esensi sihir misterius miliknya. Sumber energi yang tak terbatas. Tak tertandingi.
“Sekarang, bangkitlah. Penguasa langit… petir yang menghancurkan bintang... Ceraunus!”
Langit pun terbelah.
Petir raksasa menghantam dari angkasa—membelah dunia.
Bagi kami yang berada di level ini, sambaran petir seharusnya hal biasa… tapi tidak kali ini. Ini bukanlah petir alami. Tak ada satu pun makhluk hidup yang sanggup menahan arus dengan tegangan sebesar ini. Jika memang ia berkata bisa membakar bintang, aku percaya.
Aku segera mengangkat tangan, membentuk perisai.
Isolator udara untuk memecah hantaran listrik.
Namun itu… hancur seketika.
Perlindungan dari karet, udara, atau teori ilmiah tidak berguna di sini.
Realitas fisik. Hukum sebab-akibat. Logika dan rasionalitas—semua itu tak berlaku di hadapan Alovenus.
Jika dia datang membawa kekuatan mentah yang melampaui batas alam, maka aku hanya bisa membalas dengan cara yang sama.
Aku tingkatkan output perisaiku ke angka yang seharusnya mustahil. Aku lawan petir yang tak masuk akal… dengan kekuatan yang sama gilanya.
Langit bersinar terang.
Bintang-bintang di langit mulai memudar karena cahaya sambaran itu, namun—Midgard masih utuh.
“Sekarang giliranku. Tebas dia—Winter of Swords!”
Kali ini aku yang menyerang.
Berbeda dari versi setengah aktif sebelumnya yang kugunakan melawan Benetnash, ini adalah bentuk sempurna dari Winter of Swords.
Puluhan—ratusan bilah es muncul dan menusuk tanah di bawah kaki Alovenus.
Lalu bilah-bilah itu membubung ke langit, mengepungnya dari segala arah.
Alovenus tersenyum dan melompat tinggi, mencoba meloloskan diri.
Namun aku tak membiarkannya.
Aku ikut melesat ke atas, menebas sangkar es yang ia lewati, dan menghadangnya di udara.
“Kau yang membawa kehancuran… pemilik seribu nama… makhluk tertinggi yang akan melumat segalanya—Mahakala!“
Dari tubuhnya, api menyebar ke segala penjuru.
Aku langsung merasa… ini bukan sekadar panas. Ini adalah aura kematian absolut.
Aku terpaksa mundur.
Dan benar saja—api itu bukanlah panas biasa.
Bilah-bilah es yang sempat kubentuk tadi langsung berubah menjadi arang, lenyap seolah tak pernah ada.
“Kehancuran total, ya?”
“Bukan. Ini adalah kematian instan. Bagi makhluk hidup maupun benda mati.”
Aku mendengus.
“Begitu...”
Tak peduli sekuat apa resistensi yang dimiliki seseorang, serangan ini akan menembusnya.
Sebuah teknik yang luar biasa menakutkan… jika mengenai langsung.
Tapi di luar efek aktualnya, api ini bukan masalah besar. Dibandingkan panas matahari… ini masih bisa dibilang angin sepoi-sepoi.
Aku melayangkan tinju ke depan—dan tekanan angin dari ayunan itu memadamkan api.
Lalu aku menukik lurus ke arah Alovenus—dan menghantam perutnya.
“Aldebaran!”
Tinju itu menghantamnya keras, dan tubuh Dina terlempar ke belakang.
Maaf, Dina. Aku akan menyembuhkanmu nanti.
Tapi untuk saat ini—aku harus membuat Dewi keluar darimu.
Aldebaran—serangan yang meniadakan semua kekuatan.
Jika kupakai ke Pollux waktu itu, dia pasti akan sadar lebih cepat.
Namun sayangnya, Alovenus tidak merasuki Dina melalui skill.
Dia tak mengendalikan Dina seperti boneka.
Dina memang diciptakan sebagai wadah—sebagai avatar. Jadi tidak ada pengaruh sihir di sana. Tak ada efek aktif untuk dihapus.
Dengan wajah mengejek, Alovenus kembali berdiri.
“Tak ada gunanya, tahu.”
Dan dia melanjutkan.
“Kau yang menguasai dunia bawah… nenek moyang para dewa… bangkitlah—Izanami!“
Atas panggilan Alovenus, mana di sekitarnya mulai membentuk wujud—manusia, pria dan wanita berpakaian ala Jepang kuno, memegang berbagai senjata dan senantiasa memancarkan aura yang menekan.
Mereka mengepungku.
Penampilan mereka… memang terlihat mengesankan. Tapi jika ini yang disebut panggilan mitologis dari sang Dewi—maka ini mengecewakan.
Aku bahkan tidak bisa menahan desahan letihku.
“Ini saja? Mereka mau minta dihajar?”
Alovenus seharusnya tahu. Jumlah tak akan berarti jika kualitasnya serendah ini.
Kalau begitu—biar aku hancurkan semuanya sekaligus.
Penjaga gerbang surgawi akan menghapus yang tak layak berada di medan perang ini.
Aku membuka tangan dan mengangkatnya tinggi.
“Timbangan Seleksi—Brachium!”
Cahaya keemasan berputar di sekitarku. Dalam sekejap, gelombang kehancuran menyapu seluruh area.
Mereka yang dipanggil Dewi langsung berubah menjadi debu. Tak satu pun yang tersisa.
Brachium adalah teknik dengan kerusakan tetap. Dan nilai kerusakan yang kumiliki saat ini adalah:
999.999.999.
Hampir satu miliar—cukup untuk menghapus segalanya.
Tersapu dalam serangan itu, bahkan tubuh Dina ikut menerima dampak luar biasa. Wilayah sekitar seakan disapu angin topan, kosong dalam radius ratusan meter.
Namun... semua itu—masih hanya merusak seujung kuku Dewi.
Sebab… kerusakan sebanyak itu hanyalah sepersejuta dari total HP-nya.
Memang tidak pantas bagiku untuk berkata ini, tapi... statistiknya benar-benar tidak masuk akal.
“Mitologi Yunani, lalu India… dan sekarang Jepang. Apa tak malu memakai mitos dari dunia lain seperti itu?”
Alovenus menyeringai, mengangkat bahu.
“Ya, ya. Kalau dipikir-pikir, kau pasti tahu soal itu juga, kan?”
Wajahnya dipenuhi kepuasan seperti anak kecil yang memamerkan mainan barunya.
“Ada begitu banyak cerita dari dunia luar. Begitu imajinatif, penuh warna. Aku sendiri terkejut melihat betapa bebasnya manusia dalam menciptakan sesuatu.”
Tatapan matanya bersinar. Tapi bukan cahaya kesucian—melainkan kegilaan yang dibalut kepolosan.
“Jadi, mitologi mana yang ingin kau lihat berikutnya? Mesir? Tiongkok? Babilonia? Atau Norse? Pilih saja. Bahkan tokoh komik dan novel pun bisa kujadikan nyata, kau tahu?”
“Hebat sekali… Jadi maksudmu, kau bisa memakai semua kekuatan luar biasa yang muncul dari dunia lain? Tinggal tunjuk dan tiru begitu saja?”
“Aku tak bisa bilang semua, tapi... selama manusia bisa membayangkannya, aku bisa memakainya.”
Dan di sanalah aku melihatnya.
Kebohongan besar—dan celah dalam narasinya.
Aku tersenyum tipis.
“Aku mengerti… Kau bisa menggunakan apa yang bisa dibayangkan oleh manusia. Tapi bagaimana dengan hal-hal yang tak bisa mereka bayangkan?”
Raut wajahnya sedikit berubah.
“—Apa maksudmu?”
Aku menatapnya lurus. Ini saatnya mengucapkan pertanyaan yang selama ini tertahan.
“Kalau begitu, kau tak bisa lagi menciptakan kehidupan, bukan?”
Seketika, senyum congkaknya membeku.
Seketika itu pula... aku tahu aku tepat sasaran.
“Itu batas dari meniru. Seperti monyet yang mengulang gerakan. Mudah ditebak di mana kau gagal. Dunia ini... dunia Midgard yang kau ‘ciptakan’—penuh tambalan dari mitos dan cerita luar. Makhluk-makhluk di dalamnya, budaya, bentuk kehidupan... semuanya plagiasi.”
Kata-kataku tajam, menusuk lurus ke inti keberadaan Dewi.
“Tak ada satu pun makhluk yang asli di dunia ini. Semuanya bisa disamakan dengan sesuatu dari dunia luar—dari Bumi.”
Ada binatang mirip anjing, makhluk seperti kucing. Demihuman reptil, monster serangga, manusia-ikan di lautan, dan manusia-burung.
Semuanya bisa dijelaskan dengan satu kata: mirip.
Tapi tak satu pun yang benar-benar baru.
“Dan karena itu, kau tak bisa menciptakan sesuatu yang tidak memiliki referensi. Bukan karena kekuatanmu kurang. Tapi karena imajinasimu terlalu miskin.”
Kebenaran yang menyakitkan.
Midgard... bukanlah dunia yang diciptakan dari kehampaan.
Ia lahir dari tambalan—dari sisa-sisa imajinasi manusia lain.
Dan semua itu... menuntunku pada satu kesimpulan.
“Alovenus, kau bukan dewa pencipta dunia ini.”
Tatapanku menusuk lebih dalam.
“Dunia ini sudah ada—sebelum kau datang. Bukan kau yang menciptakannya. Aku salah?”
Alovenus sempat terdiam. Lalu… ia tertawa.
“Fufu… Hahaha… Hahahahaha!”
Tawanya bergema ke langit.
“Sudah lama… sudah sangat lama sejak terakhir kali seseorang memanggilku manusia…”
Suaranya lirih, seakan mengenang masa lalu yang jauh.
“Sudah berapa lama, ya...? Ratusan juta tahun...? Bahkan aku tak bisa mengingatnya dengan pasti lagi…”
Tapi kemudian, tatapannya berubah tajam.
Dan untuk pertama kalinya—Alovenus menatapku bukan sebagai mainan, bukan sebagai NPC, bukan sebagai karakter figuran dalam ceritanya.
Tapi… sebagai musuh sejajar.
“Pertunjukan berakhir di sini. Kau telah menginjak wilayah yang tak boleh dimasuki. Maka… waktunya sang protagonis menutup tirai cerita.”
Alovenus mengangkat satu lengannya tinggi.
Dalam sekejap, mana yang sebelumnya tersebar di seluruh dunia—termasuk yang telah dikumpulkan oleh Aigokeros—meluncur deras menuju satu titik.
Semuanya berkumpul dan bergabung... ke satu tempat.
—Bahtera itu.
Tepatnya, kepada Sei, pemuda dari dunia lain.
Alovenus bahkan menyerap energi dari tubuh Fire dan Wood Ouroboros, yang seharusnya telah musnah. Ia memakainya sebagai bahan bakar terakhir untuk menciptakan pahlawan cerita.
Orm—yang berada di bawah pengaruhku—nyaris saja ikut terserap. Tapi beruntung, kendaliku cukup kuat untuk menahan efeknya.
Tapi tetap saja, saat ini Sei telah memperoleh lebih dari cukup kekuatan.
Kekuatan untuk menghadapi Dewi. Untuk berdiri setara dengannya.
Alovenus menatapku dan berbicara dengan tenang.
“Sudah waktunya pahlawan turun tangan. Tirai cerita ini akan ditutup oleh tangannya.”
Namun aku hanya mengangguk pelan... dan tersenyum.
"Ya. Tirai memang akan segera diturunkan… oleh tangan sang pahlawan."
Alovenus mengernyit.
Mungkin ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Mungkin dia mulai menyadari bahwa apa yang kumaksud... berbeda dari yang dia harapkan.
Kau masih tidak mengerti, Alovenus.
Pemuda itu—Sei—bukanlah protagonis cerita ini.
Dia tidak pernah menjadi pemeran utama.
Dia adalah seseorang yang, demi membela apa yang menurutnya benar, rela melepaskan peran sebagai protagonis.
Yang akan menjatuhkan tirai cerita ini... bukan pahlawan idealmu.
Melainkan dia yang telah menyaksikan seluruh sandiwara ini dengan mata terbuka—dan memilih untuk berdiri di luar naskah.
Tirai memang akan segera ditutup.
—Tapi bukan sebagai akhir dari dongeng indah.
Melainkan sebagai penutup dari sebuah komedi suram, yang terlalu lama dijalankan oleh tangan seorang penulis naskah gila.
Dan saat layar gelap itu turun menutupi panggung, pertarungan sejati pun akan dimulai.
Pertarungan yang tak bisa ditonton penonton.
Pertarungan yang tak tercantum dalam skenario.
Pertarungan yang tak ada dalam catatan dewa.
—Pertarungan antara aku… dan Alovenus.
Epilog: Catatan Penulis
T: Seperti apa Alovenus saat masih menjadi manusia di Bumi?
J: Dia sudah tidak ada. Saat menjadi dewa, jati dirinya sebagai manusia terhapus total, seolah dia tak pernah dilahirkan.
🎠Orang Malang dari Karya #1 – Aquarius si Penilai Strategi
Aquarius dari Pitcher Air seharusnya menjadi “otak” tim saat Ruphas dan Pollux tidak ada. Ia cerdas, memiliki insting taktis tinggi, kekuatan magis kuat, dan kemampuan area kontrol luar biasa.
Namun… debutnya terlambat. Lawannya langsung Ouroboros. Akibatnya, kekuatan sebenarnya tak pernah terlihat jelas. Absolute Zero—sihir suhu nol mutlak miliknya—bahkan bisa membekukan lava atau melumpuhkan Raja Naga, tapi tetap terasa “biasa” karena skalanya sudah terlalu tinggi.
Dia bukan lemah. Dia kuat. Tapi... lawan pertamanya terlalu absurd.
🎠Orang Malang dari Karya #2 – Pisces si Serba Bisa
Pisces dari Ikan adalah salah satu anggota Dua Belas Bintang dengan kemampuan paling seimbang. Hampir semua status dasarnya melampaui Aries.
Bisa bertarung jarak dekat dan jauh. Bisa mengendalikan musuh, atau memperkuat teman.
Tapi sayangnya, dia juga terlupakan.
Ruphas melewatkannya, dan ia baru muncul menjelang akhir permainan. Lawan pertamanya? Dewa Jahat. Lalu… Ouroboros.
Seperti Aquarius, dia bukan lemah. Tapi panggung pertamanya terlalu kejam.
Aquarius: “Kami juga ingin tampil keren, tahu!”
Pisces: “Betul, betul! Kami juga punya momen!”
Sayangnya, cerita ini sudah menuju bab akhir...
Catatan Terakhir:
Judul bab ini adalah referensi dari jurus Pokémon Mimic, sebuah kemampuan meniru.
Alovenus telah menggunakan kekuatan “meniru” sepanjang kisah ini—namun tak pernah benar-benar mencipta.
Judul bab ini adalah referensi dari jurus Pokémon Mimic, sebuah kemampuan meniru.
Alovenus telah menggunakan kekuatan “meniru” sepanjang kisah ini—namun tak pernah benar-benar mencipta.
No comments:
Post a Comment