Novel Bos Terakhir Chapter 182-2

Chapter Ekstra 182 – Selamat, ??? Telah Berevolusi Menjadi Dewa yang Tidak Berguna!

Itu terjadi di masa lalu—sangat, sangat jauh. Begitu jauh, hingga bahkan dia sendiri tak lagi sanggup mengingatnya dengan jelas.

Ini bukan soal benar atau salah. Bukan pula soal keadilan atau kebencian.

Dia... hanya seseorang yang terlalu kuat.

Dan segalanya dimulai dari situ.

Sejak ia lahir—atau bahkan mungkin sebelum itu—ia telah menyadari bahwa keberadaannya adalah anomali. Bahwa ia telah “terlempar” dari keseimbangan yang seharusnya.

Dunia tempat ia lahir bukan dunia sihir, bukan tempat para pahlawan berjuang, bukan pula panggung pertarungan antar dewa.

Itu adalah dunia biasa. Dunia yang disebut “realitas.”

Dunia yang berjalan tanpa sihir, tanpa keajaiban, tanpa pengharapan.

Orang-orang tak bisa terbang. Tak bisa mengubah nasib. Tak bisa menghindari penuaan atau kematian.

Semua yang disebut sebagai “keajaiban”—hanyalah mimpi yang dituliskan dalam dongeng.

Tapi dia berbeda.

Dia bukan mimpi, tapi wujud nyata dari mimpi itu sendiri.

Ia bisa terbang di angkasa, membakar dunia dengan satu isyarat, membekukan waktu, mengubah usia, bahkan mengatur ulang konsep hidup dan mati. Ia pernah menghancurkan tubuhnya sendiri hingga jadi abu, hanya untuk membentuknya kembali sesaat kemudian. Kematian? Itu hanyalah status efek yang bisa ia hapus sesuka hati.

Ia tak tahu dari mana kekuatan itu berasal. Tak ada alasan. Tak ada sebab.

Dia hanya... lahir seperti ini.

Seperti bintang yang muncul di langit. Seperti api yang menyala dari gesekan. Seperti air yang mengalir dari gunung.

Ia adalah keajaiban. Singularitas.

Kesalahan kosmis yang lahir dari ketidaksengajaan.

Mungkin, kelahirannya lebih mustahil daripada kelahiran semesta itu sendiri.

Tapi dia ada.

Dan keberadaannya adalah bukti bahwa mustahil bisa terjadi.



Saat manusia lahir, mereka mulai berjalan menuju kematian. Hidup mereka dibayangi ketakutan akan akhir.

Bagi dirinya, yang tidak bisa mati, itu adalah hal yang aneh... dan menyedihkan.

Mengapa Tuhan membiarkan itu terjadi? Mengapa Dia tak membantu mereka yang berdoa siang dan malam, yang menggenggam harapan tipis seperti benang?

Mengapa dunia ini begitu kejam, begitu rusak, begitu absurd?

Orang-orang menciptakan senjata demi melindungi diri... tapi juga menggunakannya untuk saling membunuh.

Mereka berbicara tentang perdamaian sambil bersiap perang.

Mereka menciptakan cerita tentang dunia yang hancur karena perang… tapi tetap tak bisa melepaskan senjata.

Bukankah seharusnya Tuhan turun tangan?

Kalau seorang anak bermain dengan benda berbahaya, tidakkah seorang ayah seharusnya mengambilnya?

Tapi Tuhan… hanya diam.

Atau mungkin… Tuhan bahkan tidak ada.

Kalaupun ada… maka Tuhan itu tak berguna.



Dia merasa kasihan.

Dan sekaligus… marah.

Tak terhitung berapa kali dia mengulurkan tangan untuk menolong mereka yang menderita. Ia menyembuhkan yang sakit, menolong yang terluka, menyelamatkan yang nyaris putus asa.

Dia dipanggil penyelamat. Orang suci. Dewi.

Namun akhirnya… semua orang itu mati.

Karena begitulah dunia bekerja.

Dan karena itulah… dia sadar satu hal:

Kalau dunia tidak bisa diselamatkan, maka dunia itu harus dihancurkan.



Perjalanan panjangnya membawanya keluar dari planet itu. Ia terbang—menembus atmosfer, melintasi galaksi, melewati batas-batas semesta.

Dan di ujung segala hal… dia melihatnya.

Sesuatu yang bukan makhluk hidup, tapi terasa hidup.

Sebuah entitas tak bernama, tak berwajah, tak bersuara—namun memiliki kehendak. Dia tahu... itulah Tuhan. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini.

Dan ia menantangnya.

Sang Tuhan menyerang. Dengan supernova. Dengan lubang hitam. Dengan guncangan galaksi dan kehancuran sistem bintang.

Namun—tak satu pun dari itu menyentuhnya.

Dia berdiri di sana… tak terluka. Tak tersentuh.

Dan ia berkata, dengan suara yang lembut namun dingin:

“...Hanya itu yang bisa kau lakukan?”

Itu bukan ejekan. Hanya kejujuran.

Kekecewaan mutlak terhadap sesuatu yang disebut Tuhan—yang bahkan tak bisa menyentuh ujung rambutnya.

“Kau tidak bisa menyelamatkan siapa pun… karena kau bahkan tak sanggup menjangkau mereka.”

Dan kemudian... dia menghapus Tuhan.

Satu sentuhan di “leher” semesta, dan Sang Tuhan pun runtuh.

Alam semesta menjadi kosong. Dan ia tertawa.


“Akhirnya... tak akan ada lagi yang menghalangi. Kini, aku akan menjadi Tuhan.”

Dan begitulah...

Alovenus lahir.

Setelah menumbangkan entitas yang disebut sebagai “Tuhan” dan menghapusnya dari semesta, dia melangkah ke depan… dan mengambil alih segalanya.

Sekarang, hanya dia yang berada di atas segalanya.

Dia adalah pusat.

Dia adalah hukum.

Dia adalah semesta itu sendiri.

“Aku akan menyelamatkan semuanya. Aku tak akan menyerah pada siapa pun. Dunia akan menjadi tempat yang bahagia.”

Dengan kekuatan tanpa batas yang dia miliki, dia menciptakan alam semesta baru—dari pecahan tubuh dan jiwa Tuhan lama yang telah ia enyahkan.

Dari situ, dia membentuk dunia. Planet-planet. Bintang-bintang. Hukum fisika baru. Dimensi. Ruang.

Dan satu demi satu, dia mengundang orang-orang ke sana.

Manusia—dengan mimpi dan fantasi yang begitu banyak tertolak oleh realitas dunia sebelumnya.

Dunia ini tidak seperti dunia yang dulu dia tinggalkan.

Di sini, semua orang bisa terbang di langit. Bisa menggunakan sihir. Bisa memiliki kekuatan supernatural yang hanya ada dalam dongeng masa lalu.

Jika mereka tidak ingin mati, mereka bisa hidup seribu tahun. Sepuluh ribu tahun. Kekekalan adalah hak, bukan kutukan.

Jika mereka meninggal, jiwa mereka tak akan lenyap. Ada tempat untuk mereka di akhirat—di surga bernama Valhalla.

"Aku akan menghapus rasa sakit. Aku akan menghapus kebencian."

Ia menyegel perasaan benci, duka, dan kekerasan ke tempat yang tak bisa disentuh.

Ia menutup semua jalan menuju tragedi. Ia menghapus konsep kematian dari sistem dasar dunia.

Dunia yang ia bangun menjadi seperti surga.

Semuanya indah. Tak ada penderitaan. Tak ada perpisahan. Tak ada air mata.

Sebuah dunia impian, tempat semua keinginan bisa terkabul.

Dan untuk waktu yang sangat lama… dunia itu berjalan dengan damai.

Tidak ada perang. Tidak ada konflik. Tidak ada batasan umur.

Utopia sejati.

Tapi—perlahan, sesuatu mulai berubah.

Dia, yang telah menciptakan semuanya, mulai melupakan satu hal penting:

Kenapa ia menciptakan dunia ini sejak awal.



Waktu berjalan terus. Ratusan, ribuan, jutaan tahun berlalu.

Dan selama itu, dia terus berjalan sendirian. Terus menyempurnakan dunia. Terus menambahkan hal-hal baru berdasarkan keinginan “manusia”.

Namun dia tidak lagi bertanya apa yang benar-benar diinginkan oleh manusia.

Yang tersisa hanyalah niat baik yang kehilangan arah.

Niat itu terus melaju tanpa rem. Terus menari sendirian, semakin jauh dari tujuan semula.

Dan tanpa sadar, dunia impian itu mulai membusuk dari dalam.

Seperti makanan lezat yang dibiarkan terlalu lama dalam wadah tertutup.



Satu per satu, kebahagiaan buatan mulai kehilangan maknanya.

Manusia tak lagi berkembang. Tak ada tantangan. Tak ada makna dalam pencapaian. Semua bisa mereka peroleh dengan mudah.

Dengan kekuatan, umur panjang, dan dunia tanpa konflik… mereka perlahan kehilangan tujuan hidup mereka sendiri.

Tapi dia tidak melihatnya.

Atau lebih tepatnya—dia tak bisa melihatnya.

Karena dia terlalu kuat.

Karena dia sudah lama melampaui batas nalar.

Dan karena tak ada lagi yang berani mengatakan kebenaran padanya.



Akhirnya, dunia itu pun mulai retak. Bukan karena perang atau bencana.

Tapi karena kebusukan yang tak kasatmata.

Dan ketika salah satu penghuni dunia itu—seorang nenek moyang dari Ruphas—mencicipi buah terlarang dan mengenali kembali konsep konflik dan kehendak bebas… retakan itu melebar.

“Tapi pada akhirnya… semua pasti akan runtuh. Bahkan jika tidak ada yang melanggar aturan. Karena pada dasarnya… dia adalah dewi yang tidak berguna.”

Dia memiliki kekuatan.

Dia memiliki kasih.

Dia memiliki cita-cita.

Namun... dia tidak pernah bisa menggunakan itu dengan bijak.

Karena dia terlalu bodoh.



Kalau saja… ada seseorang di sisinya.

Seseorang yang tidak takut menegur dan menahannya ketika ia salah langkah.

Seseorang yang bisa menyadarkannya sebelum terlambat.

Kalau saja... ada seseorang seperti itu...


Maka mungkin… dunia impiannya bisa bertahan selamanya.

Dia memiliki kemampuan untuk menjaga dunia itu tetap utuh.

Hanya saja… dia tak bisa memanfaatkannya.

Karena, dari semua dewa yang pernah ada...

Dialah satu-satunya—yang paling tidak berguna.


✒️ Catatan Penulis

Selamat malam, semuanya. Karena saat itu bertepatan dengan libur Golden Week (29 April – 6 Mei), aku memutuskan untuk merilis bab tambahan di luar jadwal reguler.

Kisah kali ini berisi latar belakang sosok penting (bisa dibilang “sosok asli”) yang sebenarnya tidak punya kaitan langsung dengan plot utama.

Ini semacam pengantar sebelum bab-bab terakhir.

Dan tentu saja, seperti biasa… kita akhiri dengan sedikit guyonan.

🌠 ~ Dulu ~

Dewa Pencipta Asli:

“Ini benar-benar… bug terbesar yang pernah ada.”

???:

“Aku tidak suka padamu, jadi aku datang untuk menghajarmu!” (゜∀゜)

🌠 ~ Sekarang ~

Alovenus:

“Ini benar-benar… bug terbesar yang pernah ada.”

Ruphas:

“Aku tidak suka padamu, jadi aku datang untuk menghajarmu!” (゜Д゜)
💬 Catatan Tambahan

Demi keadilan, patut diakui bahwa Alovenus memang sempat menciptakan utopia sempurna:

Tak ada perang.

Tak ada konflik.

Usia hidup tak terbatas.

Semua keinginan bisa menjadi kenyataan.

...setidaknya selama 10.000 tahun, sampai leluhur Ruphas tanpa sengaja menyantap buah terlarang.

Tapi... meski tak ada yang melanggar, pada akhirnya dunia tetap akan hancur juga.

Kenapa?

Karena pada akhirnya... Alovenus adalah dewi yang terlalu idiot untuk menjalankan dunia dengan benar.

Dia memang memiliki kekuatan.

Dia memang memiliki niat baik.

Tapi tanpa arahan dan bimbingan, semua itu hanya menjadi benih bencana.

Jika saja ada seseorang yang bisa mendampinginya…
Jika saja ada seseorang yang bisa menunjukkan kesalahannya…
Mungkin, hanya mungkin—dunia itu bisa bertahan.

Dia memiliki kemampuan untuk menjaga dunia tetap damai.


Tapi karena terlalu bodoh... dia justru menghancurkannya sendiri.

No comments:

Post a Comment