Novel Bos Terakhir Chapter 133

Bab 133: Ruphas Gunakan Mega Punch

“Terima kasih banyak, Putri Peri-sama. Dengan pedang suci yang Anda berikan, aku pasti akan mengalahkan Raja Iblis dan membawa perdamaian ke dunia.”

“…Ya… kalau itu kamu, pasti bisa. Tolong, berhati-hatilah di perjalanan.”

Kalimat-kalimat itu—yang terdengar tulus dan penuh harapan—telah diucapkan berulang kali selama ribuan tahun.

Dan setiap kali, Pollux hanya bisa menunduk.

Senyumnya lembut, tapi matanya redup.

Ia tahu kebenaran: bahwa tak satu pun dari para pahlawan itu akan kembali.

Yang ia kirim… bukan harapan. Tapi tiket sekali jalan menuju kematian.

Kelemahan Raja Iblis?

Jangan konyol. Tidak ada hal semacam itu.

Raja Iblis bukanlah makhluk biasa. Ia bukan iblis, bukan manusia—tapi pilar penyeimbang dunia, diciptakan oleh Dewi sendiri.

Bahkan lebih buruk—ia adalah “aktor utama” dalam skenario Dewi. Sama seperti Pollux.

Dia dan Raja Iblis… dua sisi dari koin yang sama. Sekutu dan musuh, terang dan gelap, harapan dan keputusasaan—semua peran itu hanya ilusi. Semuanya adalah bidak dalam drama yang sama.

“Bodoh…”
“Kenapa mereka tidak pernah bertanya…?”

Kenapa tidak satu pun dari mereka curiga?

Kenapa tak seorang pun meragukannya?

Semua berjalan terlalu sempurna: monster lemah muncul tepat di dekat kota pemula, senjata legendaris tersedia dalam jangkauan, dan di antara mereka, selalu saja muncul “Putri Peri” misterius yang tahu kelemahan musuh.

Jika dipikir sejenak, bukankah semuanya mencurigakan?

Tapi tidak. Mereka percaya.

Dengan mata jujur itu.

Dengan senyum penuh rasa terima kasih.

Dan itu—lebih menyakitkan dari kematian mereka sendiri.

Pollux telah mengantar begitu banyak pahlawan menuju kematian.

Satu per satu.

Sambil tersenyum, ia menyerahkan senjata. Memberi petunjuk. Memimpin mereka menuju ujian yang akan “menguatkan” mereka.

Padahal ia tahu ujungnya. Ia tahu siapa yang akan hidup dan siapa yang tidak.

Dan setiap kali, ia menyaksikan harapan mereka runtuh di depan matanya.

Pernah ada pemuda yang berkata ia mencintai dunia… lalu mati tanpa sempat melihat dunia damai.

Pernah ada pendekar pedang yang berjuang demi wanita yang ia cintai… namun ketika perdamaian datang, keduanya telah tiada.

Pernah ada pria ceria yang ingin menunjukkan dunia damai kepada anaknya… tapi mati sebelum sempat menimangnya.

Pernah ada prajurit wanita yang tersenyum lembut, lalu berangkat menuju kematian demi masa depan orang-orang yang ia sayangi… dan kini, bahkan tulangnya pun tak tersisa di dunia ini.

Mereka semua… dipimpin oleh Pollux. Menuju akhir yang sudah ditentukan.

Dan dunia menyebutnya “kemenangan.”

“...Aku tak sanggup lagi...”

Senyumnya hancur. Ia berlutut. Tangannya menutupi wajah, namun tak sanggup menyembunyikan airmata yang mengalir deras.

Setiap pahlawan yang ia kirim selalu tulus. Mereka percaya bahwa dunia bisa diselamatkan.

Dan dia—pengkhianat yang menyamar sebagai pembimbing. Malaikat maut dalam balutan cahaya.

Berapa banyak yang harus kubunuh?

Berapa kali harus kulakukan ini?

Berapa banyak darah yang harus kucucurkan dengan tangan sendiri, sambil tersenyum seolah aku menyelamatkan mereka?

Pollux meraih pedang pendeknya.

Dan mengarahkannya ke tenggorokannya sendiri.

Sudah cukup.

Tak ada alasan untuk bertahan.

Lebih baik dirinya menghilang, daripada menjadi bidak yang membimbing jiwa-jiwa pemberani itu ke jurang.

Namun, sebelum pedang itu menembus kulit...

“—Hentikan, Pollux!”

Suara itu datang dari kakaknya, Castor.

Dengan tangan gemetar, Castor meraih tangan adiknya. Menahannya. Memeluknya erat.

Seolah jika ia melepaskan, Pollux akan menghilang seperti debu.

“…Tolong lepaskan, kakak.”

“Tidak akan.”

Castor memeluknya lebih erat.

Pollux merasa tubuhnya tak punya kekuatan lagi. Seolah ia bisa menghilang kapan saja.

Castor tak berkata apa-apa lagi—tapi dalam diam, ia memaki Dewi.

Kenapa?
Kenapa adiknya harus menanggung semua ini?

Pollux terlalu baik untuk memerankan malaikat maut.

Dia hanya ingin membantu. Hanya ingin melindungi.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kalau bisa, Castor ingin menukar tempat.

Ingin menjadi orang yang dibenci. Yang dikutuk. Yang mengarahkan senjata.

Tapi tidak bisa. Karena dalam setiap generasi, para pahlawan… selalu mencari Putri Peri.

Mereka mendengar tentangnya—dengan atau tanpa bantuan Dewi.

Mereka datang.

Dan Pollux, yang terlalu baik untuk menolak, selalu menjawab.

Dia tahu, jika dia tidak membantu, pahlawan akan mati sia-sia. Tapi jika dia membantu… mereka tetap mati.

Tak ada jalan keluar.

Bekas luka mental yang ditanggung Pollux… sudah terlalu dalam. Ia terus membuka luka yang belum sembuh, terus terjebak dalam siklus rasa bersalah.

Dia tidak bisa melupakan. Tidak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja.

Dan sekarang, akhirnya… dia hampir hancur.

Itulah mengapa, pada masa lalu… Castor pernah berdoa:

“Tolong… seseorang… siapa saja… hancurkan naskah Dewi ini.”

Tapi… bertahun-tahun kemudian, ia akan menyesali doa itu sepenuh hatinya.

Medan perang gemetar.

Satu demi satu, para pahlawan palsu yang dikendalikan Dewi mulai mundur. Tidak karena mereka takut. Tapi karena pemimpin mereka, Pollux, terdiam.

Dan di seberangnya, Ruphas Mafahl perlahan melangkah maju.

Di belakangnya, langit bergolak. Sayap hitam terbentang megah. Tatapannya tajam, tak tergoyahkan.

Tubuhnya penuh luka. Nafasnya berat.

Namun setiap langkahnya—penuh keyakinan.

Alioth, Phecda, Dubhe, dan Mizar mencoba menghadangnya. Bukan karena kehendak mereka sendiri, tapi karena benang Dewi menarik mereka seperti boneka.

“Maaf… tapi kalian sudah bukan diri kalian lagi,” ucap Ruphas lirih.

Tangannya terangkat.

Dalam sekejap, tanah bergetar hebat.

[Skill: Heaven-Shaking Strike – Mega Punch]

Tinju hitam pekat—menabrak bumi seperti meteor.

GUGGGGHHH!!!

Satu tebasan. Satu hentakan.

Dan dunia pun retak.

Gelombang kejut dari pukulan itu menghancurkan ruang di depannya.

Sebuah kawah terbuka. Batu mencair. Udara bergolak.

Tubuh para Argonautai terpental jauh—Alioth, Phecda, Dubhe, Mizar—semuanya dikirim ke udara seperti boneka rusak, lalu menghilang ke cakrawala.

Bukan dihancurkan, tapi dipukul keluar dari panggung.

“…Mereka bukan lagi musuh yang bisa kita lawan sekarang.”
Ruphas menunduk, pelan-pelan. Nafasnya tersendat.

Benetnash muncul di sisinya, bersandar sedikit.

“Kau terlalu lembut. Kau bisa saja menghabisi mereka.”

“…Aku tahu.”

“Tapi kau tak melakukannya.”

“Aku masih punya hati, Benet.”

Benetnash mencibir.

“Tsk. Kalau kau jatuh karena kelembutan itu, aku yang akan menebasmu, Ruphas.”

“Kalau aku jatuh, kau tak akan sempat.”

Langkah-langkah kecil terdengar di kejauhan.

Luna, si gadis iblis kecil, memeluk tubuh Terra yang tergeletak di tanah, lalu dengan susah payah menariknya ke sisi Ruphas.

Mata Luna bergetar.

“…Tolong selamatkan dia…”

Ruphas menatapnya.

Dan mengangguk.

“Serahkan padaku.”

Ia menjentikkan jari. Sihir penyembuhan berderak lembut, melingkupi tubuh Terra.

Dan di tengah kawah, masih berdiri satu sosok.

Pollux.

Gaun putihnya compang-camping. Tubuhnya gemetar.

Namun dia berdiri. Menatap Ruphas lurus.

“Kenapa…?”

Suaranya nyaris tak terdengar.

“…Kenapa kamu datang padaku… setelah semua yang kulakukan…?”

Ruphas menatapnya lama.

Lalu menjawab:

“Karena kamu masih hidup.”

Pollux tertegun.

Ruphas melangkah maju, hingga mereka hanya berjarak satu lengan.

“Karena kamu masih bisa diselamatkan. Dan karena seseorang—Castor—menunggumu kembali.”

“…Tapi aku… aku telah…”

“Sudah cukup.”

Suaranya tegas, tapi lembut.

“Kalau kamu tak sanggup berdiri, maka bersandarlah padaku. Kalau kamu kehilangan arah, maka lihatlah padaku.”

“…”

Ruphas mengulurkan tangan.

“Pollux.”

“Jadilah bawahanku.”

“…Hah?”

“Sama seperti para Bintang Surgawi. Seperti Dina. Seperti Benetnash. Seperti Castor. Bergabunglah denganku.”

“Aku… aku bukan siapa-siapa…”

“Kau cukup menjadi dirimu sendiri.”

Pollux mulai menangis.

Air mata membasahi pipinya. Tapi kali ini… bukan karena rasa bersalah.

Tapi karena untuk pertama kalinya, seseorang datang menghampirinya tanpa beban. Tanpa tuntutan. Tanpa penghakiman.

“…Aku boleh… memilih…?”

Ruphas mengangguk.

Pollux menatap tangan itu—tangan yang mengalahkan Raja Iblis, para pahlawan, bahkan menampar Dewi itu sendiri.

Dan untuk pertama kalinya, dia meraih tangan seseorang karena keinginannya sendiri.

Tangisnya pecah. Tapi dia tersenyum.

Di langit… benang yang mengikat Pollux… hancur.

Dewi tak bisa lagi menjamah hatinya.

Karena hatinya kini… penuh oleh tekad yang ia pilih sendiri.


✦ Catatan Penulis

Pollux… adalah karakter yang sangat menyedihkan.

Seseorang yang hanya ingin membantu… tapi dipaksa menjadi pelayan kematian.

Ia bukan lemah. Tapi terlalu kuat menanggung segalanya sendiri.

Dan akhirnya, setelah 2000 tahun… seseorang menjemputnya pulang.

Bab ini adalah tentang pengampunan.
Tentang harapan.
Tentang mematahkan naskah Dewi.

Dan tentu saja…

Tentang Mega Punch.

No comments:

Post a Comment