Novel Bos Terakhir Chapter 132

Bab 132 – Raja Naga Menggunakan Flamethrower

"Leon... kenapa kau di sini?"

Aries terbaring di tanah, terengah-engah, menatap penyelamatnya—sosok yang tak pernah ia sangka akan datang. Leon dan Aries tidak pernah akur. Bahkan, bisa dibilang hubungan mereka adalah yang terburuk di antara para Bintang. Aries tidak pernah membenci Leon. Tapi Leon selalu memandangnya rendah, seolah-olah Aries hanyalah gorengan kecil yang tak layak masuk meja utama. Jika Aries diserang atau nyaris terbunuh… Leon tak akan peduli. Mungkin dia hanya akan berkata, “Akhir yang pantas untuk goreng kecil,” lalu berlalu. Dia adalah sosok yang menilai segalanya dari satu ukuran: kekuatan. Dan bagi Leon, hanya itu yang penting. Jadi... kenapa sekarang dia di sini?

“Aku mencium bau yang familiar... dan ternyata kalian mengadakan pesta mewah di sini. Sayang sekali. Perjamuan seperti ini terlalu berharga untuk kalian. Biar aku yang menikmati sisanya.”

Mulut Leon menyeringai buas. Wajahnya, meski masih tampak manusia, mulai berubah... menjadi lebih menyerupai binatang buas. Crack… crack… Otot-otot di tubuhnya menggembung, mengoyak pakaian yang ia kenakan. Urat-urat timbul di seluruh tubuh. Udara di sekitarnya bergelombang, seperti fatamorgana di padang pasir. Hawa panas menyebar dari tubuhnya hanya karena dia berdiri.

"Diam dan tetap di sana. Tonton baik-baik... aku akan tunjukkan padamu, apa itu kekuatan sejati."

Dan dalam sekejap, Leon menghilang.

Tiba-tiba, satu pukulan mendarat di salah satu roh heroik yang tengah bertarung dengan anggota Dua Belas Bintang lainnya. Boom! Pahlawan itu, lengkap dengan zirah dan kebanggaan, langsung terpental. Tubuhnya hancur, anggota tubuhnya terpelintir ke arah yang tidak seharusnya. Tanah di bawah mereka runtuh akibat dampaknya.

Satu pukulan.

Lalu, Leon menerjang ke kumpulan roh heroik lainnya. Sekali sapu, puluhan dari mereka terlempar seperti boneka kain.

Tentu, para pahlawan itu tak tinggal diam. Mereka mengangkat pedang mereka dan menyerang balik dari segala arah. Tapi Leon… hanya memasukkan tangannya ke dalam saku dan menerima semua serangan itu langsung.

Dan tidak terluka sedikit pun.

Pedang mereka... hancur. Kulitnya bahkan tak tergores.

Satu tendangan dari Leon menghancurkan belasan dari mereka. Ia bergerak perlahan, seolah malas. Tapi setiap langkahnya menabur kematian.

Melihatnya, para roh heroik mencoba sihir. Sihir elemen, sihir misterius, dari segala arah, segala atribut. Langit menyala. Dari luar angkasa, ledakan itu tampak seperti perang bintang.

Tapi dari tengah badai itu, Leon melangkah keluar. Tidak terluka. Tidak tergores. Tidak gentar.

"Cih. Bahkan tidak cukup sebagai hidangan pembuka."

Dia meraih kepala seorang penyihir di barisan depan dan menggunakannya… sebagai senjata.

Dengan gerakan brutal, ia mengayunkan tubuh penyihir itu untuk menghantam yang lain. Setiap ayunan… mengoyak. Darah menyembur, daging mencabik. Saat akhirnya tubuh penyihir itu dibuang, tak lagi tersisa bentuk manusia.

Yang paling malang? Seorang bocah laki-laki—penyihir muda—di barisan paling belakang. Ia melihat semuanya, tak bisa lari, hanya bisa gemetar.

“Eeek…!”

Namun, Leon sudah di depannya. Sebelum ia sempat menjerit lagi, satu pukulan menghantam kepala bocah itu. Dan yang tersisa hanyalah tubuh tanpa kepala, darah memancar liar.

Melihat semua ini, bahkan Ruphas dalam hati bertanya:

“…Sebenarnya, siapa musuh di sini?”

"RUOOOOOHHHHH!!"

Raungan Leon mengguncang medan. Roh-roh heroik yang tersisa terpental seperti daun tersapu badai. Tapi ini bukan sekadar teriakan. Raungan itu adalah gelombang kekuatan murni, yang mencabik udara, merobek tanah, dan menghancurkan barisan musuh.

Leon menghilang lagi.

Bahkan rekan-rekannya dari Dua Belas Bintang tak bisa mengikuti kecepatannya.

Dampak dan hantaman terus menggema. Dimana-mana, para pahlawan jatuh.

Dia tidak pakai sihir. Tidak pakai teknik.

Hanya… kekuatan mentah.

Tinju telanjang. Tendangan brutal. Tak ada gaya. Tak ada teknik bela diri elegan.

Tapi setiap serangan… berujung kematian.

Inilah kekerasan paling murni.

Alasan mengapa Leon diakui sebagai yang terkuat bahkan di antara Dua Belas Bintang.

Baginya, skill dan kemampuan khusus hanyalah gimmick untuk orang lemah.

Selama kau punya kekuatan, kau tak butuh apa pun lagi.

Dan karena itu… ia terus menekan. Terus membunuh.

Di belakangnya, gunung mayat semakin tinggi.

Yang tersisa dari pasukan Argonautai hanyalah kekacauan. Mereka tidak mampu menyatukan strategi, tak mampu membalas. Mereka bukan pasukan terkoordinasi, hanya kumpulan individu yang bertarung sendiri-sendiri—dan karena itu, satu per satu, mereka semua dihancurkan. Ketika Leon akhirnya muncul kembali dari tengah pembantaian, medan perang sudah basah oleh darah. Dan dia masih belum puas.

“Tidak cukup, masih kurang… Perjamuan tanpa hidangan utama tak akan mengenyangkan.”

Matanya menatap tajam ke satu titik—ke arah Raja Naga Ladon.

Sepuluh kepala naga itu serempak membalas pandangan Leon. Mereka seakan mengakui kekuatan di hadapan mereka, dan untuk pertama kalinya, kedua raja sejati bertemu: Ladon, sang penguasa naga, dan Leon, sang penguasa binatang buas. Di masa lalu, sebelum Ruphas muncul, merekalah dua makhluk terkuat di dunia. Mereka berdiri di puncak, masing-masing mewakili kekuatan dan kekejaman. Sekarang, mereka berdiri berhadapan untuk pertama kalinya.

Keduanya… sangat mirip. Keduanya adalah tiran. Keduanya menguasai dunia dengan kekuatan dan teror.

Tubuh Leon mulai membesar. Pakaian yang ia kenakan terkoyak dan hangus oleh panas tubuhnya. Rambut tumbuh di seluruh tubuh, menciptakan wujud sejatinya—seekor singa raksasa setinggi 160 meter. Di seberangnya, Raja Naga Ladon berdiri, tinggi dan menjulang dengan sepuluh kepala yang bergerak liar.

Kedua monster itu mengaum serempak. Getaran suaranya mengguncang tanah dan langit. Pollux, yang masih berada di atas punggung Ladon, langsung melompat turun. Ia tahu, jika tetap berada di sana, dia akan tersapu dalam pertarungan antar monster ini.

Di kota Laegjarn, situasinya berubah menjadi kekacauan total.

Tak ada yang bisa menyalahkan mereka. Tiba-tiba, langit pecah, para pahlawan legenda terbang tak berdaya seperti boneka, dan kini… seekor singa raksasa dan naga sepuluh kepala saling menatap, siap bertarung.

Alfie terduduk, gemetar, matanya kosong. Friedrich mulai menggali tanah, mungkin berusaha membuat liang kuburnya sendiri. Cruz berteriak seperti nabi kiamat, menyatakan bahwa ini adalah akhir dunia. Sarjes malah terlihat tercerahkan, bergumam soal semesta dan kehidupan seperti biksu mabuk. Jean, karena alasan yang tidak jelas, berteriak, “Aku juga akan bertarung!” lalu bersiap keluar, meski jelas dia hanya akan jadi debu. Hanya Gants yang tetap tenang. Karena pemilik penginapan sudah pingsan, dia membuatkan kopi sendiri… yang rasanya seperti lumpur. Ia menyesapnya dan mengerutkan dahi, mengeluh bahwa rasanya menjijikkan.

“U-um… kamu benar-benar tenang, ya…” Sei menerima secangkir kopi dari Gants, duduk di meja dengan Virgo yang kaku karena pahitnya rasa.

“Maksudku, buat apa panik? Pertarungan mereka ada di ranah yang tak bisa kita pahami. Mau menangis atau berteriak, itu tidak akan mengubah hasilnya. Kalau begitu, lebih baik duduk dan minum kopi.”

“Tapi… apa nggak sebaiknya kamu menenangkan orang-orang?”

“Percuma. Satu kota sudah dalam mode histeria. Kalau kita coba bicara, mereka tak akan dengar. Malah bisa-bisa kita jadi pelampiasan. Lagipula, itu tanggung jawab para bangsawan.”

“Yah… kalau tentang bangsawan… Ruphas-san sudah melumat mereka, sih.”

“…Oh iya. Aku lupa soal itu.”

Gants menatap keluar jendela. Di sana, warga kota sudah kacau total. Teriakan tak jelas terdengar dari segala arah. Ia bertanya-tanya dalam hati, kenapa orang kehilangan kendali begitu dalam situasi genting seperti ini. Lalu ia juga bingung, kenapa dari semua orang… Cruz—anggota resmi kelompok pahlawan—malah termasuk yang paling panik. Di sisi lain, lubang yang digali Friedrich menyentuh mata air panas dan meledakkan dirinya kembali ke permukaan dengan air yang menyembur tinggi.

“RUOOOOOOOO!!”

“JYAAAAOOOOOOOO!!”

Dua monster raksasa itu melontarkan raungan pertempuran terakhir mereka dan saling menghantam. Tak ada trik. Tak ada siasat. Hanya satu hal: duel kekuatan mentah. Gelombang kejut dari benturan mereka mengguncang penghalang pelindung Laegjarn. Tanah di luar kota disapu bersih, berubah menjadi gurun tandus. Tapi mereka tak peduli. Mereka terus bertarung, terus saling menekan.

Ladon menggigit tubuh Leon. Sepuluh kepala menyerbu bersamaan, mencabik-cabik daging singa raksasa itu. Tapi Leon tak tinggal diam. Ia membalas, menggigit tubuh Ladon dan meremukkan sisik naga itu—yang dikatakan sebagai benda terkeras di dunia. Daging tercabik, darah menyembur, namun tak satu pun dari mereka melambat.

Luna yang menyaksikan itu menutup mulutnya, nyaris muntah. “Mereka… saling memakan… meskipun tubuh mereka sendiri terkoyak… mereka malah terus menggigit balik… ini sudah bukan… makhluk waras…”

Gerakan Leon tak melambat meski tubuhnya luka parah. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan meraung ke wajah Ladon dari jarak dekat. Suara itu bukan sekadar raungan—melainkan gelombang mana padat yang menyapu seisi medan. Tanah menguap, sebuah pulau kecil yang berada di jalurnya lenyap dalam ledakan kubah raksasa. Namun Ladon masih hidup. Bahkan… membalas.

Sepuluh kepala membuka mulut bersamaan. Dari tiap mulut, semburan api neraka dilepaskan tanpa henti. Api yang cukup untuk menguapkan satu kota hanya dengan satu ledakan. Dan Ladon menembakkannya seperti senapan mesin. Pilar-pilar api menghantam tanah satu per satu, ledakan demi ledakan menyapu daratan.

Luna, yang berada di dekat zona ledakan, langsung merangkul Terra dan memeluknya erat. Ia tahu dia tak akan selamat… tapi setidaknya, dia bisa melindungi satu orang. Dia bersiap mati. Tapi… panas yang ia tunggu tak pernah datang. Ia membuka matanya perlahan.

Dan melihat sosok Ruphas berdiri di hadapannya.

Satu tangan terulur, menciptakan penghalang. Di baliknya, api mengamuk, mengalir deras seperti sungai merah. Tapi di tempat mereka berdiri, semuanya tenang. Seolah berada dalam vas kaca yang melayang di tengah badai.

“Jangan julurkan tanganmu sembarangan. Kalau tersentuh gelombang kejutnya saja, kau akan jadi abu.”

Luna sadar—ia telah diselamatkan. Namun, ia bertanya dalam hati: bagaimana dengan anak buah Ruphas yang lain? Apakah mereka tidak terluka?

Tapi ketika ia melihat ke arah lain… ia terdiam.

Dua Belas Bintang berdiri tenang. Tak satu pun yang goyah.

Gelombang kejut? Hanya hembusan angin bagi mereka.

Bahkan Benetnash… duduk di atas batu besar yang sudah meleleh jadi magma. Duduk. Santai.

Tentu saja, ini Putri Vampir yang pernah menggali dan berenang melewati mantel planet. Panas seperti ini? Hanya membuatnya merasa, “Hmm, hari ini agak hangat.”

Luna hanya bisa menatap… dan menyadari sesuatu.

Apa yang mereka saksikan… bukan pertarungan antar makhluk.

Tapi perjamuan para monster sejati. Dan mereka… hanyalah penonton biasa.

No comments:

Post a Comment