Novel Bos Terakhir Chapter 159

 Bab 159 — X-Gate Online Gunakan Ledakan!

Desa elf... selamat. Dengan pasti, tempat itu telah diselamatkan.

Ruphas membagikan eliksir yang ia bawa, menyembuhkan orang-orang yang sekarat. Termasuk sang ayah dari Dina—yang kini berangsur pulih, kembali bernapas dengan dada yang tak lagi nyeri.

Kalajengking raksasa yang sebelumnya mengancam desa itu, kini berubah menjadi bentuk humanoid dan… menempel pada lengan Ruphas, seolah menjadi peliharaannya.

Dina hanya bisa menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk.

Bagaimana mungkin makhluk itu bisa begitu mudah menempel pada orang yang baru saja menghajarnya setengah mati?

Tapi… ya, makhluk itu adalah beast magis, bukan manusia. Mungkin, alih-alih benci, ia justru tertarik pada kekuatan besar yang tak mampu ia lawan.

Namun, Dina tak punya ruang dalam pikirannya untuk memikirkan soal itu.

Ia tengah tenggelam dalam krisis eksistensial yang nyaris menggerogoti akalnya.

Selama ini, ia percaya bahwa ia adalah Dewi. Bahwa ia adalah bagian dari sang pencipta itu sendiri. Bahwa identitas dan kehendaknya adalah satu dengan Dewi.

Tapi kenyataan hari ini mengguncang segalanya.

Ia selalu menganggap Ruphas sebagai faktor risiko… tapi nyatanya, hari ini, dialah yang menyelamatkan ayahnya.

Sementara Dewi—yang katanya bagian dari dirinya—mencoba membunuh ayah kandungnya sendiri.

Jelas, jalan mereka kini telah berpisah. Keputusan mereka bertolak belakang. Hati mereka tidak sama.

Itu artinya... Dina bukanlah Dewi.

Ia hanyalah boneka. Cangkang kosong yang mewarisi ingatan dan ego dari entitas agung, tapi tetap saja—hanya boneka.

Dan mungkin, sejak saat ia menghalangi kematian ayahnya, jalan yang ia tempuh telah menyimpang sepenuhnya dari jalan sang Dewi.

Tapi kalau begitu… siapa dirinya sebenarnya?

Saat Dina masih terpaku dalam renungannya, suara lirih sang ayah menyentuh telinganya.

“Ahh, Dina... Kau masih selamat… bagus… bagus…”

Sesuatu yang hangat mengalir dari matanya.

Ia telah membuang keluarganya. Telah menolak ibunya, meninggalkan ayahnya, dan melupakan desa ini seolah tak berarti.

Begitu yakin bahwa dirinya adalah Dewi, hingga menganggap orang-orang ini tak lebih dari debu. Bahkan, kematian ibunya baru ia ketahui hari ini.

Tapi... pria itu tetap sama. Masih mencintainya tanpa syarat. Masih menyayanginya. Masih memanggil namanya... seperti dulu.

Bukan Alovenus. Tapi Dina.

Dina.

Dina yang kecil. Dina yang nakal. Dina yang dulu ia panggil saat pulang membawa luka kecil di lututnya.

Saat ini... ia mengerti.

Bahwa ia bukan Alovenus.

Meskipun membawa roh dan ingatan sang Dewi, ia tetap bukan dia.

Ia… adalah Dina.

Gadis muda yang dulu disambut dunia dengan senyum hangat, yang kini berdiri menangis di sisi ayahnya.

Bukan lagi avatar Dewi.

Hari itu, ia akhirnya menjadi manusia.

Beberapa tahun kemudian—

Sosok bersayap hitam yang menguasai dunia kini terlihat duduk di atas takhta, ditemani seorang penasihat yang mengikuti seperti bayangan: wanita bernama Dina.

Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa “Dina” itu adalah Ophiuchus—Bintang Ketigabelas dari Tiga Belas Langit.

Tyrannical Thirteenth Heavenly Star, Ophiuchus.

Itulah gelar yang disematkan padanya. Ia menghapus eksistensinya dari benak semua orang, menyembunyikan kehadirannya begitu sempurna hingga bahkan sesama sekutu tak menyadarinya. Ia menipiskan eksistensinya, mengaburkan persepsi siapa pun yang mencoba mengingat, membuat dirinya seolah tak pernah ada.

Dari seluruh Twelve Star, hanya tiga yang mengetahui keberadaannya: Taurus, Parthenos, dan Aquarius. Tapi bahkan mereka pun tak tahu bahwa nama aslinya adalah Dina. Tak tahu wajahnya. Tak tahu peran sesungguhnya dari ‘bintang tersembunyi’ yang berjalan di sisi Ruphas.

“...Kelihatannya, ini benar-benar skakmat. Kita terlambat menyadarinya.”

“Belum tentu. Jika itu kau, segalanya masih bisa dibalik dari awal.”

Keduanya berbicara dengan tenang—di tengah situasi yang nyaris putus asa.

Dewi telah memanipulasi Alioth dan lainnya dengan memperkuat rasa iri dan tidak aman dalam hati mereka terhadap Ruphas. Akibatnya, lebih dari setengah pasukan yang dahulu setia kini telah berbalik arah.

Sisanya? Masih berada di pihak Ruphas, sebagian karena loyalitas yang tulus, sebagian lagi karena kekuatan mental yang cukup untuk bertahan dari pengaruh Dewi.

Namun bila dilihat dari kekuatan murni… kemenangan bukanlah milik Ruphas.

Itu jika—jika—Ruphas adalah manusia biasa.

Tapi dia bukan itu.

Ruphas Mafahl bukanlah makhluk normal. Bahkan sendirian, dia bisa membalikkan keadaan dunia.

Namun begitu, ekspresinya tak menunjukkan tanda optimisme.

“Hmm, ya, mungkin memang masih bisa dibalik. Tapi Ophiuchus… kalaupun aku menang, lalu apa? Siapa yang mau mengakui pemimpin yang membantai separuh bawahannya sendiri? Seorang penguasa yang membunuh rekan-rekannya… bukan pahlawan, melainkan tiran. Tak akan ada yang mengikutiku. Dan… saat semua selesai, tak akan ada satu pun yang tersisa di sisiku.”

Ya. Kemenangan memang bisa diraih. Tapi harga yang harus dibayar adalah nyawa para sahabatnya. Pengkhianatan mereka harus dibalas, dan untuk itu, ia harus membunuh mereka dengan tangannya sendiri.

Negara yang ia lindungi akan terbakar. Rakyatnya akan lenyap. Dan ia… akan berdiri sendirian.

Kemenangan macam apa yang menyisakan kekosongan seperti itu?

“Setidaknya masih ada kami. Twelve Star… dan aku.”

“Kau benar. Mungkin itu satu-satunya hiburan yang tersisa.”

Ruphas tersenyum kecil. Lalu menghela napas panjang, dan dengan tenang menatap ke depan.

“…Kelihatannya, tak ada pilihan lain selain mencari ‘cara untuk kalah’.”

“Cara untuk kalah… maksudmu?”

“Ya. Jika yang mereka inginkan adalah pengunduran diriku sebagai penguasa, maka aku akan mengabulkannya. Aku akan menunjukkan kekalahanku. Tapi sambil melakukannya… aku akan mengungkap siapa dalang di balik semua ini.”

Dina diam sejenak.

“Ini akan jadi jalan yang menyakitkan bagimu. Kalau kau ingin mundur… sekarang saatnya.”

Tawaran itu tulus. Jika Dina ingin pergi, Ruphas tak akan menyalahkannya.

Namun gadis itu hanya menatapnya dengan senyum percaya diri.

“Tidak perlu, Ruphas-sama. Aku tak ingin kembali jadi boneka. Sampai aku bertemu denganmu, aku tak lebih dari alat yang bergerak sesuai kehendak Dewi. Tapi kaulah yang memberiku 'aku'—identitasku sendiri. Demi itu, aku akan menipu siapa pun. Bahkan Dewi sekalipun.”

Sejak awal, Dina telah mahir menipu.

Dia menipu iblis.

Dia menipu Tujuh Pahlawan.

Dia menipu Twelve Star.

Dia bahkan menipu Ruphas—dan kini bertekad untuk menipu sang Dewi sendiri.

Ia akan menyusup ke berbagai faksi, menyebarkan kekacauan dari dalam, membuat mereka saling mencurigai dan runtuh dengan sendirinya. Jika ia harus dicaci sebagai pengkhianat oleh sekutunya sendiri, ia akan menerimanya tanpa ragu.

Karena itulah dia: si Pembawa Ular—Ophiuchus.

Sebuah ironi, bahwa sang majikan justru memberikan gelar “Pembawa Ular” padanya—seakan mencerminkan niat tersembunyi Ruphas yang juga merebut para pengikut Dewi satu per satu ke sisinya.

Ruphas adalah “ular” dalam arti sejati: sosok yang menggoda, menarik, dan membelokkan tatanan langit.

Dan Ophiuchus… adalah pembawa ular itu.

“Kalau begitu, yang perlu kau lakukan adalah—…”

Beberapa minggu kemudian.

Dina menyusup ke barisan pengkhianat. Berada di sisi Tujuh Pahlawan yang telah membelot, ia berjalan di antara mereka seperti bayangan.

Di sana, ia menemukan satu sosok muda. Seorang elf yang berlutut di tanah, tubuh gemetar ketakutan setelah terkena Paksaan Ruphas.

“Maaf... aku akan melihat isi kepalamu sedikit.”

Dengan tenang, Dina menyusup ke pikirannya.

—Keturunan keluarga kerajaan. Tidak buruk. Cukup potensial sebagai pion.

Dengan cepat, ia memanipulasi persepsi si elf, menanamkan ketakutan terhadap Ruphas, dan membujuknya untuk melarikan diri.

Tapi tak hanya itu.

Di dalam bawah sadarnya, ia menanam satu ‘perintah’.

Dua ratus tahun dari sekarang, ketika ancaman Raja Iblis bangkit kembali, pemuda ini akan merasa harus memanggil seorang pahlawan. Ia akan mengaktifkan teknik yang disebut X-Gate, dan tanpa sadar memanggil Ruphas kembali ke dunia.

Ya, dengan segala manipulasi dan informasi yang ditanamkan Dina, pemuda itu—yang tampaknya tak punya kualitas istimewa—akan menjadi orang yang membuka jalan bagi kebangkitan sang Penguasa Hitam.

Setelah menanam perintah dalam benak sang elf muda, Dina meninggalkan medan perang.

Ia bergerak cepat ke tempat Ruphas, yang saat itu tengah menghadapi serangan gabungan dari para pahlawan. Dalam sekejap ketika Megrez mencoba menyegel Ruphas dengan sihir misterius, Dina mengaktifkan X-Gate.

Dan dalam sekejap pula—Ruphas tersapu ke dalam subruang.

Tak ada perlawanan. Itu karena syarat mutlak dari X-Gate adalah persetujuan target... dan Ruphas sendiri telah menyetujuinya sejak awal.

Begitulah, dari luar, dunia melihat seolah-olah para pahlawan telah berhasil mengalahkan Ruphas Mafahl.

Dan di saat itu pula, suara dramatis sang “bos terakhir” menggema:

“Luar biasa, para pahlawan! Kalian telah membuktikan diri lebih hebat dariku! Tapi ingat, kegelapan belum sepenuhnya sirna! Jika kalian kehilangan solidaritas ini, dunia akan tenggelam dalam kegelapan yang lebih kelam! Apakah masa depan akan cerah atau suram, aku akan mengawasinya dari neraka! Kuhahahaha… HAAhahahahahahaha!!”

Dina menahan napas. Kemudian—tawa anehnya pecah juga.

“…Ruphas-sama, itu tadi apaan!? Karena itu, aku tidak bisa menahan tawa dan akhirnya ketahuan Pollux!”

“Apa yang kau lakukan…? Dari semua orang, kenapa malah tertangkap olehnya?”

“Ini salahmu, Ruphas-sama! Kau terlalu menikmati peran bos terakhir!”

“…Yah, maaf. Aku hanya... terlalu senang melihat semua orang tumbuh kuat.”

Sementara Alioth dan yang lainnya percaya bahwa mereka telah menyingkirkan ancaman dunia, di balik layar—di tengah percakapan konyol ini—rencana besar tengah dijalankan.

“Sekarang... aku akan membuat avatarmu. Setelah itu, aku akan menghentikan waktu dan menyegel tubuh aslimu di subruang ini. Avatar yang kubuat akan kukirim ke masa depan, agar tidak tertangkap mata Dewi. Aku juga akan menyiapkan jalur informasi dari dunia ini untukmu. Dan dua ratus tahun dari sekarang, aku akan menyamakan waktu pemanggilan agar kau bisa kembali. Setuju?”

“Setuju. …Oh ya, ngomong-ngomong, bisa nggak sih... aku ganti jenis kelamin avatarku?”

“…Hah? Kurasa bisa. Kita hanya perlu menanamkan sebagian kecil dari jiwamu, jadi seharusnya tak masalah. Tapi... kau ingin jadi laki-laki?”

“Enggak. Cuma penasaran.”

Dan Dina... tidak bertanya lebih lanjut.

Ia seharusnya tahu lebih awal. Ia seharusnya curiga ketika Ruphas mulai bicara soal ganti kelamin avatar. Tapi saat itu, ia hanya berpikir: mungkin untuk menyulitkan pelacakan Dewi... atau untuk menjaga objektivitas dalam mengamati diri sendiri.

Atau... mungkin, hanya karena ingin tahu seperti apa rasanya jadi laki-laki.

Apa pun alasannya—Ruphas tetaplah misteri bagi Dina.

Setelah itu, Dina mengekstrak sepotong jiwa Ruphas sebagai fondasi avatar, lalu menghentikan waktu tubuh aslinya. Ia pun menembus waktu dan ruang, membawa pecahan jiwa itu menuju masa depan.

Setibanya di sana, ia membiarkan fragmen itu jatuh bebas—melayang hingga akhirnya terinkarnasi ke dalam tubuh bayi acak.

Lalu ia kembali ke masa kini, mempersiapkan segala sesuatu untuk menyampaikan informasi penting ke sang avatar saat ia tumbuh dewasa.

Selanjutnya, Dina menyusup ke Jepang.

Dengan menggunakan manipulasi persepsi, ia membaur ke dalam masyarakat dan membangun sebuah perusahaan bernama Niente. Di sana, ia mulai mengembangkan sebuah game...

Game yang akan menjadi jembatan antara dunia ini dan Midgard.

Nama game itu adalah—

X-Gate Online.

Awalnya, ia menciptakan versi offline sederhana. Kemudian berkembang ke sistem X-Gate TRPG. Dan akhirnya, lahirlah versi online yang menyerupai Midgard dalam sistem, dunia, dan gaya bermain.

Dina tahu bahwa avatar Ruphas—bahkan tanpa sadar—akan tertarik pada game itu.

Namun, jika game-nya tidak cukup terkenal, avatar itu mungkin tak pernah tahu keberadaannya.

Jadi Dina menggunakan persepsi manipulatif untuk membuatnya populer secara paksa.

Iklan muncul di mana-mana. Orang-orang mulai tertarik—tanpa tahu bahwa keinginan mereka telah disusupi oleh sihir.

Dan meskipun keseimbangan gamenya kacau, dengan reputasi buruk di forum-forum, game itu tetap meledak.

Tak peduli apakah pemain menyukainya atau tidak. Yang penting... avatar Ruphas memainkannya.

Setelah itu, Dina mulai membentuk ulang peristiwa sejarah dalam game.

Ia memilih pemain yang avatarnya mirip dengan Tujuh Pahlawan dan memandu mereka ke arah yang diinginkan. Item langka, monster langka, pengalaman berlimpah—semua diatur. Mereka diarahkan menjadi pemain top, dan diberi nama-nama legendaris seperti Alioth, Benetnash, dan lainnya.

Untuk "Alioth", misalnya, Dina bahkan menyisipkan pencarian khusus agar dia bisa mendapatkan kelas Pahlawan.

Dina juga membuat akun palsu dan menyamar sebagai rekan bermain. Ia mempengaruhi mereka lewat obrolan, mendorong lahirnya konflik faksi dalam game, seolah-olah semua terjadi secara alami.

Setelahnya, forum pun ramai membicarakan:

“Seolah-olah ada admin yang membantu pemain tertentu…”

Karena memang benar. Admin—adalah Dina.

Saat X-Gate akhirnya diaktifkan, Dina muncul sebagai Dewi Penciptaan Alovenus, menyapa avatar Ruphas, lalu menarik pecahan jiwanya kembali ke Midgard. Ia tak sempat melihat jelas avatar itu jatuh, dan karena kostum yang dikenakan bisa dipakai oleh pria dan wanita, ia mengira avatar itu adalah... seorang gadis muda.

Padahal—

Setelah Dina meninggalkan Bumi, manipulasi persepsi pun menghilang. Tanpa perlindungan sihir, X-Gate Online cepat tenggelam karena gameplay-nya yang tak seimbang.

Dan seperti itu—

Game yang katanya akan jadi jembatan antara dunia... justru ditutup dengan hinaan dari para pemain.

(Catatan Penulis)

[Ringkasan Tugas Dina]

  • Pada hari Ruphas dikalahkan, Dina berada di antara Tujuh Pahlawan dan membantu menyegel Ruphas melalui X-Gate. Satu-satunya alasan skill itu berhasil—karena Dina yang mengatur segalanya, memastikan Ruphas menyetujui prosesnya terlebih dahulu.

  • Ia mengajari Ruphas cara membuat avatar—sarana untuk menyusup ke dunia tanpa diawasi Dewi.

  • Ia menyamar dan menyusup ke kubu iblis tempat Sol berada. Dengan nama samaran Venus, ia memanipulasi para iblis dari dalam agar tidak menghancurkan umat manusia sebelum Ruphas dibangkitkan. Sol mengira dirinya yang memanipulasi Dina… padahal kenyataannya terbalik.

  • Ia mengadakan perjanjian rahasia dengan Raja Iblis. Tujuannya: menjatuhkan Dewi.

  • Dina menyusup ke Jepang, mendirikan perusahaan publik Niente, dan mengembangkan X-Gate Online, game yang dirancang untuk menyampaikan informasi dari Midgard ke avatar Ruphas.

Catatan penting: Game busuk itu bukan dibuat oleh Dewi… tapi Dina.

Kenapa Ruphas begitu kecanduan game itu?

Karena Dina menyisipkan manipulasi persepsi, memaksa Ruphas menyukainya!

  • Dina menyalin kenangan dan ego dari avatar (yang dimainkan Ruphas), lalu menyuntikkannya kembali ke tubuh asli Ruphas yang sedang disegel. Dewi mengira telah menanamkan ego buatan yang bisa dikendalikan... padahal itu adalah Ruphas yang sesungguhnya, diam-diam memerankan skenario Dewi.

Ironisnya, bahkan Ruphas sendiri tak sadar ia sedang memainkan peran.

  • Setelah itu, Dina muncul sebagai penasihat Ruphas dan secara perlahan menunjukkan gelagat mencurigakan… dengan sengaja, agar Ruphas mulai meragukan Dewi.

  • Ia menuntun Ruphas untuk kembali mengumpulkan Twelve Heavenly Star.

  • Ia berpindah cepat di antara barisan iblis, bahkan membuat Terra mengusirnya karena kecepatannya terlalu tinggi. Hasilnya? Dina bisa bergerak bebas tanpa pengawasan.

  • Saat Pollux mulai mendekat, Dina melarikan diri. Tapi dengan cara yang membuat Dewi mengira: “Ah, si mata-mata takut ketahuan Ruphas, makanya kabur.” Dewi pun tetap percaya bahwa Dina adalah orangnya.

  • Ketika Dewi mulai mencurahkan fokus penuh ke Midgard, Dina kabur ke Bumi—tempat satu-satunya di mana pengawasan Dewi tak bisa menjangkaunya. Di sanalah dia berencana mengungkap kebenaran pada Ruphas.

Saat ini, kita berada di titik ini.

**

Kenapa Ruphas masih merasa yakin bahwa Dina bukan musuh, meski ada kecurigaan?

Karena… di dalam dirinya, ia tahu. Ia ingat.
Di level bawah sadar, Ruphas tahu bahwa Dina adalah sekutunya.

Tentu saja, rencana ini sangat berisiko bagi Dina.

Setiap saat, ia bisa dibunuh oleh Ruphas sendiri.

Dan jangan lupa—pelayan pembunuh yang selalu mengincarnya diam-diam bisa bergerak kapan saja.

Dengan kata lain—Dina telah memainkan permainan paling berbahaya yang bisa dimainkan siapa pun dalam dunia ini.

Dan ia menang.

_

RIP Cruz…
“Seorang pemuda menyedihkan tanpa fitur penebusan.”

Novel Bos Terakhir Chapter 158

Bab 158 — Dina Menggunakan Kekuatan Rahasia!

Saat Dina tiba di kampung halamannya, desa itu nyaris hancur.

Ibunya—seorang manusia biasa—telah lama wafat karena usia tua. Sementara sang ayah... tubuhnya tinggal kulit yang membungkus tulang.

Tapi itu bukan hanya ayahnya. Seluruh desa telah berubah menjadi semacam penjara penderitaan, dipenuhi orang-orang yang hanya tinggal menunggu ajal menjemput.

“……”

Hatinya seharusnya tak terusik.

Dia percaya dirinya tak akan merasakan apa pun meskipun menyaksikan kondisi ini. Ia hanyalah manifestasi Dewi yang kebetulan dilahirkan di desa ini. Tidak lebih.

Namun entah kenapa… ada yang terasa aneh.

Mengapa hawa dingin merambat naik dari tulang punggungnya?

Kenapa lututnya terasa lemas, seperti tertimpa es batu dari dalam?

Selama ini, ia telah melihat pemandangan seperti ini berulang kali. Walaupun dirinya tak langsung turun tangan karena eksistensinya yang terlalu kuat, ia telah memberi perintah pada Moon Ouroboros untuk menciptakan kehancuran seperti ini. Ia telah menyusutkan populasi dunia saat dianggap terlalu padat. Bahkan pernah… melenyapkan seluruh spesies.

—Benarkah?

Benarkah semua itu atas kehendaknya?

Itu adalah keputusan Dewi. Dan... bukankah selama ini dia tak pernah benar-benar melihat semuanya dengan mata kepala sendiri?

"...Ohh, Dina... terima kasih karena kau pulang..."

Suaranya pelan. Getarannya menembus jantungnya sebelum ia sadar tubuhnya sudah berada di sisi tempat tidur sang ayah.

Meski telah seratus tahun berlalu sejak kepergiannya, sang ayah masih mengenali wajah putrinya dalam sekejap. Ia mengulurkan satu tangan—kering, rapuh, hampir seperti kerangka—ke arah Dina.

Dan sebelum ia sempat berpikir, tangannya telah menggenggam tangan sang ayah... lalu membeku.

Tubuh itu sangat lemah.

Kematian memang tak bisa dihindari. Semua makhluk akan mati dan pergi dari dunia ini. Bahkan elf yang berumur panjang pun tak luput dari hukum itu.

Dina tahu itu. Tapi... entah kenapa, kini ia merasakan ketakutan yang luar biasa—seolah baru pertama kali memahami arti kematian.

Kenapa hatinya terasa begitu sakit? Padahal ibunya hanyalah perantara kelahirannya ke dunia ini. Kenapa hatinya terasa begitu nyeri? Padahal keberadaan sang ayah nyaris tak ia sadari sampai melihatnya dalam kondisi seperti ini?

Kenapa… kenangan tentang senyum lembut dan cinta penuh kehangatan dari orangtuanya kini membanjiri dirinya?

Bukankah ia adalah avatar Dewi? Seharusnya kematian satu atau dua manusia tak akan menggoyahkan hatinya.

Selama ini, ia tak pernah mempertanyakan rumus: "Dewi = Diriku".

Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia mulai meragukan itu.

Ia merasa ada tembok tak kasatmata antara dirinya dan sang Dewi.

Tembok yang tak bisa ia lewati... karena ia tahu, tubuh asli sang Dewi tak akan pernah merasakan luka seperti ini.

Kemungkinan besar, Dewi bahkan tak akan mengingat wajah ayahnya. Tak akan peduli dengan nama lelaki itu. Dan jika sang ayah mati, mungkin satu-satunya reaksi yang akan muncul hanyalah, "Oh, ayah elf itu sudah mati."

“…Ayah…”

Ia tak pernah menganggap pria itu sebagai ayah. Ia hanya menganggapnya sebagai bagian dari populasi Midgard.

Tapi... benarkah begitu?

Senyum penuh kasih itu... sentuhan hangat itu... kenapa terasa begitu nyata?

Apakah selama ini ia hanya berpura-pura tidak melihat—membutakan diri sendiri karena kesombongan, karena keangkuhan akan statusnya sebagai Dewi?

Aku tak tahu. Aku tak tahu siapa diriku.

Aku adalah avatar Dewi, seharusnya begitu...

Tapi kalau bukan... maka siapa aku sebenarnya...?

Gambaran itu muncul di benaknya—sebuah boneka kayu, digerakkan dengan tali oleh sang Dewi, dimainkan dari tempat yang sangat tinggi.

Tangannya menggenggam dada—ingin menahan sakit yang menyiksa dari dalam.

Dan di sana… ia merasakan sesuatu.

Ketika ia tarik keluar, yang ia lihat adalah sebuah botol eliksir—obat terlarang yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan memperpanjang usia. Obat yang diberikan Ruphas padanya.

Dulu, ia berniat menghancurkannya karena menganggap benda itu sebagai penghinaan terhadap Dewi.

Namun sekarang… tangannya tak bisa melakukannya.

Ia tak tahu apakah ia ingin menggunakannya, membuangnya, atau menyimpannya.

Kebingungan mengikat langkahnya.

Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh—pendengarannya menangkap suara dari kejauhan. Suara berat. Tanah bergetar. Pepohonan tumbang.

Ia segera melompat keluar dari rumah.

Dan yang dilihatnya adalah—

Seekor kalajengking hitam raksasa, mendekat sambil menyapu rumah-rumah seperti mainan.

Sang Ratu Racun… Emperor Berserk Scorpion!?

Salah satu makhluk paling berbahaya—monster sihir tingkat bencana. Di antara seluruh spesies kalajengking, ia yang terkuat. Tubuhnya mengandung semua jenis racun mematikan di dunia.

Jika dibiarkan, ia bisa menyelimuti seluruh planet dengan racun dalam hitungan hari, menjadikannya bola mati tak berpenghuni.

Dalam sejarah, monster semacam ini pernah muncul. Mereka adalah “alat” sang Dewi, digunakan untuk memusnahkan spesies yang tumbuh berlebihan.

Biasanya, makhluk hidup dibiarkan berkembang selama ekosistem masih seimbang. Tapi begitu sang Dewi menilai bahwa dunia telah kehilangan keseimbangan—monster ini dikirim.

Monster ini menciptakan racun yang tak bisa dilawan oleh antibodi mana pun. Mereka menyebarkan wabah, membuat populasi punah. Wujud nyata dari wabah berjalan.

Kekuatan bertarungnya mencapai level 900. Meski sedikit di bawah para arbiter dunia seperti Raja Singa atau Raja Naga, monster ini tetap dianggap sebagai bencana.

Kemunculannya sering diikuti dengan kepunahan massal. Sampai saat ini, bahkan umat manusia belum menemukan cara untuk benar-benar menanganinya.

Dina gemetar.

Mengapa...?

Memang jumlah elf meningkat belakangan ini. Tapi belum sampai pada titik di mana monster semacam itu dikirim. Dan... kenapa sekarang, di desa ini?

...Mungkinkah?

Satu kemungkinan terlintas di benaknya.

Dirinya sendiri.

Sebagai avatar Dewi, suatu hari nanti ia akan muncul di hadapan dunia dan menyebut dirinya Dewi.

Namun... bagaimana jika dunia tahu bahwa "Dewi" itu berasal dari desa elf ini?

Bagaimana jika orang-orang tahu bahwa Dewi dilahirkan sebagai bagian dari mereka?

Itu akan menimbulkan keraguan, mempertanyakan otoritasnya, bahkan bisa membuat orang percaya bahwa dia adalah penipu.

Solusinya?

Hilangkan mereka yang tahu.

Ia dulu berpikir manipulasi memori sudah cukup. Tapi... mungkin sang Dewi merasa itu belum cukup. Seseorang ingin hasil yang absolut.

Dan saat itulah... sang Ratu Racun membuka mulutnya.

Dina, dengan insting tajam, langsung bergerak.

“Tsk! Dengarkan aku... ‘waktu’!”

Dina mengangkat tangan, dan dunia di sekitarnya segera berubah.

Udara seakan membeku saat kekuatan luar biasa mengikat makhluk raksasa itu dalam jeratan tak kasatmata.

Skill unik: [Yed Posterior].

Kemampuan luar biasa yang hanya dimiliki oleh perwakilan Dewi. Kekuatan untuk memotong, memperlambat, bahkan memutar balik waktu targetnya. Monster yang terkena akan dipaksa melambat, bahkan bisa mundur ke titik di mana mereka “belum pernah ada”.

Sebuah keterampilan absolut—tak dapat dilawan, tak dapat dihindari.

Kecepatan sang Ratu Racun menurun drastis. Gerakannya yang mengerikan kini tampak seperti gerakan dalam mimpi—terlambat dan mengambang.

Namun, dari mulutnya, asap tebal mulai keluar… perlahan tapi pasti.

Racun.

“Tidak… Tidak, tidak, tidak…!”

Meski tubuh sang ratu hampir terhenti, kabut racun itu tetap merayap ke luar, menembus penjara waktu.

Jika sampai kabut itu lepas sepenuhnya—semua orang di desa ini akan mati.

Ayahnya... yang hanya tinggal kulit dan tulang... pasti tak akan selamat.

Sekalipun ia menggunakan sihir kebangkitan berkali-kali, itu takkan berguna jika racun terus meracuni ulang.

Otak Dina bekerja mati-matian mencari solusi. Tapi ia panik, kehilangan kendali, dan seperti pepatah lama: ketergesaan hanya melahirkan kepanikan baru.

Ia... tak bisa berpikir jernih.

Dan saat itu—kabut racun hampir menembus batas penjara waktu.

Dan kemudian—

“Hmm, efek skill-mu memang kuat. Tapi penggunaannya... kacau sekali.”

Suara penuh percaya diri terdengar dari samping. Suara yang sangat dikenalnya.

Di detik berikutnya, sebuah tinju terkepal masuk ke pandangan matanya.

Pemiliknya melangkah maju—dan melepaskan satu pukulan lurus ke udara.

Yang terjadi setelahnya adalah sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Dengan satu pukulan itu saja, pusaran angin dahsyat tercipta—tornado besar yang menyapu kabut racun ke langit, jauh dari desa.

Ratu Racun terseret oleh angin dan ikut terangkat tinggi ke udara. Berat tubuhnya yang luar biasa membuatnya hampir lolos dari terlempar ke luar angkasa, namun sebelum ia sempat jatuh kembali ke bumi—

“Sepertinya kau juga sedang dikendalikan, ya? Yah, apa pun itu, mungkin ini bisa membangunkanmu.”

Ruphas Mafahl.

Sang Penguasa Hitam mengepalkan tinjunya lagi, matanya tajam, suara tenang tapi mematikan.

“Aku akan menahan diri... tapi aku akan memukul sekuat tenaga. Siap?”

Kata-kata yang begitu kontradiktif... Bagaimana bisa seseorang ‘menahan diri’ sambil ‘memukul sekuat tenaga’?

Tapi ini dunia di mana hal-hal tak masuk akal justru jadi kenyataan. Dan Ruphas—adalah definisi dari itu.

Dina bisa merasakannya. Kekuatan yang dipancarkan Ruphas kini jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Bahkan sistem pembatas level dunia ini tak lagi menahannya.

Sebagai avatar Dewi, Dina memiliki kemampuan untuk menembus batas pengamatan biasa. Ia melihat level Ruphas—dan terkejut.

Level: lebih dari 4000.

Sebuah angka gila yang telah menembus empat lapisan batas dunia.

Normalnya, dunia ini memiliki sistem pertahanan: batasan level untuk mencegah satu individu menyebabkan kehancuran total. Setiap kelipatan seribu level, tembok pembatas baru muncul. Di level 2000, 3000, 4000… dan seterusnya.

Dan Ruphas telah melewati semuanya.

Dalam kondisi saat ini, kerusakan maksimal yang bisa ia hasilkan: 999.999.999.

Satu pukulan—cukup untuk menghapus sebagian besar kehidupan di dunia ini.

Namun, dia tidak menggunakannya untuk membunuh.

Ia mengaktifkan [Blunt-Edge Strike], skill khusus yang memastikan target hanya akan tersisa dengan 1 HP, tak peduli seberapa besar kerusakan yang diberikan.

Dengan kekuatan penuh, ia meninju sang Ratu Racun.

Dan dengan satu pukulan itu—

Monster seukuran seratus meter itu terbang keluar atmosfer.

Melesat menembus langit, nyaris menyentuh Matahari.

Dan Ruphas, tentu saja, mengejarnya.

(Legenda kelak menyebut bahwa setelah kejadian ini, Ruphas sempat bercanda di kedai minum bersama rekan-rekannya, berkata: “Matahari... ternyata panas juga, ya.”)

Begitu sang ratu melayang tak berdaya, Ruphas menendangnya kembali ke arah Midgard—masih dalam kondisi 1 HP.

Lalu, melesat mengejarnya seperti bintang jatuh dan menahan tubuh raksasa itu dengan satu tangan, hanya beberapa meter di atas desa.

Perlahan… ia menurunkannya ke tanah.

Waktu yang dibutuhkan untuk semua ini?

Satu detik.

Dina berdiri mematung. Rahangnya menggantung.

Tak mampu berkata apa-apa.

**

Dina menatap langit, masih belum bisa menguasai napasnya. Ratu Racun, monster bencana yang bisa memusnahkan seluruh desa hanya dalam hitungan menit, kini tergeletak lemas... dengan nyawa tinggal seutas rambut.

Semua itu terjadi... hanya dalam satu detik.

Dan satu sosok telah mengubah segalanya.

Ruphas Mafahl.

Kehadirannya bukan hanya luar biasa—dia adalah fenomena itu sendiri. Bukan keajaiban. Bukan legenda. Tapi eksistensi yang tak dapat ditolak oleh hukum mana pun.

Di saat itu, Dina sadar... kekuatan yang dia miliki, sebanyak dan serumit apa pun, tidak ada artinya dibandingkan satu pukulan dari wanita itu.

(Catatan Penulis)

Mari kita ulas tujuh skill unik yang dimiliki Dina—sang avatar Dewi.

Perlu dicatat bahwa semuanya memiliki prioritas level 6, artinya tidak bisa ditolak, dibatalkan, atau dipatahkan oleh skill lain mana pun di dunia.


[Rasalhague]
Kemampuan yang membangkitkan dan memanggil para Ouroboros. Keterampilan absolut, penghubung langsung dengan kehendak sang Dewi.

[Cebalrai]
Kemampuan manipulasi ingatan. Tak hanya bisa menghapus atau menanam kenangan palsu, tapi juga bisa membuat lawan menganggap pengguna tak lebih dari udara atau batu—menghilang dari kesadaran mereka sepenuhnya.

[Muliphen]
Skill yang membatasi kerusakan maksimum target menjadi 9999. Efektif terhadap lawan-lawan berkekuatan besar yang mengandalkan kekuatan absolut.

[Yed Prior]
Memisahkan waktu target dari dunia luar dan mempercepatnya hingga melampaui konsep waktu itu sendiri. Jika tubuh target tak kuat menahan percepatan ini, kehancuran total bisa terjadi.

[Yed Posterior]
Kebalikan dari Yed Prior. Memperlambat waktu target hingga berhenti total, bahkan bisa membuat waktu mengalir mundur, hingga keberadaan target terhapus dari sejarah.

[Sabik]
Keterampilan yang menciptakan keterampilan. Pengguna bisa merancang skill baru dengan 100 poin alokasi untuk efek, kekuatan, akurasi, dan lainnya. Namun hanya bisa memiliki satu skill buatan pada satu waktu.

[Marfik]
Skill untuk menjadi "wadah sempurna" sang Dewi. Begitu digunakan, kesadaran Dina akan tersapu, digantikan oleh kehendak Dewi sepenuhnya. Kekuatan dan statistik Dina akan meningkat ke level ilahi.


Tambahan: [Bintang Asclepius]
Sihir pemulihan tingkat legendaris. Mampu menyembuhkan luka apa pun dan bahkan membangkitkan yang telah mati. Meski bukan skill unik, hanya Dina yang bisa menggunakannya.

[Subruang Segel]
Kemampuan untuk membuang target ke ruang antara dimensi. Tidak sepenuhnya eksklusif, tapi kekuatannya luar biasa.

[Kemampuan Dapur Super]
...Tidak ada yang tahu pasti apa maksudnya. Mungkin hanya candaan penulis. Mungkin juga sesuatu yang sangat berbahaya diselubungi absurditas.


Dan di atas semua itu...

Satu pukulan Ruphas lebih berbahaya daripada semua skill di atas.

Tidak ada teori. Tidak ada strategi. Hanya perlu satu hal: naikkan levelmu... dan pukul segalanya sampai selesai.

_

(Akhir catatan penulis)

_

Tp: Dina, teman… kau punya Sabik, skill pencipta skill, dan kau bahkan tak menyalahgunakannya?!

Bagaimana bisa kau tidak membuat skill absurd seperti “Racun jadi Permen Karet” atau “Ledakan Tapi Lucu”?!

_

Penutup

Hari itu, bukan keajaiban yang menyelamatkan desa Dina.

Bukan pula Dewi... atau avatar-nya.

Tapi seorang wanita bersayap hitam, yang datang melawan takdir, yang menolak sistem, dan meninju dunia dengan kekuatan yang bisa mengubah segalanya.

Dan Dina hanya bisa berdiri terpaku, menyadari bahwa hatinya telah tergerak bukan karena kematian... tetapi karena kehadiran seseorang yang benar-benar hidup.

Novel Bos Terakhir Chapter 157

Bab 157 Kulit Keajaiban

Dina adalah seorang avatar Dewi—dilahirkan dari seorang ayah peri dan ibu manusia.

Sudah berapa banyak avatar yang mendahuluinya, bahkan dia sendiri tak tahu. Yang pasti, pola kelahirannya selalu sama: sebuah rahim manusia dipinjam untuk menjadi tempat lahirnya sang avatar. Ketika satu generasi wafat, maka yang berikutnya akan segera menggantikannya.

Semua avatar sebelum dirinya ia catat sebagai “dirinya sendiri”. Begitu pula dengan Dewi, yang memandang semua generasi sebagai satu entitas tunggal—diri-Nya sendiri. Sebab sejatinya, para avatar adalah klon dari Dewi. Dalam pengertian itu, mereka semua adalah individu yang sama.

Nama "Dina", yang diberikan oleh kedua orang tua biologisnya, bagi dirinya tak lebih dari label pada tubuh yang sekarang ia tinggali. Ia tak merasa nama itu memiliki makna khusus.

Akibat dari semua itu, Dina tak pernah benar-benar merasa bersyukur atas cinta yang diberikan oleh orang tua kandungnya. Ia pun tak merasa bersalah saat pergi meninggalkan kampung halaman tanpa sepatah kata pun ketika dewasa.

Karena pada akhirnya, ia bukan anak mereka—ia adalah tiruan Dewi. Ia tak punya orang tua.

Setelah meninggalkan desanya, Dina menjelajah dunia sebagai wakil Sang Dewi. Kadang ia menjatuhkan hukuman, kadang pula memberi berkat dan hadiah pada mereka yang dianggap layak.

Dan saat itulah ia menemui sosok bernama Ruphas Mafahl—seorang wanita yang belakangan namanya melambung tinggi.

Meski hanya dikenal sebagai seorang petualang, Ruphas melakukan hal-hal yang tak masuk dalam “skenario Dewi”: menyelamatkan negara, menumbangkan makhluk-makhluk magis yang tak terbayangkan. Termasuk Raja Naga Ladon, sang legenda itu sendiri.

Sosok seperti itu... jelas merupakan faktor berbahaya.

Setelah menetapkan Ruphas sebagai ancaman terhadap rencana Dewi, Dina menyusup ke kerajaan yang didirikan Ruphas. Ia mengutak-atik ingatan rakyat agar kehadirannya tak terdeteksi. Jika ada yang sempat melihatnya, mereka akan langsung menganggapnya sebagai "penasihat" dan melupakannya. Dengan cara ini, Dina berkeliaran di sekitar Menara Mafahl seolah hanya bayang-bayang di latar belakang—diam-diam mengamati Ruphas dari dekat.

Namun, setelah pengamatan panjang, Dina sampai pada satu kesimpulan:

Wanita ini... terlalu berbahaya.

Jika dibiarkan bebas, Ruphas mungkin akan mengguncang seluruh fondasi dunia yang telah dibangun Dewi.

Dina sempat berpikir untuk menyingkirkannya. Tapi semakin ia mengamati, semakin ia menyadari: itu mustahil.

Sebagai avatar Dewi, ia memiliki kekuatan setara dengan level 1000, ditambah dengan berbagai keterampilan unik khas utusan ilahi. Namun bahkan dengan kekuatan seperti itu, ia tidak bisa membayangkan menang melawan Ruphas.

Tak peduli apakah ia menggunakan manipulasi memori, persepsi, sihir misterius, sihir suci, atau bahkan kekuatan untuk menghapus keberadaan musuh di luar waktu itu sendiri—semuanya seolah tak berarti.

Kekuatan Dina memang luar biasa… tapi hanya di dalam sistem yang dibuat dan dikendalikan oleh Dewi. Kekuatan yang tak terkalahkan… selama musuhnya juga tunduk pada hukum yang sama.

Tapi Ruphas tak lagi bermain di dalam aturan itu.

Jika ingin menghentikannya... maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah membangkitkan Ouroboros.

Namun... mereka...

Dina menyimpan kartu pamungkas—kemampuan unik bernama [Rasalhague]. Kekuatan ini memungkinkan dirinya mengaktifkan semua Ouroboros sekaligus. Sebagai wakil Dewi, ia tak hanya bisa membangkitkan mereka… tetapi juga mengendalikannya.

Namun harga dari tindakan itu… adalah kehancuran Midgard.

Hanya dengan bergerak, para Ouroboros akan membawa bencana yang tak bisa dihindari. Maka bahkan bagi Dewi sendiri, langkah ini adalah pilihan terakhir yang seharusnya tak pernah dipilih.

Jika memungkinkan, Dina ingin menghindarinya.

Dan di saat itulah, pada suatu hari, ia mendengar pembicaraan antara Ruphas dan Megrez yang tengah membahas rencana mereka ke depan.

“Jadi ada wabah di permukiman elf sebelah timur, ya? Sepertinya kita harus turun tangan.”

Kata-kata sederhana itu… entah mengapa, menciptakan riak kecil dalam hati Dina.

Getaran yang begitu halus... bahkan dirinya sendiri tak tahu mengapa ia merasakannya.

Namun tepat pada saat itu, mata Ruphas menoleh… dan bertemu dengan tatapan Dina.

Dia menatapku...? Tidak, mustahil. Manipulasi persepsiku seharusnya sempurna. Kalaupun ada yang melihatku, mereka hanya akan menganggapku penasihat biasa lalu melupakannya...

“Ada apa, Ruphas?”

“…Tidak, tak ada. Kita sudahi untuk hari ini. Silakan kalian pergi duluan. Aku akan segera menyusul.”

“Baiklah, tentu.”

Begitu Megrez meninggalkan ruangan, Ruphas menutup pintu dan berbalik menghadap Dina.

“...Sejak kapan kau berdiri di sana?”

“!?”

Tertangkap basah.

Dina terkejut. Detak jantungnya melonjak.

Tidak mungkin… bagaimana bisa?

Selama sesaat, tubuhnya membeku. Dalam jeda singkat itu, peluang untuk melarikan diri lenyap begitu saja.

Saat ia sadar kembali, Ruphas telah mendekat dan menempatkan tangan di dinding di sampingnya, menghalangi jalur kabur.

“Kau bukan dari ras iblis, kan? Siapa sebenarnya dirimu?”

“Aku…”

Dina terdiam.

Yang muncul di pikirannya justru... adalah kehangatan dan senyum dari orang tuanya.

Mereka yang memperlakukannya bukan sebagai tiruan Dewi, tapi sebagai “Dina” yang mereka cintai.

Kenapa? Kenapa aku mengingat hal itu sekarang?

Itu semua seharusnya telah dibuang… bersama dengan nama "Dina", bersama dengan masa lalu, dan orang tua yang telah memberinya tubuh ini.

Apakah aku takut mati? Apakah aku takut tak akan pernah bertemu mereka lagi?

…Tidak mungkin.

Kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti. Ia adalah avatar. Jika tubuh ini mati, maka avatar berikutnya akan dilahirkan. Tak ada konsep kematian bagi dirinya.

Dengan pikiran itu, senyum tipis mengembang di wajahnya.

“Perkenalkan diriku… Ruphas Mafahl. Namaku adalah Alovenus. Dewi pencipta, Alovenus. Meski, tubuh ini hanyalah avatar.”

“Begitu ya.”

“Kau cukup hebat bisa menyadari kehadiranku. Kukira aku telah menyembunyikan diri dengan cukup sempurna.”

Topeng sinis kembali ia kenakan. Ia berpura-pura tenang, seolah kemenangan kecil itu tak berarti apa-apa.

Jika dia ingin membunuhku, silakan. Aku hanya akan digantikan oleh avatar berikutnya.

Tapi Ruphas tak bertindak.

Ia hanya menatap Dina… dengan penuh rasa ingin tahu.

“Aku hanya menyadarinya tadi. Sesaat saja… emosi di dalam dirimu goyah. Dan karena itulah aku bisa melihatmu. ...Ada sesuatu di permukiman elf itu, bukan?”

“Tidak. Tak ada apa-apa.”

“Benarkah? Sulit dipercaya itu tak ada kaitannya... mengingat kau adalah seorang setengah-elf.”

Ucapan itu diikuti dengan sentuhan pada telinga Dina.

Kontak fisik yang tiba-tiba itu membuat bahunya tersentak.

“Dari luar kau tampak seperti manusia biasa, tapi telingamu sedikit meruncing. Sendi dan tulang rawanmu juga berbeda. Elf memiliki tulang rawan yang lebih kuat dan telinga yang jauh lebih sensitif. Ciri ini bahkan diwarisi oleh mereka yang berdarah campuran.”

“K-Kau sangat tahu banyak.”

“Salah satu sahabatku adalah elf. Setelah beberapa kali iseng menyentuh telinganya, aku jadi hafal perbedaannya.”

Ruphas akhirnya menarik jarinya dari telinga Dina, meski ia masih berdiri di tempat yang sama.

“Kegelisahanmu pasti karena epidemi itu, ya? Apakah kau punya kenalan di permukiman itu?”

Dina terdiam.

“Haruskah aku menebak? Mungkin… salah satu orang tuamu ada di sana. Atau mungkin, keduanya?”

“Tsk…!”

Meskipun biasanya wajah Dina tak menunjukkan ekspresi apa pun, untuk sepersekian detik, ia tak sanggup menyembunyikan guncangan di dalam dirinya.

Ruphas, dengan ketajaman batinnya, langsung menangkap kegelisahan itu.

“Wajahmu seakan bertanya, ‘bagaimana bisa dia tahu?’ Tapi ini bukan hal yang rumit. Kau menyebut dirimu avatar, bukan? Tapi kau tidak terbentuk dari kekuatan ilahi semata. Itu berarti, kau dilahirkan. Dan jika ada kelahiran, maka pasti ada orang tua. Setelah tahu sejauh itu, bahkan aku bisa menebak sisanya.”

Ruphas menatap Dina dalam-dalam, kali ini dengan ekspresi sedikit heran.

“Tapi untukmu yang gelisah saat membahas orang tua… itu reaksi yang sangat manusiawi. Jangan-jangan… kau bukan sekadar avatar. Kau adalah pribadi yang berbeda dari Dewi itu sendiri.”

“Ucapan macam apa itu...”

“Tidak aneh, kan? Meski ingatan dan kesadaran Dewi ada dalam dirimu, sejak lahir kau sudah menapaki jalan dan pengalaman yang berbeda. Orang tuamu bukan orang tua Dewi. Mereka mencintaimu, bukan Dewi. Semua hal yang kau alami adalah pengalamanmu sendiri, bukan milik-Nya. Dengan semua itu, bukankah kau sudah menjadi entitas yang berbeda?”

Apa yang dikatakan Ruphas tak salah.

Seberapa pun miripnya mereka, Dewi dan para avatarnya adalah individu berbeda. Begitu mereka menjalani jalan masing-masing, mereka tak bisa lagi disebut sama.

Jika Dewi hanya mengendalikan tubuh kosong dari jauh, mungkin bisa disebut dirinya sendiri. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Karena tak mampu mengawasi dunia secara mendetail, Dewi menciptakan avatar—dengan kehendak sendiri—agar bisa mengumpulkan informasi dan merasakan langsung dunia ini.

Dan karena kehendak itu, mereka pun bisa berpikir berbeda… bahkan bertentangan dengan sang pencipta.

Jika Dina memang hanya Dewi dalam bentuk lain, ia takkan pernah merasa cemas terhadap orang tua “Dina”. Bahkan mungkin sang Dewi tak akan ingat siapa mereka, atau menganggap mereka hanya dua elf biasa di antara sekian banyak yang lain.

“Siapa namamu sebenarnya?”

“Aku sudah memberitahumu tadi, bukan?”

“Bukan. Itu bukan nama aslimu. Itu hanya sebutan untuk tubuh ini. Kau bukan Dewi. Kau tahu itu. Jadi, siapa nama aslimu?”

“...Itu bukan nama asli. Hanya nama palsu yang diberikan pada tubuh ini.”

“Keras kepala sekali, ya.”

Ruphas hanya bisa tersenyum getir.

Tanpa berkata-kata lagi, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah vial kecil, lalu menyerahkannya pada Dina.

Isinya adalah eliksir—obat hasil pengembangan bersama Megrez. Obat itu tak hanya mampu menyembuhkan penyakit apa pun, tapi juga bisa memperpanjang umur penggunanya.

Karena bertolak belakang dengan prinsip sang Dewi, Dina memandang benda itu dengan tidak suka.

“Bawalah itu... dan pergilah ke tempat yang paling ingin kau datangi.”

“Kau benar-benar akan membiarkanku pergi? Sungguh murah hati.”

“Kalau kita terus begini, kita hanya membuang-buang waktu. Aku berharap, saat kita bertemu lagi… aku bisa bicara dengan ‘dirimu’ yang sejati, bukan sekadar topeng Dewi.”

“Tapi kupikir… tak akan ada pertemuan berikutnya.”

Dina meninggalkan tempat itu dengan angkuh.

Setelah penyamarannya terbongkar, trik yang sama tak akan bisa dipakai lagi. Ia harus memikirkan cara lain untuk mengamati Ruphas. Jika sampai tertangkap lagi... kemungkinan besar ia akan benar-benar dieliminasi.

Menggunakan X-Gate, Dina keluar dari menara.

Namun saat melihat sekeliling, ia tersentak.

Tanpa sadar, ia telah mendarat tepat di permukiman elf tempat ia dilahirkan.

Bagaimana bisa… kenapa aku datang ke sini? Padahal aku tak peduli lagi pada mereka...

Ia mencibir dirinya sendiri, namun kakinya tak mau bergerak meninggalkan tempat itu.

Yang harus ia lakukan hanyalah pergi. Gunakan X-Gate sekali lagi, dan tinggalkan semua ini.

Tapi entah kenapa… ia tidak bisa melangkah.

Apa ini? Apakah aku terinfeksi oleh emosi?

"...Aku hanya ingin tahu kondisi di sini. Hanya memeriksa... tak lebih dari itu."

Dengan alasan yang bahkan tak diyakininya sendiri, Dina melangkah memasuki hutan.

Mereka pasti akan memarahiku. Mereka akan bertanya kenapa aku baru muncul sekarang, mengapa aku tiba-tiba datang.

Tapi tak apa. Bahkan... kurasa aku menginginkannya.

Jika semuanya berjalan seperti itu, mungkin ia bisa memutus tali emosi yang masih menjeratnya.

Tapi saat pikiran itu muncul… pertanyaan lain menyusul.

Tali emosi? Apa maksudku? Omong kosong. Tak mungkin aku punya perasaan seperti itu. Aku ini tiruan Dewi!

Akhirnya, setelah melangkah cukup jauh…

...yang Dina lihat di hadapannya adalah sosok ayahnya, yang kini terbaring lemah karena penyakit… dan sebuah makam sederhana.

Makam ibunya—yang sudah tiada.


(Catatan Penulis: Sebenarnya, Background-san ini memang benar-benar hanya karakter latar belakang. Tidak ada yang aneh dengan itu.)

Novel Bos Terakhir Chapter 155

Bab 155 — Ruphas Gunakan Skill Pay Day!

“...Dari kelihatannya, ini adalah skakmat. Sepertinya kita terlambat menyadarinya.”

Di puncak Menara Mafahl, seorang wanita duduk di atas takhta, menggumam pelan dengan nada jenuh, seolah-olah semua ini hanyalah permainan yang sudah kehilangan makna.

Tatapannya kosong. Tak ada lagi cahaya dalam matanya, tak ada sisa semangat atau gairah yang dulu ia miliki di masa mudanya sebagai petualang.

Ia percaya, jika terus membunuh, terus menyingkirkan musuh-musuhnya, maka suatu saat kedamaian akan tercapai.

Jika untuk mencapai kedamaian itu ia harus mengorbankan segalanya—maka ia pun rela. Ia telah lama dicap sebagai iblis, monster, makhluk yang telah membuang sisi kemanusiaannya.

Namun ia tak pernah menyangka—ia meremehkan kekuatan orang-orang yang ia percayai sendiri.

Karena terlalu fokus pada tujuan di depan mata, ia luput dari suara-suara pelan di belakangnya... dari rasa tidak puas dan kebahagiaan yang perlahan terkikis.

Dewi dengan lihai memanfaatkan celah itu—menyulut bara ketidakpuasan hingga membakar menjadi kebencian yang tak bisa dipadamkan.

Hanya satu dari mereka, sang Putri Vampir, yang tetap tidak terpengaruh. Terhadap tekad yang sekeras baja itu, wanita di takhta merasa kagum yang tulus. Tapi, enam lainnya... mereka tidak sekuat itu.

Bahwa ia tak mampu menyadari perbedaan itu, mungkin adalah kesalahan paling fatal yang ia buat.

Apa yang terjadi saat ini adalah akibat dari keputusannya sendiri—keputusan untuk meninggalkan pertimbangan demi sesuatu yang disebut ‘kepercayaan’.

Tatapan yang dulunya hangat kini berubah menjadi mata yang diselimuti dendam. Keyakinan sudah tak berarti apa-apa, dan segala upaya untuk membujuk pun kemungkinan tak akan membuahkan hasil.

Di permukaan, mereka masih bersikap patuh. Namun di balik layar, dia tahu mereka sudah menyiapkan pemberontakan.

Dan yang lebih parah—lebih dari setengah pasukannya tampaknya juga mendukung hal itu.


“Aku rasa ini belum sepenuhnya skakmat. Kalau itu kau, masih ada kemungkinan untuk membalikkan keadaan.”

"Hm, mungkin memang masih bisa. Tapi, Ophiuchus... kalau aku sampai menang, lalu apa? Siapa yang masih mau mengikuti pemimpin yang membantai teman-temannya sendiri? Penguasa yang membunuh lebih dari separuh pengikutnya... apa itu bukan tiran? Tak ada satu pun yang akan mengakui pemimpin semacam itu. Dan lebih dari itu... bahkan jika aku menang, tak akan ada yang tersisa."

Ia terkekeh sinis. Tawa yang pahit, mencibir dirinya sendiri.

Sampai sejauh ini, ia tak keberatan disebut sebagai musuh dunia, jika itu demi perdamaian.

Ia rela dipanggil iblis pembantai, selama tujuan akhirnya tercapai.

Namun pada akhirnya, bahkan rekan-rekannya sendiri pun menakutinya. Mereka mulai berkata ia tidak pantas menjadi penguasa. Dan jika memang begitu—ia bukanlah penguasa. Hanya seorang bodoh yang delusional, terjebak dalam mimpi tentang kejayaan yang tak pernah ada.

“Setidaknya, Twelve Star dan aku masih akan tetap ada.”

"Benar juga. Mungkin itu satu-satunya hal yang bisa dianggap sebagai penghiburan."

Ia tersenyum tipis, lalu menahan tawa kecil. Di tengah keterpurukan ini, ia masih merasa bersyukur pada satu hal—bahwa masih ada yang setia padanya.

Justru karena itulah, ia tahu bahwa melanjutkan pertempuran ini tak akan ada artinya.

Jika ia bertarung dengan serius, ia tak akan kalah. Ia bisa menekan dan menghabisi semuanya. Namun musuh mereka—para pahlawan yang dibangkitkan dengan bantuan Dewi—tidak akan mudah untuk dikalahkan. Mereka pasti sudah mempersiapkan strategi untuk menghadapi skill Paksaan.

Lagi pula, Paksaan bukanlah kemampuan yang tak terkalahkan. Ada cara untuk menetralkannya.

Meskipun para pahlawan menyerangnya bersama-sama, kemungkinan untuk kalah nyaris nihil. Tapi... di antara Twelve Star, pasti akan ada korban.

Dan untuk mencegah hal itu, satu-satunya cara adalah... ia harus mundur dari panggung.

Ia memang bisa membantai Alioth dan yang lainnya lebih dulu sebelum situasi memburuk. Tapi ia tahu, jika ia melakukannya, ia bukan lagi dirinya sendiri. Ia hanya akan menjadi cangkang kosong yang telah meninggalkan semua perasaan dan nurani.

"...Kelihatannya, tak ada pilihan lain selain mencari 'cara untuk kalah'."

“Cara untuk kalah... maksudmu?”

"Ya. Kalau yang mereka inginkan adalah kejatuhanku sebagai penguasa, maka aku akan menjawab harapan mereka. Aku akan menunjukkan kekalahanku—dan di saat yang sama, menyelidiki siapa yang menjadi dalang semua ini."

"Kalau begitu..."

“Untukmu, jalan ini akan menyakitkan dan berat. Jika kau ingin meninggalkanku, ini saat yang tepat.”

Namun, Ophiuchus hanya menatapnya dan tersenyum, tak tergoyahkan.

“Tidak perlu, Ruphas-sama. Aku tak berniat kembali menjadi boneka. Sebelum bertemu denganmu, aku hanyalah boneka yang tidak punya kehendak sendiri. Tapi kaulah yang memberiku 'aku' yang sejati. Sebagai balasannya... bahkan Dewi sekalipun akan kutipu demi dirimu.”

Dengan senyum penuh keyakinan, gadis muda berambut biru itu menyatakan kesetiaannya—tanpa ragu.

Dalam momen sekejap ketika aku menembus batas antar dunia, sebuah memori aneh berkelebat di benakku.

Ada percakapan... tapi dengan siapa, aku sendiri tak tahu.

Wajahnya begitu kabur—seolah aku sedang bermimpi. Tapi ada satu hal yang pasti... rambut biru itu membuatku tak bisa tidak mengingat wanita yang saat ini tengah aku kejar.

Bagaimanapun, tampaknya kami berhasil menyeberang ke dunia lain. Aku tak lagi merasakan kehadiran kekuatan misterius atau energi ilahi.

Ini dunia yang sepenuhnya diatur oleh hukum fisika dan sains. Dunia tanpa sihir, tanpa fantasi. Tapi peradabannya... justru lebih maju daripada Midgard.

Bangunan-bangunan tinggi berdiri sejajar, jalanan dipenuhi kendaraan logam yang bergerak dengan kecepatan teratur. Kalau dipikir-pikir, justru dunia ini terasa lebih "fantastis" dalam artian yang berbeda.

Dengan kata lain—ini adalah Bumi. Dan sekarang, Benet dan aku tengah berdiri di tengah-tengah kota... tepatnya, di Jepang.

“...Jadi ini dunia lain.”

Benet berbisik pelan, matanya menyapu sekeliling dengan rasa takjub yang sulit ia sembunyikan.

Meski dia sudah melihat banyak hal, dunia ini masih sanggup membuatnya terkesima.

Kendaraan-kendaraan baja melaju di sepanjang jalan, sementara anak-anak bermain bebas di taman umum—tanpa rasa takut sedikit pun akan serangan monster. Hanya saja... udara di sini cukup kotor dan penuh polusi.

Aneh rasanya. Di Midgard, meski ada sihir dan alkimia, dunia tetap tertahan di level peradaban abad pertengahan. Tapi dunia tanpa kekuatan magis ini bisa berkembang sejauh ini?

Tak heran banyak orang di jalanan yang mulai memandang kami dengan heran dan berbisik satu sama lain.

Warna rambut kami cukup mencolok. Jelas saja kami tidak terlihat seperti orang Jepang.

Yah, tak masalah. Untuk saat ini, kami harus mencari tahu posisi kami.

Berjalan menyusuri jalan mungkin akan membawa kami pada papan informasi atau penanda arah. Dari sana, kami bisa mengetahui di mana kami berada.

Soal pergi ke kantor polisi... yah, aku tak yakin. Akan sulit jika gaya bicaraku masih seperti ini—terlalu tinggi dan angkuh.

Bayangkan saja: seorang wanita pirang, menggunakan kata ganti kuno seperti yo, berbicara dengan nada mulia dan menyombongkan diri... di Jepang. Reaksi mereka? Bisa ditebak.

Lagipula, kami tak punya dokumen identitas. Jika terlalu mencurigakan, kami bisa dianggap sebagai imigran ilegal dan ditangkap.

Jadi lebih baik hindari kantor polisi untuk sekarang.

"Untuk saat ini, mari kita telusuri jalan ini. Seharusnya ada papan informasi di suatu tempat."

“Aku tak sepenuhnya mengerti situasinya, jadi aku serahkan padamu.”

Saat berjalan, aku memungut sebuah batu dari tanah dan menghancurkannya dengan tangan kosong.

Tak ada perubahan dalam kekuatan. Tubuhku tetap sekuat di Midgard.

Kukira mungkin dunia ini akan melemahkanku, tapi ternyata tidak.

Artinya, bahkan di sini, aku masih bisa berlari lebih cepat dari suara, bahkan meninju lebih cepat dari cahaya.

Kalau kupaksakan, aku bisa saja melompat sampai ke bulan dalam satu lompatan.

Tapi jelas, melakukan semua itu akan menyebabkan kehancuran besar. Maka dari itu, aku mengenakan gelang yang sangat membatasi kekuatanku.

Meski begitu, jika aku atau Benet berlari dengan kekuatan penuh, kami masih bisa memusnahkan satu atau dua kota dengan mudah. Jadi kami harus berhati-hati.

Sementara aku tenggelam dalam pikiran itu...

Benet tiba-tiba menyeberangi jalan—tanpa memedulikan lampu lalu lintas.

Sebuah truk mendekat dengan kecepatan tinggi. Klaksonnya meraung-raung memperingatkan bahaya.

Tapi Benet hanya menatapnya tanpa sedikit pun niat untuk menghindar. Bahkan, dia mengepalkan tinjunya—siap untuk memukul balik.

"Hoi, tahan."

Aku langsung meraih kerah belakang bajunya dan menariknya mundur.

Aku menahan kekuatanku agar tak menghancurkan apa pun di sekitar.

Beberapa siswa yang melihat kejadian itu langsung membeku.

"Heh...? Barusan... kau lihat itu juga, kan?"

"Y-ya... si pirang itu barusan bergerak secepat kilat..."

"...Dan cantiknya bukan main. Jangan-jangan dia artis?"

Kurasa, bahkan dengan kecepatan minimum, gerakanku masih terlalu mencolok.

Yah, biarlah. Selama hanya beberapa orang yang melihat, ini tak akan jadi masalah besar.

Mungkin akan jadi cerita aneh di internet hari ini, tapi siapa yang akan benar-benar percaya?

Sambil membawa Benet, aku meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat.

“Hei, apa yang barusan kau lakukan?”

“Itu justru kalimatku. Kau tadi berniat apa sebenarnya?”

“Benda aneh seperti golem itu mendekat sambil menggeram, jadi kupikir sudah saatnya mereka diajari cara bersikap.”

“…Itu bukan golem. Itu kendaraan. Dan dalam dunia ini, ada aturan yang sangat jelas tentang siapa yang berhak menyeberang dan siapa yang harus berhenti—semuanya ditentukan oleh lampu lalu lintas.”

“Lampu… la… lintas?”

“Itu. Benda dengan tiga cahaya berbeda.”

Setelah itu, aku menjelaskan secara ringkas soal lampu lalu lintas, jalan raya, dan kendaraan bermotor kepada Benet. Tapi sejujurnya... aku ragu dia mengerti setengah dari penjelasanku.

Saat aku menyebut soal lampu berwarna biru, dia tiba-tiba berseru, “Itu bukan biru. Itu hijau, kan?”

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa.

...Sungguh, kenapa lampu itu disebut biru padahal warnanya jelas-jelas hijau?

Kalau ingat dengan benar, itu semacam warisan linguistik. Di masa lampau, warna-warna di Jepang hanya diklasifikasikan ke dalam empat: biru, merah, putih, dan hitam. Jadi semua nuansa hijau pun ikut masuk ke kategori “biru” (ao).

Singkatnya, warisan budaya yang rumit.

Apa pun itu, satu hal sudah jelas: aku tak bisa lepas dari pengawasan terhadap Benet. Aku tak bisa menebak apa yang mungkin akan dia lakukan jika dibiarkan sendiri.

Kami terus berjalan, dan seperti yang kuduga, akhirnya kami menemukan papan informasi.

Lokasi saat ini: Tokyo.

Hmm… dulu, tempat tinggal “aku” sebelum terjebak ke Midgard adalah di Niigata. Jadi sebenarnya ini tidak terlalu jauh. Kalau tidak salah, Niigata terletak di sebelah utara Tokyo. Jika kami terus bergerak ke arah itu, kemungkinan kami akan sampai.

Namun, ada satu masalah besar: transportasi.

Aku tidak memiliki mata uang dari dunia ini. Memang aku membawa batu permata dan emas, tetapi menukarnya biasanya memerlukan bukti identitas, dan kami tak punya itu.

Haruskah kami melompat dari atap gedung satu ke lainnya? Itu mungkin, dan kemungkinan tak akan ketahuan jika dilakukan hati-hati… Tapi tetap saja, memiliki uang di tangan akan sangat membantu. Setidaknya, aku ingin membeli beberapa makanan dunia ini sebelum kembali.

...Yah, kurasa saatnya menggunakan skill sampah yang sudah lama tak tersentuh.

—Skill: [Money Getter].

Salah satu kemampuan yang bisa dipelajari oleh job ranger. Efeknya sederhana—memungkinkan pengguna menemukan dan mengambil uang selama pertarungan.

Tapi jumlahnya sangat kecil. Bahkan, pengguna tak bisa bergerak saat skill ini aktif, jadi sangat mudah digagalkan jika diserang. Jika itu terjadi, efeknya langsung hilang. Dengan kata lain, tidak berguna.

Dulu, aku sempat mencoba skill ini beberapa kali setelah mendapatkannya. Tapi karena tidak ada manfaatnya, aku langsung meninggalkannya begitu saja.

Namanya bahkan sering disebut dalam forum sebagai salah satu skill paling tidak berguna sepanjang sejarah.

Namun… dalam kondisi seperti ini—tanpa identitas, tanpa uang—skill ini mungkin berguna juga.

Aku mengaktifkannya, dan dengan sedikit telekinesis, aku menemukan koin 500 yen di tanah lalu mengambilnya.

...Secara teknis ini bisa dianggap pencurian, tapi abaikan itu. Kalau hanya segini, sebagian besar orang tidak akan repot-repot membawanya ke kantor polisi.

Tentu saja, 500 yen tidak akan cukup. Jadi kami perlu menggandakannya.

Untungnya, di dekat situ ada sebuah toko mesin slot.

Aku tak terlalu mengenalnya, tapi kupikir ini kesempatan sempurna.

Dengan Luck sebesar 9280, saatnya menunjukkan kekuatan statistik keberuntungan yang biasanya tak terpakai.

Aku melepaskan gelang pembatas sejenak dan masuk ke dalam toko.

Benet langsung meringis melihat betapa bising dan penuh asap tempat itu, tapi dia tidak bertindak gegabah.

Yah, suasana bising ini tak jauh berbeda dari kasino atau tempat judi lainnya di Midgard.

Dan hasilnya?

Kami menang besar.

Di tengah jalan, aku bahkan memberikan beberapa koin pada Benet agar ia ikut bermain dan sama-sama menyalahgunakan keberuntungan kami demi mendapatkan jackpot sebanyak mungkin.

Saat dia melihat karakter anime muncul di layar mesin, ekspresinya datar namun komentarnya tak kalah menggelikan:

“Apakah mata orang ini tidak terlalu besar?” dan “Bukankah wajahnya ini aneh sekali?”

...Klasik Benet.

Akhirnya, kami berhasil mengumpulkan lebih dari seratus ribu yen. Jumlah itu lebih dari cukup untuk membeli barang-barang di dunia ini.

Saat kami hendak pergi—tentu setelah mengenakan kembali gelang pembatas kekuatan—tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan.

Kami menoleh.

Sebuah truk melaju kencang menuju seorang anak kecil yang hendak menyeberang jalan.

Lampu untuk pejalan kaki menyala biru (ya, hijau). Artinya, truk itu yang melanggar.

...Baiklah, baiklah, jadi kau sedang terburu-buru. Kami paham.

Aku menghela napas, lalu menjejakkan kaki ringan ke tanah.

Dalam sekejap, tubuhku melesat melewati kerumunan, langsung menuju persimpangan.

Saat itu juga, aku menghantam truk yang meluncur ke arah anak kecil tersebut—dengan satu pukulan ringan.

Yah, “pukulan” mungkin terdengar berlebihan. Aku hanya sedikit mendorong truk itu hingga melayang.

Tentu saja, aku tak meninju truk itu terlalu keras. Aku hanya membuatnya melayang beberapa meter ke udara sebelum akhirnya jatuh perlahan dan mendarat dengan selamat. Pengemudinya pingsan, tapi masih hidup.

Kupastikan itu.

Dia... sedang memegang smartphone.

...Dasar tolol. Mengemudi sambil main ponsel? Kau nyaris membunuh anak kecil!

Mungkin tadi aku harus meninju sedikit lebih keras.

Saat aku melirik sekeliling, aku menyadari situasi mulai memanas.

Orang-orang berkerumun. Beberapa dari mereka mulai mengangkat smartphone dan merekam kami.

...Sial. Kurasa aku keterlaluan barusan.

Tanpa banyak bicara, aku segera meninggalkan tempat kejadian—tentu saja dengan memastikan kecepatanku tidak melampaui kecepatan suara. Tapi, ya... dari sudut pandang orang biasa, aku tetap tampak seperti bergerak dalam kecepatan super tinggi.

Aku mengangkat Benet dan melompat menjauh, menjauhi keramaian.

“Oi, bukannya kau sendiri yang bilang jangan membuat keributan?”

“Maaf. Aku bahkan tak sempat membalas ucapan itu.”

Melompat dari satu atap gedung ke atap lainnya, aku benar-benar... melarikan diri.

Bukan seolah-olah aku bisa menghindari semua mata kamera yang merekam, tapi setidaknya kami tak bisa terus diam di sana.

(Catatan Penulis)

[Money Getter]
Sampah.

Yang bisa dilakukannya hanyalah menemukan dan mengambil uang receh yang kebetulan ada di tanah.

Itu pun... seperti ada kekuatan misterius yang ‘mengirimkan’ uang yang tidak dimiliki siapa pun ke dekat pengguna.

Catatan tambahan
—Truck-kun nyaris beraksi hari ini.
—Tapi tidak sekarang.
—Ingat, jangan main ponsel sambil mengemudi!
—Dan jangan melompati gedung tanpa izin. Serius.