Bab 168: Kereta Api
Sore itu, dataran tengah Kerajaan Pritt yang luas.
Padang membentang sejauh mata memandang, dibelah garis rel besi yang panjang tak berujung. Di atasnya, seekor kereta baja menderu, rodanya berputar kencang, asap hitam mengepul dari cerobong, melaju membelah cakrawala.
Gerbong demi gerbong penuh penumpang, kereta panjang itu melintasi kerajaan dari barat ke timur.
Di sebuah kompartemen kelas satu dekat bagian depan, Dorothy duduk di sofa empuk. Secangkir kopi mengepul di tangannya, sementara matanya menatap ladang luas yang berganti pemandangan di balik jendela. Wajahnya tampak jenuh.
“Ugh… sudah satu setengah hari aku di kereta ini. Masih satu hari lagi baru sampai. Harus kutahan bosan ini lebih lama lagi…”
Dorothy mengaduk kopi tanpa sadar, lalu menguap kecil. Igwynt terletak di barat daya pulau utama, Tivian di pesisir timur. Perjalanan lurusnya saja lebih dari delapan ratus kilometer.
Dengan kecepatan kereta era ini yang masih lambat, jalur yang berkelok karena medan, ditambah pemberhentian panjang untuk bahan bakar dan inspeksi, perjalanan itu memakan waktu hampir tiga hari. Sekarang baru hari kedua.
Untuk melawan bosan, Dorothy membawa beberapa buku. Tapi ia lupa memperhitungkan satu hal—sebagai seorang Cognizer, ia membacanya terlalu cepat. Dalam waktu singkat semua habis, menyisakan tatapan kosong ke luar jendela.
“Setidaknya, kompartemen ini nyaman. Ada sofa, meja, tempat tidur. Kalau cuma kursi kayu keras, mungkin aku sudah gila.”
Ia bergumam dalam hati.
Kereta ini memiliki tiga kelas. Kelas satu, seperti milik Dorothy, berupa kompartemen pribadi lengkap. Kelas dua hanyalah deretan kursi keras, sesak penuh orang. Kelas tiga bahkan tak ada kursi—hanya jerami dan kain di lantai, sesak seperti penampungan darurat.
Harga tiket kelas satu sepuluh kali lipat kelas dua, puluhan kali lipat kelas tiga: tiga sampai empat pound. Bagi kebanyakan orang, itu kemewahan mustahil. Gregor menggertakkan gigi, rela merogoh hampir sepertiga gajinya demi keamanan Dorothy.
Dorothy tahu, harga itu sepele baginya. Namun ia tak bisa mengaku. Kalau ia yang membayar, Gregor pasti akan curiga dari mana uang itu berasal.
Saat ia masih melamun, suara kondektur menggema dari koridor.
“Ulster! Kita hampir tiba di Ulster! Para penumpang tujuan Ulster, harap bersiap turun! Kumpulkan barang Anda! Ulster, sebentar lagi Ulster!”
“Ulster?” Dorothy menegakkan kepala, matanya berkilat. Ulster—kota besar di timur tengah kerajaan, bahkan lebih ramai dari Igwynt.
“Kalau sudah Ulster, berarti Tivian tinggal besok. Aku bisa tidur malam ini, dan besok pagi atau siang sudah sampai.”
Ia menempelkan wajah di kaca, menatap ladang yang berganti rumah-rumah, lalu bangunan tinggi. Degup kereta semakin lambat.
Ulster, kota penting di jantung pulau Pritt.
Di selatan pegunungan, utara dataran, kota ini hidup dari pertanian dan kehutanan, memasok pangan dan kayu bagi seluruh kerajaan.
Menjelang senja, peron stasiun penuh orang yang menunggu kereta dari barat. Banyak dari mereka berniat menuju ibu kota, Tivian.
Di antara kerumunan berdiri seorang pria akhir dua puluhan. Wajahnya bersih, mengenakan jaket biru tua dan celana abu-abu. Di tangannya, sebuah tas kerja kayu dengan kunci kombinasi. Ia menoleh pada arloji, lalu menatap jalur rel. Mata itu dipenuhi antisipasi, seakan sudah melihat kepulan asap dari kejauhan.
Namanya Sodod, anggota Biro Ketenangan Ulster—seorang Beyonder. Malam itu ia bertugas mengawal sebuah misi transportasi menuju Tivian.
Peluit panjang menggema. Kereta baja perlahan memasuki stasiun, roda bergesek dengan raungan logam. Pintu-pintu terbuka, penumpang turun satu per satu. Begitu arus keluar mereda, giliran penumpang baru naik.
Sodod melangkah maju. Tiba-tiba, rasa diawasi menyelusup ke tengkuknya. Ia menoleh cepat—namun hanya mendapati kerumunan biasa.
“Halusinasi?” gumamnya. Ia menggeleng, lalu menyerahkan tiket ke kondektur.
Demi keamanan, ia membeli kelas satu. Sesampai di dalam, kondektur yang ramah mengantarnya ke kompartemen pribadi.
“Pak, sebentar lagi waktu makan. Apakah Anda ingin makan di gerbong makan, atau memesan ke sini?”
Sodod meletakkan topi, mantel, dan tas kayunya di sofa. Setelah berpikir sebentar, ia menjawab, “Aku akan ke gerbong makan. Tunjukkan jalannya.”
“Tentu, Pak.”
Sodod pun mengikuti kondektur meninggalkan ruangan.
Tak lama setelah pintu menutup, keheningan menyelimuti kompartemen. Lalu, dari dinding kayu yang tenang, perlahan muncul sebuah tangan pucat. Jemarinya merayap diam-diam… menuju tas kerja yang terkunci rapi di sofa.
No comments:
Post a Comment