Chapter 151: Keputusan
Kota Atas Igwynt, Jalan Bunga Matahari Selatan, di puncak sebuah gedung apartemen.
Pagi itu, Dorothy duduk sendirian di kamarnya. Untuk saat ini, hanya dia yang ada di rumah. Mengingat apa yang terjadi semalam, sudah jelas Gregor takkan pulang dalam waktu dekat, memberinya kesempatan langka untuk menikmati kesendirian.
Meski, kalau dipikir-pikir lagi, akhir-akhir ini Gregor sering terjebak dalam siklus lembur tanpa akhir. Jadi, momen-momen semacam ini sebenarnya tidak terlalu langka bagi Dorothy.
Di meja belajarnya, Dorothy tenggelam dalam renungan, memikirkan tawaran baru yang diajukan Aldrich beberapa waktu lalu.
“Aldrich ingin aku berpihak padanya dalam pertempuran melawan musuh terbesarnya. Sebagai gantinya, dia menjanjikan sebuah balas budi—yang bisa kupanggil kapan pun aku membutuhkannya di masa depan…”
“Balas budi, ya… Sesuatu yang paling tak bisa diprediksi. Nilainya bisa luar biasa, bisa juga nyaris tak berarti, tergantung kemampuan orang yang berutang.”
“Aldrich tetaplah sebuah enigma. Aku sama sekali tak tahu batas sebenarnya sampai di mana. Tapi kalau musuh-musuhnya sampai menurunkan dua Black-rank sebagai pasukan terdepan, itu cukup untuk membuktikan kalau dia bukan orang sembarangan. Kalau balas budinya kupakai dengan tepat, nilainya bisa jauh lebih besar dari harta apa pun.”
“Tapi masalahnya… aku harus berpihak padanya. Itu berarti menjadikan musuh-musuhnya sebagai musuhku sendiri. Aku akan menempatkan diriku dalam bahaya. Aldrich bilang dia punya enam puluh persen peluang untuk menang, tapi kenyataannya… siapa yang tahu? Menghadapi satu sosok yang lebih kuat dari Black-rank, ditambah dua Black-rank sekaligus—apa kami benar-benar punya peluang?”
Dorothy termenung di tengah dilema itu. Aldrich menolak memberi penjelasan lebih jauh sebelum ia setuju untuk membantunya, katanya dia hanya bisa membagi intelijen pada orang yang sudah mengikrarkan kesetiaan. Sikapnya bisa dimaklumi—kalau Dorothy tahu semua informasi lalu memutuskan untuk mundur, kerugiannya akan ditanggung Aldrich sendiri.
Itulah sebabnya Dorothy tidak menjawab langsung waktu itu. Ia memilih pulang untuk menimbang baik dan buruknya lebih dulu.
Namun, sudah lebih dari satu jam berlalu, dan pikirannya masih saja buntu.
“Ugh, ini bikin pusing… Mikir terus malah sakit kepala. Mungkin lebih baik aku istirahat sebentar, baca buku mistik biar pikiranku agak jernih.”
Sambil bergumam, Dorothy memijat pelipisnya, lalu menarik keluar dua buku baru yang belum lama ini ia beli dari Aldrich, berharap membaca bisa menyegarkan kepalanya.
Buku pertama di atas meja punya sampul lusuh berwarna ungu keabu-abuan, jauh lebih compang-camping dibanding buku mistik mana pun yang pernah dibacanya.
Begitu membuka halaman pertama, Dorothy tercengang.
Isinya… sebuah terjemahan. Tulisan dari bahasa lain yang ditranskripsikan langsung ke Pritt Common.
“Buku terjemahan? Wah, menarik juga…”
Penasaran, Dorothy membalik-balik halaman, menyerap pengetahuan di dalamnya.
Identitas penulisnya tidak jelas, tapi di bagian awal dijelaskan bahwa ia menerjemahkan sebuah teks kuno dari bahasa Old Imperial. Bahan yang ia pilih: sebuah puisi anonim dalam bahasa kuno itu.
Puisi itu adalah himne pujian, menceritakan kebesaran seorang raja.
Konon, dunia pernah terjerumus dalam kegelapan dan kekacauan. Para dewa jahat berjalan di bumi dalam wujud nyata, memimpin para pengikut setia mereka dalam perang penaklukan dan kehancuran tanpa akhir. Tak terhitung banyaknya nyawa yang menderita di bawah tirani mereka, terjebak dalam derita dan keputusasaan.
Namun dari umat manusia, muncullah seorang penguasa perkasa, dikenal sebagai “Raja Cahaya.” Dengan kekuatan tiada tanding, ia memimpin pemberontakan melawan para dewa tiran. Setelah menjalin aliansi-aliansi besar, ia akhirnya berhasil mengalahkan dan mengusir para dewa jahat, lalu mendirikan kerajaannya sendiri di atas puing-puing kehancuran.
Puisi itu singkat, sarat pujian dan retorika berlebihan, sehingga sedikit sekali informasi konkret yang bisa ditarik darinya. Tapi bagi Dorothy, cukup untuk memantik rasa ingin tahunya.
“Raja Cahaya? Seorang manusia yang bangkit melawan para dewa jahat di zaman kegelapan dan kekacauan? Ini mirip sekali dengan mitos Juruselamat Cahaya. Dan keduanya sama-sama dikaitkan dengan ‘cahaya’—mungkinkah ada hubungannya?”
“Tapi… ada juga perbedaannya. Dalam mitos Gereja Cahaya, Juruselamat Cahaya adalah makhluk ilahi. Dia mengasihani penderitaan manusia di tangan para dewa jahat, lalu turun untuk menyelamatkan mereka, sebelum kembali ke istana surgawinya di dalam matahari, meninggalkan tiga inkarnasi untuk menjaga dunia.”
“Sedangkan dalam puisi ini, Raja Cahaya hanyalah manusia—bangkit dari antara sesamanya, menggalang sekutu, lalu memberontak melawan para dewa. Lagi pula, ada penyebutan tentang pendirian sebuah kekaisaran, sesuatu yang tak pernah disinggung dalam mitologi Gereja Cahaya.”
Dorothy tidak berlama-lama memikirkan identitas Raja Cahaya itu. Ia lebih tertarik membuka sistemnya untuk melihat pengetahuan apa yang bisa ia peroleh dari buku ini.
Ternyata, buku itu memberinya pemahaman dalam dua bidang berbeda. Pertama, tentang isi puisi itu sendiri. Kedua, pengenalan dasar bahasa Old Imperial.
“Oh? Cuma dengan membaca terjemahannya, aku bisa dapat pemahaman dasar Old Imperial? Kalau aku bisa menemukan lebih banyak teks seperti ini, mungkin aku bisa mempelajari bahasa itu sedikit demi sedikit… bahkan mungkin memanfaatkannya untuk memperoleh Thu’um baru.”
Menyadari manfaat tambahan ini, Dorothy memutuskan menyimpan pemahaman linguistik itu untuk nanti. Ia akan berusaha menguasai bahasa tersebut sepenuhnya sebelum menggunakannya. Untuk sekarang, ia mengekstrak isi puisi itu menjadi spiritualitas.
Ia memperoleh 3 poin Lentera dan 2 poin Wahyu.
Setelah menyelesaikan buku pertama, Dorothy menaruhnya di samping dan mengambil buku berikutnya.
Sampulnya abu-abu polos, penuh debu, tapi kondisinya masih jauh lebih baik dibanding buku sebelumnya.
Saat membalik halamannya, Dorothy sadar bahwa itu adalah jurnal penelitian—catatan tentang pembuatan konstruksi spiritual beratribut Batu. Dan penulisnya? Aldrich sendiri.
Dalam jurnal itu, Aldrich menulis bahwa semua Beyonder yang selaras dengan Batu, apa pun peringkatnya, selalu terlibat dalam pembangunan berbagai formasi dan konstruksi—termasuk dirinya. Catatan itu merinci eksperimen dan temuannya, tampaknya dari masa mudanya.
“Hah… Jadi si kakek pamer prestasi masa muda, ya? Aku nggak punya afinitas ke Batu, jadi sebagian besar teorinya lewat begitu saja…”
Dorothy terkekeh dalam hati. Ia terus membaca sampai tiba pada satu bagian yang membuat matanya melebar.
“Berikutnya, aku perlu menyuntikkan sedikit Wahyu. Wahyu memang sulit didapat, tapi peringkatku memungkinkanku menjaga cadangan terbatas dari spiritualitas berharga ini.”
Dorothy terperanjat. Ia tak menyangka, selain Batu, Aldrich juga memasukkan Wahyu ke dalam konstruksinya.
Lebih penting lagi—jurnal itu jelas menyatakan bahwa Wahyu tersebut bukan berasal dari benda penyimpanan, melainkan dari dalam diri Aldrich sendiri!
Itu hanya berarti satu hal: spiritualitas sekunder Aldrich adalah Wahyu. Dia seorang Beyonder dengan Batu sebagai spiritualitas utama, dan Wahyu sebagai tambahan.
Hati Dorothy bergetar. Jika Aldrich benar-benar punya afinitas dengan Wahyu, maka dia pasti menyimpan pengetahuan berharga tentang jalur ini—mungkin bahkan petunjuk tentang jalur kenaikan yang ia sendiri butuhkan.
Sepertinya… membantu kepala sekolah tidaklah ide buruk.
Sambil bergumam, Dorothy akhirnya mengambil keputusan—menerima tawaran Aldrich demi mengejar pengetahuan tentang Wahyu.
“Hah… Menjual buku-buku ini padaku—apakah dia sudah curiga kalau aku punya keterkaitan dengan Wahyu? Memberiku jurnal ini… apa maksudnya, ‘Kalau mau tahu lebih banyak soal Wahyu, datanglah bantu aku’?
Benar-benar rubah tua licik.”
Saat menutup buku kedua, Dorothy telah mengekstrak 3 poin Batu dan 3 poin Wahyu.
Kini cadangannya berdiri di angka: 15 poin Chalice, 8 poin Batu, 4 poin Lentera, 3 poin Shadow, 2 poin Keheningan, dan 14 poin Wahyu.
Dari jumlah itu, 5 poin Wahyu adalah spiritualitas bar biru, sisanya 9 poin berupa bar pengalaman. Dua di antara bar biru masih dalam masa pemulihan.
Dengan kedua buku selesai dibaca, Dorothy bersandar di kursinya, memikirkan cara menghadapi tantangan yang akan datang.
“Dua Black-rank, plus satu sosok yang lebih kuat dari Black-rank… Hanya aku dan Aldrich? Rasanya tidak meyakinkan. Mungkin aku harus mencari bala bantuan…”
Dengan pikiran itu, ia mengeluarkan kotak sihir yang baru saja didapatnya, menyesuaikan ukuran bukaan, lalu mengeluarkan sebuah buku—Literary Sea Logbook.
Ia membuka halaman dan menemukan catatan percakapan lama dengan Vania.
Kemudian, Dorothy mengambil pena dan menulis:
“Kau ada di sana?”
No comments:
Post a Comment