Chapter 149 : Tawar-Menawar
Dermaga gelap dan sunyi itu terasa begitu menyeramkan. Pertumpahan darah sudah usai, hanya menyisakan mayat-mayat berserakan di tanah dan dua jasad berdiri kaku, tanpa nyawa, tak peduli pada dunia di sekitar mereka.
Dari balik kegelapan, Dorothy perlahan muncul. Gaun putih yang ia kenakan kontras dengan noda darah di sekitarnya. Ekspresinya datar saat matanya menyapu medan penuh mayat. Hanya dengan satu pikiran, dua marionet mayat itu bergerak, mulai membereskan tempat kejadian sekaligus mengumpulkan hasil rampasan.
“Rakus sekali…”
Tatapannya jatuh pada tubuh Harold yang tergeletak. Dorothy berbisik lirih. Jauh sebelum pertarungan sengit di Jalan Ksatria pecah, ia sudah mengawasi seluruh medan lewat marionet mayatnya. Jadi tentu saja, ia juga tahu soal geng bayangan yang bersembunyi, merencanakan sesuatu sejak awal.
Dari mereka, Dorothy mengetahui detail transaksi gelap itu—bahwa sang penyandang dana sedang menunggu di dermaga ini. Ia juga tahu, begitu pekerjaan selesai, mereka berniat kabur dari Igwynt untuk lolos dari kejaran hukum.
Dengan informasi itu, Dorothy tak mungkin membiarkan “sang pemberi dana” lolos. Panen itu sudah pasti.
Melenyapkan para bandit dan bangsawan korup semacam ini memang tak mendatangkan bahan mistik, tapi tetap ada yang bisa dimanfaatkan. Senjata api mereka bisa menambah persediaan amunisi. Uang mereka memperkuat dana. Dan tubuh mereka sendiri… bisa jadi koleksi baru untuk marionet mayat.
Amunisi, uang, tubuh—semuanya sumber daya konsumsi yang sama pentingnya dengan spiritualitas. Semakin banyak, semakin baik.
Tak lama, ia selesai melakukan penyisiran awal. Total panen: sembilan tubuh, sejumlah senjata dan peluru, serta uang tunai 320 pound—uang yang tadinya untuk para bandit, kini jadi miliknya.
“Hanya tiga ratus pound lebih sedikit sudah cukup untuk menyewa belasan algojo. Beginikah dunia sekarang?”
Dorothy menghela napas, menimbang uang di tangannya. Lalu ia bersiap memuat mayat dan barang-barang itu ke atas perahu, hendak mengangkutnya menyusuri sungai menuju Akademi Saint Armanda.
Demi keamanan, semua marionet mayat yang ia simpan sudah dipindahkan ke gudang dekat sekolah. Ia menyewa tempat itu dari Aldrich, sedikit di atas dua puluh pound. Jauh lebih aman daripada dermaga.
“Haaah… Kenapa aku nggak punya cincin ruang kayak transmigrator lain? Cari-cari tempat penyimpanan terus tuh nyebelin banget… Apalagi mayat, makan tempat gila-gilaan.”
Dorothy menggerutu sambil menyuruh marionetnya mengangkut satu per satu ke perahu. Ia sudah terlalu sering repot hanya gara-gara urusan penyimpanan, sering membayangkan betapa enaknya punya kantong empat dimensi atau artefak ruang semacam itu.
Akhirnya, setelah susah payah, semua marionet sudah di atas perahu. Dorothy hendak memberi perintah berlayar, tapi tiba-tiba matanya menyipit menatap feri kecil yang ia gunakan.
Perahu itu sudah ada di dermaga ketika ia tiba. Karena kebetulan dekat, ia pakai saja. Aneh, mesinnya tak terkunci, kemudi juga siap pakai—seakan memang disiapkan untuk kabur. Logisnya, ini pasti perahu yang sudah disediakan penyandang dana untuk meloloskan para bandit.
“Tunggu… aku belum periksa kapal ini, kan?”
Pikirannya terlintas begitu saja. Saat membereskan medan, ia sama sekali belum menyentuh perahu ini. Kalau memang dipilih khusus sebagai alat kabur, pasti ada yang berguna di dalamnya. Rampasan sekecil apa pun tetap rampasan.
Dorothy memberi perintah. Marionet-mayonet itu lalu menyisir feri dari haluan hingga buritan. Hasilnya nihil—kecuali dua tong ikan. Dorothy hampir menyerah, tapi tiba-tiba salah satu marionet menemukan ruang tersembunyi di dek bawah.
Di dalamnya ada gulungan batang kuning kecokelatan, diikat rapat. Sumbu-sumbu menyembul dari tiap batang, semuanya tersambung ke alat mekanik dengan sebuah dial.
Melalui penglihatan marionetnya, Dorothy menatap benda aneh itu, bergumam pelan.
“Ini…”
…
Bulan meredup, matahari naik, malam pun berganti pagi.
Cahaya emas fajar menyinari arsitektur megah Akademi Saint Armanda. Patung-patung batu yang menghiasi kampus berkilau diterpa cahaya pagi, menebarkan kesan sakral. Di lorong-lorong kuno, lantunan bacaan siswa menggema, menandai hari belajar baru.
Di bawah akademi, di bengkel luas, Aldrich yang berseragam tukang kebersihan duduk santai di kursi. Ia tampak agak terkejut melihat tamu yang tak terduga.
“Sepertinya ini pertama kalinya dalam beberapa bulan kau datang tepat waktu, Nona Mayschoss. Ada urusan mendesak?”
Sambil menyesap teh, Aldrich bertanya santai pada gadis di depannya.
Dorothy hanya tersenyum.
“Aku punya tawaran untukmu—dan aku yakin kau akan menganggapnya menarik.”
“Tawaran yang menurutku menarik? Heh… sudah lama sekali aku tak menemukan transaksi semacam itu, Nona Mayschoss.”
Aldrich terkekeh, mengira Dorothy hanya bercanda. Namun Dorothy tetap tenang.
“Tenang saja. Kau tak akan kecewa.”
“Kau terdengar percaya diri sekali. Apa akhirnya kau mau menjual rahasia kemampuanmu? Nah, itu baru sesuatu yang membuatku benar-benar tertarik.”
Dorothy menggeleng.
“Bukan, Tuan Aldrich. Yang kutawarkan adalah informasi.”
“Informasi?”
Keraguan sekilas melintas di wajah Aldrich. Dorothy mencondongkan badan, suaranya serius.
“Tuan Aldrich, apakah kau pernah mendengar tentang… Deer Skull?”
Begitu kata itu keluar, wajah Aldrich langsung kaku. Tubuhnya membeku, seakan napasnya terhenti. Beberapa detik lamanya ia hanya diam seperti patung.
Akhirnya, ia kembali normal. Wajahnya kembali tenang, menatap Dorothy sambil berkata pelan,
“Kurasa aku memang membutuhkan informasi itu. Sebutkan harganya, Nona Mayschoss.”
Dorothy sempat ragu, lalu mengangkat lima jari.
“Lima buku mistik. Atau, kalau kebetulan kau punya artefak mistik yang bisa menyimpan barang dalam jumlah besar, maka dua buku plus artefak itu.”
Setelah melontarkan tuntutan berani itu, Dorothy bersandar, yakin Aldrich akan mulai menawar.
Namun bukannya menawar, Aldrich hanya mengusap dagu, berpikir sebentar, lalu menjawab,
“Sepakat. Dua buku dan artefak mistik yang kau minta.”
Senyum percaya diri Dorothy langsung membeku di wajahnya.
No comments:
Post a Comment