Grimoire Dorothy Chapter 145

Chapter 145 : Posisi

Tengah malam di Knight Street, pertempuran berdarah belum juga usai. Para Pemburu terus dihujani bilah-bilah tulang melayang. Sudah terluka parah setelah bentrok dengan para preman, mereka nyaris tak punya tenaga untuk melawan. Hanya bisa bertahan, sementara satu per satu rekan mereka tertebas.

Namun ada celah harapan. Berkat perintah Gregor untuk mundur masuk ke dalam rumah, bilah-bilah tulang mengubah pola serangan—dari menyerang habis-habisan menjadi lebih banyak menghalangi jalan mundur. Tekanan berkurang sedikit, memberi ruang bagi para Pemburu untuk bertahan meski belum bisa masuk ke gedung.

Gregor sendiri menjadi tumpuan utama. Lebih dari separuh bilah berhasil ia tepis, meski tiap benturan membuat lengannya makin berat. Ia menggertakkan gigi, amarahnya membara.

“Sial… Di mana bangsat yang mengendalikan ini? Kalau ketemu, sudah kutebas habis!”

Ia sadar, bilah-bilah tulang itu jelas dikendalikan seseorang yang bersembunyi. Kalau tenaganya habis dan tak mampu menahan lagi, mereka semua akan mati di jalan ini.

Di balkon lantai atas, Elena pun sama gelisahnya. Ia ingin membantu rekan-rekannya dengan bidikan senapan, tapi target tak terlihat. Bilah-bilah tulang kecil dan cepat itu di luar kemampuan akurasinya. Ia mengamati sekeliling, cemas mencari tanda keberadaan pengendali, tapi kegelapan dan kekacauan membuat usahanya sia-sia.

“Aku harus apa…?”

Sementara para Pemburu dilanda panik, Goffrey yang bersembunyi di ruangan gelap tetap tenang. Dari balik jendela ia mengamati, menghitung berapa lama Gregor sang “anjing hitam” bisa bertahan sebelum roboh.

“Skuad yang lumayan… tapi di sinilah akhir kalian.”

Hanya satu hal yang mengusiknya. Tadi, ia sudah mengirim bilah tulang untuk membunuh marionet yang lincah bagai monyet. Namun marionet itu lolos dari bidang pandangnya. Bukan masalah besar, pikirnya—pengendalinya bukan target utama.

Namun saat ia berpikir begitu, sosok yang dikenalnya justru muncul lagi. Di bawah cahaya lampu jalan, marionet itu berdiri… menari?

Ya, menari tap dance!

Di tengah medan penuh darah, tubuhnya berayun lincah, langkah kakinya menghentak berbunyi riang. Wajahnya tersenyum lebar, seolah sedang tampil di panggung megah.

Goffrey mengepalkan tangan, giginya terkatup rapat.

“Kurang ajar… Berani-beraninya kau menantangku.”

Senyum marionet itu seperti mengejeknya, seakan berkata: “Kalau bisa, bunuh aku!”

“Mau memancingku mengurangi bilah untuk bantu anjing hitam itu, ya? Mimpi! Empat bilah cukup untuk mereka. Satu saja cukup untukmu!”

Dengan dingin, Goffrey mengarahkan satu bilah tulang kembali mengejar marionet itu.

Dor! Dor!

Bilah itu melesat. Marionet berhenti menari, langsung berlari gesit menghindar. Di bawah kendali Dorothy dari atap, ia berlari seperti parkour: menukik di balik pagar, melompati tong sampah, memutari tiang lampu, dan menyelinap di balik papan reklame.

Goffrey melihat gerakannya tersendat tiap kali pandangannya terhalang, membuat bilahnya sempat ragu mengejar. Frustrasi kian menumpuk.

Sementara itu, di atap gelap, Dorothy menyunggingkan senyum tipis.

“Bagus… perlahan saja. Biar kulihat dari mana saja kau bisa melihat… dan dari mana kau tak bisa.”

Ia tidak menggerakkan marionet sembarangan. Ia memanfaatkannya sebagai penunjuk jalan, menguji titik buta pengendali. Bila bersembunyi di sisi kiri papan reklame dan bilah berhenti, berarti musuh mengintai dari kanan. Bila menekuk di sisi selatan gerobak dan bilah tetap mengejar, berarti bukan dari utara. Dengan cara itu, ia menyingkap potongan demi potongan arah pandang musuh.

Akhirnya, pola terbentuk. Musuh pasti berada di lantai atas gedung di sisi selatan Knight Street. Dorothy mengirim dua marionet burung ke titik itu. Tak lama, salah satunya melihat sosok di jendela lantai empat, tengah menatap medan di bawah dengan penuh konsentrasi.

“Ketemu juga kau…”

Dorothy menimbang cepat. Bangunan itu terkunci rapat, sulit ditembus. Maka ia memberi aba-aba: burung marionet hinggap di ambang jendela, meletakkan sebuah kotak korek api.

Dengan gesit, satu burung menahan kotak, yang lain menarik batang korek dan menggeseknya. Cahaya kecil pun menyala, berkedip di kegelapan.

Di balkon No. 26, Elena menangkap kilatan cahaya itu. “Apa itu…?” gumamnya. Ia mengaktifkan kekuatan Lentera, menajamkan penglihatan ke arah sana.

Di jendela gelap itu, ia melihat bayangan sosok mengawasi medan perang.

Elena tak ragu. Ia mengangkat senapan, mengatur bidikan, dan menarik pelatuk.

Bang!

Suara tembakan merobek malam. Peluru menembus kaca jendela, menghantam dada Goffrey yang tengah sibuk mengendalikan arwah.

No comments:

Post a Comment