Grimoire Dorothy Chapter 141

Chapter 141 : Penyelidikan

Kenapa ada hantu di rumah ini, rumah yang sejak awal diatur khusus untuk Anna dan dulunya milik Viscount Field?

Pertanyaan itu berputar di kepalaku. Aku mencoba menimbang, apakah hantu itu memang sudah lama ada di rumah ini… atau datang dari luar.

Setelah menganalisis dengan hati-hati, aku merasa kemungkinan hantu itu berasal dari rumah ini sangat kecil. Tadi siang aku baru saja membicarakan detail rumah ini dengan para pengacara. Properti di Knight Street adalah kawasan elit, dan beberapa rumah di sana—termasuk No. 26—dulu dibeli oleh Viscount Field. Saat pertama dibangun, sang viscount memborong beberapa unit di lokasi terbaik, lalu menyewakannya dan cepat balik modal. Investasi yang benar-benar sukses.

Kawasan ini selalu terawat, tanpa riwayat pembunuhan, rumah berhantu, apalagi kuburan. Itu sebabnya para penyewa berebut untuk tinggal di sini. Sulit membayangkan ada hantu yang begitu saja eksis di tempat seperti ini.

Kalau hantu itu datang dari luar, kenapa justru melayang ke sini? Dan tingkahnya—melayang mengamati sekeliling—apakah itu perilaku hantu pada umumnya? Atau ada alasan lain di baliknya?

"Gerakan menyapu pandangan seperti itu… rasanya lebih mirip pengintaian."

Aku tiba-tiba sampai pada kesimpulan itu. Aku sendiri sudah terbiasa memakai marionet mayat kecil untuk penyusupan dan pengintaian, jadi refleksku langsung mengaitkan keduanya.

“Kalau ada Beyonder yang terhubung dengan Keheningan atau punya kekuatan sejenis, mungkin saja mereka bisa mengendalikan arwah. Dengan begitu, mereka bisa memakai hantu sebagai mata-mata, sama seperti aku memanfaatkan marionet mayat.”

“Kalau benar begitu… masalahnya serius. Berarti ada Beyonder yang sedang mengintai rumah ini!”

Pikiran itu membuat bulu kudukku meremang. Aku tak tahu alasan Beyonder itu tiba-tiba tertarik dengan tempat ini, tapi kalau dugaanku tepat, situasinya jelas genting.

Sambil pura-pura tetap tenang, aku terus mengamati hantu yang melayang di dalam ruangan. Aku sempat berpikir untuk memperingatkan para Pemburu yang berjaga. Namun, bagaimana caranya tanpa mengekspos kemampuanku sendiri?

Akhirnya, seolah surveinya sudah selesai, hantu itu menembus dinding dan melayang keluar. Dugaanku terbukti—ia memang datang dari luar.

Aku sempat berpikir untuk mengirim marionet kecil membuntutinya. Tapi segera kusadari: penglihatan spiritual dari kemampuan appraisal-ku hanya bisa kugunakan untuk diriku sendiri. Marionet tidak bisa melihat apa yang kulihat. Dengan kata lain, mereka tidak akan bisa melacak hantu itu.

"Sepertinya kali ini, aku kalah dalam permainan mata-mata…"

Aku menghela napas dalam hati, mencatat dalam benak agar lebih waspada terhadap sekitar mulai sekarang.

Keluar dari No. 26, hantu itu terus melayang di sepanjang Knight Street, mengintip rumah-rumah dan memperhatikan kereta kuda yang lewat. Setelah puas, ia kembali meluncur cepat ke arah semula. Tak lama, ia tiba di ujung Knight Street, di mana Goffrey sudah menunggu dengan tangan terlipat di belakang punggung.

Hantu kurus keriput itu condong ke telinga Goffrey, berbisik dengan suara nyaris tak terdengar. Goffrey mendengarkan, lalu mengangguk perlahan.

“Hmph… Jadi bocah itu memang mencurigakan. Ada anjing hitam yang menjaganya… Menarik…” gumamnya.

Yang ia maksud dengan anjing hitam tentu saja para Pemburu—anjing penjaga berseragam hitam milik otoritas.

Hantu itu berhasil melihat senjata standar yang disembunyikan para Pemburu berpakain sipil, memastikan identitas mereka.

“Kalau anjing hitam melindunginya, berarti gadis itu menyimpan rahasia tertentu… mungkin punya backing kuat. Tapi itu belum tentu sasaran kita. Aku tidak mencium jejak spiritual Jalur Batu sama sekali. Bisa jadi mereka hanya menjaganya karena menemukan sesuatu yang tidak biasa pada dirinya.”

Goffrey terus merenung. Ia yakin Anna memang berbeda dari orang biasa, tapi belum bisa memastikan apa anomali itu—apakah benar ia target yang mereka cari atau bukan.

“Kelihatannya aku harus mengetes sedikit malam ini… siapa tahu bisa memancing sesuatu keluar.”

Matanya melirik ke rumah lain di Knight Street. Saat hantunya menyelidiki No. 26, ia juga sempat menyinggahi rumah sekitar. Dan ada sesuatu yang sangat menarik di No. 38.

“Bagaimanapun… kalau ada bidak yang rela menampakkan diri di papan, sayang kalau tidak dipakai.”

Ucapan itu meluncur dengan senyum tipis di bibirnya, tatapannya terarah pada jendela rumah No. 38.

Di dalam rumah No. 38, beberapa pria duduk mengelilingi meja besar di ruang tamu lantai dua. Dari balik jendela, mereka menunjuk ke arah No. 26, saling berdebat sengit.

Pakaian mereka cukup rapi, sebagian memakai topi. Di antara mereka ada seorang pria pendek gemuk dengan wajah penuh lemak kendur—Harold, sepupu jauh Gary Field.

Saat itu, para pria di sekelilingnya saling teriak, muka memerah, tak ada yang mau mengalah.

“Begitu semua beres, seluruh properti di Knight Street harus jadi milikku!”

“Omong kosong! Apa hakmu mengklaim Knight Street? Kalau bicara darah keturunan, aku jauh lebih dekat dengan keluarga Field daripada kau!”

“Hah! Kalau memang berdasar darah, tak satu pun dari kalian bisa menyaingiku…”

Pertengkaran makin memanas. Jengkel, Harold berdeham keras sambil mengetuk meja, lalu bicara lantang.

“Cukup, tuan-tuan! Soal pembagian warisan nanti saja. Yang terpenting sekarang, kita selesaikan dulu urusan ini. Selama bocah itu masih hidup, semua perdebatan kita tak ada gunanya!”

Ucapannya membuat semua terdiam. Harold melirik ke arah No. 26, lalu kembali menatap orang-orang di sekitarnya.

“Rencana malam ini sudah jelas. Kumpulkan semua tentara bayaran yang kalian sewa. Kita singkirkan si bocah dalam satu serangan. Setelah itu, terserah mau bagi warisan sambil makan malam atau di pengadilan. Ada yang keberatan?”

Mereka saling pandang sejenak, lalu menjawab serempak.

“Tidak.”

Menjelang senja, cahaya emas matahari sore menyelimuti Knight Street. Kunjungan ke No. 26 akhirnya selesai setelah sepanjang siang. Di depan pintu, Anna berdiri melambaikan tangan, mengantar tamu-tamunya pulang satu per satu.

“Sampai jumpa, Nona Mayschoss! Datang lagi, ya!”

“Tentu. Sampai jumpa, Anna.”

Aku tersenyum hangat saat berpamitan dengan muridku, lalu beranjak pergi. Dari kejauhan, Gregor yang mengawasi dari gedung lain akhirnya bisa bernapas lega.

“Fuh… akhirnya dia pulang juga. Aku iri, deh. Dia bisa pulang, sementara aku harus berjaga semalaman. Sial…” gerutunya sambil mengangkat bahu tak berdaya.

Sementara itu, aku berjalan menyusuri jalan yang masih disinari cahaya jingga. Sekilas aku menoleh lagi ke arah Knight Street, lalu bergumam pelan.

“Kelihatannya malam ini aku juga tak bisa langsung istirahat…”

No comments:

Post a Comment