Grimoire Dorothy Chapter 134

Bab 134: Penganugerahan

Di tengah malam, di kamar rumah sakit yang sempit dan gelap, Dorothy, berbalut hitam, duduk di tepi ranjang. Ia mengajar Anna—yang berwajah kosong dan bermata hampa—sebuah pelajaran: bagaimana cara berdoa kepada sosok ilahi.

Setiap kalimat yang Dorothy lantunkan, Anna mengikutinya. Karena kondisi mental Anna masih lemah, ia sering terhenti atau salah ucap. Butuh waktu lama sampai akhirnya Anna berhasil menuntaskan doa itu.

“Yang Tak Terbatas di Atas Dunia Ini…

“Tempat Berhimpunnya Takdir Tanpa Akhir…

“Gerbang dan Kunci Kebenaran Abadi…

“Aka yang Agung, Pencatat Segala Sesuatu.”

Di bawah bimbingan Dorothy, Anna, dalam kebingungannya, mulai berdoa—kepada nama yang tak ia kenal, kepada dewa asing yang sama sekali asing baginya, kepada Dorothy sendiri. Di ruang kecil nan gelap itu, suara lembut seorang anak bergema.

Dorothy mendengar doa itu dari jarak dekat. Seketika, sebuah notifikasi dari sistem muncul. Tanpa ragu, ia menggunakan doa Anna untuk menjalin hubungan.

Lalu, Dorothy segera bertindak, mengubah sisa racun Song of the Lamb yang masih bercokol di benak Anna menjadi spiritualitas. Seketika itu juga, semua racun di pikiran Anna benar-benar musnah.

Duduk di ranjang, mata Anna yang hampa perlahan mendapatkan cahaya kembali. Ia berkedip beberapa kali, wajahnya menampakkan kebingungan.

“Eh… apa yang baru saja terjadi padaku… Rasanya aneh sekali…”

Anna bergumam sambil menoleh, hingga pandangannya jatuh pada Dorothy yang tersenyum lembut kepadanya.

“Guru… Mayschoss? Kenapa kau ada di sini…? Ah, tunggu, kau memang baru saja masuk… Kau sedang mengajariku sesuatu, mengajariku berdoa…”

Sambil memegangi kepalanya, Anna berbicara dengan nada bingung. Ingatannya jelas masih terpecah akibat racun.

“Bagaimana perasaanmu sekarang, Anna?” tanya Dorothy.

Anna menggeleng pelan, lalu menjawab, “Aku merasa… hmm… masih agak pusing, tapi jauh lebih baik. Setidaknya… setidaknya aku bisa membedakan semuanya sekarang…”

Ia menatap Dorothy dengan ragu.

“Guru, apakah ini ulahmu? Kau yang menyelamatkanku?”

“Tidak… Itu anugerah dari sosok yang baru saja kau doakan. Aku hanya mengajarkan cara berdoa. Hadiah yang menyelamatkanmu itu—dianugerahkan oleh-Nya.”

Anna tampak bingung, mencoba mengingat doa yang barusan ia ucapkan.

“Doa? Oh iya… Guru Mayschoss tiba-tiba muncul, bilang saatnya pelajaran, lalu mengajarkanku doa. Butuh waktu lama untuk menghafalnya, dan yang kupanjatkan itu bukan pada Ibu Suci… bukan juga Anak atau Bapa Suci… tapi kepada… Ak—”

“Shh…”

Dorothy cepat memberi isyarat.

“Ingat, jangan pernah menyebut nama itu di depan orang lain. Itu aturan yang harus kau patuhi sebagai penerima keselamatan.”

Anna sempat terkejut, lalu mengangguk patuh.

“Uh… baiklah, Guru Mayschoss. Lalu… apakah sosok itu juga bisa menolong anak-anak lain? Mereka juga diadopsi Viscount Field, dan mereka pun jadi aneh. Dokter dan biarawati bilang kondisi mereka buruk. Apakah sosok itu bisa menyelamatkan mereka juga…?”

Mata Anna berbinar penuh harap. Meski tak sepenuhnya mengerti siapa sosok yang ia doakan, ia percaya kalau makhluk itu bisa menyelamatkannya, tentu bisa menyelamatkan teman-temannya juga.

Dorothy menghela napas kecil.

“Aku takut tidak, Anna. Perbedaan di antara para dewa amat besar. Sosok itu bukan Ibu Suci yang penuh kasih. Ia tidak menebar rahmat sembarangan. Ia pun tak ingin namanya menyebar terlalu jauh. Mengabulkan doamu dan memberimu anugerah ini saja sudah batas yang bisa kulakukan.”

Ada nada menyesal dalam suara Dorothy. Berbeda dengan Anna, anak-anak lain tak hanya diracuni Song of the Lamb, tetapi juga tercemar obat-obatan berat. Dorothy bisa menyingkirkan racun kognitif, tapi tidak bisa menyembuhkan kerusakan akibat obat.

Anna menunduk, kecewa.

“Aku mengerti… Kalau begitu, aku sungguh berterima kasih, Guru, karena sudah berdoa untukku… dan memintakan hadiah berharga ini…”

Meski kecewa, ia tetap tulus bersyukur. Dorothy tersenyum tipis lalu menambahkan:

“Tapi mungkin masih ada jalan lain. Anak-anak itu tidak harus menunggu rahmat dewa. Kuncinya kini ada padamu, Anna.”

“Padaku…?”

Anna hanya bisa menatap kosong, penuh kebingungan.

Bulan terbenam, matahari terbit. Hari baru menyinari Igwynt.

Rumah Sakit Santo Tenet kembali sibuk. Dokter dan biarawati lalu lalang, mengerjakan tugas. Selain sedikit keributan semalam akibat kucing dan anjing nyasar, semuanya tampak berjalan normal.

Di pintu masuk rumah sakit, James berdiri rapi dalam pakaian formal. Kumis tipis dan rambutnya yang mulai memutih membuatnya tampak semakin berwibawa. Sesekali ia melirik jam saku, seolah menunggu seseorang.

Tak lama, sebuah kereta berhenti di gerbang. Kusir turun, membuka pintu, lalu keluarlah seorang pria.

Pria itu berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun, berpakaian jas, bertopi tinggi. Tubuhnya pendek gemuk, perut buncit, pipinya tebal, dan di mulutnya terjepit cerutu. Begitu melihat James, wajahnya langsung mekar dengan senyum manis penuh penjilat.

“Oh! Tuan James, kau sudah menunggu lama! Seribu maaf membuatmu menunggu, ini sepenuhnya salahku!”

Sambil tersenyum lebar, pria itu mencabut cerutunya dan membungkuk. James membalas dengan senyum tenang.

“Tak perlu minta maaf, Baron Harold. Aku hanya datang lebih awal. Kau tepat waktu.”

“Hahaha… tentu saja! Ini undanganmu, Tuan James—mana mungkin aku terlambat? Sejujurnya, aku selalu bangga tidak pernah telat menghadiri pertemuan. Bahkan di Igwynt pun, kebiasaan itu tak berubah!”

Pria bernama Harold itu tertawa lebar. James hanya terkekeh tipis, lalu meluruskan perkataannya.

“Kurasa kau salah paham. Aku tidak mengundangmu untuk sebuah pertemuan. Aku membawamu ke sini… untuk melihat sesuatu.”

No comments:

Post a Comment