Chapter 125: Ramalan dalam Gelap
Kegelapan masih menyelimuti seluruh manor keluarga Field. Di ruang pamer senjata yang luas, Dorothy berdiri di tengah ruangan, meneliti sekelilingnya dengan saksama sebelum mengangguk kecil. Ia memutuskan—di sinilah ia akan menghadapi Luer untuk terakhir kalinya.
“Ruangannya cukup besar… Jumlah pintu memang agak berlebihan—ada bukaan dari segala arah… Hmm… masih bisa ditangani. Sekarang, aku hanya butuh satu benda. Tongkat…”
Dengan pikiran itu, Dorothy berkeliling mencari tongkat. Namun setelah dua kali memeriksa, hasilnya nihil. Alisnya mengerut.
“Tidak ada… Kalau begitu…”
Tatapannya jatuh pada sebuah bangku kayu. Tanpa ragu, ia menempelkan Sigil Pemangsa ke tubuhnya sendiri, lalu membalik bangku itu dan mematahkan salah satu kakinya.
“Ini cukup.”
Menggenggam kaki bangku yang patah, Dorothy kembali ke tengah ruangan. Dari kantongnya, ia mengeluarkan tiga keping koin emas dan menyelipkannya ke celah ujung kayu patahan itu.
Lalu, memegangnya seperti tongkat, ia memusatkan pikiran dan berbisik lirih mantra ramalannya.
“Arah datangnya ancaman yang tersembunyi di manor ini.”
Begitu selesai, ia melepas tongkat darurat itu dan membiarkannya jatuh bebas. Ujungnya berhenti mengarah ke pojok barat laut ruangan. Dorothy melirik ke arah itu—gulita pekat menyelubungi, tak terlihat apa pun.
Inilah ramalan tongkat—atau ramalan cane—bentuk sederhana dari ramalan ritual, biasanya dipakai untuk mencari arah atau navigasi. Kali ini, Dorothy memanfaatkannya untuk menentukan dari mana bahaya akan muncul.
Setelah mencatat arah itu, ia mengambil kembali tongkat daruratnya dan mencabut koin-koin. Di bawah cahaya bulan samar, ia memeriksa koin—dua dari tiga keping telah kehilangan kilau. Itu menandakan dua koin telah terkuras Lentera-nya, berarti ramalan tadi menghabiskan dua poin Revelation.
“Heh… Jadi kau hanya punya satu Shadow dan satu Revelation untuk melawan ramalan? Menyedihkan sekali.”
Dorothy paham alasan pengeluaran ekstra itu—targetnya membawa artefak anti-divinasi. Karena itu, ia sudah menyiapkan sumber tambahan sejak awal.
Hasilnya jelas: 1 Shadow dan 1 Revelation dari pihak Luer melawan ramalannya, sementara sisa 1 Lentera dan 1 Revelation miliknya berhasil menembus, membuat ramalan terlaksana. Maka dua koin menghitam, dua poin Revelation pun terpakai.
Bagi orang tanpa sistem ramalan terstruktur sepertinya, anti-divinasi biasanya hanya berupa benda yang disimpan spiritualitas sebelumnya. Berbeda dengan spiritualitas bawaan, cadangan di benda itu terkuras begitu saja, tak terasa, kecuali dicek setelahnya.
Artinya, Luer baru saja terkena ramalan tanpa menyadarinya—kecuali ia tiba-tiba memeriksa artefak anti-divinasi yang dibawanya. Tapi saat ini, ia terlalu sibuk berburu mangsanya.
“Sekarang aku sudah tahu arah kedatangannya, langkah selanjutnya…”
Dorothy merogoh kantong dan mengeluarkan arloji tembaga. Saat dibuka, tampak wajah jam yang rusak.
Tak ada kaca pelindung, jarum jam, menit, dan detik longgar dan mati, seolah terpasang asal. Di tutup jamnya, terukir tanda-tanda okultis, dengan simbol Lentera dan Revelation.
Inilah alat ramalan lain yang ia siapkan—jam saku biasa yang telah dimodifikasi, bisa digunakan untuk ramalan jenis lain.
Dorothy meletakkan koin emas terakhir di atas tutup jam, menekan jarinya pada dial, lalu melafalkan mantra berikutnya.
“Waktu aku akan diserang.”
Begitu selesai, ia memutar jarum jam itu. Karena longgar, jarum-jarum itu berputar liar, lalu perlahan berhenti di satu posisi.
Inilah ramalan jam, teknik yang dibelinya dari Aldrich, dipakai untuk memprediksi peristiwa dalam rentang satu hari.
Dengan ramalan tongkat tadi, ia sudah menghabiskan lima poin Revelation bawaan. Untungnya, ia masih punya cadangan Revelation yang ditimbun sebagai pengalaman, jadi ia bisa menyelesaikan ritual ini.
“2:31:25.”
Ia menghafal angka itu, lalu menyimpan jam rusak tersebut. Dari kantong lain, ia mengeluarkan jam saku normal, dengan jarum yang masih tepat pada waktu kini.
“Sekarang pukul 2:28:00. Artinya, dia akan menemukan dan menyerangku tepat dalam tiga menit dua puluh lima detik.”
“Baiklah… mari kita mulai.”
Menyimpan kembali kedua jam dan koin terakhirnya, Dorothy berjongkok di samping etalase, menampilkan diri seolah sedang meringkuk ketakutan. Ia menutup mata, menunggu dengan sabar.
Waktu berlalu. Awan melintas, menutupi bulan. Ruangan pamer senjata terbenam dalam kegelapan sempurna.
Dalam gulita itu, sunyi mutlak menguasai segalanya—hanya detak jantungnya yang terasa.
Lalu, di antara bayangan itu, sesosok makhluk melangkah masuk melalui jendela terbuka, tanpa suara.
Terselubung kegelapan, Luer dalam wujud binatangnya merayap masuk. Ia mengendus udara, lalu menatap ke tengah ruangan.
Meski tanpa cahaya, indra tajamnya membuat ia mampu mengenali kontur sekitar. Di bawah etalase, ia melihat sosok meringkuk.
Detailnya samar, tapi penciumannya menegaskan: inilah mangsa yang ia buru.
“Heh… Akhirnya… kutemukan kau… Si pengendali marionet yang sok hebat.”
Senyum sinis terlukis di benaknya. Luer merunduk, memilih posisi serangan paling tepat, menikmati momen jelang mangsanya hancur.
“Takut, ya? Gemetar ketakutan… Bersembunyi di sini, bahkan tak berani bergerak… Hah! Beginilah nasib orang yang tak layak hidup dalam kegelapan. Saat mengendalikan marionet, kau begitu angkuh… Nyatanya, kau cuma pengecut menyedihkan. Kau bahkan tak sadar aku sudah di sini.”
Pelan, Luer menemukan sudut terbaik untuk menyergap—tepat di belakangnya, tanpa halangan.
“Penyusup keji, waktunya kau membayar.”
Perburuan dimulai.
Luer menegangkan ototnya, lalu melesat, menembus gelap dengan kecepatan mematikan. Dalam sekejap, ia sudah kurang dari satu meter dari mangsanya.
Namun tepat saat itu, sosok yang ia kira gemetar ketakutan berbalik—menatap lurus ke arahnya.
Dan kemudian, sosok itu bersuara.
Sepotong kata—yang tak ia pahami.
“—Fus·Ro—”
No comments:
Post a Comment