Chapter 122: Benturan
Larut malam, di dalam kompleks Field Manor, pertempuran pun meletus.
Di salah satu sisi koridor lantai tiga kapel, Dorothy tetap bersembunyi dalam bayangan. Begitu ia memastikan Luer tertembak di kepala dan roboh, ia segera memerintahkan lima marionet mayat yang sudah ia siapkan menerobos masuk serentak ke dalam kapel. Bersenjatakan senapan, mereka menghujani Bill dan Fetch dengan tembakan, memaksa keduanya bersembunyi di balik perlindungan.
Para marionet mayat Dorothy menyerbu dari arah depan kapel. Akibatnya, Bill dan Fetch yang terdesak peluru berlindung di dekat lingkaran ritual di ujung kapel. Untuk membalas serangan, mereka harus menempatkan diri membelakangi formasi ritual—posisi yang jelas bukan kebetulan, melainkan jebakan yang sudah diatur Dorothy.
Kini, yang perlu dilakukan Dorothy hanyalah melepaskan kendali atas salah satu marionet mayatnya, lalu menghidupkan kembali jasad sang mentor yang terbujur di lingkaran ritual. Dengan punggung Bill dan Fetch sepenuhnya terbuka, eksekusi akan jadi perkara sepele—dua kill cepat untuk menutup penyergapan ini, mengakhiri segalanya, lalu kembali pulang.
Namun, saat Dorothy mencoba menghidupkan jasad sang mentor, ia terhenti.
Tautan spiritualnya gagal terhubung. Tubuh sang mentor tak bisa dijadikan marionet mayat. Hanya ada satu kemungkinan—sebuah pertanda buruk…
Dia belum mati.
Seakan membenarkan firasat terburuknya, Dorothy menyaksikan lewat mata marionet-mayatnya bagaimana sang mentor yang seharusnya sudah tak bernyawa itu mulai bangkit. Tubuhnya mengalami transformasi menjijikkan—bulu hitam tumbuh, otot membengkak, wajahnya memucat, mulut memanjang jadi moncong bertaring, tangannya berubah jadi cakar tajam. Dalam sekejap, berdirilah sosok setinggi dua meter, perpaduan manusia dan binatang.
Dorothy langsung mengenalinya—seorang Beastman. Seorang Beyonder Chalice yang menempuh Jalur Shadow sebagai atribut spiritual pendamping hingga mencapai peringkat Black Earth. Jalur ini menekankan perburuan dan pemangsaan, mengubah diri jadi binatang untuk berkuasa sebagai predator puncak.
“Apa-apaan?! Bagaimana dia masih bisa berdiri setelah kepalanya ditembak? Aldrich tak pernah bilang Beastman punya kemampuan macam ini! Jangan-jangan… artefak mistik?” Dorothy mulai merasakan kegelisahan.
Saat itu juga, Luer yang kini berubah jadi makhluk buas meraung dan melesat ke posisi tembak para marionet. Sebuah bayangan hitam menerobos hujan peluru, dan dalam sekejap, ia sudah sampai. Satu tebasan cakarnya cukup untuk mencabik tiga marionet mayat sekaligus.
Lukanya menganga, hampir membelah tubuh mereka. Tulang, otot, dan tulang belakang hancur—kerusakan begitu parah hingga mereka sepenuhnya tak bisa dipakai lagi.
Spiritualitas Shadow mudah disalurkan ke senjata, membuatnya lebih tajam. Cakar Luer yang diselimuti Shadow sama mematikannya dengan bilah baja. Dikombinasikan dengan kekuatan fisik super dari Chalice, serangannya mampu mencabik musuh tanpa kesulitan.
“Mentor! Kau sudah pulih!”
Melihat itu, Bill dan Fetch bersorak lega.
Namun sebelum Luer sempat merespons—
Bang!
Satu tembakan lagi menggelegar.
Dari lantai atas, Vania kembali menarik pelatuk, membidik Luer yang sudah berubah jadi monster. Meski pikirannya masih berkabut karena kelelahan mental, ia bukan lagi sasaran empuk.
Di saat genting, Luer memutar tubuhnya, membuat peluru hanya menembus bahu, bukan kepala. Tatapan liar penuh kebuasan lalu mengunci Vania yang sedang menggenggam senapannya.
Pemandangan itu membuat jantung Vania berdebar panik.
“Apa-apaan?! Dia bisa berdiri lagi?! Padahal tadi kepalanya sudah kutembak!”
“Ada penembak di atas! Anjing Gereja! Naik ke sana dan bunuh dia!”
“Dimengerti!”
Mendengar perintah Luer, Bill dan Fetch segera meninggalkan senjata api mereka, lalu memanjat pagar balkon dan melompat ke lantai atas. Luer sendiri juga bersiap meloncat, namun tiba-tiba sesuatu terjadi.
Tiga penjaga baru menyerbu dari luar kapel, bergabung dengan dua sisanya hingga membentuk skuad lima orang. Menghunus pedang, mereka menerjang Luer dengan kecepatan tak wajar. Di kening mereka, simbol Chalice berpendar samar.
Begitu melihat Luer bergerak ke arah Vania, Dorothy segera mengaktifkan tiga marionet baru dari stok yang sudah ia sembunyikan di luar. Bersama dua yang tersisa, semuanya sudah ditandai Sigil Pemangsa. Mengorbankan sisa spiritualitas mereka, para marionet itu menyerbu Luer untuk menghalangi langkahnya.
Di luar kapel, seluruh manor sebenarnya sudah diam-diam dibersihkan Dorothy. Jasad para penjaga rendahan ditumpuk dekat pintu masuk—lebih dari sepuluh tubuh. Itulah cadangan pasukan Dorothy. Begitu ada celah dalam barisan marionetnya, ia cukup memanggil bala bantuan dari stok itu.
Dengan Sigil Pemangsa, marionet-mayat itu mendapat peningkatan fisik drastis. Mereka menyerbu bagaikan serigala, pedang di tangan, mengepung Luer dari segala arah. Dikepung, Luer meraung dan melolong nyaring.
Itu bukan raungan biasa.
Itulah Auman Teror—kemampuan Beastman yang menanamkan rasa takut mendalam pada musuh di sekitarnya, memutuskan tekad mereka, memaksa mereka lari. Rasa takut, pada akhirnya, adalah manifestasi mental dari Shadow.
Luer berniat memecah belah musuh hanya dengan teror.
Namun kemampuannya tak berefek apa-apa.
Para marionet tetap menerjang tanpa gentar.
Mereka sudah mati secara spiritual—tak lagi mampu merasakan takut.
“Jadi ini… marionet? Sial! Harusnya aku sadar lebih cepat. Apa lagi kalau bukan itu?!”
“Brengsek… kepalaku masih berdenyut… Aku harus mengakhiri ini cepat-cepat.”
Luer mengertakkan gigi. Efek sisa kelelahan mentalnya masih membebani pikirannya.
Dengan geraman, ia mengayunkan cakarnya, bertarung melawan para marionet.
Didukung Sigil Pemangsa, berjumlah lima-lawan-satu, memanfaatkan kelemahan mentalnya, dan dengan pasukan tak terbatas di belakangnya, Dorothy nyaris bisa menahan Luer di tempat.
Namun Luer bukan satu-satunya ancaman.
Saat itu juga, Bill dan Fetch sudah berhasil naik ke lantai tiga, melacak sumber tembakan.
Satu-satunya yang bisa menghentikan mereka hanyalah Vania.
“M-Mereka sudah sampai sini?! A-Aku belum siap menghadapi ini!”
Melihat dua Beyonder Chalice menerjang cepat ke arahnya, Vania menggenggam erat senapannya, darahnya berdesir hebat dipenuhi rasa panik.
No comments:
Post a Comment