Bab 119 : Konversi
Di dalam lingkaran ritual Chalice dan Shadow, Luer duduk di kursi, menatap buku mistik di pangkuannya—buku yang berisi ritual kenaikan yang sebentar lagi akan ia lakukan.
Inti dari ritual itu adalah tujuh “anak domba.” Dahulu istilah itu bermakna lain, tapi dalam buku ini, maksudnya adalah tujuh anak yang sudah dilatih menyanyikan Song of the Lamb. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Luer untuk mengumpulkan mereka.
Pertama-tama, ia harus menemukan anak-anak dengan bakat yang sesuai untuk melantunkan lagu itu. Maka ia menyederhanakan dan mengadaptasi Song of the Lamb, lalu menggunakan pertunjukan amal sebagai kedok untuk mengajarkannya pada para yatim. Lewat paduan suara itu, ia bisa menyaring siapa saja yang punya talenta terbaik.
Bertahun-tahun sambil menghimpun spiritualitas dan bahan-bahan pelengkap untuk kenaikan, Luer terus menyeleksi “anak domba”-nya, menundukkan mereka dengan pelatihan dan racun kognitif. Kini, spiritualitasnya sudah penuh, anak domba terakhir sudah ada, semua siap. Ritual kenaikan segera dimulai.
Luer bersandar tenang di kursi, menunggu Jam Suci. Bill dan Fetch berdiri di sampingnya, diam tak bersuara.
Di atas, dari balik bayangan koridor lantai tiga yang mengitari kapel besar itu, dua pasang mata mengawasi.
“Nona Dorothy, k-kapan kita bergerak…?” bisik Vania gugup sambil menggenggam senapan panjangnya.
Dorothy, yang sedang meneliti keadaan di bawah, menjawab lirih, “Tunggu sampai ritual benar-benar dimulai. Kalau bergerak terlalu cepat, sia-sia. Ikuti saja isyaratku.”
Ia kembali mengamati. Alisnya berkerut, lalu menoleh pada Vania.
“Ngomong-ngomong, Sister Vania, bukankah setiap ritual kenaikan selalu butuh pemandu—Beyonder berpangkat lebih tinggi?”
“Hmm… iya. Di gereja juga diajarkan begitu. Harus ada pemandu, atau kalau tidak, pakai artefak mistik kuat. Paling ekstrem, berdoa minta perhatian ilahi…” Vania menjawab pelan.
Dorothy menatap ke bawah lagi. “Tapi… aku tak melihat Beyonder berpangkat tinggi di sini. Artefak pun belum. Apa dia berusaha mencari perhatian Dewa Serigala yang diagung-agungkannya?”
Vania menggeleng. “Perhatian ilahi? Hampir mustahil. Bahkan uskup agung pun jarang mendapatkannya. Dari tiga metode pemandu, itu yang paling langka dan paling sulit.”
“Kalau begitu, apa yang dipakai orang ini?” gumam Dorothy, ragu.
“Bisa saja artefaknya belum dikeluarkan. Atau… pemandu tak harus hadir langsung. Ada banyak metode jarak jauh—lewat mimpi, misalnya.”
“Pemanduan jarak jauh…” Dorothy mengangguk pelan, menyimpan info itu. “Kalau begitu, ayo kita cari titik serangan yang lebih baik.”
…
Ketegangan makin kental. Beberapa saat kemudian, Luer melirik jam di pergelangan tangannya. Ia menutup buku tua itu.
“Jam Suci telah tiba. Mulai ritualnya.”
Buku dilempar ke samping. Ia menatap anak-anak di sekitarnya, lalu mengangkat tangan.
“Bernyanyilah, dombaku. Persembahkan suaramu. Persembahkan darah dan dagingmu!”
“Ya, Ayah.”
Suara anak-anak menjawab serentak—kecuali Anna. Mereka sudah lama tenggelam dalam racun kognitif, jadi sekadar alat bagi Luer.
Mengenakan pakaian putih, anak-anak itu berdiri melingkar dan mulai bernyanyi dengan nada aneh.
“Domba… oh domba… kami adalah domba… domba kecil nan lembut…
Beri kami makan, kami akan berterima kasih. Kasihi kami, kami akan membalasmu.
Berikan rumput, kami kan hadiahkan daging.
Berikan air, kami kan kembalikan darah.
Belai kami, kami kan berikan wol untuk menyelimutimu.
Domba… oh domba… kami adalah domba… domba Tuhan… domba Serigala…”
Nyanyian ganjil itu menggema di seluruh kapel. Suara polos anak-anak terasa seperti jarum yang menusuk kesadaran.
Anna, yang tadi berusaha keras menolak, tiba-tiba merasa pikirannya kabur. Lagu itu memaksa bibirnya ingin ikut bernyanyi.
Bagi Dorothy, suara itu membawa notifikasi sistem.
[Mystical Knowledge — Song of the Lamb (versi lengkap) telah diperoleh.]
“Jadi ini versi lengkapnya. Pendek, tapi racun kognitifnya luar biasa pekat…” pikir Dorothy. Tanpa ragu, ia mengekstrak spiritualitas lagu itu, mengubahnya jadi 2 Chalice dan 1 Revelation.
Namun, ia mendengar suara terengah di sampingnya. Vania memegangi kepalanya, wajahnya tegang.
“Hhh… i-ini… versi penuh lagunya? Racun kognitifnya… aagh…”
Sakit tajam menusuk kesadarannya, diiringi rasa lapar aneh dari lubuk jiwa. Dorothy langsung panik.
“Sial… Vania terinfeksi racun kognitif lagu ini…”
Luer, Bill, dan Fetch tentu sudah kebal karena mempelajari lagu itu. Dorothy sendiri punya imun bawaan. Tapi Vania… ia terpapar mentah-mentah.
“Hey, sistem, bisa bantu orang yang terhubung denganku melawan racun kognitif?”
‘Imunitas langsung tak mungkin. Tapi dengan fungsi Ekstraksi Spiritualitas, kau bisa mempercepat konversi racun kognitif yang menumpuk menjadi spiritualitas.’
Mata Dorothy melebar. Jadi fungsi ekstraksi bisa dipakai untuk orang lain juga? Itu berarti ia bisa menolong Vania—mengubah racun itu jadi akumulasi spiritualitas!
Ia menepuk lembut bahu biarawati yang gemetar.
“Tenanglah, Vania… Berdoalah. Mereka akan meringankan sakitmu.”
“B-berdoa… pada Mereka…?”
Mata Vania yang berkabut bergetar. Ia menyingkirkan senapannya, lalu berlutut, menyatukan tangan di depan dada—posisi doa khas Radiance Church.
“Tuhan… kumohon… limpahkan belas kasih-Mu… anugerahkan rahmat-Mu… lindungi aku dari racun bidat…”
Doanya tulus. Dorothy segera bertindak. Lewat saluran informasi, ia mengekstrak Song of the Lamb yang menyusup ke dalam Vania, mengubah racun kognitifnya menjadi spiritualitas murni.
No comments:
Post a Comment