Grimoire Dorothy Chapter 107

Bab 107 : Pencarian

Di dalam gedung teater, para penonton pertunjukan malam itu larut dalam penampilan di panggung, sementara Dorothy justru tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Memang… agak mirip, ya…”

Dorothy mengaduk-aduk memorinya, membandingkan bayangan dalam benak. Ia menyingkap dua citra spesifik dari ingatannya, lalu menumpangkannya dengan teliti, menganalisis tiap detail satu per satu.

Saat itu, otaknya bekerja seperti perangkat lunak pemrosesan gambar canggih. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai pada kesimpulan: pria bernama Bill yang pernah ia temui di Buck Mansion ternyata sangat mirip dengan pria yang tadi ia lewati di lorong. Bentuk wajah, proporsi tubuh, hingga detail bagian bawah wajah—semuanya nyaris identik. Dorothy kini yakin, keduanya adalah orang yang sama.

“Jadi Bill ada di sini juga? Untuk apa dia datang? Apa lagu yang dinyanyikan anak-anak itu benar-benar terkait dengan Eucharist? Apa dia sumber krisis yang ditunjukkan dalam ramalan koin itu?”

Pikiran Dorothy berputar cepat, serangkaian pertanyaan menyesaki kepalanya. Namun setelah menggelengkan kepala, ia memilih fokus pada satu hal terpenting: kemungkinan krisis yang bisa ditimbulkan Bill.

Pertama… aku harus tahu bentuk krisis macam apa yang ditujukan padaku. Apakah krisis Eucharist ini begitu luas hingga aku ikut terseret, ataukah identitasku sudah terbongkar dan mereka kini mengincarku secara khusus?

Krisis berskala besar, semacam teror, sepertinya tak mungkin. Aksi seperti itu akan mengundang perhatian pemerintah pusat dan para petinggi gereja. Lagi pula, Crimson Eucharist sudah terlalu porak-poranda gara-gara aku. Mereka tak mungkin punya sumber daya untuk menggelar operasi besar dalam waktu dekat.

Kalau begitu… berarti kemungkinan besar aku memang sudah terekspos. Tapi sejak kapan? Dan sejauh mana yang mereka ketahui? Apakah identitasku sudah terbongkar sepenuhnya, termasuk lokasiku sekarang?

Dengan pikiran yang gelisah, Dorothy mulai meneliti sekeliling, mengamati siapa pun yang terlihat mencurigakan atau seolah sedang mengawasi dirinya.

Saat itulah ia menyadari sesuatu yang aneh. Di sisi barisan penonton, beberapa staf teater tampak sibuk mengumpulkan kartu undangan, baris demi baris. Setiap kumpulan kartu mereka rapikan, lalu dicatat. Beberapa penonton mulai keberatan, mengeluh karena merasa terganggu. Meski para staf terus meminta maaf, mereka tak berhenti melakukan tugasnya.

Kenapa tiba-tiba mengumpulkan undangan? Bukankah tadi sudah diperiksa di pintu masuk? Apa ada masalah yang perlu dicek ulang? Tapi tidak… Pertunjukan sudah dimulai, kenapa baru sekarang? Itu jelas mengganggu pengalaman penonton…

Memandang para staf yang perlahan makin mendekat, Dorothy berpikir keras. Mengganggu ratusan orang hanya demi menemukan segelintir yang mencurigakan rasanya tak efisien. Lagi pula, ini hanyalah pertunjukan amal, bukan sidang rahasia.

Kecuali… orang yang mereka cari begitu penting, sampai mereka rela mengorbankan kenyamanan semua penonton.

Bila manajemen teater berada di bawah kendali Eucharist, maka besar kemungkinan dirinyalah target yang harus mereka temukan, apa pun caranya.

Kalau begitu… mereka pasti punya cara melacakku lewat undangan ini. Tapi bagaimana? Ramalan mistik? Tidak, kalau mereka bisa melacak posisiku lewat divinasi, mereka tak perlu repot begini. Berarti informasi itu ada pada benda fisik. Apa… baunya? Ya, aroma bisa tertinggal di benda.

Rangkaian logika itu menyatu di kepalanya. Dorothy menduga, saat ia bersenggolan dengan Bill tadi, aroma tubuhnya mungkin menempel. Dan jika pihak Chalice memiliki benda atau kemampuan untuk memperkuat indra penciuman, undangan bisa dijadikan alat pelacak.

Kalau seseorang keliling penonton sambil mengendus satu per satu, tentu akan dianggap gila dan diusir. Tapi dengan mengumpulkan kartu undangan, mereka bisa melakukan pencarian tanpa menimbulkan keributan.

Dorothy menatap undangan di tangannya. Kartu itu dibagikan lewat berbagai organisasi afiliasi, tanpa nama pribadi. Namun staf mencatat tiap tumpukan kartu berdasarkan baris tempat duduk. Bila ada yang mencurigakan, mereka tinggal mempersempit ke baris itu, lalu menemukan kursi spesifik dengan eliminasi sederhana.

“Sepertinya… aku tak bisa begitu saja menyerahkannya.”

Ia menggenggam undangan itu lebih erat. Menyerahkannya berarti membiarkan aroma tubuhnya dianalisis, yang otomatis akan membongkar posisinya. Namun kalau menolak atau pura-pura kehilangan, kecurigaan akan meningkat, bahkan Bill sendiri bisa muncul untuk memastikan.

Menggunakan kekerasan hanya akan langsung membongkar jati dirinya. Kabur sekarang pun mustahil; kursi kosong akan mudah dikenali, dan para penonton di sekitarnya pasti bisa memberi deskripsi tentang dirinya.

“Benar-benar… merepotkan.”

Dorothy mengerutkan kening. Para staf memang masih agak jauh, tapi pada akhirnya mereka akan sampai ke barisnya. Dalam situasi terbuka seperti ini, sulit baginya untuk melawan, kabur, atau menyerahkan kartu tanpa konsekuensi. Rasanya ia seperti terkepung tanpa jalan keluar.

“Aku harus segera memikirkan rencana…”

Dorothy kembali terbenam dalam pikirannya.

Sementara itu, di bagian lain teater, tepatnya di sebuah ruang khusus milik Gereja Cahaya.

Vania menonton pertunjukan sambil sesekali ditemani penjelasan dari para imam lokal Igwynt. Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk sopan setiap kali mereka berbicara.

“Ha ha… Saudari Vania, bagaimana menurutmu? Beginilah wajah umat Tuhan di Igwynt. Mengesankan, bukan?”

Seorang imam paruh baya menyapanya dengan ramah. Memaksa tersenyum, Vania menjawab, “Ah… iya. Benar-benar luar biasa. Malam ini sungguh membuka mata bagiku.”

“Oh, begitu? Lalu pertunjukan mana yang paling berkesan bagimu, Saudari Vania? Bisa kau ceritakan?”

“Eh… itu… kurasa paduan suara anak-anak di awal tadi. Mereka begitu… murni! Indah sekali!”

“Paduan suara anak-anak, ya? Ha ha, sudah kuduga! Perlu kau tahu, Saudari Vania, anak-anak itu berasal dari Panti Amal setempat. Tempat itu sepenuhnya menaati ajaran Bunda Suci. Lihat saja semangat dan wajah mereka, jelas sekali mereka hidup dalam anugerah Bunda…”

Imam gempal itu mulai bercerita panjang lebar, menjadikan pertunjukan sebagai ajang pamer prestasi gereja lokal. Imam-imam lain sesekali menambahkan komentar. Vania, yang memang pemalu dan kikuk, hanya bisa tersenyum kaku sambil mengangguk, merasa kewalahan.

Jelaslah, undangan untuk Vania bukan sekadar menonton pertunjukan. Bagi para rohaniwan lokal, ini kesempatan emas untuk menunjukkan pencapaian mereka di hadapan perwakilan gereja pusat. Pertunjukan hanyalah selubung; yang terpenting adalah menjilat hati utusan dari ibukota.

Awalnya Vania mengira ia datang sekadar untuk menonton. Ternyata semua ini berbalik jadi acara sosial yang berpusat pada dirinya. Ia ingin diam-diam menikmati acara, tapi suasananya malah jadi seperti jamuan bisnis.

Gereja Cahaya memang organisasi religius, tapi ukurannya yang raksasa tak luput dari sifat birokratis. Dan malam itu, Vania jadi sasaran utamanya.

Sebagai biarawati dari Keuskupan Pritt di ibukota, statusnya membuat para imam Igwynt merasa wajib mencari muka.

Bagi Vania, yang jarang bersosialisasi karena sifatnya yang tertutup, ini benar-benar menyiksa. Ia hanya bisa tersenyum kikuk dan menjawab seadanya, sementara dalam hati rasanya ingin menangis.

Terseret naluri seorang biarawati, ia akhirnya berdoa dalam hati.

Tuhan, tolonglah aku! Aku hanya ingin menonton pertunjukan dengan tenang…

Dan tepat saat doa itu selesai, Dorothy yang duduk di kursi penonton mendadak membeku sesaat.

No comments:

Post a Comment