Bab 104 : Aroma
“Hhh… syukurlah situasiku tidak sampai membuat para diakon gereja turun tangan untuk interogasi. Kalau itu terjadi, pasti aku tidak bisa menyembunyikan apa pun.”
Di sebuah kamar kecil, Vania yang baru saja lolos dari pemeriksaan menghela napas lega. Setelah kejadian itu, ia langsung melapor ke gereja dan bekerja sama sepenuhnya dalam penyelidikan. Kesaksiannya sesuai dengan keadaan di lapangan, tanpa celah mencurigakan. Ditambah lagi dengan latar belakangnya yang bersih serta reputasi yang baik, para penyelidik hanya mengajukan pertanyaan padanya, bukan interogasi resmi.
Andai interogasi formal dilakukan, gereja pasti mengirim diakon berpangkat hitam atau lebih tinggi. Di hadapan Beyonder Lentera tingkat atas, berbohong tak mungkin—mereka memiliki kemampuan untuk membedakan kebenaran.
Vania menceritakan sebagian besar yang terjadi di ruang bawah tanah malam itu: bagaimana mereka menemukan lokasi, masuk untuk menjelajah, kemudian disergap, hingga ia bersembunyi di ruang samping.
Di bagian akhir ceritanya, ia menjelaskan bahwa seorang bidat yang terluka sempat masuk ke ruang tempatnya bersembunyi. Panik, ia menangkis dengan pedang, dan berhasil membunuhnya karena kondisi musuh yang sudah sekarat, meski dirinya sama sekali tak berpengalaman.
Adapun bidat lain yang mati karena pantulan peluru, ia biarkan seakan-akan tubuhnya bercampur di medan pertempuran utama, di antara tumpukan mayat. Alasan bahwa dirinya tak sengaja membunuh bidat terluka dalam upaya bertahan diri masih cukup masuk akal—terlebih karena tubuh yang ia tusuk memang memiliki luka lain. Namun, mengaku bisa menangkis peluru dengan pedang jelas akan terdengar mustahil.
“Baik, Suster Vania, penyelidikan atas para bidat dan pemulihan relik Uskup Dietrich sedang berlangsung. Demi keamanan, relik itu akan dibawa terlebih dahulu ke Igwynt, lalu dengan pengawalan bersenjata penuh dikirim ke Tivian. Kau bisa ikut bersama relik itu, demi keselamatan, mengingat aktivitas bidat belakangan ini meningkat. Itu akan lebih aman.”
“Untuk sekarang, gunakan waktumu untuk beristirahat beberapa hari di Igwynt.”
Rohaniwan itu merapikan berkas di atas meja sambil tersenyum. Vania terkejut, lalu cepat-cepat berdiri dan membungkuk hormat.
“Terima kasih banyak! Setelah menyaksikan kekejaman para bidat, aku memang terus merasa tegang. Aku harus memanfaatkan waktu ini untuk beristirahat—dan mungkin sedikit menjelajahi Igwynt.”
“Heh, silakan saja menikmati, Suster Vania. Igwynt memang punya pesona. Misalnya, sekolah yang direnovasi berkat sumbangan mulia Santa Amanda ada di sini. Oh, dan sebentar lagi acara amal tahunan akan digelar—itu salah satu acara paling ditunggu di daerah ini,” ujar sang rohaniwan dengan nada bangga memperkenalkan kotanya.
Mendengar itu, Vania bertanya penasaran, “Acara amal?”
“Ya, jamuan amal tahunan yang diadakan Viscount Field, ditujukan untuk membantu kaum miskin. Dalam acara itu, sang viscount mendorong kaum bangsawan setempat untuk berdonasi. Ada banyak pertunjukan dan kegiatan juga—acara ini cukup terkenal.”
Mata rohaniwan itu berbinar. Setelah menatap Vania sekali lagi, ia menambahkan, “Sebenarnya, demi meneladani kasih Bunda Cahaya, kami memang selalu mengirim perwakilan setiap tahun. Karena kau sedang berada di sini, Suster Vania, bagaimana kalau kau ikut serta?”
Baginya, ini kesempatan bagus: seorang biarawati dari keuskupan pusat bisa menyaksikan sendiri acara amal ini, lalu saat kembali bisa bersaksi bahwa “umat Igwynt begitu taat, para bangsawan penuh belas kasih,” dan seterusnya. Itu jelas akan meninggalkan kesan baik di mata atasan.
“Jamuan amal…?” Vania bergumam, mengangguk pelan.
…
Waktu cepat berlalu, dua hari kemudian, malam pun tiba.
Di kota atas Igwynt, di sebuah persimpangan besar, derap teratur tapak kuda menggema. Di bawah cahaya senja keemasan, berbagai kereta berdatangan, beriringan menuju satu tempat.
Di sisi persimpangan, papan besar dengan lampu terang menyala megah. Di bawahnya berdiri gerbang terbuka dengan penjaga di kiri-kanan. Itulah Teater Permata yang terkenal di Igwynt, malam ini menyambut tamu undangan.
Sepanjang jalan yang lebar, deretan kereta sudah terparkir. Para pria dengan setelan rapi dan wanita bergaun indah turun satu per satu, bercakap dan tertawa sambil berjalan di atas karpet merah menuju pintu masuk teater yang megah dengan dekorasi mewah.
Di tengah keramaian itu, sebuah kereta berhenti pelan di pinggir jalan. Seorang gadis muda turun dengan hati-hati.
Rambut putihnya disisir rapi, dibiarkan terurai. Ia mengenakan gaun abu-hitam selutut dengan sedikit sentuhan formal, dihiasi renda serta pita kupu-kupu di pinggang. Topi kecil berhias bunga menutupi sebagian rambutnya, sementara kaus kaki hitam setinggi paha dipadukan dengan sepatu kulit mengilap menyempurnakan penampilannya.
Itulah Dorothy, hadir di tengah perkumpulan kelas atas. Ia sudah mengeluarkan cukup banyak uang untuk membeli busana yang pantas, bahkan sempat ke salon untuk dirias dengan make-up tipis.
Sejak pertama kali bereinkarnasi, inilah kali pertama Dorothy berdandan penuh. Ia sampai menghabiskan hampir setengah jam menatap bayangannya sendiri di cermin panjang toko, terpukau. Baru setelah diingatkan penjaga toko, ia tergopoh meninggalkan tempat itu agar tidak terlambat.
Gaun yang ia kenakan malam ini lebih mahal dari semua pakaian yang pernah ia beli seumur hidup. Tapi Dorothy sama sekali tidak merasa bersalah—karena bukan itu masalah utamanya sekarang.
“Hhh… sampai juga. Saatnya masuk.”
Ia bergumam pelan, lalu menginstruksikan kusir bonekanya untuk memarkir kereta, sementara ia melangkah menuju pintu masuk teater. Di sepanjang jalan, ia menarik banyak perhatian. Para pria meliriknya diam-diam, sementara sekelompok wanita berbisik di balik kipas, menebak-nebak dari keluarga mana gadis ini berasal.
“Sepertinya aku agak terlalu menonjol. Harusnya aku memilih busana yang lebih sederhana,” pikir Dorothy sambil mempercepat langkah. Ia menyerahkan undangan kepada penjaga pintu, lalu masuk bersama arus tamu lainnya melewati gerbang besar teater itu.
Di dalam, Dorothy mengikuti kerumunan menuruni lorong panjang berkarpet. Dari arah berlawanan, sekelompok staf pria dengan seragam teater lewat. Ciri khas mereka adalah topeng setengah wajah yang menutupi bagian atas muka.
Topeng itu rupanya ciri khas staf Teater Permata. Tak seorang pun di sekelilingnya tampak heran, dan Dorothy pun hanya sempat menoleh sekilas sebelum berjalan melewati mereka.
Namun, salah satu dari staf itu tiba-tiba berhenti. Ia menoleh, menatap kerumunan yang perlahan menjauh, tatapannya menyapu punggung-punggung orang yang hilang di dalam gedung.
Setelah ragu sebentar, pria itu melangkah lagi, keluar dari teater, lalu menuju sebuah kereta mewah yang terparkir di tepi jalan.
Sesampainya di sana, ia melepas topengnya—wajah Bill pun tampak jelas.
Dengan ekspresi penuh hormat, Bill menunduk ke arah kereta dan berkata,
“Tuan, sepertinya aku menangkap aroma yang familiar—aroma yang pernah kucatat di Mansion Buck dulu…”
No comments:
Post a Comment