Novel Kusuriya no Hitorigoto Chapter 309

Volume 11 - Chapter 6

Laporan


Karpet merah terbentang lurus ke depan. Di ujungnya berdiri singgasana, tempat kaisar sekarang duduk.

Seharusnya Jinshi langsung melapor begitu tiba, tapi berkat pertimbangan kaisar—yang juga saudara kembarnya—hal itu ditunda hingga esok hari. Bahkan waktunya pun ditetapkan setelah tengah hari, mungkin lebih untuk memberi Jinshi waktu beristirahat daripada menyesuaikan jadwal orang lain yang juga harus melapor.

Yang duduk di singgasana itu adalah sang kaisar. Saat masih berstatus Putra Mahkota, ia dikenal sebagai Tuan Matahari, Tuan Siang Hari. Sebagai tandingannya, Jinshi mulai disebut Tuan Bulan. Hanya dialah di negeri ini yang bisa memanggil Jinshi dengan nama aslinya.

Penampilannya nyaris tak berubah setelah setahun. Namun mungkin karena pencahayaan, beberapa helai rambut putih tampak terselip di rambut hitamnya. Fakta bahwa helai-helai itu dibiarkan begitu saja, tanpa disamarkan, seolah menandakan bahwa sang kaisar memang sengaja membiarkannya.

Di sisi kanan dan kiri kaisar berdiri para pejabat senior. Di tempat Shishou dulu biasa berdiri, kini digantikan oleh Gyokuen.

[Kazuigetsu memberi hormat pada Paduka.]

Ia menundukkan kepala dengan tenang.

Di depan kaisar, Jinshi hanya boleh menyebut nama aslinya.

Di belakangnya berdiri Rakan dan beberapa pejabat tinggi lainnya. Basen juga ada di sana, sepertinya mengawasi Rakan dengan tatapan tajam, siap menerkam bila ia bertingkah macam-macam.

Laporan tertulis sebenarnya sudah lebih dulu diterima kaisar. Yang disampaikan Jinshi hanya ringkasan singkat mengenai apa yang terjadi di Jusshu selama setahun terakhir.

Ketika Jinshi melirik, wajah Gyokuen sama sekali tak berubah. Namun jelas ia pasti menyimpan sesuatu di hatinya soal kematian putranya.

[Kau sudah bekerja dengan baik.]

Suara rendah itu begitu familiar. Biasanya, Jinshi dipanggil malam hari, ditemani minuman dan camilan sambil bercakap santai. Tapi sekarang?

Ia merampungkan laporannya dengan ringkas dan hendak segera undur diri, sebelum Rakan sempat membuat ulah. Banyak hal memang telah terjadi selama setahun, tapi kalau dirangkum untuk laporan resmi, semuanya bisa disampaikan dalam beberapa kalimat saja. Bila tak ada pertanyaan, ia akan pergi—

[Oh, Zui.]

Tepat saat laporan hendak ditutup, kaisar memanggilnya.

[Bagaimana kalau kau ikut aku ke Istana Dalam? Sudah lama kita tidak ke sana bersama.]

Sebuah ajakan yang terdengar tak masuk akal. Para pejabat senior pun saling berbisik.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Jinshi, meski seorang kasim, pernah berada di Istana Dalam. Namun itu tak pernah diakui secara resmi. Rasanya seperti dipermainkan.

Jawaban yang benar seharusnya: “Paduka hanya bergurau.” Tapi setelah enam tahun berada di posisi itu, Jinshi sulit mengucapkannya.

[Aku hanya bercanda. Kau pasti masih lelah. Santailah sampai besok.]

Kaisar tak menunggu jawabannya.

Jinshi merasa lega, sekaligus kembali diingatkan bahwa saudaranya itu tetap sosok yang sulit dihadapi.

Rakan, yang sejak tadi berdiri di belakang, keluar ruangan dengan wajah segar. Tampaknya ia senang karena sesi membosankan ini selesai lebih cepat.

[Beristirahatlah.]

Selesai memberi hormat pada kaisar, giliran ia menyapa permaisuri janda—ibunya, lalu Putra Mahkota dan Gyokuyou, Permaisuri Putra Mahkota.

Setelah itu barulah ia bisa sedikit santai. Semua urusan administrasi sudah dibereskannya di atas kapal. Jadi seharusnya ia bisa beristirahat beberapa hari sebelum kembali bertugas.

[Tuan Bulan, apakah Anda langsung kembali ke kamar?]

[Setelah menyapa permaisuri janda dan yang lain. Tapi sebelumnya, bisakah kau memanggil seseorang untukku?]

[Siapa?]

[Bisakah kau memanggil Maomao?]

Nada Jinshi sedikit kikuk saat menyebut nama itu. Rakan sudah tidak ada di sekitar, dan ia memastikan tak ada telinga lain yang mendengar.

[Gadis itu…?] Basen menoleh bingung.

[Ada apa? Memangnya salah?]

Basen memang agak lamban, jadi wajar bila Jinshi ragu menyuruhnya memanggil Maomao. Namun, demi masa depan, ia harus mulai terbiasa.

[Tidak, cuma kupikir para tabib istana sudah mulai bekerja hari ini, jadi mungkin dia juga sudah kembali bertugas. Haruskah kupanggil sekarang?]

[…Tidak usah. Lupakan.]

Ya, benar juga, pikir Jinshi. Ia bisa beristirahat karena kaisar sendiri yang memerintahkannya. Tapi orang lain? Tidak. Kalau sampai ia memanggil Maomao di hari pertama ia kembali bekerja… Memang benar Maomao tak bisa menolak karena ia atasan, tapi pastilah ia akan memandanginya dengan dingin, seakan berkata, “Apa-apaan sih, padahal kau sedang lelah?” Itu tidak buruk, tapi Jinshi sendiri enggan mementingkan dirinya seperti itu.

[Hmm. Kalau begitu, bisa kau panggil Mamei?]

[Kalau kakaknya, harusnya tidak masalah.]

Ma Mei, kakak Basen, tetap tinggal di ibu kota. Ia wanita cakap, pasti tahu banyak kabar yang terjadi selama setahun terakhir.

Permaisuri janda dan Gyokuyou nyaris tak berubah sejak setahun lalu. Mereka seakan ingin menyampaikan sesuatu pada Jinshi, tapi menahan diri karena sudah lama tak bertemu.

Yang membuatnya kecewa justru Rinri, sang putri kecil yang dulu sering ia rawat di Istana Dalam. Gadis itu sekarang benar-benar melupakannya. Meski bisa dimaklumi karena usia dan sifat pemalunya, tetap saja Jinshi merasa terpukul.

Saat kembali ke kediamannya, ia mendapati Suiren sedang bersih-bersih. Bukan sekadar membersihkan, melainkan pembersihan besar-besaran.

[Suiren, aku menghargai niatmu, tapi kau pasti lelah dari perjalanan. Santailah dulu.]

Toh, istana mereka sudah bersih rapi. Membersihkannya lagi seperti ibu mertua yang terlalu cerewet.

[Aku juga ingin istirahat, tapi barang-barang ini terlalu banyak.]

Suiren mengangkat jimat-jimat aneh, boneka, dan tali rambut.

[… ]

[Kau mungkin lupa, Tuan, tapi kalau kau lengah sedikit saja, entah apa yang bisa dilakukan gadis itu. Dia kan sedang jatuh cinta.]

[Tidak, tidak, tidak.]

[Ada juga pakaian dalam yang dijahit rambut, seperti biasa. Mau dipakai?]

[Buang saja.]

[Baik, Tuan.]

Suiren tanpa ampun membuang semuanya ke tong sampah.

Jimat dan boneka itu mungkin tak hanya untuk cinta, bisa juga untuk mengutuk Jinshi langsung. Tapi ia tak berniat memedulikannya. Mereka yang menyerang lewat cara berputar-putar seperti kutukan—yang bagi Jinshi hanyalah takhayul—tak akan berani muncul terang-terangan. Bagi Jinshi, jelas: kutukan hanyalah omong kosong.

[Apakah Mamei sudah datang?]

[Ya, aku menyuruhnya membantu di ruang belakang.]

Mamei memang wanita tangguh, tapi tetap tak ada apa-apanya dibanding Suiren.

Di ruang tamu, Mamei juga sedang membuang boneka-boneka aneh ke tong sampah, sama seperti Suiren.

[Sudah lama tidak bertemu, Tuan Bulan. Ini nanti akan kami bakar, jadi mohon tenang.]

Ia benar-benar mengingatkan Jinshi pada Taomei di Seito, hanya lebih muda.

[Tahu ini mendadak, tapi bisakah kau ceritakan kabar setahun terakhir?]

[Tentu. Mulai dari hal yang menyangkut Tuan Bulan.]

Tanpa berhenti bekerja, Mamei mulai menjelaskan.

Putri Gyokuo yang datang dari Seito sebentar lagi akan dijadikan pelayan Gyokuyou.

Selain itu, sudah ada desakan agar sesuatu dilakukan terkait istri Jinshi.

Faksi yang menginginkan putra Rifa menjadi Putra Mahkota mulai bergerak.

[Apa lagi…?] Jinshi menatapnya.

Mamei tampak ragu sejenak.

[Ada yang lain?]

[Hanya rumor.]

[Ceritakan.]

Jinshi duduk di kursi dan menyesap teh yang entah sejak kapan sudah disediakan Suiren.

[Sekarang ini, jumlah laki-laki di keluarga kekaisaran sangat sedikit. Paduka punya dua putra, dan Tuan Bulan masih belum menikah. Jadi ada pihak-pihak yang berusaha mendekat ke anggota pria keluarga kerajaan.]

[Ya, itu masuk akal. Setahuku ada adik tiri kaisar sebelumnya.]

Dengan kata lain, paman dari kaisar sekarang. Konon ia memilih jadi biksu karena takut pada kemarahan permaisuri terdahulu.

[Betul. Dia punya seorang putra.]

Karena masih keturunan garis laki-laki, otomatis mereka punya hak suksesi. Jinshi memang pernah mendengar soal ini beberapa kali.

[Apa mereka sedang merencanakan pemberontakan?]

[Tidak ada tanda-tanda berubah dari dulu. Namun, terpisah dari itu, ada kabar lain—tentang keberadaan seorang keturunan laki-laki keluarga kerajaan.]

[Seorang keturunan laki-laki?]

Alis Jinshi terangkat bingung.

[Berapa generasi lalu maksudmu?]

[Mungkin tiga generasi. Konon ada seorang bangsawan keluarga kerajaan yang membuat murka kaisar kala itu.]

[Hmm.]

[Status kebangsawanannya dicabut sebelum ia dieksekusi. Tapi sebelum itu, ia sempat punya anak dengan putri seorang rakyat biasa.]

[Kedengarannya seperti dongeng.]

[Ya. Memang konyol. Tapi karena topiknya pas, sekalian kusebutkan.]

Gaya bicara Mamei itu jelas seperti bercanda. Jinshi sudah sering mendengar kisah serupa. Bahkan ada pelacur yang mengaku keturunan keluarga kerajaan dengan nama “Hua”.

[Masih ada banyak hal lagi. Apa ingin terus kudetailkan?]

[Aku lapar. Bisa lanjut sambil makan?]

[Tentu, Tuan.]

Mamei menemukan lagi sebuah bantal sulaman rambut dan melemparkannya ke tong sampah.

Jinshi sempat berpikir mungkin lebih cepat kalau ia pindah istana. Namun bayangan wajah Maomao yang pasti akan mengomel, “Jangan boros,” membuatnya urung membuka mulut.

Sumber referensi: FossDesk.

No comments:

Post a Comment