Novel Kusuriya no Hitorigoto Chapter 307

Volume 11 - Chapter 4

Mayat Tergantung di Kantor - Bagian 2


Peringatan konten: Bagian ini memuat deskripsi tentang mayat.

Keponakan yang baru ditemui Rahan dengan benar untuk pertama kalinya setelah lebih dari setahun itu menunjukkan wajah masam.

[Hei, Nona.]

[Enyah sana, si kacamata kalkulator.]

Maomao menyambut Rahan dengan sebuah hinaan begitu saja.

[Maomao!]

Di sebelah Maomao ada Rakan. Ia berusaha memeluk Maomao, tapi gadis itu menahan dengan menusukkan gagang sapu ke pipinya, memperingatkan agar tak mendekat lebih jauh.

[Maomao, apa kau tak bisa lebih lembut sedikit?]

[Kalau begitu, kenapa kau tidak tukar posisi denganku?]

[Sudah pasti tidak.]

Setelah menolak usulan Maomao, Rahan mengalihkan pandangan pada dua orang lain yang hadir di sana.

Yang pertama adalah Tabib Liu, kepala tenaga medis istana. Ia seangkatan dengan paman buyut Rahan, Ruomen, dan terkenal sebagai orang yang sulit dihadapi.

Yang kedua, seorang pria muda dengan tubuh dan tinggi rata-rata, berwajah sembrono.

[Mayaaaaat di mana?]

Tatapan matanya berkilau aneh, sebelum langsung mendapat ketukan di kepala dari Tabib Liu.

[Tinyou, diam.]

Ternyata namanya Tinyou. Nama seorang pria sama sekali tidak penting bagi Rahan.

Meski ia sempat mengira yang merepotkan juga ikut serta, Rahan merasa tak masalah selama orang utama sudah datang. Jika Rakan mulai membuat onar, toh bisa ia lemparkan saja pada Maomao. Sepertinya gadis itu juga berpikiran sama.

[Aku juga tidak punya banyak waktu, jadi bisakah kau tunjukkan mayatnya cepat-cepat? Nanti sore ada laporan dari Nyonya Tsuki. Kita tidak bisa berlama-lama.]

Urat di pelipis Tabib Liu tampak menonjol saat ia bicara.

Laporan dari pasukan ekspedisi Saidou juga menyangkut Rakan, jadi Rahan pun ingin segera menyelesaikan ini.

[Mari ke sini.]

Onso yang menuntun mereka. Anak kecil bernama Shunsai sengaja dijauhkan ke ruangan lain karena dianggap terlalu berat baginya. Anak itu sempat menanyakan apa ia bisa membantu, jadi Rahan menugaskannya membersihkan ruangan lain yang digunakan Rakan.

[…Kurasa keluarga Ra ini terlalu memanjakan kerabatnya.]

Tabib Liu menatap Rakan, Maomao, dan Rahan.

[Apa salahnya memanjakan putriku?]

Rakan menjawab santai. Tak ada gunanya menyuruh pria ini membaca situasi.

Tabib Liu, tentu saja, bukan orang bodoh. Ia paham percuma bicara dengan Rakan. Dengan wajah datar, ia melangkah masuk ke kantor.

[Ini orangnya?]

“Tombak” masih tergantung di balok langit-langit. Itu memang instruksi Rahan: jangan turunkan dulu.

[Tapi kita tak bisa melakukan apa-apa kalau masih begini, kan?]

Tabib Liu menyipitkan mata.

[Ooh, dia mati~.]

Tinyou meloncat-loncat kegirangan.

[Kau bilang ini mayat tidak normal, tapi cuma gantung diri…]

Maomao bergumam, tanpa sengaja. Karena itulah Rahan menyebutnya “mayat abnormal” — istilah untuk jenazah dengan penyebab kematian tak jelas, bisa jadi racun.

Jujur saja, Maomao sebenarnya tidak berniat datang ke kantor Rakan. Jadi Rahan harus memberinya alasan.

[Kalau sudah sampai tahap tergantung begini, bukannya jelas bunuh diri?]

Sekali lagi, sebuah hantaman mendarat di kepala Tinyou.

[Sepertinya ada alasan kau tidak menganggap ini bunuh diri. Itu sebabnya kau biarkan tempat kejadian tetap seperti ini.]

Tabib Liu mulai memeriksa tubuh itu.

[Benar.]

Alih-alih Rahan menjelaskan lebih jauh, Onso mengambil alih. Ia memang lebih cocok memajukan diskusi.

[Ada pertentangan bila dianggap bunuh diri.]

[Pertentangan macam apa?]

Onso mengeluarkan seutas tali.

[Tali ini diukur sesuai panjang dari leher mendiang Wang Fang hingga ke bawah. Jika mempertimbangkan sudut gantungan, tinggi Wang Fang, dan posisi kursi, mungkinkah ia benar-benar menggantung dirinya sendiri?]

Bagi mata Rahan, dunia seolah dipenuhi angka. Agar Wang Fang bisa menggantung diri dengan tali itu, kursi harus lebih dekat hampir satu kaki. Jika tidak, meski berjinjit, ia tak akan sampai.

[Kalau kursinya ditendang saat melompat? Bukankah bisa bergeser?]

Tinyou menyela.

[Kalau begitu, seberapa kuat ia harus menendangnya mengingat posisi sandaran kursi?]

Rahan menjawab menggantikan Onso.

Mungkin karena keberadaan Tinyou yang ribut, Maomao tetap diam, hanya mengernyit curiga sambil menjauh dari Rakan yang menawarkan camilan.

[Kau ingin aku memastikan itu?]

[Betul.]

[Apakah posisi kursi benar-benar tidak berubah?]

[Perlukah kita panggil saksi yang melihatnya?]

Tabib Liu memang tipe yang suka kepastian, selalu meragukan apa pun yang patut diragukan.

[Dan untuk Tabib Liu sendiri sampai turun tangan…]

[Kau keberatan saat aku hanya mengirim murid, bukan? Jadi kubawa pengawas resmi.]

Dengan kata lain, agar tidak ada rekayasa bukti.

[Kalau begitu, turunkan mayatnya.]

[Baik.]

Onso memanggil beberapa perwira untuk menurunkannya.

[Silakan semua duduk di kursi.]

[Iya!]

Tinyou langsung menjatuhkan diri ke kursi panjang.

[Aku berdiri saja.]

[Aku juga.]

Tabib Liu dan Maomao memilih berdiri.

Mereka berusaha menurunkan mayat dengan memotong sebagian tali gantungan. “Tombak”, Wang Fang, bertubuh kekar khas perwira.

Menurut laporan, Rakan menemukannya dua tahun lalu. Nalurinya tajam, gerakannya cepat, ia pun dipromosikan. Cocok untuk medan tempur, menjalankan misi percobaan tanpa gagal. Ambisius, tapi juga rakus. Namun, selama ada pengawasan, tak masalah—

Sepertinya ia berubah buruk selama Rakan absen.

[Akhirnya bisa diturunkan.]

Saat tubuh terbujur di atas kain, Rahan hampir memalingkan wajah karena begitu tak sedap dipandang.

[Tinyou.]

[Siap.]

Tabib Liu menyuruhnya memeriksa lebih dulu. Maomao ikut mengintip dari belakang Tinyou.

[Bagaimana?]

[Ada bekas kuku di leher. Tanda-tanda berusaha melepas tali karena sesak.]

Wajah Tinyou mendadak serius. Maomao mengangguk mengamati.

[Dia menderita.]

[Menderita, ya.]

[Bukannya gantung diri itu tidak menyakitkan?] tanya Onso.

[Gantung diri dengan hentakan cukup akan membuat sendi leher terlepas, menyebabkan pingsan seketika. Dalam kondisi itu, seharusnya tidak ada perlawanan.]

Tabib Liu menjelaskan.

[Jadi mati dengan mudah?]

[Tidak ada cara mati yang mudah. Kalau gagal, kau akan sengsara, jadi jangan coba-coba.]

Onso tersenyum kecut mendengarnya.

[Buka pakaiannya.]

[Baik.]

Tinyou mulai menanggalkan pakaian mayat. Maomao ikut membantu.

[Oh? Kau mau membantu juga?]

Rahan teringat, Ruomen selalu melarang Maomao menyentuh mayat.

[Ini pekerjaan.]

Tanpa ragu, Maomao melucuti tubuh laki-laki itu meski sudah menjadi mayat. Rahan sempat bertanya-tanya, apa ia sudah terbiasa menelanjangi tubuh pria?

[Maomao. Jangan sentuh benda kotor begitu.]

Rakan masih saja mengunyah camilan basi di depan mayat. Rahan tak habis pikir.

[Dari warna kemerahan di kaki, sudah cukup lama. Menurutmu berapa lama, Nona?]

[Tentu lebih dari setengah hari. Kemerahan di tubuh bagian bawah cukup pekat.]

[Yah, dari kaku ototnya, kurasa tak lebih dari enam belas jam lalu.]

Tinyou menekan tubuh mayat itu.

Tabib Liu yang diam mungkin tanda Tinyou tak keliru.

[Kalau begitu, kira-kira antara sore sampai malam.]

Rahan menyentuh kacamatanya. Apa yang dilakukan pria ini di luar jam kerja?

[Jadi penyebab kematiannya jelas gantung diri?]

[Ya.]

Tabib Liu tidak membantah.

[Bisa dipastikan bunuh diri atau dibunuh?]

[Belum bisa. Tapi melihat posisi kursi tadi, kemungkinan pembunuhan harus dipertimbangkan.]

Menjawab pertanyaan Onso, Tinyou menggeleng. Tabib Liu pun mengangguk.

Maomao menyipitkan mata, menatap balok di langit-langit.

[Ada apa, Nona?]

[…]

Alih-alih menjawab, Maomao malah menginjak ujung kaki Rahan. Untungnya sepatunya empuk, jadi tidak sakit.

[Ada apa?]

tanya Rahan lagi.

[Aku hanya berpikir, talinya dililit ke balok seperti jerat. Dengan begitu, tak perlu tangga.]

[Jerat?]

[Lebih cepat kalau kutunjukkan.]

Maomao melirik Tabib Liu sebentar.

[Kalau begitu, tolong peragakan.]

ujar Onso. Maomao biasanya patuh pada Onso, meski tidak pada Rahan.

[Baiklah.]

Maomao mengambil tali, mengikatkan beban di ujungnya, lalu melemparkannya ke celah antara balok dan atap.

[Lalu bagaimana mengikat ke balok?]

[Bisa dilihat dari simpul talinya. Seperti ini.]

Ia membuat simpul sederhana, lalu menarik ujung tali lainnya.

[Saat ditarik…]

Tali pun mengencang, mengikat balok dengan kuat.

Melihat itu, Rahan mengangguk, [Ah, begitu rupanya.]

[Memangnya apa?]

[Aku sempat bertanya-tanya bagaimana pelaku bisa membunuh perwira setangguh ini jika memang pembunuhan.]

Korban jelas seorang perwira kuat. Mustahil dicekik dengan tangan kosong.

[Pelaku yang Ayah Mertua sebut juga tak terlihat mampu membunuh seorang perwira.]

[Kau bilang orang tua itu sudah tahu siapa pelakunya?]

Maomao menatap curiga.

[Yap, Papa langsung tahu.]

Rakan tiba-tiba muncul di samping mereka, membuat Maomao segera menjauh.

[Meski tahu siapa pelaku, Ayah Mertua tidak tahu motif, cara membunuh, atau buktinya. Nah, sekarang kita sudah tahu metode membunuhnya, jadi tinggal motifnya?]

[Motif, ya.]

Maomao melirik sebentar ke arah kursi panjang.

[Kau tahu sesuatu?]

[Kira-kira begitu.]

[Ceritakan, Nona.]

Kalau ini ulah bawahan Rakan, bisa timbul banyak masalah. Rahan ingin menyelesaikannya tanpa ribut.

[Aku enggan bilang.]

[Kalau kau diam saja, kita bakal terlambat laporan Nyonya Tsuki.]

Dengan wajah jengkel, Maomao akhirnya membuka mulut.

[Bukan motif yang dalam. Pelakunya mungkin hanya seorang perempuan, kan?]

[Kau tepat sekali.]

Rahan terkesan. Rakan pernah menyebut “batu go putih”. Batu putih berarti perempuan, sementara hitam berarti laki-laki.

Maomao mendengus.

[Jadi cuma begitu?]

[Ya, cuma begitu.]

Dengan wajah pasrah, Maomao menatap mayat telanjang itu.


Sumber referensi: FossDesk.

No comments:

Post a Comment