Mimpi Schnell
Untuk mewujudkan mimpimu menjadi seorang penjahit sebenarnya tidaklah sulit.
Tak ada syarat khusus—selama kau bisa membuat pakaian yang laku, maka orang akan mengakui dirimu sebagai penjahit.
“Tapi yang ingin kubuat… adalah gaun.”
“Gaun?”
“Itu… sulit bagi laki-laki.”
Semua orang mengangguk, kecuali aku yang hanya memiringkan kepala.
“Kalau dipikir-pikir, gaun memang hanya dibutuhkan kalangan bangsawan. Dan perempuan biasanya tak suka kalau laki-laki tahu ukuran tubuh mereka.”
Aku masih menunduk, tapi Mimachi menoleh ke arahku seakan baru tersadar sesuatu.
“Ah… Jadi begitu?”
“Pak Schnell, apakah Anda dulunya seorang bangsawan?” tanyaku.
Kalau bukan, tak mungkin seorang rakyat biasa tiba-tiba ingin terjun ke dunia pembuatan gaun.
Schnell hanya bisa menghela napas panjang, pasrah.
“Iya… meski bukan bangsawan negara ini.”
Ia lalu menyebutkan tanah kelahirannya—negara kecil Kalancoya, jauh di timur laut.
Mata semua orang langsung melebar. Aku sendiri bahkan tak pernah mendengarnya dalam pelajaran geografi.
“Pasti sangat jauh sekali dari sini.”
“Kalau aku tak punya ikatan lagi dengan negara itu… berarti aku dianggap buronan.”
“Hah? Bukankah negara ini melarang orang asing dengan catatan kriminal masuk?”
Schnell menghantam meja dengan telapak tangannya.
Ekspresi santainya hilang, terganti oleh amarah.
“Itulah sebabnya mimpiku terputus di tengah jalan!”
“Apakah kau pernah dijebak atas tuduhan palsu?” tanyaku hati-hati.
Andai itu sebatas tuduhan, mungkin masih bisa ditoleransi.
Namun, kemarahannya perlahan surut, matanya kosong, dan ia mulai bercerita.
Schnell lahir di negara kecil Kalancoya, anak sulung dari keluarga bangsawan tinggi.
Namun sejak ia menghirup napas pertama, takdirnya sudah ditentukan—ia tidak akan menjadi pewaris.
Penyebabnya adalah sebuah kondisi: kelebihan energi sihir.
Sejak bayi, tubuhnya menyimpan kekuatan magis melebihi kapasitasnya sendiri, tapi ironisnya ia bahkan tak bisa menggunakan sebagian kecil darinya.
Kebanyakan manusia secara naluriah mampu menyeimbangkan energi sihir—berapa banyak yang diciptakan, disimpan, dan dipakai.
Namun, sekali-sekali lahir seorang anak yang tak bisa melakukan itu.
Kelebihan Magis dan Kehancuran Magis.
Ada dua jenis kelainan energi sihir:
Satu, ketika si anak menimbun kekuatan hingga mabuk sihir dan akhirnya mati.
Dua, ketika ia terus menciptakan kekuatan tapi tak mampu menyimpannya, sehingga tubuhnya melepaskan lebih dari yang seharusnya—dan mati juga.
Umur sepuluh tahun saja nyaris mustahil. Dua puluh tahun? Lebih mustahil lagi.
Ini adalah penyakit bawaan yang dulu cukup sering muncul di kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan.
Mungkin akibat perkawinan sedarah? pikirku sejenak.
“Jadi berkat roh-lah kau masih hidup?” tanyaku.
“Ya. Aku bersyukur.”
Schnell tersenyum lembut ke arah Raja Roh Angin, lalu menunduk dalam-dalam.
“Bagiku, ia adalah dewi penyelamat… meski wujudnya laki-laki.”
Meskipun suasana hatinya suram, aku bisa menghargai caranya yang tetap menggunakan waktu kini—bukan masa lalu—untuk bersyukur.
Dan kisahnya berlanjut.
Meski lahir dengan umur pendek, orangtua dan kakek-neneknya tetap menyambut Schnell dengan sukacita. Mereka mencoba segala cara agar cucu dan anak mereka bisa hidup satu hari lebih lama.
Bahkan sampai pada takhayul.
Salah satunya: menyembunyikan jenis kelamin.
“Aku tak bisa jadi pewaris, dan dengan restu keluarga kerajaan, aku dibesarkan sebagai seorang gadis.”
“Oh, pantas saja!” seru Arjit.
“Awalnya kupikir Schnell memang terlihat seperti mantan bangsawan, tapi… gerak-geriknya kadang mulia, kadang tidak. Aku tak mengira kalau sebenarnya ia tak tampak seperti laki-laki bangsawan.”
Schnell hanya mengklik lidah, kesal.
“Begitulah caraku dibesarkan. Sampai-sampai aku sendiri tak tahu siapa diriku yang sebenarnya.”
Karena tubuhnya memang takkan bisa berkembang jadi maskulin, lebih baik menutupi kebenaran sejak awal daripada membuatnya hidup dalam kebohongan setengah-setengah.
Maka ia tak pernah diberitahu dirinya laki-laki—sampai hari roh memasuki tubuhnya.
Dan sejak kecil, Schnell jatuh hati pada dunia kerajinan tangan dan seni menjahit, bagian dari pendidikan budaya yang diajarkan padanya…
No comments:
Post a Comment