Novel Abnormal State Skill Chapter 411

411 - Perpisahan



[Haaahh——– ah——- haaahh……!]

Wajahku meringis kesakitan saat aku terengah-engah.

Darah Wormungandr berceceran di lantai.

Juga di dinding putih labirin ini.

Namun————

Wormungandr, yang berdiri beberapa meter di depanku, sudah kembali pulih.

[Memang…… aku telah menikmatinya.]

Apostle berbalut jubah putih itu tiba-tiba membuka mulut.

[Aku bisa merasakannya…… potensi yang dimiliki umat manusia……]

Perlahan———– Wormungandr mengangkat satu tangan, menunjuk ke arahku.

[Terima kasih padamu…… Hero dari Dunia Lain.]

Napas beratku masih memburu.

(……Fokusku…… akhirnya terkikis habis……)

Suaranya…… aku bahkan sudah tak bisa mendengarnya lagi.

Namun tetap saja———

Aku bersiap mengambil posisi.

(……Aku masih bisa…… bertahan……)

[Semangatmu patut dikagumi, tapi kau harus mengakuinya. Kau sudah di ambang batas. Menyerahlah. Gerarara…… Lagipula aku juga bukan tanpa luka. Regenerasiku sudah dipaksa bekerja terlalu keras.]

Kemudian, seakan menyadari sesuatu, Wormungandr terkekeh rendah.

[Kuku…… baru saja aku teringat sesuatu yang penting……]

Ia mengetuk dahinya dengan jari.

[Aku diperintahkan untuk “menetralisir” Sogou Ayaka———- tapi, kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah diperintahkan untuk “membunuh”mu.]

[ ? ]

[Tujuan Vysis hanyalah menetralkanmu…… Dengan kata lain, aku tak perlu membunuhmu. Selama aku bisa menahanmu di sini, itu artinya aku masih “menaati perintah”…… ——–Guh…… OGUEEEEEH!]

[…………!?]

Wormungandr memuntahkan isi perutnya.

Sesaat, aku berpikir untuk menggunakan kesempatan itu menyerang.

Namun tanpa bisa mendengar suaranya…… aku tahu itu mustahil.

Instingku yang terasah memberitahuku demikian.

[……………………]

Yang bisa kulakukan hanyalah———-

……menyaksikan benda yang baru saja ia muntahkan ke tanah.

Di sana———-

Segumpal daging, tergulung seperti bola.

Sambil mengusap mulutnya dengan lengan, Wormungandr berkata:

[Benda ini disebut “Synthetic Sacrament”. Aku menyimpannya dalam perutku…… Vysis menyuruhku memakainya bila perlu melawanmu. Tapi tahu tidak…… benda ini benar-benar menjijikkan. Aku cukup tahu apa sebenarnya ini, dan jujur saja, aku tak mau menggunakannya. Namun…… Factor Vysis terus berisik di kepalaku…… makin keras memaksaku untuk membunuhmu. Tapi tetap saja…… membunuhmu terasa salah bagiku.]

Bagiku———

kata-katanya terdengar begitu jauh.

[Karena itu…… kurasa aku akan pergi dulu, membunuh orang lain saja.]

[……………………]

Wormungandr membalikkan badan.

[Kalau begitu, sampai jumpa.]

Dan dengan itu, ia lenyap dari ruangan.

Secara naluriah aku bergerak mengejarnya.

Tubuhku bereaksi begitu saja.

Namun…… “sesuatu” menghadang jalanku.

Gumpalan daging itu———-

Mulai terbuka.

Dan kemudian…… ia berdiri.

Itu…… berbentuk manusia.

Tapi sosoknya sangat grotesk, jauh dari apa pun yang simetris atau wajar.

Seakan-akan banyak tubuh manusia pernah dicabik-cabik———–

lalu dijahit asal-asalan, dipelintir hingga menjadi sesuatu yang bukan lagi manusia.

Ia punya tiga lengan.

Tubuhnya hanya diselimuti sisa-sisa kain dan hiasan compang-camping.

Separuh wajahnya terkelupas tanpa kulit.

Daging busuknya terbuka, penuh belatung yang menggeliat.

Namun……

Separuh wajah yang tersisa……

——–begitu kukenal.

Tak mungkin salah lagi———-

Tapi tetap……

[Tidak…… mustahil…… kenapa…… bagaimana bisa…… kenapa kau……?]

“Dia terluka parah dalam pertempuran di Anti-Demon White Castle, tapi telah menerima penyembuhan Sang Dewi dan kembali ke tanah airnya.”

Itulah yang diberitahukan padaku.

Meskipun begitu……

[A———]

Separuh wajah yang tersisa———— adalah wajah yang tak mungkin salah kukenali.

Orang yang kini berubah menjadi monster menjijikkan ini————

[Agito-san!]

Salah satu dari Empat Orang Suci yang Dihormati, Agito Angoon.

[A- Agito-san……]

Aku, Ayaka, yang dilanda guncangan hebat, memanggilnya.

[Agito-san, bisakah kau mendengarku!? Ini aku, Ayaka! Aku…… Sogou Ayaka! ……Agito-san!]

[Uu…… ah…… ugh……]

Cairan seperti air liur menetes dari sudut mulut Agito.

Matanya terbelalak lebar tanpa fokus.

Kata-kataku tampaknya tak menjangkaunya.

[Agito…… san……]

Tidak……

Yang kuhadapi sekarang bukan hanya Agito.

Aku mengenali itu.

Aku terlalu mengenalinya.

Lengan yang tumbuh dari bahu kanannya, itu kemungkinan———- milik Abyss Angoon.

Separuh wajah yang menempel di bahu kirinya, itu putra kedua, Brown.

Dan kepala tanpa bola mata yang tergantung dari tentakel di punggungnya————-

[White…… san……]

Pakaian dan ornamen lain milik Empat Orang Suci juga ada di sana.

Semuanya dijahit menjadi satu dengan cara keji.

Tak ada penghormatan pada yang mati.

Bahkan seujung kuku pun tidak.

Yang kulihat ini…… hanyalah penodaan.

Hanya penistaan atas yang telah gugur.

Mayat Empat Orang Suci, yang konon diambil kembali setelah pertempuran di Anti-Demon White Castle……

[Untuk mereka diperlakukan seperti ini……]

Air mata jatuh dari sudut mataku.

Ini…… benar-benar terlalu kejam.

Terlalu kejam.

Mereka telah berjuang demi kita.

Demi semua orang.

Mereka datang memenuhi panggilan, melatih kami para Hero.

Melindungi dunia ini.

Mereka menjawab panggilan Sang Dewi, dan kemudian———-

[ ! ]

Agito———atau tepatnya, sosok yang dulu adalah Agito—menerjang ke arahku.

Lengan kanannya, dari siku hingga telapak tangan, berubah menjadi sebilah pedang.

Ia mengayunkannya ke bawah, hendak menebasku.

Aku menangkisnya dengan pedang unikku.

[………………]

Kuat.

Dia punya kekuatan sekaligus kecepatan.

Tapi———aku bisa menahannya.

Aku bisa menghadapinya.

Dibanding Wormungandr, ini bukan apa-apa.

Seharusnya ini tak berarti apa-apa, dan namun———-

(Apa aku……?)

———–Aku sudah tak bisa lagi bertarung seperti ini.

Saat itu……

Apakah aku keliru mempercayakan perawatan mereka pada Vysis?

Aku——–sudah keliru, ya.

Mempercayai Vysis waktu itu———–

……adalah sebuah kesalahan.

Wajahku yang basah air mata terpelintir dalam penyesalan.

Sambil terus menangkis serangan Agito, pertarungan kami berlangsung timpang untuk beberapa saat.

Dia menyerang tanpa henti.

Aku terus menangkis tebasannya.

Sementara itu, aku terus memanggil namanya.

Tapi———aku tak mendapat jawaban yang kuinginkan.

Aku bahkan tak tahu harus berbuat apa……

Jadi……

Aku memanggilnya sekali lagi.

[Agito-san! Agito-san, ini aku! Tolong…… Agito-san! Hentikan! Hentikan ini……!]

Aku———–aku bisa membunuhnya.

Aku bisa.

Aku bisa, tapi……

Aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.

Saat pertempuran di Anti-Demon White Castle dulu.

Dia menghadapi Human-Faced demi melindungi teman sekelasku.

Apa aku———

Apa aku benar-benar tega menebas seseorang seperti dia?

[—————–]

Tidak……!

Kalau akulah yang mengakhiri semuanya di sini, dengan tanganku sendiri———–

Itu akan menjadi caraku…… untuk melepas kepergiannya.

Pasti.

Pasti begitu……!

[Ugh…… uuh……]

Dan tetap saja———–tanganku tak mau bergerak.

Mereka tak bergerak.

Segores harapan tipis masih tersisa di benakku.

Bahwa saat pertarungan ini usai……

Mungkin……

Mungkin jika itu Deity seperti Loqierra-san……

Dia mungkin tahu cara untuk membawanya kembali.

Aku berpegang pada harapan itu……

Aku menggenggam erat harapan itu.

Kalau aku membunuhnya di sini, maka……

Bahkan kemungkinan itu akan hilang selamanya————

———-Whoosh———-

[……Ah.]

Pedang Agito menggores pipiku.

Lapisan tipis kulit teriris, setipis sehelai rambut, dan setetes darah merembes keluar.

Itu bukan serangan yang mustahil kuhindari dalam keadaan normal.

Tapi kali ini———- bukanlah keadaan normal.

……Dia menyebut ini sebagai “netralisasi”.

Dan memang, untuk menetralisirku———–ini sangat efektif.

(Netralisasi……)

Tiba-tiba.

Saat serangan Agito semakin dekat, sebuah “jalan keluar” terbentuk dalam benakku.

Itu dia.

Kalau aku bisa menetralkannya……

[Kalau aku bisa membuatnya tak bergerak entah bagaimana, setidaknya sampai pertarungan ini berakhir———?]

Saat itulah.

Mendadak……

Serangan Agito berhenti.

[Eh?]

[……yaka.]

Barusan———-

Apa yang dia———-

[Aya…… ka……]

[ ! ]

Fokus kembali ke matanya———-

[A- Agito-san!?]

[U…… aku…… meninggalkan sedikit kesadaranku…… di dalam ranahku…… supaya aku bisa bicara…… hanya sebentar……]

Aku hendak berlari mendekatinya.

Tapi Agito menahanku.

[Tidak…… Sekarang, aku nyaris tak bisa menahan diriku untuk tak bergerak…… Tapi aku bisa saja menyerangmu tanpa kendali…… jadi tetaplah…… di situ……]

[Agito-san…… aku……]

Lalu, dengan lembut.

Dengan separuh wajahnya yang masih mirip dirinya, ia tersenyum.

[Kau…… sudah tumbuh kuat…… Aku bisa melihatnya……]

[Itu karena kau…… dan semuanya…… telah menuntunku……!]

Air mataku tak berhenti mengalir.

Aku tak mengusapnya, hanya menangis sambil meminta maaf.

[Aku minta maaf———- Aku benar-benar minta maaf! Setelah pertempuran itu…… andai saja aku memastikan…… Andai aku tak menyerahkanmu pada Vysis…… ini…… ini semua takkan terjadi……!]

[Hah…… Kau…… tetap saja serius seperti biasanya…… sungguh…… gadis yang terlalu serius……]

[T- Tolong…… tunggu! Aku mungkin bisa menghentikanmu bergerak untuk saat ini, tapi setelah pertarungan ini…… pasti———-]

[Dan…… kau selalu baik hati, seperti biasanya. Brown agak khawatir soal itu…… Dia pikir itu mungkin…… terlalu berisiko……]

Masih tersenyum.

Agito sedikit menggeleng.

[Kalau Vysis mati, mungkin aku…… akan lenyap juga……]

[T-Tapi itu bukan sesuatu yang pasti……! Pasti ada cara———–]

[Dan, Ayaka.]

Suaranya lembut memotong perkataanku.

Dengan seulas senyum sendu.

Ia memberiku senyum yang berbeda.

[Tak ada lagi…… Tak ada satu pun dari saudara-saudaraku…… yang masih ada di dunia ini.]

[Ah———-]

“Itulah sebabnya……” lanjut Agito.

[Untuk mereka…… untuk Abyss, Brown, dan White…… Bisakah kau mengantarkanku pada mereka? Bersama dengan hal-hal yang mereka tinggalkan……]

Hal-hal yang mereka tinggalkan.

Mungkin yang ia maksud adalah “fragmen” milik Abyss dan yang lain, yang telah menyatu ke dalam dirinya.

[Aku ingin bicara lebih lama tapi…… aku tak…… punya waktu. Kesadaranku sudah…… memudar…… Aku rasa…… aku takkan bisa bertahan…… lebih lama lagi……]

Agito menatapku dengan senyum samar, nyaris seperti meminta maaf.

[Maaf…… telah memaksakan…… peran ini padamu…… Kau pasti tak suka ini, kan……? Membunuh……]

[Uuu…… uuuuuu……]

Aku memejamkan mata rapat-rapat, menggenggam erat gagang pedang unikku.

Menguatkan diri untuk yang akan datang.

Karena air mataku———tak berhenti mengalir.

[Hanya ini……]

Hanya ini, ingin kukatakan——–

Di sela tangisku, aku berkata padanya:

[A…… Agito-san, kau sudah melindungi semuanya…… Kau melindungi Murota-san dan yang lain…… Berkatmu, hampir semua teman sekelas kami bisa kembali dengan selamat…… Terima kasih…… terima kasih banyak…… hic…… u…… uuuuu……!]

Agito tersenyum.

[Aku senang…… Jadi mereka selamat…… Dan…… karena kau ada di sini…… itu berarti…… kita menang di pertempuran itu ya…… Baguslah mendengarnya…… Terus terang, kesadaranku tak pernah sepenuhnya kembali…… Pertama kali aku mulai samar-samar sadar lagi…… adalah ketika aku dijadikan bentuk ini…… Jadi aku tak tahu…… apa yang terjadi setelahnya……]

[Uuuuu…… Maafkan aku…… aku———–]

[Ayaka.]

Dia berbicara lembut, membalutku dengan kata-katanya.

[Kalau kau memang merasa begitu———– biarkan aku mengucapkan “terima kasih”…… untuk yang terakhir kali.]

[ ! ]

Dia memintaku.

Untuk membunuhnya.

Itulah yang diminta Agito.

[………………………… ————Iya.]

Aku———mengangkat pedang unikku.

[Kalau kau terus menebas tubuh ini…… kau akan bisa membunuhku…… Bahkan regenerasi tubuh ini…… takkan sanggup menahan……]

[……Agito-san.]

[Unn.]

Agito-san———— salah satu dari Four Revered Saints……

Selamat tinggal.

———-Whoosh———-

Suara pedangku mengoyak udara.

Badai tebasan yang tak terhitung jumlahnya.

Aku mencincang Agito menjadi potongan-potongan kecil.

Lagi, dan lagi———–

Dengan air mata berhamburan di udara.

Aku menebas.

Aku mencabiknya.

Seperti yang dia minta.

Lagi…… dan lagi……

[———————]

Di tengah hujan seranganku, Agito masih sempat berkata.

Dengan senyum yang begitu lembut———-

“ Terima kasih. “

[…………………………………………]

Entah sejak kapan———– aku sadar, daging Agito sudah tak beregenerasi lagi.

Tubuhnya meleleh…… larut menjadi ketiadaan.

Dan ketika semuanya usai———-

Satu-satunya yang tersisa di ruangan itu———– hanyalah ratapan pilu dari seseorang yang dulu disebut sebagai Hero terkuat.

No comments:

Post a Comment